Part 5- Rasa

6633 Kata
Hanya dia yang tahu, cara membuatku bahagia. “Kau ingin kita pergi dari sini?” tanya Egar. Dia tak ingin menghadapi mereka saat ini. Dia lebih tertarik untuk bersamanya. Menghabiskan waktu berdua, sekedar berbicara. Fianer memutuskan menyetujui tawaran Egar untuk pergi. Karena diapun tak yakin bisa menghadapi orang-orang di bawah sana. Bahkan sekedar ucapan terima kasih saat mereka memberikan selamat. Tak sopan pergi. Tapi mereka membutuhkan waktu untuk sendiri. Setelah segala hal mengejutkan ini, setelah hal tak terduga yang Egar lakukan, Fianer ingin kejelasan. Keluarganya hanya diam saat Fianer pamit. Mereka tak mengatakan apa-apa. Yang Fianer lakukan hanyalah memeluk Ayahnya erat. Kata-kata tak akan cukup sebagai ungkapan terima kasih atas keputusan Ayahnya yang begitu murah hati ini. Fianer tahu Ayahnya masih belum seratus persen setuju. Tapi dia juga percaya, seiring berjalannya waktu perasaan itu akan berubah. Dia percaya, akan ada saat di mana Ayahnya menerima Egar sepenuh hati. Saat di mana Ayahnya tersenyum melihatnya bersama laki-laki ini. Dan saat itu dia yakin tak lama lagi. Pasti. --- “Dia senyum tak habis-habis.” kata Kahfi.   “Tentu saja, aku bahkan heran Kak Ann tak pingsan karena kegirangan.” sinis Rafan. Erfan tak berkomentar apa-apa. Dia hanya terdiam, meminum minumannya dan mengingat putrinya yang tadi tersenyum begitu lebarnya. Entah berapa tahun dia berusaha mengembalikan senyum itu tapi dia tak pernah bisa. Dan hanya dengan kedatangan Egar, senyum Fianer kembali seperti saat dia belum pernah merasa kehilangan. Aneh sekali rasanya, hampir seumur hidup dia menemani putrinya, tapi pada akhirnya, orang asinglah yang bisa membuat Fianer bahagia. “Sekarang kita bisa berhenti mencemaskannya.” bisik Fiandra. Erfan tertegun dan menoleh, menatap wajah istrinya yang menyorot lembut. Mata Fiandra berbinar menatap suaminya lalu berpaling menatap kepergian Fianer dan Egar dengan senyum yang mengembang haru. Erfan mnegikuti pandangan Fiandra. Menatap punggung Egar dan Fianer yang menjauh membuat hatinya mengambang. Seumur hidup, dia tak pernah seragu ini. Tapi dia juga tahu, keraguan adalah hal yang paling tidak diperlukan saat ini. Putrinya bahagia, dan semua akan baik-baik saja. Hanya itu yang terpenting. --- “Kita mau kemana?” tanya Fianer. “Ke manapun.” jawab Egar. Egar melajukan mobilnya. Pandangannya lurus ke depan. Saat mobil melewati mobilnya yang ringsek parah, Fianer hanya terdiam melihatnya. Egar bilang dia yang akan mengurusnya. Dan Fianer tak mengatakan apapun lagi. Mobil Egar meluncur di jalanan ibu kota. Sejak sepuluh menit mereka masuk mobil, tak ada satupun yang buka suara. Satu tangan Egar memegang setir sedangkan tangan lainnya bertumpu pada tepi jendela. Sedangkan Fianer memilih untuk menatap ke luar jendela. Tak yakin menatap apa. Senyap itu memakan waktu, melambatkannya hingga mendinginkan suasana. Satu waktu mereka terdiam dan membiarkan keadaan begitu adanya. Satu waktu mereka berpikir, mencari kata, namun semakin lama mereka berpikir, kata itu tertelan begitu saja. Canggung. Satu membuang muka ke jendela, sedangkan satu lainnya menatapnya. Begitupun sebaliknya. Namun saat ada satu waktu mereka sama-sama menoleh dan berpandangan. Hanya jantung yang memacu cepat. Tapi otak melambat. Hanya menatap. Sesaat, Egar mengerjap menyadari betapa canggungnya mereka. Dia menoleh ke depan karena dia tak ingin kehilangan fokus di jalan. “Kalau tidak keberatan, kita ke apartemenku saja.” kata Fianer akhirnya. Entah kenapa Fianer punya firasat dia akan banyak menangis. Dia membutuhkan tempat tersembunyi yang membuatnya aman untuk menangis nanti. “Apartemen?” tanya Egar. Fianer menoleh karena suara Egar sangat aneh. Terlalu terkejut. “Ya. Sekarang aku tinggal di apartemen.” katanya. “Sejak kapan?” Walaupun Egar masih menatap ke depan, tapi senyum Fianer menyungging tipis. “Sejak aku masuk kuliah.” Egar tak berkomentar lebih lanjut. Hanya mengangguk kaku. Fianer bisa merasakan bahwa Egar menahan diri untuk tidak berkomentar. Dia tetap diam hingga mobilnya terparkir mulus di tempat parkir apartemen Fianer. Egar membuka pintu dan menghampiri Fianer yang sudah keluar dari mobil. Mereka bertemu tepat di depan mobil Egar. Egar menekan remote hingga mobil terkunci otomatis. Setelah itu mereka berjalan bersisian. Di samping Egar, Fianer berjalan dengan tenangnya. Walaupun dia tak yakin berhasil karena keberadaan Egar di sampingnya membuatnya gugup. Di samping Fianer, Egar berjalan dengan tenangnya. Memperhatikan tiap detail lobi dan juga memeriksa tingkat keamanan apartemen ini. Egar yang menekan tombol saat keduanya sampai di depan lift. Tak lama pintu terbuka dan keduanya masuk. “Lantai berapa?” tanya Egar. “Lima.” jawab Fianer otomatis. Egar tertegun sesaat. Kepalanya menoleh dan dia menemukan iris cokelat teramat muda itu menatapnya dengan alis terangkat. Egar tak mengatakan apapun. Tangan Egar menekan tombol lima. Dia mundur lalu bersandar di dinding lift sementara lift membawa mereka ke atas. “Boleh aku tahu kenapa pindah ke sini?” Egar memasukkan tangan ke saku celana. Matanya menatap Fianer tenang. “Lebih dekat dari rumah sakit.” jawab Fianer. Setelah itu Egar tak bertanya lagi. Keheningan itu kembali, hingga Egar memutuskan menyandarkan kepalanya ke dinding lift dengan mata tertutup. Dari dinding lift, pantulan bayangan Egar terlihat jelas oleh Fianer. Bersandar dan terpejam seakan beristirahat sejenak dari lelah. Fianer membiarkan Egar beristirahat dengan sedih. Tanpa sadar dia diam tak bergerak, takut gerakan sekecil apapun bisa membangunkan laki-laki itu. Namun usahanya terhenti saat pintu lift terbuka. Bunyi lift yang berdenting membuka mata Egar juga. Laki-laki itu menegakkan punggung. “Ayo,” kata Egar. Sekilas dia menatap Fianer. Namun tatapannya menjadi intens saat menyadari sesuatu. Dia tertegun menyadari mata itu berkaca. Ada air mata yang tertahan di sana. Egar memutuskan untuk melangkah, mengurangi jarak antara mereka. Hanya tersisa sedikit jarak saat Egar berhenti di hadapan Fianer. Menatap mata itu lebih lekat. Ada rona di pipi Fianer. Dengan perlahan, jemarinya mengusap rona itu. Egar terkekeh seketika. Dia senang Fianer punya malu. “Jangan buat aku menciummu di sini.” pelan Egar. Seketika, tatapan sedih Fianer lenyap. Matanya melebar. Tangannya memukul lengan Egar hingga laki-laki itu mengaduh. “Memang apa yang aku lakukan?” tanyanya sebal. Dia keluar lift dengan langkah cepat dan muka yang lebih merona. Egar kembali terkekeh. Dia tak mengejar. Yang dia lakukan hanya mengikuti Fianer dari belakang dengan tenang. Ada rasa lega dihatinya membuat Fianer bisa berekspresi lagi. Membuat paling tidak sesak dihatinya terangkat perlahan merasakan interaksi mereka menghangat. Tidak secanggung tadi. Dari belakang, Egar bisa melihat keseluruhan tubuh Fianer dengan sangat jelas. Kakinya sangat jenjang. Menyangga keseluruhan tubuh pemiliknya dengan anggun. Dan tubuh itu juga sudah berlekuk. Setiap komposisi sangat proporsional. Fianer sudah tumbuh sebagai seorang wanita seutuhnya sekarang. Egar mendengus. Dia tak bohong saat melihat mata berkaca itu, dia ingin mencium Fianer tadi. Tapi dia masih tahu tempat. Dan kini, melihat wanita itu berjalan, justru insting primitifnya sebagai laki-laki yang bekerja. Entah kenapa, dia ingin sekali memeluk pinggang ramping itu. Egar mengawasi setiap langkah Fianer dengan mata yang menyorot lurus. Keinginan itu makin menguat. Langkah demi langkah dia berpikir namun keraguan menahannya. Fianer berhenti di depan satu pintu apartemen. Menggeledah clutch-nya. Memberikan Egar satu kesempatan mendapatkan keinginannya untuk memeluk pinggang wanita itu. Seharusnya. Namun Egar memilih untuk tak bergerak sama sekali. Dia menelan ludah. Karena firasatnya mengatakan bahwa keinginannya tak hanya sampai di situ. Keinginan-keinginan lain dapat lepas. Dan itu sangat berbahaya. Saat Fianer sudah menemukan kartu masuk dan menggeseknya. Egar menatap angka password yang Fianer tekan. 0102. Egar kembali menelan ludah. Itu tanggal dia lahir. Nafasnya terus terhela karena sesaknya d**a. Dan saat matanya naik menatap nomor kamar, dia tak bisa lebih sesak lagi. “59.” kata Egar pelan. Gerakan tangan Fianer membuka pintu terhenti. Jantungnya sudah berdetak cepat saat dia memutuskan untuk berbalik, menatap laki-laki ini. “Kamu tidak berharap aku melupakanmu secepat itu kan?” tanyanya. Kata-kata itu mengguyur hati Egar. Menciptakan kelegaan yang membuat hatinya tenang. Betapa berartinya mendengar satu kalimat tadi. Karena Fianer-nya telah kembali. Fianer yang begitu blak-blakan. Yang tanpa ragu mengutarakan isi kepalanya. Mendengar itu, Egar memasang seringai. “Tidak. Mana mungkin kamu melupakanku?” Fianer menekuk wajah mendengar kepercayadirian Egar. Terlebih setelah Egar menambahkan. “Waktu kita bertemu di parkiran, aku pikir kamu akan menangis meraung-raung.” Mata Fianer menyipit kesal. “Kalau kamu tidak berhenti menggodaku, lebih baik pulang sana!” Ancaman itu justru membuat Egar makin menyeringai. “Yakin?” tanyanya. “Ya.” jawab Fianer cepat. Egar mengangguk-angguk. “Oke, aku tidak akan bertanya dua kali.” katanya. Kali ini, Fianer menatap Egar dengan terkejut. Geli, lalu mendengus. Kalimat itu adalah kalimat khas Egar. Ancaman yang selalu sanggup membuat dirinya mati kutu lalu menyerah. Tidak akan minta dua kali. Ck! “Sudah tua kelakuan tidak berubah.”dengusnya. Egar tak mempedulikan komentar Fianer. Dia menaikkan alis tinggi. “Jadi?” Fianer mendengus lagi. Dia berbalik dan masuk sambil membuka lebar-lebar pintunya. Egar mengulum senyumnya dengan undangan tak langsung itu, lalu masuk. Ditutupnya pintu. Fianer sedang sibuk melepas heels tingginya yang rumit di sofa. Egar tak melakukan apa-apa selain memperhatikannya. Wanita itu terlihat luwes dengan gerakannya. Melepaskan sepatunya dengan sangat s*****l. Memaksanya membayangkan kalau yang Fianer buka adalah bajunya. Pikiran sekilas itu membuat Egar menghela nafas menyerah. Mungkin lebih baik dia pulang saja sebelum pikirannya melantur ke mana-mana. Tapi belum dia mengambil keputusan untuk pamit pulang, Fianer sudah berdiri dari sofa. Meletakkan sepatu di rak tersembunyi di meja pantri lalu dia berdiri tegak setelah menutupnya. “Mau minum apa?” tanya Fianer. “Gin with tonic kalau ada.” Tangan Fianer yang sedang sibuk mengambil mug terhenti. Dia menoleh dan mendengus waktu melihat laki-laki itu terlihat santai menatap seisi apartemennya. “Kopi aja kalau gitu.” jawabnya akhirnya. Fianer kemudian sibuk membuat kopi di pantri. Sedangkan Egar masuk lebih dalam ke apartemen luas ini. Ruangan terlihat lapang walaupun banyak dijejali sofa. Tapi yang jadi pusat perhatian Egar bukan sofa tamu. Tapi satu sofa di depan jendela. Berwarna merah menyala di antara cat dan furniture putih di sekelilingnya. Egar memutuskan untuk menghampiri sofa itu. Lalu menyusuri kain beludru punggung sofa dengan jarinya. Entah kenapa, Egar punya perasaan kalau ini adalah tempat favorit Fianer. Duduk di depan jendela dengan pemandangan lampu kota. Egar duduk di sofa itu. Mencoba memikirkan wanita itu dan menebak apa yang dia pikirkan jika duduk di sini. Apa Fianer memikirkannya sebanyak dirinya? “Sedang apa?” Egar menoleh. Fianer sudah tersenyum padanya sambil menyodorkan sebuah mug yang mengepul. Senyum Egar ikut tertarik dan dia menerima gelas itu. Setelah itu Fianer ikut duduk di samping Egar. Kecanggungan kembali. Mereka berdua hanya duduk bersandar di punggung sofa, menunggu salah satu dari mereka bicara. Hingga menit ke lima tak ada satupun yang mengawalinya, Egar menoleh. “Apa kabar?” tanyanya. Pertanyaan itu membuat Fianer tersedak geli. Pertanyaan basa-basi nomor satu. Dari sekian banyaknya pertanyaan yang bisa ditanyakan, Egar justru memilih pertanyaan itu? “Itu pertanyaan terbaik yang kau punya?” cibir Fianer. Egar terdiam sesaat. Tak ada senyum di bibirnya. Matanya menatap ke jendela dengan sorot tenang. “Bukan.” jawabnya. “Tapi itu hal yang paling ingin aku tahu.” Senyum Fianer terhenti di tengah-tengah lalu hilang sama sekali. Satu kalimat itu membuatnya mengingat sesuatu. Mendengarnya membuatnya menemukan rasa sesak yang selalu menghantuinya bertahun-tahun bahkan hingga kini. Perlahan, Fianer menoleh ke samping. Hanya rahang kokoh laki-laki itu yang bisa dia lihat. Egar terus menatap pemandangan di balik jendela seakan pertanyaan itu ditanyakan sambil lalu. Tapi mereka berdua sama-sama tahu, kesedihan itu telah menyentuh suasana. Membuat masing-masing mempersiapkan diri untuk membuat tameng. Agar rasa itu dapat mereka kontrol dengan mudah. Agar rasa itu tak meledak membabi buta tak berarah. Fianer menghela nafas. Berusaha mengumpulkan ketenangan saat rasa sakit itu merayap naik. Tak banyak, tapi cukup terasa. Karena dia paham benar, Egar tak menanyakan kabarnya saat ini. Tapi menanyakan kabarnya 6 tahun belakangan. Fianer meletakkan mug di atas nakas samping sofa. Dia menoleh dan mendapati Egar masih menatap kejauhan. Sesaat, Fianer memejamkan mata merasakan apa yang dia rasakan dulu. Apa yang harus dia katakan? Bahwa dia kacau, hancur, dan berantakan? Bahwa dia tidak bisa hidup normal lagi setelah laki-laki ini pergi? Bahwa dia tak bisa tersenyum lagi karena laki-laki ini tak ada? Fianer menunduk, menatap jemari tempat cincin itu tersemat. “Setelah kita berpisah, aku cukup kesulitan untuk membiasakan diri hidup tanpamu.” pelannya. Egar menoleh. Fianer mendongak membalas tatapan Egar dengan satu senyum keluar dari bibirnya. Hatinya teremas mendengar kalimatnya sendiri. Betapa dia berusaha meminimalkan kata. Sedangkan pada kenyataannya Fianer ingin sekali memeluk Egar, menangis kencang dan mengeluh betapa sulitnya itu. Air mata Fianer menetes lagi. Dan dia meruntuki dirinya sendiri karena tak bisa menahannya. Dia berpura-pura menyampirkan rambut ke belakang telinga sementara jemarinya menyapu air mata tanpa kentara. “Kamu?” tanya Fianer. Sudut bibir Egar naik satu. Membuat Fianer bisa melihat seringai khasnya yang dia rindu. Tanpa terasa Fianer tersenyum. Terlebih saat Egar menoleh. “Menurutmu?” tanyanya. Menurut Fianer, Egar hidup lebih baik darinya. Egar lebih bahagia darinya. Fianer menghela nafas. Sepertinya hanya dirinya yang terpuruk, menangisinya bertahun-tahun sedangkah Egar baik-baik saja tanpa dirinya. “Sepertinya kamu lebih baik dariku.” kata Fianer dengan senyum. “Kamu yang menyuruhku begitu.” Kata-kata Egar mengingatkannya kembali pada masa lalu. Mengingat kata-katanya setelah mereka berpisah. Dia memang meminta Egar untuk bahagia. Lebih bahagia dari dirinya. Fianer mengangguk senang. Memang begitulah seharusnya. Egar hidup lebih baik darinya. Egar bisa hidup tanpa dirinya. Tapi entah kenapa ... rasanya, ada sisi hati Fianer yang kosong melihat Egarnya yang sekarang begitu berbeda. Dia berharap bisa menemaninya selama ini. Melihatnya tumbuh dan berproses menjadi dewasa. Dia kehilangan banyak moment penting dalam hidup Egar, bukan? Fianer menggeleng pelan, berusaha mengusir pikiran buruk itu. “Terima kasih.” ucap Fianer sekadarnya. Egar mengangguk-angguk. Dia menoleh dan menatap Fianer yang balas menatapnya. “Boleh tahu apa yang sedang kamu pikirkan sekarang?” tanya Egar. Fianer terdiam. Terus menatap pekatnya mata itu. Membiarkan dirinya tenggelam di kedalamannya. Fianer sedang memikirkan laki-laki ini dan juga memikirkan Ayahnya. Hanya ada satu pertanyaan yang mengganggunya. “Apa ini benar-benar sudah selesai?” bisiknya. Entahlah ... apa ini sudah sampai akhir? Ataukah ini hanya tangga ke atas untuk terjun lebih tinggi? Sakit lebih perih, dan jurang lebih gelap lagi dari yang pernah dia rasakan dulu? Dia tak tahu. Dan dia tak sanggup untuk berpikir saat ini. Karena kebahagiaan mengaburkan logikanya. Tapi sayangnya ketakutan itu masih tetap terasa. Saat tangan Egar menggenggam tangannya, Fianer tak bisa menapak, karena dia melayang dan rasanya ini tak pernah nyata. Ada keraguan yang melebar seiring gengaman Egar ini membawanya terbang. Fianer membalas genggaman laki-laki ini erat. Takut ... takut terjatuh lagi. Takut sesak itu kembali lagi. Takut merasakan tidak bahagia. Fianer tak ingin melepaskan tangan dari genggaman Egar. Karena dia tahu, hanya di dalam genggaman Egar tangannya berhenti gemetar. Air mata Fianer turun. Entah karena alasan apa. Dia tak tahu. Fianer bahagia, tapi juga takut dan ragu di sisi yang sama. Jujur dia tak tahu harus merasakan apa. “Dulu ... saat aku pikir semuanya selesai ... saat aku merasakan sangat bahagia kamu kembali padaku ... saat aku pikir happy ending itu ada, nyatanya ...” Air mata Fianer menetes di pipinya. Wajahnya menatap kejauhan dengan dingin. “Kamu bilang ... semuanya tidak lagi sama.” Mata Egar mengerjap kaget. Fianer dapat menatap kecemasan di mata itu. Ketakutan di tatapan itu. Tapi Fianer tersenyum  lemah. Dia juga pernah merasakan kecemasan dan ketakutan yang sama. Dan dulu ... Egar tak pernah peduli, dia tak pernah mengerti. “Aku sangat ketakutan kamu pergi. Aku tidak pernah merasakan setakut itu. Aku terus memintamu tetap di sisiku tapi kamu tak pernah mendengar. Dan setelah kita berpisah sangat lama, sekarang kau kembali lagi. Miris ya, aku selalu menginginkanmu. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Terlalu mencintaimu. Dan akhirnya aku sadar, satu sisi hatiku bahagia kamu datang. Tapi sisi lainnya memintaku untuk hati-hati jangan sampai terluka lagi. Aku tidak mau kehilangan lagi. Aku pernah merasakan bagaimana sakitnya. Dan aku tak ingin merasakannya lagi. Jujur aku ragu. Katakan aku harus bagaimana?” tanya Fianer. Air matanya turun perlahan. Namun wajahnya mengeras. Ditatapnya Egar yang hanya menatapnya nanar. Terlihat jelas jika laki-laki itu kecewa dan terluka. Tapi Fianer tak ingin berbohong kalau dia sangat tidak menyukai perasaan yang mengganjal ini. Dia tidak menolak kebahagiaan yang hadir. Hanya saja dia ingin bagaimanapun caranya perasaan itu hilang. Dia hanya ingin sekedar diyakinkan. Saat bahunya disentuh, Fianer mendongak dan menemukan mata pekat itu lagi. Mata itu meredup seiring berjalannya waktu. Seakan kata-kata Fianer telah membunuh binar miliknya. Namun itu hanya sekejap. Karena tatapan itu mengeras seketika. Kedua tangan lebar itu menangkup sekeliling rahang Fianer. Egar baru mulai bicara saat yakin manik mata wanita itu benar-benar menatapnya. “Ngangguk kalau ngerti.” suruhnya tegas. Fianer menelan ludah merasakan kesungguhan tatapan laki-laki ini. Jantungnya berdegup kencang menyadari manik mata Egar menatapnya tajam. “Kita baru memulai semuanya. Benar?” pelan Egar. Mata Fianer bergerak nanar. Suara Egar yang berubah lembut membuat air matanya turun, lalu dia mengangguk. Benar ... ini baru permulaan. Ini hanyalah awal. ”Kamu tahu aku mencintaimu?” tanyanya. Hidung Fianer memanas dan matanya perih sekali. Dia mengangguk lagi dengan d**a bergemuruh. Tentu saja. “Kamu tahu harapanku padamu?” tanya Egar lagi. Fianer menggigit bibir getir menatap kesungguhan mata Egar. Air matanya turun begitu saja. Tapi dia tak mengangguk karena dia tak tahu jawabannya. “Aku ingin sekali bersamamu. Aku ingin hidup denganmu. Kamu tahu itu?” Egar menjawab tanya itu. Dengan penekanan tiap kata. Jawaban itu membuat d**a Fianer sesak. Air mata tak henti menetes dengan isak yang sesekali keluar. “Kamu tahu bagaimana perasaanku? Saat aku begitu merindukanmu, tapi yang kita lakukan di sini hanya sama-sama diam tanpa mengatakan apapun? Kamu tahu aku bertanya-tanya dari tadi, apa kita bisa kembali seperti dulu lagi?” tanya Egar untuk kesekian kalinya. Dada Fianer mencelos. Sesak itu makin membumbung tinggi, menyiksanya. Karena diapun merasakan hal yang sama. Mempertanyakan pertanyaan yang sama. “Selain keraguan, apa kamu punya untukku? Apa kamu masih menyimpan rasa cinta untukku?” tanyanya lagi. Isak Fianer makin keras. Fianer bisa gila dengan pertanyaan itu. Dia masih menyimpannya rapi perasaan yang dia punya hanya untuk laki-laki ini. “Kalau ada ... sedikit saja ... aku ingin kau menepikan  rasa ragu itu dan fokus dengan perasaanmu padaku. Aku ingin kamu menjaga rasa yang dulu pernah kamu punya.” Air mata Fianer jatuh. “Bisa?” Mata Fianer bergetar menahan luapan air mata yang mengumpul di pangkal. Menjaga perasaan yang dulu dia punya ...? Aku mengetik sesuatu di perpustakaan untuk tugas akhir Bahasa Indonesia. Aku yang mengerjakan makalah ini sementara teman sekelompokku bertugas mencari bahan materi. Sejak masuk kelas XII aku suka kesibukan. Sibuk dapat mengalihkan pikiran. Ketikanku sampai pada kesimpulan saat suara itu terdengar. “Kayaknya sebelah sini,” Tanganku berhenti mengetik. Hanya sebaris kalimat dan aku tahu dia sedang ada di balik punggungku. Entah menyadariku atau tidak. Aku memejamkan mata sejenak dan tersenyum tipis. Paling tidak hari ini aku mendengar suaranya. Aku kembali mengetik bagian akhir makalah ini. Aku tak pernah menoleh sama sekali. Tapi aku tahu, dia sudah pergi. Saat aku telah selesai mengetik semuanya, tanpa sadar aku menekan enter beberapa kali hingga sampai pada ujung halaman. Dan aku mengetik satu kata : kangen. Tak lama, aku menghapusnya lagi. Mengingat kenangan itu, air mata Fianer menderas. Dia pernah merasakan rindu. Rindu sampai dia tak bisa memikirkan apa-apa lagi. Dia tidak merasakan luka, ketakutan, kesakitan. Hanya rindu. Hanya menginginkannya. Hanya ingin bersamanya tak peduli betapa sakitnya itu. Fianer tahu isaknya sudah tak bisa dia tahan. Karena dia merindukan laki-laki ini setengah mati. Fianer memberanikan diri mengangkat tangannya. Menyentuh pipinya. Merasakan keberadaannya. Dan tangis Fianer pecah begitu saja. Fianer memeluk leher Egar dengan kedua tangan kuat-kuat. “Terserah.” kataku ketus pada Ridho. Dia terus bertanya tentang acara perpisahan kelas berulang kali sampai aku bosan. “Tapi lo dateng kan?” kejarnya. Aku memutar bola mata. Lalu berbalik menghadapnya dengan tangan di pinggang. “Denger! Gue bilang lihat nanti! Nggak usah tanya terus bisa nggak sih? Kalau gue bisa dateng, gue pasti dateng!” kataku tajam. Kesal. Dengan marah aku berbalik pergi, bergegas tak mau diikuti lagi. Saat akan berbelok ke kanan, aku terkejut karena nyaris menabrak seseorang yang muncul begitu saja dari belokan. Nyaris aku menabraknya, karena aku mengerem mendadak hanya berjarak beberapa senti darinya. Keterkejutanku membuatku mendongak dan saat itu aku tertegun. Itu dia. Matanya sama kagetnya. Aku bisa menatap matanya sejelas ini. Bisa berhadapan dengannya sedekat ini. Bisa mencium aroma tubuhnya setajam ini. Keterkejutan kami hanya sejenak. Karena saat sadar, kami berdua sama-sama mundur selangkah. Sedikit jeda, membuatku memejamkan mata, menyimpan moment ini diingatan. Dan selanjutnya, yang bisa kami lakukan adalah hal yang sudah seharusnya. Melanjutkan langkah. Tak sengaja, punggung tanganku menyentuh punggung tangannya. Tapi seakan tidak ada yang terjadi, kami tetap melangkah menjauh dari satu sama lain. Sambil jalan, aku menggenggam punggung tanganku. Tersenyum tipis dan mulai bermimpi, kapan dia bisa menggenggam tanganku lagi... Sesak itu datang menghantam Fianer. Saat tangan Egar balas memeluknya erat. Rasanya dia sudah tak peduli rasanya sakit. Dia tak peduli jalan apa yang ada di depan sana. Dia bahkan tak peduli kalau terluka lagi. Dia menginginkan tangannya digenggam lagi. Dia ingin laki-laki ini menjaganya lagi. Dia tak tahu tangis itu datang dari mana, tapi suaranya tak bisa dia redam lagi, mengeras dengan sendirinya. Dia tak pernah menangis sekeras ini. Aku menunduk menatap ujung sepatu. Aku menangis sesenggukan di hari pertamaku kuliah. Aku menangis sendirian di belakang gedung Fakultas. Aku tak bisa mendengar suaranya. Aku tak bisa melihatnya. Dia tak ada di mana-mana. Padahal aku sangat merindukannya. Dadaku sesak. Sangat sesak hingga aku memeluk lutut untuk meredam tangisku. Aku ingin melihatnya .... sedikit saja Aku ingin mendengar suaranya .... sedikit saja Aku menoleh ke kanan kiri dan tidak ada siapa-siapa. Dan saat itulah aku menangis keras. Kini aku tahu apa arti sendirian. Kesepian. Dada Fianer semakin sesak. Dia tak kuat. Seketika... dia gemetar ketakutan. Egar memeluknya erat sekali. Tapi Fianer bisa merasakan betapa takutnya dia sendiri lagi. Keraguannya, itu tak sepadan dengan perasaan sesak ini. Dia menginginkan laki-laki ini. Tak peduli betapapun sakitnya, karena dia percaya ... sesakit apapun tak akan lebih sakit jika merasakan hidup tanpa dia. --- Egar memejamkan mata merasakan kecewa yang datang. Sederhana sekali. Egar hanya ingin Fianer menjaga perasaan yang dulu pernah ada. Bagaimana rasa sakitnya tiap memendam rasa rindu, membuang jauh-jauh keinginan untuk bersama. Sampai detik ini, dia tak pernah melupakannya. Dia lelah, dia takut, dia ragu. Tapi tak ada bandingannya bagaimana inginnya dia berada di sisi wanita ini lagi. Bisakah wanita ini mengerti? Aku melihatnya. Duduk di kelilingi teman-temannya. Dia duduk memperhatikan setiap temannya bicara. Terlalu serius hingga dahinya berkerut. Namun saat semuanya tertawa, dia hanya diam. Sesekali menanggapi, sesekali tersenyum sopan, sesekali mengangguk-angguk. Mataku terpejam meredam keinginan untuk menghampirinya. Aku mundur selangkah. Dan menyandarkan punggungku ke dinding yang menyembunyikanku. Tersenyum pada langit. Aku merindukannya. Egar tersenyum miris. Betapa dia ingat tiap kerinduan yang selalu menemaninya setahun lebih setelah hubungan mereka berakhir. Saat Egar menatap Fianer saat ini, dia ingin wanita ini tahu, dia merindukan wanita ini. Sangat rindu. Tidakkah Fianer juga merindukannya? Degup jantung Egar bertalu cepat saat satu belah tangan menyentuh pipinya. Dia bisa melihat mata Fianer yang berkaca. Air mata Fianer turun. Membasahi pipi. Egar sungguh merindukannya. Dan Egar hanya bisa tersenyum saat akhirnya Fianer memeluk lehernya. Memeluknya erat. “Percaya sama gue ... gue bakal jemput lo lagi suatu hari nanti.” Aku menatap tulisanku dengan pandangan sungguh-sungguh lalu menutup boardmarker. Ini janjiku untuk dia. Janji untuk kembali. Betapapun sulitnya itu. Aku tak tahu sampai kapan bisa pantas berjalan di sisinya lagi. Bisa bertahun-tahun. Mungkin dia tidak akan mengingatku lagi setelah ini. Mungkin suatu saat nanti dia akan melupakanku. Mungkin usahaku akan sia-sia. Tapi aku tetap ingin mencoba. Entah apa dia bisa menungguku? Aku menghela nafas. Aku memutuskan untuk menegakkan lagi ilalang yang tertidur karena aku duduki. Kini, tulisan ini tertutup. Dia mungkin akan pergi dan tak pernah membacanya. Mungkin dia tak akan pernah tahu. Tapi, kalau kami berjodoh, dia pasti bisa menemukan tulisan ini dan mengingatnya. Aku menghela nafas lagi dan mengangkat mataku, kembali melihat angka 59 yang aku tulis di bawah tulisannya. Tidak semua doa dapat terkabul... Aku berharap, doa ini bukan tidak terkabul. Tapi Tuhan menunggu saat yang tepat untuk mengabulkannya. Mataku terpejam, memohon dalam diam. Egar kembali memohon dalam diam. Memejamkan mata, merasakan sesak yang terus mengejarnya. Hanya pelukan Fianer yang membuat rasa sesak itu tak memburunya lebih jauh. Tangis wanita ini mengeras dan tak ada yang bisa dia lakukan untuk meredamnya selain memeluk lebih erat lagi. Merasakan semua ingatannya saat merindukan wanita ini. Aku menatapnya di kejauhan. Berat sekali melihatnya masuk mobil setelah dia tersenyum padaku begitu lebarnya. Memberikanku satu kenangan yang bisa kuingat jika merindukanya. Seperti orang bodoh, aku hanya bisa menatap kepergiannya pada hari kelulusan. Aku ingin mengatakan sesuatu. Masih banyak yang belum dia tahu tentang perasaanku. Aku begitu takut dia tak pernah tahu. Bahwa aku sangat menyukainya. Dan aku sangat menyayanginya. Aku tak sadar. Pipiku sudah basah. Pipinya kembali basah.  Rindu ini ... harus bagaimana dia mengatakannya? Ada banyak kata yang ingin didengar Egar saat dia kembali di sisi Fianer. Namun ragu, bukanlah salah satunya. Tangis Fianer lama-lama reda. Tangannya yang memeluk leher Egar turun perlahan. Egar merasakan jemari lentik itu bermain-main di d**a kanannya. Saat Egar menunduk, Fianer sudah mendongak menatapnya dengan senyum yang sungguh berbeda. Hati Egar bergetar menyadari senyum itu adalah senyum yang sangat dia rindukan. Seperti tidak ada keragu-raguan lagi. Senyum itu begitu lepas. Fianer menatapnya dengan berkaca. Rasanya, tatapan itu membuat semua lelahnya terbayar. Rindu itu ada di sana. Cukup wanita ini masih menginginkannya. Cukup wanita ini juga merindukannya. Sesak di d**a Egar terangkat perlahan. Ada rasa lega yang menggantikannya. Tangannya menggapai senyum itu. Mengusap pipi dan entah kenapa air matanya menetes lagi. Dadanya seperti hampir meledak. Mata Fianer menyorot cemas. Menghapus air mata yang hanya setetes di pipi Egar dengan jemarinya. Tapi saat Fianer menarik tangannya, Egar begitu cepat menahan belah tangan itu agar kembali menekan pipinya. “Aku belum terlambat kan?” bisiknya. Mata Fianer merebak. Diusapnya pipi itu penuh sayang. “Kamu punya waktu seumur hidup.” hibur Fianer. Satu senyum melebar di bibir Egar. Lega ... bahagia. Dia menangkup kedua pipi wanita itu dan memberikan senyum lebarnya. “Kita mulai semuanya dari awal.“ “Semuanya?” ulang Fianer. Egar mengangguk. “Semuanya.” Itu adalah hal yang sangat dia inginkan. Memulai semuanya dari awal. Membuat tiap kenangan masa lalu digantikan oleh kenangan indah yang bisa mereka buat berdua. Senyum Fianer makin mengembang, membuat binar itu hidup di wajahnya yang teramat sangat cantik. Mata Egar menyorot ganjil. Menatap Fianer tersenyum di hadapannya membuat hatinya menghangat. Rasanya seperti mimpi bisa menikmati senyum itu lagi. Tangannya terangkat dan tanpa sadar menyentuh pipi Fianer. Mengusapnya, merasakan tiap kelembutannya. Bahkan tak peduli dengan mulut Fianer yang terbuka karena keget dengan sentuhan itu. Saat mata keduanya bertumbukan, setiap titik darah seakan mengalir deras dan membuat semua kerja tubuh berpacu cepat. Entah siapa yang memulai, tapi kedua bibir itu mendekat, lalu bersentuhan. Dimulai dari bibir Egar yang mengusap bibir Fianer dengan teramat lembut, bahkan hampir tak menyentuh permukaannya. Berkali-kali menjelajah menguji kesabaran. Sekali-kali, bibir itu mengecup. Mulai mengecap. Menyesap. Hingga pada satu titik, tangan Fianer terangkat dan mengelus sisi pipi Egar lembut. Membuat Egar mengeram, gairah yang mati-matian dia tahan keluar tanpa pertahanan. Jemari Egar mencengkeram belakang kepala Fianer, menelusup di sela rambut. Menguncinya hingga bibir Egar sanggup menginvasi bibir Fianer bertubi-tubi. Ciuman itu tidak kasar, namun dalam. Seolah semua kerinduan tak sanggup tertampung semuanya, seolah waktu enam tahun yang hilang sanggup tergantikan oleh satu keintiman. Mereka tahu, waktu enam tahun yang mereka lewatkan tak akan bisa digantikan oleh apapun, tak akan terkejar walaupun dengan ribuan ciuman. Tak ada yang bisa membayar kerinduan mereka hingga tiap sesak yang bahkan masih terasa saat mereka sudah begitu bahagia. Sesak yang sangat familiar, sakit yang sangat dekat, dan segala luka yang selalu ikut dalam langkah mereka. Satu ciuman dalam -terlalu dalam- Egar akhiri dengan keras. Saat kepalanya ditarik ke belakang, Egar baru sadar mereka nyaris kehabisan nafas. Tapi bahkan itu tak terasa. Mereka terdiam meresapi ciuman mereka tadi. Tatapan Egar begitu lembut menatap Fianer. Tangannya masih mengusap pipi itu perlahan. “Ngomong-ngomong kamu beruntung.” kata Egar. Fianer memandangnya berbinar. “Beruntung kenapa?” “Aku tidak impoten. Dan sebelum ke sini, aku sudah cek di lab kualitas spermaku. Dan hasilnya bagus. Jadi kau tidak usah khawatir kalau, aduh!” Fianer memukul lengan Egar keras. Pipinya merona mengingat kata-katanya dulu saat melihat Egar merokok pertama kali. “Mana hasil labnya?” tantang Fianer. “Pasti ada yang salah.” “Mau uji coba?” Egar menantang Fianer. Tatapannya intens dan Fianer lemas karenanya. Pertama karena tatapan itu, kedua karena ... what? Dia bilang apa tadi? “Jangan mimpi!” kata Fianer. Dia mendorong d**a Egar menjauh. Dengan salah tingkah, dia bangkit berdiri dan berlari begitu saja. “Mau kemana?” tanya Egar kaget. “Ganti baju.” jawab Fianer sambil lalu. Egar tersenyum kaget. “Tadi aku cuma bercanda. Tapi tak apa juga. Pakai baju yang seksi ya, aduh!” Egar mengusap kepalanya karena kepalanya dilempar sesuatu. Ada boneka kelinci di kakinya. Dan dia yakin tadi dia dilempar pakai itu. Egar tersenyum. Tak masalah sedikit lebam jika itu sanggup membuat suasana menjadi hangat. Dan selanjutnya, dia mendengar pintu ditutup. Suasana menjadi hening. Egar menghela nafas lega. Lalu menyenderkan kepalanya ke punggung sofa. Untuk sementara dia lega, kecanggungan itu tak akan datang lagi. Matanya terpejam. Dia bisa istirahat dengan tenang sekarang. Dia sudah lama berlari, kini saatnya dia berhenti. Karena dia sudah sampai di tempat yang dia tuju. --- Fianer menutup pintu dengan jantung yang berpacu maraton. Dia masih kaget dengan sikap Egar yang baru. Dia tak tahu Egar yang sekarang senang sekali menggodanya. “Makin tua makin menyebalkan!” desisnya sebal.  Sisi ini, dia sama sekali tak tahu. Dia terbiasa dengan Egar yang diam. Yang bicara seperlunya. Egar yang penuh dengan rasa marah. Egar yang penuh dengan masalah. Tadi ... dia baru saja melihat Egar yang bahagia. Fianer tersenyum. Langkah kakinya ringan sekali. Dia bersenandung riang bahkan saat membuka lemari dan memilih baju tidurnya. Ada banyak baju seksi di sini. Dia memilih babydoll sedikit di atas lutut dengan tali spagethi di bahunya. Agak terbuka, tapi saat melekat di tubuhnya, dia terlihat manis sekali. Entah kenapa, baju ini yang membuatnya percaya diri menemui Egar sekarang. Dia tak mau mengakui, bahwa ada sisi hatinya ingin menguji Egar. Melihat sejauh mana Egar bisa menahan diri. Fianer ingin membuktikan bahwa ucapan Egar tadi hanyalah sekedar bualan. Karena dia yakin Egar tak akan berani menyentuhnya. Senyum Fianer mengembang. Dia membuka pintu kamarnya tanpa menutupnya lagi. Langkahnya pelan. Dan saat mendekat, dia bisa melihat Egar sedang memejamkan mata sama seperti saat dia terpejam sejenak di lift. Fianer berjalan lebih hati-hati. Dia berusaha tak bersuara. Hingga Fianer sampai di samping Egar. Dia melihat jas dan dasi Egar tergeletak begitu saja di samping laki-laki itu. Jadi Fianer ambil, dia sampirkan ke punggung sofa agar tidak kusut. Pelan, Fianer menyentuh lengan laki-laki itu. Kemejanya yang digulung sampai siku membuat telapak tangannya menyentuh kulit Egar langsung. Dan itu membuat Egar terbangun. Lalu menoleh. “Istirahat di kamar saja.” pelan Fianer. Bukan bermaksud mengundang. Namun dia tahu Egar sudah lelah. Laki-laki itu membutuhkan tempat yang layak untuk istirahat. “Aku siapkan kamar tamu ya?” tawarnya. Egar menggeleng. Dia menarik Fianer terduduk di sampingnya, lalu menjatuhkan kepalanya ke pangkuan Fianer. Kakinya tertekuk satu, sedangkan satu lainnya terjulur ke lantai. “Di sini saja.” katanya. Matanya kembali terpejam. Tapi Fianer yakin Egar belum tidur. Tangan Fianer refleks terangkat, mengusap kepala Egar lembut. “Tidur,” suruh Fianer. Egar tak menjawab. Tangannya bergerak mengambil tangan Fianer yang dekat di sampingnya, lalu memeluknya di d**a. Entah pada usapan keberapa .... Egar jatuh tertidur juga. --- Mata Egar terbuka. Menyipit saat sinar matahari menyorot silau. Dan saat dirasakan lengannya terasa berat, dia menoleh. Sepasang mata tertutup dan nafas yang teratur. Poni samping di dahinya berhambur rata, mengingatkan Egar pada masa lalunya dulu saat SMA. Senyum Egar mengembang. Dia bahagia karena gadis yang kini tertidur di lengannya adalah gadis yang sama dengan masa lalunya itu.  Mengingat wanita ini, dia ingat semalam dia tertidur di pangkuan Fianer. Dan dia pun tak ingin bertanya bagaimana mereka berakhir dengan dia yang tertidur di atas bantal empuk sedangkan Fianer tidur di lengannya, di sampingnya. Jujur, dia tak peduli. Kenyataan yang lebih penting adalah untuk pertama kalinya sejak 6 tahun terakhir dia bisa tidur nyenyak. Tanpa bermimpi sama sekali. Tubuhnya terasa pegal, tapi dia berusaha untuk miring menghadap Fianer. Menatap wajah wanita yang akhirnya bisa dia miliki lagi. Entah sejak kapan tangannya mengusap pipi putih halus di hadapannya. Berlama-lama di sana. Meresapi tiap detik yang ada. Kelopak mata Fianer bergerak, membuat satu sudut bibir Egar terangkat. Dan saat mata indah itu terbuka perlahan, bibir Egar melengkung sempurna. “Pagi,” sapanya. Fianer ikut tersenyum melihatnya. “Pagi,” balasnya dengan ceria. Tapi senyuman Fianer tertahan di tengah-tengah saat Egar menatapnya menyipit. Tatapan yang aneh dan tak sesuai dengan situasi mereka yang indah ini. Fianer berusaha mencairkan tatapan itu. Diusapnya pipi Egar lembut. “Kenapa?” Dan sekarang, bukan tatapan menyipit yang Egar tunjukkan tapi tatapan lurus. “Ngomong-ngomong kita belum membahas tentang berapa lama kamu benar-benar menjadi dokter.” katanya. Peralihan suasana. Fianer bisa merasakan situasi mereka yang manis berakhir. Nada menuntut ini membuat Fianer mendapat kesan akan ada perdebatan di sini. Agak kesal. Tapi dia membalas tatapan lurus Egar dengan tenang. “Aku masih koas. Beberapa bulan lagi aku selesai. Lalu UKDI dan internship ke daerah. Kurang lebih 3 tahun lagi baru aku bisa jadi dokter.” gumamnya. Egar tak bersuara setelah itu. Jawaban Fianer membuatnya terdiam. Jadi dia harus menunggu 3 tahun untuk bisa menikah? Rasanya itu terlalu lama. Semalam saat Fianer mengajukan syarat untuk menunggunya, Egar tidak begitu mempedulikan berapa lama lagi. Karena kenyataan bahwa dia bisa kembali bersama Fianer adalah hal yang paling penting. Tapi sulit untuk saat ini. Tidak, setelah dia bisa tidur dipangkuan Fianer semalam dan bangun dengan wajah wanita ini yang tertidur di lengannya. Butuh 3 tahun untuk bisa merasakan hal yang sama karena pasti dia tidak mungkin bermalam di sini setiap hari. Satu helaan nafas lolos dari Egar. Membuat Fianer mendongak. “Gar ...” Egar berusaha memejamkan mata, menghalau segala pikiran egoisnya dan berusaha bersikap lebih pengertian lagi. Saat dia membuka mata, tatapannya langsung tertuju pada mata Fianer yang mulai cemas. Egar meratakan kerutan di dahi Fianer untuk meredakan kecemasan di mata itu. Dia tak ingin wanita ini merasakan kecemasan lagi. Dia di sini karena ingin membuat wanita ini tenang di sisinya. Bukan malah sebaliknya. Kerutan itu hilang. Mata itu masih menatapnya bertanya dengan bibir sedikit terbuka. Egar menatap bibir itu lama. Saat sadar, Egar sudah mengecup bibir Fianer lembut. Tak dipedulikannya tubuh Fianer yang menegang saat tangannya memeluk tubuh ramping itu erat. Egar mengecup bibir itu berulang kali, hingga akhirnya dia mengulum bibir Fianer tanpa ampun. Berlama-lama menyesap lalu makin liar saat Fianer membalas ciumannya. Dan saat Egar melepaskan ciumannya, Egar mencengkeram rahang Fianer dengan kedua tangan, menatap mata Fianer lurus-lurus. “Hanya 3 tahun!” Fianer yang masih terhanyut dengan ciuman itu tertegun. Matanya melebar namun ada binar kaget dan bahagia disaat bersamaan. Senyumnya mengembang sempurna. “Aku akan menunggu sampai kamu siap menikah denganku.” pelan Egar lagi. Air mata Fianer sudah menusuk. Tapi kemudian dia benamkan wajahnya di d**a Egar. Menghirup aroma laki-laki ini kuat-kuat, lalu memeluknya erat-erat. Egar yang dulu bukanlah orang yang mudah kompromi. Laki-laki ini jarang sekali mau mengerti dan bertoleransi. Apalagi sifat ketidaksabarannya membuatnya paling tidak suka menunggu. Dan Fianer yakin, laki-laki ini pun masih sama seperti dulu. Egar hanya menekan keinginannya. Memilih mengalah untuknya. “Terima kasih,” lirih Fianer. Egar menghela nafas sekali lagi. Diciumnya puncak kepala Fianer dan dia membalas pelukan Fianer dengan erat. Meyakinkan diri bahwa keputusannya tepat.     Saat itulah suara telpon berbunyi. “Telponmu,” kata Egar pelan. Tangan Fianer terjulur mencari ponselnya di atas nakas. Satu tangan masih memeluk Egar, sedangkan tangan yang lain untuk menangkat telponnya. “Halo?” sapa Fianer malas. Namun tak lama dahinya mengernyit sebentar dan kemudian dirinya bangkit terduduk. “Baik dok, saya ke rumah sakit sekarang.” katanya berusaha tenang. Fianer menutup telpon dan menghela nafas dengan panik, dia lupa kalau hari ini dia harus berangkat pagi. Dia berdecak berkali-kali. “Kenapa aku bisa lupa?” keluhnya. Dia langsung bergegas bangkit berdiri dan berlari ke kamarnya. Meninggalkan Egar yang tertegun di sofa dengan mulut terbuka. Tubuh Egar tersentak saat pintu kamar tiba-tiba dibanting keras. Egar baru bisa bergerak selang satu menit sejak dia mendengar suara shower terdengar. Ponsel Fianer masih tergeletak di atas sofa. Iseng, dia mengambilnya dan melihat satu panggilan masuk dengan nama ‘Residen Gila’. Satu senyum keluar juga. Entah kenapa dia suka diberi kesempatan melihat Fianer sealami tadi. Karena dibalik keanggunan Fianer yang sekarang, masih ada Fianernya yang dulu. Yang polos dan manis. Satu helaan nafas keluar. Dia juga harus bergegas jika tidak ingin terlambat. Egar bangkit dan keluar apartemen untuk mengambil baju bersih di mobilnya. Saat dia kembali, dia bisa melihat Fianer sudah selesai mandi dan sedang menyisir rambutnya. Laki-laki itu berdiri di ambang pintu dengan sisi tubuh menyender kusen. Tapi walau begitu, Fianer bisa melihat Egar dari kaca. Dia tersenyum pada bayangan laki-laki itu lalu berbalik menghadapnya. “Kenapa?” tanya Fianer karena Egar tak berhenti menatapnya. “Tidak,” jawab Egar. Tangan yang terlipat terurai lalu dia berjalan mendekat. “Pinjam kamar mandi.” katanya lagi. Fianer mengangguk. Dia bisa melihat baju di lengan Egar saat laki-laki itu lewat di belakangnya lalu masuk ke kamar mandi. Suara shower mulai terdengar. Fianer tersenyum tipis lalu  berbalik menghadap kaca dan kembali menyisir rambutnya yang panjang. Rasanya masih seperti mimpi. Hanya dalam semalam, kehidupannya berbalik dan senyumnya tak bisa berhenti mengembang. Bahkan memakai make-up pun, Fianer bersenandung pelan. Egar keluar dari kamar mandi saat Fianer memasukkan barang-barang ke tasnya. Laki-laki itu sudah memakai kemeja dan celana rapi. Tanpa sadar, mata Fianer terus memperhatikan laki-laki itu saat Egar merapikan kemeja dan mengalungkan dasinya. Fianer cepat-cepat memasukkam notebook-nya ke tas lalu mendekati Egar. Dengan sedikir keras, Fianer menyentak ujung dasi Egar hingga laki-laki itu menghadapnya. Egar mengangkat satu alis tapi tak mengatakan apa-apa. Matanya yang tajam hanya memperhatikan detail mata Fianer yang penuh binar. “Tidak perlu,” ucap Egar saat Fianer mengikat simpul dasi untuknya. “Bunda selalu melakukan ini untuk Ayah.” kata Fianer dengan wajah serius menatap dasi Egar. “Dan entah kenapa, aku juga ingin sekali melakukannya.” Satu sentakkan pelan membuat dasi terpasang sempurna. Fianer tersenyum saat dia merapikan dasi Egar agar lebih rapi. “Sudah.” Fianer tak sadar, sedari tadi Egar tak bicara juga bergerak. Namun saat dia mendongak, Egar sudah mengambil dompet di belakang celananya. Fianer masih belum mengerti apa yang akan Egar lakukan sebelum satu kartu kredit tercabut. Dahi Fianer makin mengerut. “Aku ingin kamu pegang ini.” katanya. Fianer menatap Egar bingung. “Mulai sekarang, apapun yang ingin kamu beli, pakai uangku.” Seketika mata Fianer menyipit, wajahnya mengeras. “Ayahku masih sanggup membelanjakan apapun yang aku inginkan.” katanya tersinggung. Seperti tak peduli, Egar tetap memaksa. Tatapan Egar melembut. Dia belum bicara hingga yakin Fianer menatap matanya. “Aku tidak peduli apa yang kamu pikirkan. Mulai sekarang, aku ingin kamu berhenti memakai uang Ayahmu. Kamu harus membiasakan diri untuk memakai uangku untuk apapun yang ingin kamu belanjakan. Pakai sesukamu. Mengerti?” Fianer menatap Egar tak setuju. Tapi Egar bersikeras agar Fianer menerima keputusannya. Perdebatan ini takkan berakhir sampai Fianer akhirnya mengalah. Dia tahu Egar tak akan berhenti hingga dia setuju. “Kamu akan menyesal. Jangan salahkan aku kalau pengeluaranmu membengkak nanti.” kata Fianer sambil mencabut kartu kredit unlimited itu dari tangan Egar. Egar terkekeh. Dia kembali memeluk dan meletakkan dagunya ke puncak kepala Fianer. “Terima kasih.” katanya. Fianer mendengus dengan senyum. Lalu kedua tangannya terulur dan balas memeluk Egar manja. Dia paham waktunya pagi ini terbatas dan pastinya dia akan dimarahi sesampainya di rumah sakit karena terlambat. Tapi entah kenapa dia masih belum rela melepas moment ini walaupun hanya sebentar saja. Karena sebentar baginya dan Egar, sama artinya ribuan tahun cahaya. Mereka sudah menunggu lama. Dan kiranya boleh mereka mengabaikan aturan dalam rutinitas mereka. Untuk kali ini saja.      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN