Aku tersenyum melihat Fika yang terus berusaha membujuk papa supaya ia ikut acara perpisahan SMP-nya, tapi papa tak kunjung merubah kata ‘tidak’ menjadi ‘ya’, sekalipun mama sudah berusaha membantu Fika. Memang merubah keputusan papa itu sangat tidak mudah, tidak peduli walaupun ia harus membuat keluarganya marah, ia tetap tidak akan berubah pendapat kalau sudah berkeputusan.
Tidak hanya kepada Fika, tapi kepada semua anaknya, Papa bersikap sangat tegas. Itu sebabnya kami sering heran mengenai ‘bagaimana mama bisa bertahan dengan pria seperti papa?’ dan pemikiran buruk lainnya tentang papa. Maafkan kami, Papa, tapi kenyataannya kami anak-anaknya saja tidak memahami sifat baik Papa.
Mama itu terlalu sabar untuk orang yang keras kepala dan egois seperti papa, apalagi papa lebih banyak hanya berpihak pada pendapatnya saja, tidak ingin mendiskusikannya dengan mama atau siapapun. Hanya saat suasana hatinya begitu baik, barulah ia mau mendengarkan pendapat orang lain, tapi paling khusus mama.
“Udahlah Fik, lo nanti liburan sama Arsen aja kalau memang pengen banget liburan.” Ujar Aldan yang sepertinya sudah merasa terganggu dengan suara membujuk Fika.
Aku melotot kepada Aldan dengan tajam dan tentunya berusaha membuatnya merasa bersalah karena telah membuat aku harus bertanggung jawab seandainya Fika setuju dengan usul bodohnya. Beruntungnya Fika langsung menggeleng dan mengatakan, “Ini bukan tentang liburannya, tapi tentang makna bersama teman-teman sebelum kita berpisah.”
“Kapan sih acaranya?” tanyaku.
“5 bulan lagi.” jawab Fika. Itu bahkan masih lama. Kenapa ia harus mempertanyakannya secepat ini? Merepotkan diri saja.
“Yaudah, lo masih punya kesempatan bujuk Papa bulan depan dan bulan depannya lagi. Tunggu aja sampai suasana hatinya bagus.” Ujarku sebagai saran yang baik untuknya.
“Papa tetap nggak akan berubah pikiran. Kamu nggak inget waktu kamu pergi pertandingan drumband dan pulang dengan kehujanan pakai mobil bak segala, besoknya sakit. Sekolah kamu itu nggak begitu becus memberikan fasilitas ke muridnya.” Jelas papa.
Iya. Fika memang pernah sakit karena pulang dari pertandingan drumband dalam keadaan basah sebab mobil bak yang mereka gunakan malah menebus hujan. Saat itu papa dengan posesifnya terus menghubungi Fika untuk mengetahui keberadaan anak gadisnya itu, tapi Fika malah tak mengangkat dan mematikan ponselnya sebab keadaan hujan.
Akhirnya Aldo (nama papa) berangkat bersama asisten pribadi, aku dan Aldan untuk ke lokasi secara langsung. Papa terkejut mendapati anak bungsunya itu berada di bawah guyuran hujan, sehingga papa marah kepada penanggung jawab drumband dan hendak protes ke Yayasan sekolah Fika.
Kepala sekolah Fika meminta mereka menyelesaikan kejadian itu dengan cara yang lebih kekeluargaan dan berharap Papa tidak melaporkan kejadiaan itu karena mereka juga mengakui bahwa itu keteledoran mereka. Fika berusaha membujuk papanya karena ia takut kalau masalah itu menjadi lebih besar, apalagi teman-temannya juga menatapnya sinis karena merasa orang tuanya terlalu berlebihan.
“Pa, itu bukan salah sekolahnya, kami aja yang maksa hujan-hujan berangkat pulang.” Alasan Fika saat itu dan papa sama sekali tidak peduli dan tak ingin mendengar.
Awalnya papa menolak dan ingin Fika pindah dari sekolah itu, tapi Fika menawarkan sesuatu yang membuat papa akhirnya mengalah dan membiarkan gadis itu dengan keputusannya. Fika mengatakan bahwa ia akan meninggalkan kegiatan Drumband supaya kejadian itu tidak terulang lagi, tapi dengan syarat papanya tidak akan memindahkannya ke sekolah lain. Meski keluar dari ekstrakurikuler drumband, tapi Fika malah bergabung dengan organisasi lain seperti dance untuk menekuni hobinya dalam dunia seni. Papa tak bisa berbuat apa-apa selain diam ketika tidak ada masalah yang berarti kepada putri bungsunya itu.
Papa memang seposesif itu kepada anak-anak perempuannya.
“Jahat.” Desis Fika ketika papa tak kunjung menyetujui permintaannya sebanyak apapun ia berusaha membujuk. Ia berlalu dari ruang keluarga dan pergi ke kamarnya dengan merajuk. Renta, kakak pertama kami, pergi menyusul kepergian Fika.
“Memangnya nggak bisa ya ngizinin Fika. Dia pasti pengen ngerasain perpisahan dengan pengalaman seru sama temen-temannya, Pa.” bujuk mama.
Mama itu benar-benar sosok mama yang dibutuhkan anak-anak. Yang ketika papa memarahi mereka, maka mama siap membela, meski mama memberikan teguran juga, hanya saja caranya lebih lembut dan hati-hati. Mungkin karena kami memiliki papa yang begitu keras dan tegas, jadi mama menjadi sosok penengah untuk kami.
Mama akan memberikan papa pengertian untuk bisa memahami apa yang kami inginkan dan bagaimana seharusnya mereka hendak membatasi ataupun mengizinkan setiap permintaan kami. Mama adalah yang terbaik, itu sebabnya kami tak sungkan untuk terbuka apa saja kepada mama, meskipun itu tidak berlaku untukku.
“Kamu jangan terus begitu sama permintaan anak-anak, Ma, mereka nantinya bisa makin menjadi.” Tegur papa.
"Ini acara perpisahan, ya masa anak kamu nggak ikut."
"Lagian masih lama, Ma. Memangnya harus banget diizinin sekarang. Besok juga bisa jadi, Papa berubah pikiran lagi walaupun ngizinin sekarang."
"Ya mungkin dari pihak sekolah udah memberitahukan supaya nanti kesannya nggak dadakan banget." jelas mama.
"Ya udah, nanti aja. Semester depan masih ada untuk bujuk Papa." ujar papa.
Aku menggelengkan kepala dengan jengah, lalu beranjak dari sana supaya bisa menghindari kalimat papa yang menyebalkan. Papa selalu saja beranggapan dengan pemikiran sempitnya, mengatakan bahwa kami akan melunjak jika permintaan kami terus-menerus didukung oleh mama, padahal mama sendiri pun memilah mana yang tepat untuk didukung dan ditolak.
***
Setelah selesai kelas hari ini, aku bergegas ke Gramedia bersama teman-teman sekelompokku. Karena kebetulan kami memiliki tugas berkelompok yang diharuskan dikumpulkan segera, maka mau tak mau, aku ikut dengan mereka untuk mencari referensi tugas. Sebelumnya aku tidak ikut mereka untuk mencari referensi, tapi sayangnya tadi Dosen matakuliah mengatakan harus mengirimkan bukti foto bahwa mereka benar-benar bekerja sama. Itu merepotkan.
“Ar, Dinda sama lo ya?” tanya Nikolas karena kami sama-sama menggunakan motor.
Aku mengangguk dan membantu Dinda naik dengan mengulurkan lenganku karena sedikit kesulitan ketika merasa motorku terlalu tinggi. Bukan hal baru jika cewek merasa kesulitan naik motorku, apalagi ketika mengingat mama yang saat itu mengomel panjang kali lebar ketika naik ke motorku.
“Kamu ini, bikin Mama jantungan aja. Kenapa beli motor harus yang begini coba? Mama kan nggak bisa naik, jantung Mama udah nggak kuat naik beginian. Udah tau Mamanya pendek.” Ujar mama saat itu sambil memukul penggungku.
“Namanya anak muda, Ma.” Jelasku padanya dan ia hanya memukul sekali lagi, lalu tidak jadi pergi karena keburu marah dan moodnya burukk.
“Mama nggak mau lagi naik itu, mana kamunya juga nggak peka, nggak ada niat megangin tangan Mama.” Ujarnya judes sebelum pergi. Aku hanya terkekeh geli, tapi akhirnya membujuk mama supaya tidak kesal lagi padaku.
Setelah itu, aku benar-benar memperhatikan orang yang akan naik motorku, baik itu mama, Renta, Fika maupun teman sekelas jika ada kegiatan bekerja kelompok seperti saat ini.
“Makasih Ar. Nggak nyangka kalau lo peka juga.” Ujar Dinda padaku.
Aku berdeham ketika merasa tak nyaman dengan tangan Dinda yang sesekali memegang bahuku untuk mempertahankan tubuhnya tidak jatuh. Dengan posisi duduk yang lebih tinggi, jelas ia memiliki kesulitan untuk menahan bobot tubuhnya dan itu akan membuatnya pegal sendiri. Aku meliriknya sesekali dari spion.
“Letak tas lo di punggung gue, terus peluk aja kalau nggak nyaman.” Ujarku meski sebenarnya berat hati mempersilahkannya memelukku. Aku tidak begitu suka skinship apalagi dengan cewek yang tidak kusuka. Nggak tau ya kalau suka, bisa jadi malah aku nggak betah kalau nggak skinship.
“Emang boleh?” tanyanya.
Aku hanya mengangguk saja. Lagipula siapa yang akan marah jika aku saja sudah mempersilahkannya. Ia meletakkan tasnya di punggungku dan langsung meletakkan tangannya di tangki moge.
“Sebenarnya gue nggak nyaman sih begini, Ar, tapi sumpah naik motor lo bikin encok.” Keluhnya. “Nanti kalau cewek lo lihat, bisa-bisa gue jambak-jambakan lagi sama dia.” Ujarnya lagi.
Aku tidak begitu menanggapi apa yang ia katakan karena nyatanya aku tidak memiliki kekasih yang berhak marah atas apa yang kulakukan saat ini.
Ketika kami tiba di parkiran, kami langsung turun dari motor dan hendak masuk, tapi terhalang oleh sebuah suara yang akhir-akhir ini semakin kukenali karena telingaku mulai merasa tak asing dengan suaranya.
“Arsen udah punya pacar?” tanyanya sambil melirik aku dan Dinda.
Aku menatap penampilan gadis dengan seragam SMA itu, lalu menoleh untuk melihat reaksi teman-temanku karena aku bisa merasakan kalau mereka menatapku lekat seolah meminta penjelasan. Armia. Ia sedang bersama 2 temannya yang kini juga memperhatikan kami sambil menunggu jawabanku.
Aku menggaruk pelipisku karena sejujurnya bingung, kenapa ini seolah aku tertangkap basah baru saja berselingkuh dengan gadis lain, padahal aku tidak memiliki hubungan apapun dengan Armia.
“Jawab dong Arsen, kok diem aja sih.” Protes Armia dengan wajah cemberutnya.
“Belum.” Jawabku seadanya. Aku tidak menunjukkan respon yang begitu cuek ataupun ramah, hanya datar. Sepertinya itu penggambaran yang tepat.
“Beneran?” tanyanya terdengar cukup antusias, menghilangkan jejak kejudesan dari wajahnya. “Berarti masih aman terkendali kalau begitu.” Ia membentuk O dengan jari telunjuk dan jempol, sementara 3 jari yang lain tetap berdiri.
“Siapa Ar?” tanya Yohanes, salah satu teman kelompoknya.
Belum sempat aku menjawab, gadis itu sudah memperkenalkan dirinya, “Armia. Aku Armia Guandya, calon pacarnya Arsen. Kebetulan papa kami dekat, jadi ada kemungkinan kami bakal dijodohkan.” Ujarnya.
Aku terkejut dengan perkenalan itu. Seandainya papa kami benar-benar sedekat itu, aku harap tidak ada kata perjodohan dalam hubungan kedekatan itu. Setahuku papa tidak begitu dekat dengan Om Josua, meski sesekali aku mendengar papa menyebutkan orang-orang yang kinerjanya bagus sekaligus dapat dipercayainya.
“Ayo masuk, gue ada kerjaan jam 4 nanti.” Ajakku pada mereka setelah perkenalan singkat mereka.
“ARSEN, JANGAN LUPA CEK DM YA, TERUS BALES.” Teriak Armia cukup kuat dan sedikit membuatku malu, apalagi ketika teman-temanku malah tertawa mendengar ucapan itu. Memang terdengar lucu jika hanya mendengar, tapi kalau ucapan itu ditujukan padamu, maka itu jelas memalukan.
“Ar, beneran sama anak SMA?” tanya Nikolas.
Aku menatapnya tajam hingga ia diam meski pandangannya tetap membuatku kesal.