Part 4 - Lamaran

11023 Kata
Tersenyum saat merasakan kehadirannya ... Jantung Fianer masih berdegup kencang saat melangkah ke dalam ballroom. Dia tahu Egar ada di sini. Dia tahu Egar ada di dalam. Dan setiap saat mereka bisa berpapasan. Setiap saat Fianer bisa melihatnya. Rasanya bibir Fianer tak bisa berhenti tersenyum menyadari hal itu. Tapi tentu saja Fianer tak akan kentara mencarinya. Yang dia lakukan adalah bersikap seperti biasa dan menganggap tidak ada yang terjadi sebelumnya. Fianer masuk dengan anggun, mengangkat dagu  dan menatap lurus ke depan. Banyak yang sudah datang. Masih ada setengah jam sebelum acara di mulai, tapi Fianer bahkan belum mengecek satupun. Tempat pertama yang dia tuju adalah tempat jamuan. Melihat menu hidangan dan mencicipinya satu persatu. Fianer tahu seharusnya dia tak perlu meragukan rasanya. Karena katering yang dia pakai memang katering terbaik di kalangan para eksekutif. Rasanya pas di lidah. Fianer tersenyum puas. Kemudian dia menoleh ke panggung. Dekorasi memang simple, tapi hiasan Lily putih itu agak terlihat feminine. Jujur ini di luar konsep. Erfan atau Fier tidak akan mendekor seperti ini, dan Fiandra akan tahu itu. Tapi Fianer tetap memaksa memasang dekorasi itu agar panggung terlihat cantik. Tinggal memeriksa sound sistem dan memastikan pembawa acara tahu materi acara. “Ann!” Fianer menoleh saat dipanggil seseorang. Nolan mendekat. Dia memakai jas hitam dan terlihat tampan. Fianer tersenyum padanya. “Hai, udah lama?” tanya Fianer. Seketika Nolan terdiam menatap senyum yang sudah lama sekali hilang. “Mm .. udah.” jawabnya takjub. Ekspresinya itu seperti heran. Fianer mengangkat alis tinggi-tinggi bertanya ada apa. “Kamu kalo senyum kelihatan cantik banget.” gombalnya. Seketika Fianer mendengus, lalu dia pukul perut Nolan sampai laki-laki itu terkekeh. “Mulai deh gombalannya. Kalau Tiara denger, kakak bisa ditendang.” Mendengar peringatan Fianer, Nolan langsung diam. Fianer mencibirnya. Sudah dua tahun mereka akhirnya pacaran. Surprise? No. Nolan memberi Fianer waktu satu setengah tahun untuk membiarkannya sendiri. Baru setelah itu Nolan mengejar Fianer lagi. Terlalu sering mendekati Fianer hingga akhirnya dia dan Tiara juga sering bertemu. Akhirnya, mereka fall in love dan pacaran. Fianer sangat bahagia untuk mereka. Bahagia karena Nolan bisa move on, bahagia karena Tiara akhirnya mempunyai seseorang di sampingnya, dan bahagia karena dia ditinggalkan sendiri tanpa harus bingung menghadapi rayuan dan gombalan Nolan tiap hari. Fianer melihat Tiara terlihat sedang berjalan ke arah mereka. Dengan luwes dia memeluk lengan Nolan mesra. Fianer hanya bisa menahan senyum melihat protektifnya Tiara setiap kali Nolan berinteraksi dengannya. Tidak bisa disalahkan. Pacar mana yang kuat melihat pacarnya sedekat ini dengan mantan gebetannya? “Lagi ngobrol apa?” tanyanya. “Ra, aku mau ngecek persiapan dulu ya.” kata Fianer cepat-cepat. Tanpa mendengar jawaban mereka, dia langsung pergi. Biar pertanyaan itu di jawab Nolan. Fianer tak mau ikut campur. Bisa dia dengar Nolan terkekeh saat Fianer menjauh. Fianer hanya bisa tersenyum melihat mereka berdua. Saat Fianer kembali berkeliling, dia bisa melihat Rafan dan Diya sedang bertengkar lagi, entah masalah apa. Sudah biasa. Fianer lihat di pintu masuk, Fier dan Lilian sedang menyambut orang tuanya yang sudah datang. Dia menghela nafas. Fianer berdoa agar semua acara berjalan sukses. Terutama Erfan. Semoga nanti Ayahnya sanggup membuat kata-kata sambutan yang sedikit manis. Fianer masih tak begitu percaya pada Ayahnya jika berurusan dengan kata sambutan malam ini. Saat dia bertanya teks-nya mana, Erfan bilang spontanitas saja. Membuat hatinya kebat-kebit cemas. Tapi Fianer tak bisa bertanya apa-apa lagi.  “Ayah, Bunda.” Fianer mendekat pada mereka. Keduanya menoleh. “Ayo mejanya udah disiapin.” ajaknya. Tanpa komentar apapun, orang tuanya mengikuti Fianer ke sebuah meja bundar besar yang bisa muat 10 orang. “Kamu ke sini sama siapa?” tanya Fiandra. “Tadi sih janjian sama Kahfi. Tapi nggak tahu deh, dari tadi belum datang.” jelas Fianer. Fianer melihat Fiandra tersenyum tipis. Membuatnya ikut tersenyum tipis juga. Dia tahu apa yang ada dipikirkan Fiandra. Bahwa Fianer selalu sendirian. Tanpa ada yang bisa dia gandeng selain Fier, Rafan, atau Kahfi. Dan Fianer tak perlu mengkonfirmasi apapun. Karena dia tak pernah ingin membahasnya. Pacar, pasangan, atau hubungan spesial itu adalah hal yang belum bisa dia hadapi sekarang. Bahkan dengan Egar sekalipun. --- Tersenyum saat melihatnya ... “Pastikan saja semuanya sesuai dengan apa yang saya katakan tadi.” kata Egar. Orang di depannya hanya tersenyum dan memasukkan cek yang Egar jejalkan padanya. Untuk memuluskan rencananya, Egar tidak bisa bekerja sendiri, dia membutuhkan bantuan, dan orang ini adalah satu-satunya yang bisa membantunya. Laki-laki di hadapannya mengangguk undur diri lalu berbalik pergi. Egar diam saja melihatnya pergi. Jujur saja, Egar tak bisa memungkiri kalau memandangnya menjauh membuat dirinya gugup. Karena jika timing-nya meleset dari waktu yang dia minta, maka semuanya kacau. Tapi sayangnya mau tidak mau Egar harus mempercayainya. Dia mempertaruhkan segalanya di sini. Dan dia tidak ingin gagal. Urusan di sini selesai. Egar masukkan tangan kirinya ke saku celana dan berbalik pergi. Langkahnya terhenti saat melihat Fianer di tengah ballroom, berdiri bersama laki-laki yang tak asing lagi di matanya. Nolan. Melihat mereka berdua bicara membuat kepalanya berkedut tapi juga membuatnya tersenyum tipis. Rasanya dia belum kehilangan apapun. Rasanya waktu masih sama seperti 8 tahun lalu saat mereka bertemu diparkiran pertama kali, cemburu menatap wanita itu dan Nolan bicara dan marah saat keduanya bisa terlibat pembicaraan akrab sedangkan Egar hanya ingin wanita itu tersenyum padanya saja. Rasanya waktu hanya berhenti sejenak untuk mereka. Berhenti selama 5 tahun mereka terpisah, dan saat waktu berputar lagi, waktu mengembalikan semuanya seperti sedia kala. Sesuai tempatnya. Ini mungkin bukan masa-masa SMA mereka lagi. Tapi rasa ini masih sama. Cemburu itu masih sama sampai sekarang. Bedanya, dulu dia selalu marah jika melihat Fianer dan Nolan bersama. Tapi sekarang, dia sangat menyukai rasa cemburu ini. Ini lebih mudah dihadapi dari pada tidak merasakan apa-apa tanpa dirinya. Dan Egar rela merasakan ini lebih lama lagi hanya untuk melihatnya. Itu sama sekali tak sepadan. Lima tahun Egar seperti mati rasa. Tidak bisa merasakan apa-apa selain hampa. Dan merasakan cemburu ini membuatnya melihat kilasan dari masa lalu mereka yang luar biasa. Semuanya sama. Kejadiannya, pemainnya, bahkan perasaannya. Egar tahu Fianer masih merasakan hal yang sama. Dia yakin Fianer masih menginginkannya sebesar dia menginginkan wanita itu. Dan itu membuat Egar lega. Dia tidak kehilangan apapun. Dia masih memiliki hatinya. Egar yakin itu seratus persen. Tapi dia juga tahu, mereka akan tetap terpisah seberapapun dekat jarak mereka sekarang. Karena mereka sama-sama tahu, tembok itu masih menjulang tinggi. Dan Egar berjanji akan mendobraknya. Egar menatap Fianer yang kini menjauh dari Nolan dan Tiara. Dia menatap profil wajah wanita itu yang tersenyum dengan intens, lalu ikut tersenyum. I got you ... --- Adakah yang lebih sulit dari pada melihat orang yang kita sayangi menangis tersiksa? “Tes .. tes.” Egar mulai mencari tempat yang nyaman untuk menunggu. Dan dia memilih space di belakang yang agak tersembunyi untuk memastikan tak akan terlihat sampai saatnya nanti. Beruntung lampu di buat remang. Hanya panggung yang terlihat cukup cahaya. Sehingga dari sudut gelapnya, dia bisa leluasa melihat keadaan. Acara akan segera di mulai. Dan Egar tetap konsentrasi menatap panggung. “Ya, selamat malam hadirin sekalian. Saya mewakili keluarga Rofler mengucapkan rasa terima kasih setulus-tulusnya atas kehadirannya di acara malam hari ini. Tanpa memperpanjang kata, saya persilahkan pada Bapak Erfan Rofler untuk memberikan sambutan sekaligus untuk membuka acara pada malam hari ini. Pada Bapak Erfan kami persilakan.” kata pembawa acara. Jujur, Egar masih belum bisa membiasakan diri mendengar nama laki-laki itu disebut. Rasanya dia langsung bersikap defensif dan gugup, tak bisa tenang. Egar bisa melihat laki-laki itu naik ke atas panggung dengan gayanya yang masih berkharisma seperti diingatannya. Walaupun usianya sudah tidak muda lagi, tapi laki-laki itu masih terlihat sangat menarik. Egar cukup memahami bahasa tubuh dan mengerutkan dahi saat melihat laki-laki yang selalu tenang itu terlihat gugup. Laki-laki ini gugup? Egar tersenyum setengah. Penasaran dengan apa yang akan dikatakannya hingga dia segugup itu. “Selamat malam. Saya sangat menghargai Anda sekalian karena mau meluangkan waktu ke acara ini. Karena itu, sekali lagi saya ucapkan terima kasih.” Jeda sejenak sebelum Erfan melanjutkan. Egar agak sangsi melihatnya menghela nafas untuk menenangkan diri sebelum memulai kata-katanya lagi. Pemandangan langka pastinya melihat laki-laki ini bisa gugup sedangkan Egar yakin kemampuan bicara Erfan pasti sempurna. “Kehadiran kalian telah menyempurnakan acara ini dan sekaligus memberikan saya kesempatan bicara. Bukan kesempatan bicara tentang perusahaan, tentang karir, tapi saya di sini ingin bicara tentang istri saya … Fiandra.” Kerutan di dahi Egar makin banyak. Jujur Egar tidak kaget mendengarkan Egar membahas masalah istrinya karena ini memang ulang tahun pernikahan perak mereka. Tapi Egar kaget melihat laki-laki itu menatap istrinya hangat. Bahkan menatap Fianer pun laki-laki ini tidak sehangat ini. Erfan lalu melanjutkan lagi. “Kamu tahu Fi? Kamu adalah wanita tercantik yang pernah aku lihat.” Gemuruh suitan diseluruh ruangan membuat Egar kembali mengerut kaku. “Selang 15 menit setelah berkenalan, aku langsung memutuskan untuk melamarmu saat itu juga. Walaupun aku belum mengenalmu, hanya tahu namamu, tapi sekali melihatmu aku langsung tahu, ketertarikan pada pandangan pertama ini akan berlangsung selamanya. Dan sebagai pebisnis, instingku jarang sekali meleset.” Tawa dari penonton terdengar lagi. Egar ikut tersenyum sekilas. Dia tidak meragukan sama sekali insting Erfan. Hanya saja, laki-laki itu membuat Egar terkejut sendiri. Melamar seseorang yang baru ditemuinya 15 menit, itu adalah sebuah pertaruhan yang sangat besar, seberapapun handalnya dia bisa menilai kepribadian seseorang. Tapi laki-laki ini bahkan memutusannya pada detik pertama. Dia menggantungkan seluruh hidupnya pada instingnya. Laki-laki ini terlalu mempercayai dirinya sendiri. Erfan beruntung karena spekulasinya tepat. “Terbukti sampai detik ini kamu masih bertahan di sisiku. Karena aku tahu, 25 tahun bukanlah waktu yang singkat. Sepanjang perjalanan panjang kita, terlalu banyak kesalahanku yang selalu kau toleransi, sikap burukku yang selalu kau maklumi, dan kekecewaan yang selalu kamu telan sendiri. Hidup denganku berat bukan?” tanyanya langsung pada istrinya. Tak sadar Egar tersenyum muram. Kesalahanku yang selalu kau toleransi, sikap burukku yang selalu kau maklumi, dan kekecewaan yang selalu kau telan sendiri. Kini Egar tahu kesabaran Fianer datang dari mana. “Untuk itu semua, aku ingin minta maaf sedalam-dalamnya. Maaf karena aku belum bisa menjadi suami yang sempurna.” lirih Erfan. Egar terlalu sulit membayangkan Erfan lepas dari kata sempurna. Egar terlalu mempercayainya. Dan dia percaya apapun yang dilakukan laki-laki itu pasti selalu sempurna. “Aku juga ingin mengucapakan terima kasih. Terima kasih mau menjadi istriku dan juga ibu dari anak-anakku. Terima kasih karena membuatku memiliki keluarga sempurna. Memberiku ketiga anak yang luar biasa. Terimakasih karena sudah mendampingiku, bersabar untukku, dan tidak pernah meninggalkanku.” Suara itu dalam. Dan Egar tahu kalau dia tersentuh menyadari ada nada ketulusan dalam setiap kata-katanya. Egar menunduk sambil menghela nafas. Dia tahu perasaan itu. Terima kasih adalah kata paling halus untuk diucapkan ketika melihat orang di samping kita berjuang sampai jungkir balik untuk tetap ada di sisi kita. Walaupun akhirnya dia harus pergi, tapi Egar tahu ... dia pergi bukan karena lelah, bukan karena menyerah tapi karena kondisi yang membuatnya kalah lalu pasrah. Egar menoleh pada Fianer. Ada senyum tipis di bibir wanita itu. Senyum itu terlalu tipis hingga membuat Egar merindukan senyum lebarnya lagi dan lagi. Membuat keinginannya untuk memilikinya menguat. Bahkan animo itu lebih kuat dari sebelumnya. “Kau tahu, dulu kamu cantik sempurna. Sekarangpun, di mataku kamu masih tanpa cela. “ Egar kembali mengalihkan pandangan pada Erfan yang menghentikan kata-katanya tiba-tiba. Erfan menoleh pada penata panggung dan mengangguk padanya. Seketika, gulungan kain panjang yang membentang di seluruh dinding jatuh terurai membentuk spanduk besar yang terpampang dengan tulisan 25th Happy Anniversary  - Erfan & Fiandra. “25th happy Annyversary, sayang.” Tepuk tangan tamu undangan riuh terdengar. Wah .... Egar tersenyum melihat sosok Erfan yang berubah jadi seromantis ini. Dan lagi-lagi, dia kembali tersenyum mendengar nada lembut itu. Nada lembut yang benar-benar lembut. Dan Egar yakin laki-laki ini tak mudah berlaku seperti itu di depan orang lain. “Apa kamu ingat saat dulu menemaniku ke pesta ulang tahun pernikahan perak rekan bisnisku?” tanya Erfan. “Saat melihat mereka memotong kue tart kau hanya melihatnya kagum. Aku ingat setelah itu kamu berkata … ‘aku juga ingin seperti itu’.” kenang Erfan. “Dan saat itu aku jawab, ‘tenang saja, aku akan buatkan kamu pesta yang lebih besar dari ini nanti’. Saat itu kamu hanya terdiam lalu berkata. ‘Aku tidak ingin pesta. Tapi aku ingin kita seperti mereka. Kuharap, kita selalu bersama-sama sampai tua’.” katanya dengan senyum tipis. Sungguh, Egar tidak bisa berhenti tersenyum mendengar Erfan bicara. Dia bisa membayangkan cerita itu begitu nyata di kepalanya.  “Kamu tahu apa yang aku pikirkan saat itu?” Egar menoleh ke Fiandra dan senyuman Egar makin melebar melihat Fiandra berkaca-kaca sampai tak bisa berkata apa-apa. “Kamu terlalu pesimis dengan hubungan kita. Sedangkan aku yakin dengan dirimu. Bahwa kamu adalah satu-satunya wanita dalam hidupku. Kamu yang akan menemaniku dari awal hingga akhir perjalananku.” Kembali Egar tersenyum dari tempat gelapnya memandang laki-laki itu bicara. Memandangnya penuh penghormatan. Sedikit kisah ... tapi cukup membuatnya tahu cinta keduanya sangat luar biasa. Bukan karena cinta yang berlebihan dengan rayuan dan romantisme yang membuat ingin muntah. Tapi cinta yang sangat dewasa. Ini bahkan lebih nyata dari pada ungkapan cinta itu sendiri. Tiba-tiba saja, Erfan mengulurkan tangannya dari atas panggung pada Fiandra. “Maukah kau naik ke sini dan membiarkan semua orang di sini tahu cerita tentang kita?” Mendengar itu Egar melihat jam tangannya dan tersenyum. Masih banyak waktu yang dia punya. Entah kenapa dia sudah tak sabar untuk melakukan rencana. Tapi timing-nya memang belum tepat. Akhirnya Egar memutuskan untuk menikmati pemandangan di atas panggung. Pemandangan saat Fiandra naik ke atas panggung dengan anggunnya. Dia bisa melihat serasinya pasangan ini. Fiandra sangat cantik. Selama berjalan, bisa dilihat mata Fiandra hanya tertuju pada Erfan. Dan saat Erfan tersenyum padanya, Fiandra seperti tak sabar. Setengah berlari dan meloncat kepelukan Erfan. Egar sampai kaget melihatnya. Fiandra meninggalkan keanggunannya karena tak sabar ingin memeluk Erfan. Erfan hanya terkekeh pelan dan menangkap tubuh Fiandra yang tak menjejak tanah lagi. Bertumpu pada tubuhnya. “Sejak kapan kamu bicara sepanjang itu?” tanya Fiandra. Egar tertawa bersama tamu undangan lainnya. Ya, Egar juga tak menyangka kalau Erfan bisa bicara seperti itu dan mengumbar kemesraan di depan umum. Seperti bukan kepribadiannya. “Dari sekian banyak komentar hanya itu yang bisa kamu katakan?” Dan detik itu juga, Fiandra tertawa lepas sekali. Mendengar tawa lepas itu, Egar kembali menoleh ke Fianer. Egar ingin mendengar tawanya juga. Dia merindukan saat-saat itu, saat di mana dia bisa melihatnya tersenyum dan mendengarnya tertawa. Dia menginginkan masa lalu saat dia bisa membuat Fianer bahagia di sampingnya. Egar menghela nafas dan membenturkan kepala ke dinding pelan. Rasanya tersiksa bisa melihatnya tapi tidak bisa menyentuhnya. Setelah hubungan mereka selesai diapun merasakan rasa seperti ini sepanjang waktu. Lebih dari setahun melihatnya dari jauh dan tak bisa mendekat. Tak ada yang tahu bagaimana caranya dia mengontrol diri agar bisa menjaga sikap. Agar bisa menjaga jarak. Egar menghembuskan nafas dan menoleh lagi ke panggung. Fiandra mengambil microfon dan berusaha menghapus air matanya. “Maaf saya menangis. Tapi saya yakin anda pun akan menangis kecang saat suami anda tidak pernah bersikap romantis bisa melakukan semua ini bahkan mengatakan semua hal tadi di depan umum seperti ini.” Egar tersenyum tipis. Tawa terdengar dan itu membuat Erfan memalingkan muka karena malu. Erfan sudah berencana mau turun tapi Fiandra menahan tangannya. Memintanya untuk tetap menemaninya di atas sana. “Pertama kali saya diajak datang ke acara ini suami dan anak-anak saya mengatakan ada pesta peresmian cabang baru. Sebelum datang, saya sempat kecewa bahwa malam ini, kami tidak bisa merayakan ulang tahun perak kami walaupun hanya makan malam berdua. Saya sama sekali tidak menyangka bahwa ini bukan pesta pembukaan cabang. Baru tadi gulungan spanduk terbuka saya baru paham bahwa ini acara ulang tahun pernikahan perak kami. Saya terharu, karena suami saya mengingat tanggal ini saja saya sudah bahagia setengah mati. Jadi harap maklum saya menangis seperti tadi.” Egar tersenyum makin lebar mendengarnya. Dia tidak heran sama sekali. Karena seperti itulah Erfan dalam bayangannya. “Makasih.” bisik Fiandra tulus. Erfan hanya tersenyum tanpa mengatakan apapun. “Apakah Ibu Fiandra juga mau sharing juga kepada kami?” pembawa acara yang dari tadi di balik panggung kini bertanya dengan antusias. Diam sejenak. Tapi setelah itu Fiandra menjawab. “Okey.” Egar tahu awalnya Fiandra ragu. Tapi dia yakin seluruh orang di ruangan ingin tahu lebih banyak kisah mereka seperti juga Egar. Mendengarkan kisah mereka membuatnya lebih mengenal mereka. Semakin mengenal mereka dia semakin kagum. Mereka orang yang berkepribadian kuat dan berpendirian. Sebelum Egar menghadapi Fianer, dia harus menghadapi mereka dulu. Berat bukan? Fiandra terlihat merenung, lalu berkata, “Kisah kami sangat sederhana. Diawali dari pertemuan pertama kami yang juga sangat biasa. Tidak ada kejadian romantis atau apapun sebagai settingannya. Kami hanya saling bertatap muka, lalu tak lama – hanya selang lima belas menit - dia melamarku dan aku menerimanya. Dan setelah itu, kami saling percaya untuk hidup bersama. Sesederhana itu saja sebenarnya.” Fiandra mengatakannya dengan dinamika yang tepat. Hingga kalimat sederhana itu bisa terdengar sangat bagus sekali. “Tapi .... “ Fiandra menggigit bibirnya. “Rasa di dalamnya tidak pernah sederhana.” Senyum Fiandra tertarik malu. Membuat Egar ikut tersenyum juga. “Aku selalu mengingat setiap kenangan bahagia karena setiap kenangan tercetak dipikiranku begitu kuatnya. Walaupun suamiku bukan orang yang romantis. Tapi justru karena itulah aku selalu menghargai tiap hal kecil yang dia lakukan. Tiap tatapan lembutnya .... senyumnya .... sentuhannya .... perhatiannya. Karena tidak setiap hari dia mengumbarnya.” Egar menunduk dan tersenyum menatap lantai. Mereka sukses membuatnya teremas. Dia tahu bagaimana rasanya menikmati tiap hal kecil yang bagi orang terkesan biasa, tapi baginya itu adalah hal yang sangat berharga. Fiandra menghadap Erfan dan menatap matanya dalam-dalam. “Kamu ingat pertemuan awal kita yang berakhir di halte bis?” Erfan tersenyum. “Tentu.” Fiandra mendengus kesal. “Laki-laki macam apa yang membiarkan seorang wanita yang berniat dilamarnya naik taksi sendirian malam-malam?” tanya Fiandra dengan tatapan menerawang. “Dan apa yang aku pikirkan sampai aku menerimanya bahkan tanpa pikir panjang lagi?” tanyanya pada diri sendiri. “Aku tidak suka menyebutkan ini sebagai kegilaan. Aku lebih suka menyebutnya sebagai takdir. Tuhan mempunyai cara sendiri untuk mempertemukan umatnya. Dan begitulah cara Tuhan mengikat kami. Dengan cara yang tidak terduga dan tidak disangka-sangka. Karena walaupun awal ini terdengar gila dan tak masuk akal, tapi kegilaan itulah titik balik kehidupanku. Karena malam itu adalah malam yang paling aku syukuri pada hari ini. Malam di mana aku setuju untuk menjadi partner hidupnya. Sampai detik ini aku tidak pernah menyesal. Dan jika aku diberi kesempatan lagi untuk mengulang waktu, dan kembali pada saat dia melamarku dulu .... aku akan tetap memberikan jawaban yang sama. Menerimanya.” Tepuk tangan itu begitu riuh hingga Egar kembali tersenyum menatap mereka. Satu pondasi yang kuat ... hanya bermodal saling percaya untuk hidup bersama, mereka bisa berjalan sampai sejauh ini. Mata Egar terus menatap keduanya turun dari panggung dan duduk di kursi mereka dengan tatapan kagum. “Baik, oke siapa lagi yang ingin memberikan kesan dan pesannya? Anak-anaknya mungkin?” Egar tersenyum menyadari rencananya telah berjalan. Dia melihat jam tangannya dan mendengus gugup saat waktu terus mendekat. Egar pejamkan mata untuk menenangkan diri. Dan matanya kembali terbuka saat mendengar suara Fier. “Pertama-tama saya ingin mengucapkan selamat ulang tahun pernikahan perak untuk Ayah dan Bunda. Semoga pernikahan ini akan tetap langgeng sampai maut memisahkan. Saya tidak akan berlama-lama bicara disini. Hanya ingin berbagi.” kata Fier santai. “24 tahun saya tinggal bersama mereka, membuat saya tahu mereka adalah orangtua sempurna di mata saya. Tanpa mereka sadari, mereka adalah figur yang selalu saya hormati dalam hidup saya. Mereka memberikan segalanya pada kami bertiga. Materi yang berlimpah, fasilitas canggih, dukungan untuk membiarkan kami mengejar apa yang kami mau, bimbingan untuk memberitahu kami mana yang benar dan mana yang salah, kepercayaan untuk membiarkan kami memilih sendiri apa yang kami inginkan, waktu untuk sekedar bertemu dan berkeluh kesah, perhatian untuk menunjukkan bahwa mereka ada untuk kami, perlindungan bahwa apapun yang terjadi mereka akan selalu menjaga kami, kebebasan untuk menentukan hidup seperti apa yang kami inginkan, dan kesempatan untuk menunjukkan kemampuan kami untuk membuat mereka bangga. Untuk semua kasih sayang yang berlimpah, Ayah, Bunda ... terima kasih sudah menjadi orang tua kami. Itu saja.”  Tepuk tangan itu sangat keras sampai membuat Egar pengang. Tapi dia tersenyum muram. Beruntungnya Fier mempunyai orang tua yang sesempurna itu. Memikirkan itu membuat Egar gagal untuk tidak kembali mengingat masa lalu. Saat di mana dia dan kakaknya butuh perjuangan berat hanya karena menginginkan sesuatu. Sampai pada titik ini, dia tetap merasakan perihnya masa-masa itu. Walaupun mereka sudah membuka lembaran baru, tapi luka itu masih tetap ada di sana. Masih ada bekasnya. Pikirannya terhenti saat seseorang yang dia rindukan tiba-tiba naik ke atas panggung dengan anggunnya. “Woaaa, sekarang giliran Nona Fianer yang akan mengucapkan sepatah dua patah kata, silakan, silakan.” “Okey.” kata Fianer pasrah. Egar terkekeh pelan menyadari wajah terpaksanya itu. Dia yakin pasti ada yang menyuruhnya naik panggung walaupun Fianer tidak mau. “Nama saya Fianer. Mendengar nama saja semua akan tahu bahwa Fianer adalah singkatan dari nama orang tua saya. Awalnya saya merasa aneh dengan nama ini. Tapi saat tahu artinya, saya sangat menyukai nama saya.” katanya ringan. Egar tersenyum mendengarnya. “Saya anak kedua, anak perempuan satu-satunya tapi walaupun anak perempuan, saya adalah anak kesayangan ayah saya.” kata Fianer percaya diri. “Saya tidak bohong. Ayah selalu protektif pada saya. Pernah waktu kelas 1 SMA, pertama kalinya saya belajar menyetir mobil dan saya nekat meminta pada Ayah untuk membawa mobil ke sekolah. Padahal saya tidak bisa parkir.” Tawa berderai lagi. “Saat itu, Ayah tidak melarang saya untuk membawa mobil. Saya membawa mobil itu dan sepanjang perjalanan mobil Ayah saya mengikuti dari belakang.” Senyum Fianer terus mengembang saat dia mengingat kejadian itu. “Dan saat sampai di gerbang sekolah, Ayah turun dari mobilnya lalu menggantikan saya untuk memasukkan mobil ke parkiran. Baru setelah itu Ayah berangkat ke kantor.” Hm, Egar ingat gosip pertama yang dia dengar dulu saat pertama kali masuk SMA. Bahwa anak perempuan tercantik di sekolah mereka tidak bisa parkir sampai-sampai Ayahnya yang turun tangan. Gosip yang membuatnya langsung menge-judge Fianer anak manja. Dan dia langsung tidak menyukainya. “Saya sempat malu, tapi sampai di kelas teman-teman saya tidak ada yang mengejek saya walaupun banyak saksi mata yang melihat tindakan Ayah yang terlalu berlebihan. Mereka justru bilang, Ayah kamu baik banget.” Saat itu air mata Fianer menetes. Tapi senyumnya tersungging lebar. Dia menatap Ayahnya dan menatapnya dengan tatapan memuja. “Ayah selalu begitu …setiap kali saya meminta sesuatu, Ayah tidak pernah langsung mengatakan tidak jika tidak setuju. Ayah selalu berkata iya, dan jika Ayah cemas, Ayah akan selalu memback-up saya agar saya tetap baik-baik saja. Semakin hari semakin saya tahu, bahwa Ayah selalu mengabulkan permintaan saya. Memenuhi keinginan saya. Tidak pernah sekalipun Ayah menolak apa yang saya inginkan. Sampai suatu hari, saya pernah meminta sesuatu yang membuat Ayah kecewa.” Fianer menggigit bibirnya dan tangisnya makin teredam. Membuat Egar harus menunduk dalam-dalam dan memejamkan mata. “Ayah memang tidak mengatakan tidak, tapi saya bisa melihat sorot kecewa di matanya. Kalian tahu, saya sangat menyayangi Ayah dan rasanya sedih sekali melihat sorot kecewa itu di matanya. Dan itu karena saya. Sejak saat itu …saya berjanji pada diri saya sendiri, saya tidak akan meminta sesuatu yang membuat Ayah kecewa lagi. Ann sayang Ayah. Sampai kapanpun, Ayah adalah ayah terbaik di dunia. Dan itu tidak akan pernah berubah.” Hati Egar teremas mendengarnya bicara. Mata Egar menerawang menatapnya sedih. Setiap kali Fianer menyayangi seseorang ... dia tidak pernah memikirkan dirinya sendiri. Selalu saja begini. Bahkan saat dirinya sudah tak punya apa-apa untuk diberikan, dia tetap teruskan. Sampai dia hancur sendirian. Wanita itu masih malaikat yang dulu. Dia tidak pernah sadar seberapa cantik hatinya. Dia bahkan tak pernah sadar, bahwa terkadang dia terlalu banyak berkorban, dia akan terus berkorban hingga harus ada yang memaksanya berhenti. Karena jika menunggu dirinya berhenti sendiri, itu adalah hal yang sangat mustahil terjadi. Fianer tak tahu dirinya sekarang sudah seperti apa. Bahkan pertama kali melihatnya di parkiran Egar tahu kalau wanita anggun itu sudah hancur di dalam. Kini wanita itu sedang meredam tangisnya yang Egar yakin sebentar lagi akan keluar. “Dan Bunda ...” dengan suara bergetar, Fianer melanjutkan kata-katanya. Fianer menatap Fiandra yang menatapnya lembut. “Ann tahu Bunda sering memperhatikan kami dari jauh. Memperhatikan kami saat kami berhasil, saat kami menangis, saat kami bersedih, saat kami bahagia. Ann yakin, walaupun bunda tidak pernah bicara apa-apa, tapi bunda selalu tahu. Bunda selalu ada saat kami kebingungan harus berbuat apa, Bunda tahu saat kami merasa tidak kuat lagi menghadapi masalah kami ... hingga kami tahu, bunda selalu membiarkan kami menyelesaikan masalah kami sendiri, dan jika kami tidak mampu, bunda akan selalu ada untuk kami.” Air mata Fianer menetes. Dia menangis. Tangisnya pecah saat tepuk tangan dari tamu undangan terdengar. Hati Egar teremas mendengar getar samar dari tangisnya. Itu bentuk tangis tertahan. Dia menahannya sampai akhirnya air mata itu keluar juga. Dia berusaha menahannya, tapi dia tak sanggup menahan tangis itu lebih lama. Wanita itu kuat. Dia selalu menahan tangisnya kalau bisa. Dan jika dia sampai menangis, artinya dia sudah tidak bisa menahan kesedihannya lagi. Artinya dia tidak sanggup merasakannya. Egar tahu, kesedihan yang Fianer tanggung selama ini karena kebodohannya, kesalahannya dan karena keegoisannya. Sampai matipun Egar tidak akan sanggup membayar rasa sakit yang Fianer dirasakannya. Rasa sakit yang dia mulai saat Egar meninggalkannya di rumah sakit karena kecelakaan itu hingga sekarang, detik ini. Hampir tujuh tahun. Dan Egar tahu dia tidak sanggup melihat Fianer menangis dalam diam seperti itu lebih lama lagi dari ini. Dia tak suka Fianer menahan tangis. Dia ingin melihat Fianer tersenyum dan tertawa. Senyum yang dia punya sebelum dia terluka. Senyum malaikatnya. Egar ingin menatap Fianer dengan wajah seperti itu. --- Adakah yang lebih sulit dari pada memikirkan orang yang kita sayangi tidak bisa kita miliki? “Giliran lo!” sentak Fianer pada Rafan yang sedang meminum cola. Dia tahu Rafan akan menolak mentah-mentah, tapi Fianer langsung mendorongnya ke panggung. “Nggak, nggak. Nggak mau!” Benar saja, Rafan langsung protes keras. Untungnya pembawa acara melihat Rafan dan langsung tersenyum. “Ya, Mas Rafan, silakan naik.” Fianer mengatupkan bibirnya menahan senyum. Muka Rafan sudah membeku melihat tamu undangan yang sudah menoleh semua, akhirnya dia menyerah. Rasakan! Dengan misuh-misuh dia naik ke atas panggung. Fianer nyengir melihatnya. Melihat tingkah konyol Rafan membuat dia melupakan sejenak dengan apa yang dia katakan tadi. Air matanya memang sudah dia hapus habis. Tapi jauh di dalam hatinya, dia tahu luka itu terbuka lagi. Sekuat tenaga Fianer selalu melindungi lukanya jangan sampai terlihat. Tapi tadi dia justru membuka semuanya dengan suka rela. Dia buka isi hatinya, dia biarkan semua orang melihat lukanya. Fianer menghela nafas. Bodoh .... Dia selalu bersikap kuat, tak pernah menunjukkan air mata di depan orang lain. Sejak hubungannya dan Egar selesai enam tahun lalu, dia berusaha berdiri tegak walaupun sebenarnya ingin rebah. Dan sejauh ini walaupun aktingnya tak terlalu bagus, tapi dia masih merasa aman, masih ada sisi dunia yang melihatnya baik-baik saja. Dunia yang selalu membuatnya nyaman. Dunia terluar yang baru dia kenal. Orang-orang baru, orang-orang yang bukan keluarganya. Itu alasannya pindah ke apartemen. Fianer sudah merasa tak aman lagi tinggal bersama keluarganya. Mereka akan melihat lukanya setiap hari dan dia yakin mereka melihatnya sudah sangat lama. Fianer tak kuat melihat tatapan sedih mereka tiap hari, sedangkan di sini dia mati-matian memerankan peran bahwa dia baik-baik saja. Fianer tak sanggup bersama mereka, terus berpura-pura sedangkan dia tahu aktingnya gagal total. Mereka tahu sebaik dirinya. Mereka tahu lukanya sedalam apa. Dan mereka tak pernah membahasnya, karena Fianer menginginkan seperti itu. Mereka memang diam. Dan Fianer berterima kasih untuk itu. Dia berterima kasih karena membiarkannya sendiri. Membiarkannya menghadapi perasaaannya sendiri. Dan itu tak berubah hingga lima tahun ini ... Membuka diri di depan semua orang membuatnya tahu dia sudah bertindak bodoh. Kini, melihat Ayahpun dia tak berani. Fianer takut melihat tatapan apapun dari Erfan sebagai reaksi kata-katanya tadi. “Oke, tenang, saya di sini tidak akan membuat kalian menangis.” Rafan mulai bicara dan langsung disambut tawa oleh penonton. Fianer menoleh dan menatap Rafan dengan senyum tipis. “Jujur saja, saya baru mendengar cerita Ayah yang melamar Bunda 15 menit dari perkenalan pertama mereka. Ayah dan bunda tidak pernah menceritakannya. Dan kalian bisa lihat dia?” Rafan menunjuk Diya. Saat Fianer menoleh ke Diya, dia tahu muka Diya sudah tertekuk sebal karena Rafan membuatnya menjadi pusat perhatian sekarang. Saat Fianer menoleh ke Rafan lagi, dia yakin melihat cengiran itu. Sebagai tanda dia tak peduli dengan reaksi Diya nanti. “Namanya Rediya. Pacarku dari SMA. Kami bertemu waktu MOS. Dan aku menembaknya selang 20 menit setelah kami bertemu.” ceritanya. Fianer kaget mendengarnya, tapi hanya senyum tipis yang bisa dia berikan sebagai reaksinya. Tidak ada yang bisa menebak semua sikap Rafan. Dia bisa melakukan apapun yang di luar dugaan. Fianer sudah cukup dibuat terkejut 20 tahun terakhir ini dan mendengar informasi tadi dia langsung maklum. Kegilaan Rafan ini tidak ada apa-apanya di banding dengan apa yang biasa dia lakukan. “Bukan membela ayah, tapi aku mengalaminya sendiri. Saat kita melihat seseorang yang kita yakini kita inginkan, maka waktu 20 menit masih terlalu lama untuk menjadikannya milik kita. Percayalah.” Fianer mendengus saat mendengar tepuk tangan tamu undangan yang begitu berlebihannya. Lebih heboh dari pada saat Erfan, Fiandra, Fier atau dirinya yang bicara. Serasanya, tepuk tangan ini yang paling meriah. Padahal yang Rafan katakan pendek sekali. Tidak sepanjang mereka. Tapi entah kenapa, Fianer tidak bisa tidak tersenyum melihatnya. 22 tahun bersama Rafan dia tahu bisa dihitung dengan jari berapa kali mereka bisa akur. 22 tahun Fianer dan Rafan selalu bertengkar. Rafan selalu membuatnya marah, kesal, gemas bukan main, dan kadang-kadang Fianer ingin sekali membunuhnya. Rafan selalu membuatnya emosi setengah mati. Tapi dibalik sikap cueknya, dialah orang yang paling memahami Fianer bahkan lebih dari Erfan atau Fier bahkan Bunda. Tidak bisa dipercaya menyadari Rafan adalah orang pertama yang membuat Fianer berhenti menangis. Dia orang yang berjasa membuatnya bangkit. Walaupun caranya jauh dari kata pengertian, tapi Fianer tahu, saat Rafan berhenti mencekokinya dengan lagu kenangannya itu, beban yang ada di hati Fianer berkurang separuhnya. Sakit yang dia rasakan hampir bisa terlihat biasa, dan dia sanggup berdiri lagi bagaimanapun susahnya. Fianer tahu dia tak begitu suka dengan sifat Rafan ... tapi dia juga kesal karena tidak bisa memungkiri, bahkan dibandingkan dengan ayah atau abangnya, dia justru lebih menyayangi adiknya itu. Saat Fianer ketakutan tengah malam tak bisa tidur, yang dia cari selalu Rafan. Walaupun itu berarti dia harus mengendap-ngendap ke kamarnya dan tidur di sana diam-diam, lalu bangun sebelum anak itu bangun karena tahu Rafan pasti akan mengamuk. Selain itu, entah kenapa Fianer selalu tahu kalau Rafan juga menyayanginya dengan caranya sendiri. Cara dia menunjukkan perhatiannya sangat menyebalkan. Saat Fianer sedih, Rafan akan datang untuk membuatnya marah. Diam-diam, Fianer sadar bahwa Rafan berusaha memancing kemarahannya dan Rafan bersedia menjadi pelampiasan kemarahan Fianer agar Fianer lega. Rafan jugalah orang pertama yang akan maju jika Fianer terluka. Seperti saat dirinya terbaring di rumah sakit karena nyaris dibunuh Rudolf, Rafanlah orang pertama yang mencetuskan dendamnya. Orang pertama yang bertindak karena tidak terima. Ya, Rafan yang pertama. Fianer meneteskan air mata memikirkan itu. Terlebih saat melihat Diya. Diya sangat beruntung ada di sisi Rafan. Karena Rafan selalu berusaha menjaga siapapun yanga ada di dekatnya sekuat tenaga. Entah dapat keyakinan dari mana, tapi Fianer selalu tahu Diya pasti akan baik-baik saja. Rafan akan memastikan itu. Dia tidak akan pernah tinggal diam jika ada hal buruk menimpa orang yang dia sayang. Fianer tahu, Diya mungkin sering marah pada Rafan. Tapi Rafan tidak pernah membuatnya menangis. Fianer menggigit bibirnya dan menunduk. Dijaga seperti itu pasti membuat kita nyaman. Membuat kita merasa sangat berharga. Dia juga ingin diperlakukan seperti itu. Di jaga sedemikian rupa. Hingga lupa menangis itu apa. Luka itu seperti apa, dan merasa asing dengan kata sakit. Air mata Fianer hampir menetes lagi ... tapi dia cepat-cepat menggeleng palan. Fianer tidak boleh terbawa suasana lagi. Saat dia menoleh ke panggung, ternyata Rafan sudah turun di undakan. Dia melihatnya mengambil sapu tangan di saku jasnya dan menyerahkan ke Diya saat sudah duduk. “Siapa tahu mau nangis.” ejeknya. Fianer terkekeh. Rafan memang tidak pernah tidak menyebalkannya. Fianer tak heran saat Diya melotot lalu mencabut sapu tangan itu. Dia tahu Diya yang memang sedari tadi bahagia setengah mati mendengar kata-kata Rafan langsung mendengus sebal. Seperti biasa, kaum laki-laki di kelurganya tidak ada satupun yang bisa romantis. Bahkan mempertahankan suasana sweet saja mereka tidak bisa. Mereka akan selalu merusak semua keromantisan itu. Hilang sudah bayangan-bayangan indah yang pasangannya punya. Satu spesies dengan Egar. Mengingat nama itu membuat Fianer kembali sesak. Dia memejamkan mata menyadari perih yang diam-diam menyusup hingga perlahan menguasainya. Laki-laki itu bisa saja mendengarkannya tadi. Fianer menunduk. Dia tidak tahu apa yang akan Egar pikirkan setelah mendengarkannya. Saat memikirkan itu, mata Fianer perlahan menatap telapak tangan. Telapak tangan ini sempat digenggam Egar. Fianer tersenyum mengingatnya. Rasanya seperti mimpi bisa menggenggam tangannya lagi. Fianer pikir, setelah melepaskannya dia tak akan pernah punya kesempatan menggenggamnya lagi walaupun hanya sekali. Hanya sekilas, tapi sentuhan itu masih terasa sampai sekarang. Fianer menggenggam tangannya dengan tangannya yang lain. Fianer tersenyum mengingat laki-laki itu. Dia bukan lagi Egar yang memakai putih abu-abu yang labil. Dia sudah memakai jas dan terlihat dewasa dan matang. Fianer bisa merasakan ketenangannya lewat mata dan gerak-geriknya. Sangat terkontrol. Membuat perutnya mulas. Daya tariknya meningkat tajam. Dan Fianer hanya bisa menghela nafas mengingatnya. Lalu menatap tangannya lagi. Berapa banyak tangan wanita lain yang sudah dia genggam? Memikirkan itu air matanya jatuh lagi. Lalu tersenyum kecut. “Ayah dan anak ternyata punya cara yang sama ya. Oke, sekarang giliran siapa yang bicara? Tamu undangan ada yang mau mengatakan sesuatu?” suara pembawa acara terdengar lagi. Senyum Fianer yang mengembang berhenti di tengah-tengah lalu menoleh ke atas panggung. Matanya menyipit curiga. Jujur, ini melenceng dari acara yang sudah dia susun. Memang ada beberapa sambutan, tapi juga ada rentetan acara lain. Masih ada do’a, potong kue, dan acara lain yang daftarnya masih panjang. Tapi hampir satu jam lebih acara stuck di sambutan. Dan sepertinya sambutan ini belum selesai sampai di sini .... Fianer menatap pembawa acara itu tajam. Time-management-nya tidak jalan. Dalam waktu 2 jam acara harus mencakup secara keseluruhan sedangkan waktu makin menipis. Ini tidak bisa dibiarkan. --- “Silakan,” Pembawa acara menyerahkan mic pada Farhan yang langsung menerimanya. Dengan santai pembawa acara itu berjalan ke balik panggung. Handi, nama pembawa acara itu, duduk di tempat yang disediakan, tersembunyi dan tak terlihat. Dia mengambil ponselnya dan menghela nafas saat tak melihat satupun pesan di sana. Akhirnya dia memasukkan lagi ponselnya dan mengambil sebotol air mineral dan meneguknya. “Pak,” Handi hampir tersedak saat dipanggil. Dia menoleh dan menyadari bosnya berdiri di depannya dengan wajah kaku dan tangan terlipat di depan d**a. Fianer. Handi langsung berdiri kikuk. “Iya mbak?” Fianer mendengus melihat sikap Handi yang masih belum sadar kesalahannya. “Kenapa Bapak mengubah acara seenaknya? Harusnya bapak konfirmasi dulu pada saya kalau ada improvisasi, saya setuju atau tidak ada acara sambutan begini.” Handi menelan ludah. Dia mengernyit. Berpikir, memutar otak memberikan alasan yang tepat atas tindakannya. “Mbak ... saya sudah berpengalaman selama lebih dari sepuluh tahun membawakan acara seperti ini. Selama sepuluh tahun ini acaranya itu-itu saja. Bosan mbak. Saya ingin acara yang beda. Ya, maaf sebelumnya saya belum beri tahu mbak mengenai improvisasi saya. Tapi percaya deh mbak, acara begini pasti nggak akan terlupakan.” Fianer terdiam. Dia menimbang alasan itu dan mendengus. Dari balik sana, dia bisa mendengar Farhan membicarakan tentang pertemuan pertama kedua orang tuanya dan Fianer tahu, cerita flashback tentang perjalanan kisah kedua orang tuanya, adalah cara terbaik untuk mengenang 25 tahun perjalanan pernikahan mereka. Terutama jika diucapkan oleh saksi hidup dan di dengar oleh semua tamu undangan. Tak terlupakan, Fianer setuju untuk itu. “Oke, lalu acara yang lain ditiadakan, begitu?” tanya Fianer kritis. Handi mengernyit lagi. “Tidak, nanti tetap saja batasi sambutannya. Hanya 2 jam. Lalu setengah jam terakhir kita persingkat acara. Potong kue tetap ada, dan doa menyusul yang terakhir.” jelas Handi. Fianer terus berpikir dan mendengar derai tawa di luar sana. Dia akhirnya sepakat. “Ya sudah” putus Fianer akhirnya. Handi mengangguk senang. Setelah itu Fianer meninggalkan Handi sendirian. Handi bisa bernafas lega sambil mengelus d**a. Tapi setelah itu dia mengambil ponsel dan menelpon seseorang. “Pak .. tadi Mbak Fianer menegur saya tentang perubahan acara. Tapi tenang, saya sudah meyakinkan untuk tetap melanjutkan acaranya. Dia setuju.” lapornya. Hening di seberang. Tapi kemudian, suara itu terdengar juga. “Bagus, lanjutkan sesuai rencana.” Handi mengangguk. “Baik Pak.” --- Egar tersenyum saat melihat Fianer keluar dari balik panggung dan berjalan lagi ke kursinya. Nanti setelah rencananya sukses, dia pasti akan meminta maaf pada Fianer karena sudah menyabotase acara pernikahan perak orang tuanya. Walaupun jujur saja, Egar tidak menyesal telah menggunakan pembawa acara itu untuk kepentingannya. “Makin lama mengenal mereka berdua, saya mengambil kesimpulan bahwa bagi Erfan mungkin tidak mudah untuk mengatakan cinta, menunjukan keromantisannya, tapi dia sangat memuja istrinya hingga dimatanya istrinya adalah wanita tercantik. Saya yakin meski sampai nanti Fiandra keriput pun dia akan tetap mengatakan kalau Fiandra yang paling cantik.” Egar kembali menoleh ke atas panggung dan melihat seseorang wanita seumuran Fiandra. Reisa. Mendengar kata-katanya sekilas, Egar tak heran sama sekali. Erfan tahu apa yang dia inginkan, dia konsisten dengan itu. Egar yakin, walaupun ada wanita yang seribu kali lebih cantik dari Fiandra, Erfan tidak akan tertarik. Karena Egar paham, tak mudah menemukan seseorang yang tepat. Orang yang tepat itu tak harus paling segalanya. Tapi seperti puzzle, dia harus mengisi tiap sisi hingga ruang kosong itu berbentuk sempurna. Dan Egar percaya, setiap orang mempunyai orang yang tepat untuknya. Begitupula dirinya. Menatap Fianer sekarang, rasanya ruang kosong itu terisi utuh. Hanya wanita itu yang bisa mengisinya. Egar kembali tersenyum dan terdiam. “Kadang, saya ikut stres sendiri kalau mengurusi masalah mereka.” Samar-samar, Egar mendengarkan. Berganti lagi orang yang ada di atas panggung. Karena itu suara laki-laki. Saat menoleh, nafas Egar menjadi berat saat melihat siapa yang ada di atas panggung. Govin. Egar pernah bertemu dengannya sekali di penjara. Dia tahu laki-laki ini pengacara keluarga Fianer. Egar juga tahu, dia pengacara yang bisa diandalkan. Bahkan melebihi pengacara keluarganya sekalipun. Egar mengingat kejadian penggrebekannya dulu. Keluarganya sudah membayar mahal pengacara, tapi nyatanya, dia tak mampu menandingi kecepatan laki-laki ini untuk mengeluarkan kliennya dalam penjara. Itu artinya, Govin pengacara terbaik yang dia tahu. “Pernah Erfan berbenturan dengan hukum dan ditahan selama 2 hari. Dan kalian tahu apa yang terjadi? Erfan telpon saya menyuruh saya datang malam-malam. Saya pikir ada perkembangan baru atau apa. Tapi ternyata ... sampai sana, Fiandra pura-pura tidur di ruang besuk dan tidak mau pulang! Bayangkan, pengacara terkenal seperti saya yang biasa menangani kasus sulit, malam-malam ditelpon hanya untuk mengurus surat ijin menginap dipenjara!” Satu kernyitan di dahi Egar terasa. Dia menoleh pada Erfan dan Fiandra yang terlihat sangat elegan duduk di kursinya. Dan informasi yang tadi diceritakan Govin membuatnya ternganga tak percaya. Mereka bisa bersikap kekanak-kanakan begitu? Egar terkekeh. Dia tidak bisa membayangkangnya. Egar menghela nafas. Rasanya mendengar itu, kedua orang itu terlihat manusiawi. Membuatnya rileks sejenak. Karena Egar selalu melihat kedua orang tua Fianer adalah orang yang sempurna dan tanpa cela. Membuatnya terlalu keras berpikir bagaimana caranya menghadapi mereka. Hingga lelah rasanya mempersiapkan diri hingga bisa mengimbangi bagaimana sempurnanya mereka. Egar tersenyum pada lantai di bawahnya. Dadanya rasanya sesak. Bahkan memikirkan itupun dia belum yakin apa dia pantas menjadi bagian dari mereka. “.... Dan otomatis saya menjadi musuh mereka.” Pikirannya terhenti dan dia menatap ke arah panggung. Sekarang yang berbicara sudah berganti lagi. Seorang wanita yang selalu bersama Govin. Nina. Apa tadi dia bilang? Dia pernah menjadi musuh Erfan dan Fiandra? “Saya pikir, mengalahkan mereka adalah hal yang mudah. Memisahkan mereka lebih mudah lagi. Tapi ternyata saya salah total. Mungkin mengalahkan Erfan saja atau Fiandra saja lebih memungkinkan dari pada mengalahkan mereka berdua sekaligus. Karena jika Erfan dan Fiandra bekerja sama, kekuatan mereka sangat menakutkan. Percayalah, berani mengusik mereka maka bersiap-siap kehilangan segalanya.” Egar menghela nafas berat. Kehilangan segala-galanya. Dia tersenyum sinis. Ya, Egar pernah mengalaminya. Ayahnya bahkan paham benar apa artinya ‘Jangan berani mengusik mereka, atau kau kehilangan segalanya.’ Seorang Rudolf Hadiwijaya yang sangat ditakuti di kalangan jet set bahkan sampai kualahan mengahadapi Erfan. Dan Egar yakin seyakin-yakinnya keluarganya bisa kehilangan segalanya jika saja Erfan menyerang mereka sungguh-sungguh. “Erfan dan Fiandra adalah lawan yang tangguh. Sulit sekali dikalahkan. Tapi herannya, setelah memukul mundur musuh, membuatnya kalah, mereka lalu merangkul musuh-musuh mereka untuk dijadikan sahabat. Hingga sekarang, setengah dari teman-temannya adalah mantan musuhnya.” Itu khas Fianer. Sekarang Egar tahu, dari mana Fianer mendapatkan sifat baik hati itu. Memaafkan musuh yang membuatnya kehilangan 6 bulan hidupnya karena tak bisa bebas bergerak, membuatnya menahan sakit karena patah kaki. Fianer membuat segalanya mudah dan tak mempermasalahkan perbuatan Ayahnya yang hampir membunuhnya. Justru membuat Ayah menjadi sekutunya untuk menyadarkannya dulu. Terlalu murah hati. Egar pikir itu kasus langka yang hanya terjadi satu kali sepanjang sejarah manusia. Mendengar penuturan istri pengacara itu tadi, membuatnya tahu, ternyata itu bukan satu-satunya. Fiandra sudah lebih dulu melakukannya. Saat sadar dari lamunannya, tamu undangan sibuk bertepuk tangan sedangkan Egar melihat wanita itu turun dari panggung. Egar menghela nafas berkali-kali sambil menormalkan detak jantungnya yang mulai berdetak cepat. Dia melihat jam tangannya dan makin gugup melihat waktu makin mendekat. “Saya pacaran dengan Fiandra 5 tahun sejak kuliah.” Pikirannya teralihkan oleh suara di atas panggung. “Tapi waktu itu Fiandra menerima lamaran Erfan saat kami masih berstatus pacaran.” Egar kaget setengah mati. Seketika dia menoleh ke Fiandra dan dia bisa melihat wajah wanita itu sudah mengeruh dengan mata yang langsung menajam. Hingga membuat Egar mengulum senyum. Satu sisi gelap lagi dari mereka yang dia tahu. Dan rasanya dia senang sekali. “Saya sempat stres kenapa Fiandra bisa setega itu pada saya. Tapi setelah saya sedikit bermain-main dengan Erfan, saya baru tahu alasan dia meninggalkan saya adalah karena saya sudah tidur dengan sahabatnya, Afra.” Egar tidak bisa berpikir apapun mendengar itu. Rasanya dia hanya bisa mengangkat alis dengan pandangan aneh. Laki-laki itu gila atau apa? Membuka aib sendiri dengan bangga? “... seiring berjalannya waktu ... saya juga menemukan kebahagiaan saya. Sama seperti Fiandra. Saya juga merasakan hal yang jauh lebih membahagiakan. Sesuatu yang tidak dapat kita dapatkan dari pasangan lainnya. Dengan istri saya, saya merasa bahwa dialah tempat saya pulang.” Oke, Egar memang tidak tahu laki-laki di depan itu siapa. Mendengar pembukaan pidatonya dia sudah menduga laki-laki itu gila. Tapi kalimat terakhirnya jujur saja membuatnya tersentuh. Tempat pulang. Ya, cinta akan selalu tahu arah jalan pulang ... setersesat apapun kamu. “Okey, ada yang mau berkomentar lagi?” tanya pembawa acara. Egar tak sadar kalau laki-laki tadi sudah turun dan pembawa acara kembali mengambil alih panggung. Egar mendengus. Karena setelah sambutan itu, rencananya yang sebenarnya akan dimulai. Dia hanya harus memejamkan mata, bersandar di pilar dangan tangan terlipat di d**a. Mencoba mengumpulkan ketenangannya. Waktu terus berjalan lambat. Namun saat waktunya hampir dekat ... ketenangan itu seakan ingin berlari menjauh. Satu-satunya cara yang bisa dilakukannya hanyalah memaksa menahan ketenangan itu tetap di tempatnya. Karena dia sudah berjanji, tidak ada yang boleh mengacaukan rencananya ini. Bahkan dirinya sendiri.                             Dari awal, mereka mengalir mengikuti takdir. Seperti sungai, setelah aliran bercabang dua, mereka menjalani hidup sendiri-sendiri. Tetap mengalir, tetap bergerak, tetap mengikuti jalan hidup walaupun dataran kanan kiri tandus gersang dan tanpa tanda-tanda kehidupan. Satu masa mereka bertemu lagi. Berharap, aliran ini akan makin besar dan bersama-sama mengalir menuju tempat terakhir, samudera. “Aku coba boleh?” Tiba-tiba Lilian bertanya pada Fier. Fier yang sedari tadi tenang-tenang saja langsung panik. Fianer melihat mereka sambil tersenyum. Fier memang tidak pernah bisa tenang kalau Lilian melakukan sesuatu. Karena memang biasanya otak Lilian agak korslet. Tapi entah karena pertimbangan apa, Fier mengijinkannya. Lilian akhirnya naik ke atas panggung. “Malam. Nama saya Lilian pacar dari Fier.” katanya. Fier memperhatikan Lilian dengan tenang. Tapi dari mata Fier yang menyorot terlalu fokus membuat Fianer tahu Abangnya agak khawatir dengan apa yang akan di katakan Lilian. “Saya setuju dengan Dya. Melihat dari awal hubungan om dan tante itu unik. Walaupun tidak diperlihatkan di depan umum seberapa mesra mereka, tapi semua orang tahu, perasaan mereka sangat kuat satu sama lain. Membuat semua iri. Dan itu membuat saya tahu, berhubungan dengan korelasi biasa yang saling mengungkapkan cinta tiap detiknya memang membahagiakan. Tapi saat pasangan kita hanya nyaman dengan menunjukkan perasaan lewat tindakan tanpa diungkapkan itulah yang penuh tantangan. Kita ditantang seberapa lama kita bisa tetap bertahan mencintai pasangan itu. Tapi kalau harus memilih antara tukang rayu yang romantis tapi suka selingkuh dengan yang dingin tapi setia, aku lebih memilih yang kedua. Karena dengan orang itu, kita akan dijadikan satu-satunya. Dan saya akan sangat tersanjung kalau itu terjadi pada saya.” Fianer mendengus menahan tawa. Ingatannya kembali pada saat melihat hebohnya hubungan Lilian - Fier dan Ali dulu. Bagaimana konyolnya mereka bertiga. Fianer tak bisa berhenti tertawa mengingatnya. Ah sudahlah. Lupakan, lupakan. Fianer tersenyum menatap tiap pasang di depannya yang seperti sudah menemukan kebahagiaannya masing-masing. Iri? Tidak. Dia tidak iri. Hanya sesak. Fianer selalu berpikir bahwa dia dulu pernah tersenyum seperti itu dan sekarang tidak bisa lagi. Dulu dia pernah sebahagia itu dan sekarang tidak lagi. Dulu dia pernah bisa tenang ada seseorang yang memegang tangannya dan menjaganya, sekarang tidak lagi. Dulu dia pernah merasakannya, sekarang tidak lagi. Fianer sadar, hidup tidak akan berakhir walaupun kebahagiaan itu berakhir. Saat-saat tanpa laki-laki itu memang membuatnya sesak napas. Tapi saat dia bertemu lagi dengannya, itu bisa membuat dunianya yang benar-benar hampa terisi kembali oleh udara. Fianer disenggol Rafan. Saat dia menoleh, Rafan terlihat mengerutkan dahi. “Tumben, senyum-senyum sampe ketawa?” tanyanya. Mendengar pertanyaannya, senyum Fianer mengembang lagi. “Kenapa memangnya? Nggak boleh?” “Okey, karena sudah malam rasa-rasanya ini kesempatan terakhir. Siapa lagi yang mau bicara?” suara pembawa acara membuat percakapan mereka jeda sejenak. Lalu Rafan bertanya lagi. “Pasti ada apa-apa. Iya kan?” Rafan mulai curiga.  “Ya, mas yang dipojok.” Fianer menaik-naikkan alis sedikit mengejek pada Rafan lalu tersenyum. Kepalanya menoleh ke arah yang ditunjuk pembawa acara. Tapi saat melihat siapa yang ditunjuk itu, senyumnya langsung hilang. Jantungnya sudah hampir jatuh melihat Egar dengan tenangnya berjalan di antara meja tamu undangan dan naik ke panggung. Ada rasa gentar saat Egar menampakkan diri di depan keluarganya, terutama Ayahnya. Tapi yang bisa Fianer lakukan hanyalah menggigit bibir dan menatapnya dengan senyum tipis. Dia sudah berubah. Fianer bangga saat Egar menampakkan diri. Saat melihatnya maju dengan berani tanpa bersembunyi lagi. Egar, ada di depan sana. Menatap dunia dengan tenang. Saat Fianer menoleh pada Ayahnya, dia bisa melihat tangan Erfan terkepal di bawah meja. Membuat air matanya mengambang lagi. Kata orang, waktu bisa merubah keadaan, menyembuhkan luka, waktu juga bisa menyelesaikan segalanya. Tapi ternyata waktu 6 tahun tak merubah apapun. Waktu tidak bisa merubah perasaan Ayahnya pada Egar. Waktu masih membekukan hati Erfan dan kebencian itu masih ada di sana. Air matanya jatuh. Ada sesak di d**a yang membuatnya menggigit bibir getir. Dan waktu ... juga tak bisa membuatnya lupa apa yang dia inginkan. Fianer tidak bisa menutup mata saat melihat Egar berlari sejauh ini. Dia tahu sejak mereka berpisah Egar berusaha keras berubah. Sangat keras, sampai Fianer terus merinding menyadari perubahan drastis dalam diri laki-laki itu. Fianer tahu, tidak mudah bisa berdiri di depan sana. Tapi laki-laki itu tetap melakukannya. “Terima kasih atas kesempatannya. Nama saya Vegar Rama. Bukan siapa-siapa, hanya ingin berpartisipasi saja.” Fianer masih diam menatapnya, memperhatikan gerak geriknya. Dia tahu kalau di bawah meja tangannya gemetar. Tapi dia tak tahu apa lagi yang bisa dia lakukan selain menatapnya. Fianer tahu keluarganya sedang menatap dirinya, tapi dia pura-pura tak melihat. Fianer tetap fokus pada Egar. Karena jujur, dia was-was dengan apa yang akan dikatakan laki-laki itu. Fianer takut Egar memperkeruh suasana, memperumit keadaan, dan membuat keluarganya makin tidak menyukainya. Dan kalau itu terjadi, Fianer menghela nafas. Dia tahu, kebahagiaan kecil yang tadi sempat dia rasakan akan berakhir begitu saja.  “Saya sekarang adalah CEO dari PT Hadiwijaya Group. Salah satu kolega bisnis Pak Erfan.” Fianer mengernyit. Kolega? “Saya ingin menceritakan masa lalu yang bisa mengubah hidup saya jadi seperti sekarang ini. Kesuksesan saya ini tidak lepas dari seseorang dimasa lalu. Dulu, saat saya masih SMA, ada seorang anak perempuan yang sangat keras kepala. Dia sangat cantik. Setiap kali bicara, matanya berbinar. Saat dia tersenyum, bibirnya melengkung sempurna. Apalagi saat dia tertawa, kebahagiaan seperti menular pada siapapun yang melihatnya.” Fianer tersenyum miris. Dia bahkan lupa seperti apa dia dulu ... “Dia sangat suka tersenyum. Sampai-sampai rasanya tidak lengkap kalau sehari saja aku tidak bisa melihat senyum lebarnya. Sampai ketika, aku salah mengambil jalan dan terjerumus dalam n*****a. Sejak itu, aku tidak pernah melihat dia tersenyum lagi.” Senyum Fianer kembali. Rasanya mudah sekali tersenyum sekarang. Hmm ... ya. Ternyata aktingnya buruk sekali. Bahkan Egar yang melihatnya dari jauhpun bisa tahu kalau dia tak bisa tersenyum lagi. “Aku tahu aku bodoh. Aku membuat hal yang paling aku sukai hilang begitu saja. Aku bodoh, sudah membuat dia menangis tiap hari karena gagal menyeretku menjauh dari n*****a. Aku bodoh, karena aku tidak bisa menepati janjiku untuk tidak meninggalkannya. Karena aku selalu meninggalkannya. Aku selalu membuat dia kecewa.” Air mata Fianer jatuh. Mengingat 6 bulan masa-masa kelam mereka adalah hal yang sering dia lakukan sepanjang waktu. Saat dia paling sering menangis. Hingga Fianer bosan. Dia tahu seberapa banyak usahanya untuk tetap bertahan. Seberapa keras kepalanya dia untuk tetap berada di sampingnya padahal laki-laki itu terus menyuruhnya pergi. Tapi anehnya, bagian itu bukanlah hal yang paling berat. Karena bagian paling berat adalah masa kekosongan 5 tahun ini. Rasanya sesak sekali. Dia seperti tak bisa melakukan apapun dengan benar. Bahkan dia tak bisa bernafas dengan benar. “Karena aku pula untuk pertama kalinya dia mengecewakan Ayahnya. Aku menghancurkan kepercayaan yang selalu dia jaga. Dan karena itu, dia akhirnya meninggalkanku. Dia pergi, dan aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Tapi aku tahu, aku tidak mungkin mengejarnya, karena ada seseorang yang mengatakan bahwa aku tidak pantas di sisinya.” Punggung Fianer tegak. Dahinya mengernyit. Siapa yang dia maksud? “Enam tahun aku berusaha keras untuk berubah. Menjadi manusia yang lebih baik, dan menjadi lebih kuat. Agar aku pantas bersamanya. Om Erfan ... kalau boleh, saya ingin meminta ijin untuk melamar putri Om.” Mata Fianer merebar kaget. Melamar? Egar melamarnya? Hatinya seakan teremas tapi pada akhirnya dia terpejam bersamaan dengan satu air mata yang lolos begitu saja. Dia sudah terlalu pasrah menerima semua keadaan ini. Dia sudah menerima bahwa dia tak akan mungkin bahagia lagi. Dia sudah ikhlas bahwa dia melepaskan seseorang yang sangat dia sukai dan tak mungkin untuk dia dapatkan lagi. “Aku sangat menyukainya .... “ lirihnya lemah. Sangat menyukainya. Sangat-sangat suka sampai dia tak bisa melepaskan kenangan dalam otaknya. Dia selalu menginginkan laki-laki itu ada di sisinya. Seseorang meletakkan mic di meja. Tapi Fianer sudah tak berharap banyak. Melihat cara Egar datang dan langsung meminta seperti itu, Ayah tak akan mungkin merubah keputusannya. Fianer pasrah. --- Egar bisa melihat Fianer tertunduk lemah, menangis dan pasrah. Membuatnya tahu apa yang ada di pikiran wanita itu dan dia maklum. Tapi untuk kali ini, Egar ingin Fianer percaya padanya. Egar ingin Fianer percaya bahwa dia mampu membalik keadaan. Egar tahu, dia harus melaukan ini. Karena jika dia memintanya langsung pada Fianer, wanita itu pasti akan menolaknya. Fianer tidak akan bisa kembali padanya jika dinding ini terus berdiri. Dinding paling tebal yang ada di antara mereka. Yaitu, restu ayahnya. Maka dari itu, Egar membutuhkan ijin Erfan. Dia akan meminta Fianer langsung pada Ayahnya, walinya. Ini cara Egar memiliki Fianer lagi. Egar menatap Erfan. Tatapan laki-laki itu bergitu mengintimidasi tapi Egar tak peduli. Dia balas menatap Erfan dengan berani. Masih ada sorot ketidaksukaan di mata Erfan, mungkin juga kebencian karena Egar membuat putrinya terluka. Tapi, sebesar apapun ketidaksukaan dan kebencian itu, Egar berani jamin, Erfan tidak akan bisa menolaknya. Dia akan menerimanya. Karena Egar sangat mempercayai Erfan. Egar percaya rasa sayang Erfan pada putrinya sebesar apa. Egar percaya Erfan tidak akan pernah tega membiarkan putrinya hancur pelan-pelan. Egar percaya Erfan tahu walaupun ada banyak laki-laki yang lebih hebat darinya, tapi itu tidak akan pernah cukup membuat putrinya bahagia. Erfan menginginkan putri yang paling disayanginya bahagia dan rela melakukan apapun agar dia bahagia. Egar pun ingin Fianer bahagia dan akan melakukan apapun demi melihatnya tersenyum dan tertawa. Mereka berdua sama-sama menyayangi Fianer. Dan mereka mempunyai keinginan yang sama, yang sama besarnya. Mata Erfan masih menatap Egar. Masih menilainya. Dan Egar serasa kembali pada enam tahun lalu saat Erfan bicara padanya pertama kali, menilainya pertama kali. Dan Egar percaya pada penilaian Erfan, dia akan melihat bahwa Egar sudah berusaha sejauh ini. Egar sudah berubah menjadi lebih baik. Dia sudah bukan Egar yang dulu lagi. Dia bukan Egar yang lemah, mudah menyerah dan juga emosional. Egar percaya Erfan bisa melihatnya. Secara keseluruhan Egar berdiri di sini, segila ini, berspekulasi sebesar ini, karena dia mempercayai Erfan. Satu tangan Erfan mengambil mic yang disediakan di atas meja. Dan Egar sama sekali tak takut mendengar jawabannya. Karena dia yakin jawabannya apa. “Aku mengijinkannya. “ Senyumnya melebar. Egar tahu spekulasinya tepat. Kali ini, dia benar lagi. --- “Aku mengijinkannya.” Kata-kata itu meluncur tegas. Membuat seluruh bulu kuduk Fianer merinding. Dia mengangkat kepala dan menoleh. Fianer tahu matanya sudah berkaca seperti apa. Sebentar lagi dia tak sanggup menahan tangisnya lagi. Tapi melihat sorot pengertian di mata Erfan membuat air matanya jatuh. Seperti ada air yang mengguyur hatinya dan dia terus menangis karena sorot kecewa itu sudah tidak ada. Air matanya menderas, karena rasanya Fianer belum percaya dengan semua ini. Dengan seluruh tubuh gemetar, dia bangkit dan memeluk leher Erfan dari belakang. "Ayah yakin?" tanyanya lirih. Fianer ingin memastikan perasaan Ayahnya sebelum sanggup merasakan lebih dari rasa bahagia. “Kalau kamu yakin.” balas Ayah. Senyum Fianer makin lebar walaupun tangisnya sudah meluber. “Ann yakin yah.” bisik Fianer. Erfan mengangguk-angguk dan menepuk lengan putrinya. “Kalau begitu Ayah juga yakin.” Jantung Fianer seperti teremas. Air matanya semakin deras keluar. Fianer makin erat memeluk Ayahnya. Tak peduli jas mahal Erfan basah karena air matanya. Fianer tahu Ayahnya memang sangat baik, sangat sayang padanya. Dia percaya Ayahnya akan melakukan apapun agar dia bahagia. Apapun. Dan karena itu diapun rela melakukan apapun agar Ayahnya bahagia. Jika Erfan tak mengijinkannya, diapun tak akan menerima. Fianer berusaha menenangkan diri dan menegakkan punggung dengan tenang. Dia menoleh ke atas panggung. Laki-laki itu ada di sana. Menunggunya ... menjemputnya ... --- Egar sudah melangkah sejauh ini. Hanya untuk mendapatkannya kembali. Tak banyak yang bisa Egar tawarkan padanya. Dia tak bisa menjamin apa Fianer akan bahagia hidup dengannya. Atau dia jauh lebih menderita bersamanya. Yang Egar tahu, enam tahun ini dia tak bisa hidup tanpanya. Rasanya lelah sekali, berusaha tanpa henti. Egar tahu Fianer tak jauh berbeda dengannya. Mereka berjalan sendiri-sendiri. Bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Seolah mereka bisa melupakan satu sama lain dan hidup senormal seharusnya. Tapi dari awal Egar tidak berniat untuk menyerah pada hubungan mereka. Dia tidak bermaksud untuk melepaskannya untuk kedua kali. Kalau boleh dia meminta, dia hanya akan meminta hidupnya kembali. Egar ingin semua kembali seperti sedia kala. Egar ingin wanita itu ada di hidupnya lagi. Seberapapun susahnya jalan itu, Egar tidak peduli. Bahkan jika dia harus kehilangan tangan dan kaki dia tak peduli, asalkan hidupnya normal lagi. Jujur dia sudah tak ingin apa-apa. Hanya melihatnya tertawa ... hanya melihatnya bahagia. Hanya ingin melihatnya, di sampingnya, menjaganya, dia ingin seerat mungkin memeluknya. Dadanya selalu sesak selama enam tahun ini. Rasanya sesak sekali. Selalu bertanya-tanya, sedang apa wanita itu di sana? Apa dia sudah melupakannya? Apa Egar masih ada harganya di mata wanita itu? Apa dia terlambat? Egar khawatir tidak bisa di sampingnya walaupun sangat ingin. Egar takut dia sudah melupakannya, di sini Egar selalu mengingatnya. Bahkan saat tertidurpun selalu ada dia. Egar takut, bukan dirinya yang membuat wanita itu tersenyum lagi. Dia takut sudah terlambat dan wanita itu sudah tak menginginkan dirinya lagi. Untuk Egar, menatap wanita itu lagi seperti ini membuat hatinya hangat. Setidaknya, sesak itu terangkat. Egar tidak pernah tahu dia membutuhkan Fianer melebihi yang dia tahu. Kalau Fianer sudah tidak menyukai Egar lagi, tidak mengapa. Egar akan berusaha lebih keras. Dia akan terus mengejarnya. Karena Egar tahu, dia tidak bisa hidup seperti mayat hidup lebih lama lagi. Dia membutuhkannya ... dia ingin hidup dengannya. --- Yang Fianer rasakan adalah rasa bahagia. Fianer tak pernah berani meminta pada Tuhan untuk mengembalikan Egar padanya. Fianer selalu meminta agar dirinya bisa bertahan sedikit lagi. Sebentar lagi. Fianer tidak berani berharap kalau ada akhir bahagia untuk cerita mereka. Dia tak mau banyak berharap bahwa dia bisa benar-benar bahagia. Karena Fianer belajar, bahwa pada akhirnya yang harus dia lakukan adalah menerima. Menerima cerita lain yang Tuhan siapkan untuknya, menerima laki-laki lain yang Tuhan jodohkan untuk menemani hidupnya. Melihat Egar di sana, berdiri menatap dengan begitu lembutnya ... Fianer tak pernah memimpikannya. Seolah dia berani bermimpi saja. Jantungnya ... berdetak sangat-sangat cepat. Ada rasa yang menyembul pelan-pelan. Dan dia senang, ada kupu-kupu yang berterbangan di perutnya lagi. Fianer sudah tak pernah merasakan kupu-kupu itu lagi selama enam tahun ini. Merasakannya lagi, membuatnya sadar. Hatinya yang hilang, kini sudah kembali pulang. Fianer ingin berlari kepadanya dan meloncat kepelukannya. Tapi dia masih punya akal sehat yang tersisa untuk berjalan dengan mempertahankan keanggunan. Setiap langkah, membawa Fianer lebih dekat kepadanya. Semua desir halus tubuhnya kembali. Geleyar itu makin kuat seperti mereka adalah magnet dengan kutub yang berbeda. Fianer pernah merasakan hari terburuk dalam hidupnya. Hari di mana dia kehilangan laki-laki itu dan dia seperti sudah kehilangan segalanya. Hari di mana Fianer mulai berpura-pura baik-baik saja. Hari di mana dia selalu kelelahan padahal hanya berdiam diri tak melakukan apa-apa. Dia menatap Egar. Dan dia tidak tahu apa yang harus dia rasakan menyadari Egar juga sedang menatapnya dengan tatapan yang lurus. Hanya menatap Fianer saja. Jujur Fianer senang menyadari Egar masih menginginkannya. Dia lega ... bahwa dia masih berarti untuk laki-laki ini. Fianer pikir hanya dia yang terpuruk sendirian. Dia pikir, hanya dia yang merasa kehilangan. Fianer masih belum bisa percaya semua ini nyata. Hanya dalam waktu semalam, keadaan sudah berbalik tak terduga. Dia adalah laki-laki yang selalu Fianer rindukan selama ini. Dia, cinta pertamanya dan satu-satunya laki-laki yang Fianer inginkan. Mendekatinya merupakan perjuangan yang luar biasa. Berkali-kali jatuh dan mundur. Berkali-kali bangkit dan berjuang. Tapi pada akhir perjuangan, Fianer dibiarkan menerima kenyataan bahwa semua yang dia lakukan sia-sia. Lima tahun tak bisa melihatnya lagi, lima tahun dia berusaha untuk move on. Untuk melupakan dan untuk memulai lagi. Lima tahun itu pula dia belajar merelakan. Tapi dari sekian waktu dan usaha yang tak kunjung habis, satu-satunya kesimpulan yang dia dapat hanyalah dia masih tetap merindukan laki-laki ini. Perlahan diiringi tepuk tangan dari tamu undangan, untuk kesekian kalinya Fianer menghela nafas lalu mulai melangkah. Langkahnya rasanya ringan. Seperti beban yang dia bawa berton-ton selama ini terlepas dari bahunya. Meskipun begitu, air matanya masih setia jatuh setiap kali satu langkah dia tempuh.  Akan dia hadapi laki-laki itu sendirian. Karena Ayahnya sudah memberikan ijin, artinya keputusan ini sepenuhnya ada ditangan Fianer. Langkahnya terhenti tepat dihadapan Egar. Dia menatap mata Egar dengan intens. Fianer bisa melihat mata hitam pekat itu lagi dan hidungnya kembali memanas. Rasa sesak tiba-tiba datang. Setiap detik yang dia inginkan adalah memeluknya. Tapi kini, yang bisa dia lakukan hanyalah menatapnya. Tatapan Egar lurus, tanpa senyum. Tatapan itu yang selalu ada diingatannya, dan melihatnya lagi membuatnya makin sesak hingga nyaris meledak. Apa yang laki-laki ini lakukan selama ini hingga bisa berubah begini? Walaupun laki-laki yang ada di hadapannya 100% Egar, tapi setiap gerakannya tak ubah manusia baru yang tak bisa Fianer kenali. Begitupun, manusia baru ini mampu membuatnya jatuh cinta lagi. Dia sudah menjadi laki-laki yang berbeda. Laki-laki ini makin tinggi dan wajahnya makin terlihat tampan dengan jejak wajah anak-anaknya yang menghilang tak tersisa. Meskipun begitu, mata tajam itu masih sama. Keseluruhan wajah itu masih sama. “Merindukanku?” tanya Egar sesinis biasanya. Fianer mendengus mendengar betapa percaya dirinya Egar sekarang. Tapi harus dia akui kalau kata-katanya memang benar. Fianer memang merindukannya. Teramat sangat rindu hingga dia mengangguk tanpa ragu. Wajah Egar yang sangat percaya diri itu berubah beku. Mungkin dia kaget, Fianer berani mengakui rasa rindunya di depan ratusan pasang mata. Walaupun Fianer tahu tadi Egar hanya bercanda. Fianer masih menatapnya. Menatap setiap perubahan raut wajah Egar yang masih familiar. Wajah kaget itu selalu ada setiap kali laki-laki itu terkejut mendengar ucapannya yang blak-blakan. Namun tak lama, air muka Egar berubah. Dia berusaha mengontrol dirinya hingga ketenangannya kembali lagi. Membuat Fianer tersenyum tipis. “Ayahmu sudah merestui kita. Sekarang keputusan ada ditanganmu.” kata Egar. Dia merogoh saku jasnya lalu mengambil kotak beludru dari dalam sana. Egar membukanya dan mnunjukkan isinya pada Fianer. Sebuah cincin dengan satu mata berlian indah sekali. Fianer memejamkan mata dengan hati yang teremas. Dia sudah cukup bahagia melihatnya ada. Dan dia teramat bahagia, Egar meminta Ayahnya mengijinkan mereka bersama. Tapi Fianer tak tahu, apa yang dia rasakan sekarang. Rasanya air mata terus menjebol lapisan tipis matanya hingga tak hentinya mengalir. Mimpi ini terlalu berlebihan untuk jadi nyata. Mimpi ini membuatnya ketakutan bahwa semuanya akan tetap menjadi mimpi. Membuatnya melambung terlalu tinggi, lalu menjatuhkannya lagi hingga mati. Menatap cincin berlian indah itu, Fianer bahkan tak tahu harus berpikir apa. Dia masih dalam batas antara sadar dan tidak hingga sulit mencerna segala sesuatunya sekaligus. “Apa kamu mau menikah denganku?” tanya Egar. Fianer mendengar nada tak sabar itu. Khas Egar. Saat itulah Fianer tak bisa berhenti menangis. Nada tak sabar itu membuatnya sadar bahwa didepannya memanglah Egar. Nada tak sabar yang sangat Fianer kenal. Yang juga sangat dia rindukan. Rasanya dadanya sangat sesak. Rasanya dia tidak bisa bernafas. Rasanya dia tak mampu terlalu bahagia. Fianer ingin tertawa saking gilanya. Tapi yang bisa dia lakukan hanyalah menangis. Dia benar-benar bisa gila dengan terus berdiri kaku di sini. Kemudian Fianer menggeleng untuk menjawab pertanyaan Egar. Dia terus menggeleng dan berusaha memegang kendali diri walaupun sulit untuk sekarang ini. Seketika, kontrol wajah Egar terlepas begitu saja. Dia menghela nafas kasar. Ketenangan yang selalu menyertainya mengeruh dan sekarang berubah gusar. “Ann ... lima tahun aku berusaha berubah. Agar setelah itu aku pantas berdiri di depanmu dan melamarmu di depan orang tuamu. Selama itu pula .... “ Fianer tahu dia jahat, tapi dia suka melihat kepercayadirian Egar runtuh dan ketidaksabarannya yang dulu kembali. Rasanya itu lebih familiar, dan itu membuatnya makin bahagia. “Aku tidak mau menikah denganmu ... kecuali kau mau menungguku hingga aku sudah menjadi dokter.” potong Fianer akhirnya. Egar tertegun. Kegusarannya terhenti dan dia menatap Fianer seolah-olah dia menuntut penjelasan lebih lanjut. Dengan lelah Egar bertanya.  “Jadi ...?” Masih ada sesak dalam hati Fianer saat menatap wajah lelah itu. Hidungnya kembali memanas dan air matanya jatuh. “Iya aku mau.” jawabnya serak. Dia mau sekali. “Tapi aku mau nikahnya nanti setelah aku sudah jadi dokter. Aku belum tahu kapan, nggak papa kan nunggu aku sekitar ...” Belum juga Fianer selesai bicara, Egar menutup tempat cicin beludru itu keras. Belum juga sempat bereaksi tangannya ditarik hingga tubuh Fianer terhuyung dan mendarat di pelukan Egar. Fianer tertegun saat dua lengan kokoh mendekapnya begitu erat. Aroma tubuh laki-laki ini menguar jelas dan membuat hidung Fianer memanas dan matanya merebak lagi. Aroma laki-laki ini masih sama seperti pertama kali dia menghirupnya. Dan rasanya Fianer ingin menghirup dalam-dalam aroma ini hingga bosan. Air matanya keluar lagi. Pelukan Egar begitu kuatnya hingga tubuh Fianer benar-benar merasakan keberadaannya. Merasakan kerinduannya. Pelan, tangan yang masih terkulai lemas di sisi tubuh Fianer bergerak menyentuh punggung laki-laki itu. Fianer ingin sekali memeluknya. Rasanya dia ingin memberikan apapun agar dia bisa memeluknya seperti ini. Sebuah usapan di belakang kepala membuat d**a Fianer sesak hingga terisak. Pelukan ini memberikannya rasa aman. Membuatnya tahu dia tak perlu takut lagi menjalani hari. Membuat hatinya menghangat. Rasanya enam tahun ini dia lelah sekali. Dia seperti sudah berlari tanpa berhenti. Dan Fianer ingin istirahat sekarang. Dia ingin istirahat di sini. Dipelukan laki-laki ini. “Aku sudah nunggu 6 tahun. Nggak masalah kalau aku nunggu lebih lama lagi.” Fianer tersenyum lebar. Tapi setelah itu Egar melepaskan pelukannya, membuatnya merasa kehilangan. Fianer belum puas memeluknya. Dia ingin dipeluk lagi. Tapi perhatiannya teralih saat mata Egar menunduk dan Fianer bisa melihat Egar membuka kotak cincin itu lagi. Dia mengambil satu-satunya cincin di dalam sana. Ada rasa yang membuncah saat kemudian Egar menyeringai kearahnya membuat perut Fianer mulas. Dia mengambil tangan Fianer lalu disematkannya cincin berlian bermata satu itu ke jari manis tangan kirinya. Dan mereka resmi bertunangan. --- Rasanya Egar bisa meremukkan tubuh ramping itu di dekapannya karena dia begitu merindukannya. Egar tak tahu kalau dia begitu takut tak diinginkan Fianer. Dia begitu takut Fianer menolaknya saat ini. Persetan dengan mereka sedang di depan umum sekarang. Yang dia inginkan sekarang hanyalah memeluknya sekencang yang dia bisa, dekat dengannya, merengkuhnya. Dan dia tahu, saat Fianer sudah berada di dekapannya, Egar bahkan tak rela melepaskannya lagi. Hanya memeluknya, dan segala lelahnya hilang tak berbekas. Hanya memeluknya, dan dia merasakan keberadaan wanita ini, dan itu membuatnya bahagia. Egar tahu Fianer terisak lirih. Egar tersenyum dan mengusap belakang kepalanya penuh sayang. “Aku sudah nunggu 5 tahun. Nggak masalah kalau aku nunggu lebih lama lagi.” Egar memeluk Fianer lebih kencang lagi. Nyaris mencium puncak kepalanya ketika tiba-tiba dia melirik Erfan yang wajahnya berubah kaku. Egar tersenyum kecut, dia tak mau merusak awal yang bagus ini. Menjaga perasaan Erfan untuk tetap positif padanya sangatlah penting agar pintu masuk penerimaan itu terbuka makin lebar. Maka dengan berat hati Egar lepaskan juga tubuh Fianer. Walaupun jujur saja memeluknya seharianpun, masih belum membuat kerinduannya hilang. Tapi dia harus menjaga sikap. Dengan mengambil alih ketenangannya lagi, Egar membuka kotak beludru itu. Tersenyum melihat cincin yang sengaja dia pilih beberapa hari yang lalu. Cincin ini yang akan mengikat mereka. Walaupun sebenarnya ini hanya simbol, dan tak punya arti lebih. Karena tanpa cincin ini pun hubungan yang akan mereka jalani akan sama kuatnya. Tapi Egar akan pastikan, saat dia menyematkan cincin ini di jari manisnya, wanita ini akan menjadi miliknya selamanya.                  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN