Aku benar-benar bosan di akhir pekan seperti ini karena tak ada hal menarik yang bisa membuatku bersemangat. Tadi pagi-pagi sekali papa mengajakku dan Alfren untuk lari pagi bersama hitung-hitung merasakan dinginnya udara yang masih sehat, belum dicemari polusi dari berbagai aktivitas manusia. Sayangnya aku sama sekali tidak tertarik dengan ajakan itu karena jelas rebahan lebih menyenangkan.
Mereka berangkat sekitar jam 5 dan sampai jam 8 tak kunjung muncul, padahal aku sudah menunggu mereka, berharap ada bubur, gorengan atau soto yang akan dibawa dari luar. Kalau mereka membawa ketiganya pun aku tak masalah, justru senang hati untuk menghabiskannya. Perutku sudah lapar sejak tadi, tapi mereka sepertinya tidak berniat pulang.
Dengan perasaan berat, aku mengikat asal rambutku, kemudian keluar dari rumah setelah membawa uang untuk membeli makanan. Aku butuh makan dan tak berniat memasak sama sekali. Memasak hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga karena aku sendiri tidak memiliki selera untuk menyantapnya. Masakanku benar-benar buruk dari segi rasa maupun penampilan.
Sebenarnya aku agak menyayangkan keputusan mama yang juga pergi bersama dengan papa dan Alfren pagi tadi, meski tujuan mereka berbeda. Mama ke rumah rekan kerjanya guna membantu masak-masak karena rekan kerjanya mengadakan syukuran untuk rumah baru.
Ketika menggunakan sandal untuk keluar, langkahku terhenti saat sebuah motor besar singgah di depan pagar. Aku memperhatikan motor itu dan terkejut ketika menyadari bahwa itu adalah motornya Arsen. Sudah 2 minggu aku tidak melihatnya dan sampai saat ini pun ia belum membalas DM ku, padahal aku sudah berharap lebih dari kejadian terakhir kali karena sudah mengingatkannya terang-terangan.
Aku membuka gerbang dengan segera, saat ia turun dan membuka helmnya. Ia menyugar rambutnya dengan sengaja, seolah ingin memamerkan ketampanannya demi membuatku terpesona. Aku hanya menghela nafas pelan sambil menghembuskan nafas kasar melihat kharisma pria kaya sepertinya.
“Arsen? Mau ketemu Papa atau aku?” tanyaku tanpa malu.
“Om Josua ada?” tanyanya seperti menghindari saat bertatapan denganku. Ia bahkan bertanya tanpa memandang wajahku agak lama.
Aku tersenyum tipis, lalu mengangguk, “Ada, masuk aja.” Ujarku sengaja membohonginya supaya kami punya kesempatan berdua sambil menunggu papa dan Alfren yang mungkin saja akan datang dalam waktu dekat.
Ia memasukkan motornya, lalu mengikuti langkahku. Aku tersenyum sembari membuka kunci pintu utama sambil meliriknya yang tidak menaruh curiga sama sekali. Wajah anteng sekaligus tatapan datarnya membuatku makin tertarik untuk bisa menjadi orang spesial yang membuat bibir itu berkedut untuk tersenyum setiap harinya.
“Duduk dulu. Entar lagi Papa pulang.” Ujarku sambil mempersilahkannya. Ia duduk, lalu kembali berdiri. “Memangnya Om nggak di rumah?” tanyanya cepat.
Aku menggelengkan kepala tanpa merasa bersalah sama sekali, “Enggak. Papa tadi pergi lari pagi sama calon adik ipar kamu. Paling bentar lagi mereka pulang.”
“Tadi lo bilang Om Josua ada.” Desisnya.
Aku menganggukkan kepalanya, “Memang ada kan? Tapi sekarang lagi nggak di rumah. Pertanyaan kamu sih salah.” Protesku.
“Terus yang di rumah siapa?” tanya Arsen lagi.
“Aku sama kamu.” Jawabku ketika ia mencari-cari orang lain. Nggak mungkin dia mau ngambil kesempatan untuk berbuat m***m kan? Aku masih kecil loh.
Ia segera berjalan meninggalkanku tanpa banyak bicara, hingga membuatku bingung sendiri, lantas menghentikan langkahnya dengan berdiri di depannya ketika ia hampir mencapai pintu masuk, “Kenapa keluar lagi? Tunggu di dalam aja.”
Ia memberikan tatapan tajam dan aku menatapnya dengan salah tingkah.
“Gue nunggu di luar aja.” Ia membuka pintu dan memilih duduk di kursi teras. Aku ikut duduk di kursi satu lagi sambil melihatnya yang memegang ponsel dengan gelisah, lalu menempelkan ponsel itu ke telinganya. Sepertinya ia menelpon papa karena tak nyaman dengan situasi ini.
“Oh iya Om, ini saya udah di rumah Om.” Ujarnya dan itu sudah menjadi bukti bahwa ia memang menghubungi papa.
Aku tidak tahu apa yang papa katakan setelahnya karena Arsen tidak menyalakan mode loudspeaker, yang kudengar hanya saat ia berkata kembali, “Oh iya, Om. Ini saya tunggu aja.” Setelah itu sambungan telepon terputus.
“Papa bentar lagi pulang kan?” tanyaku. Ia hanya mengangguk tanpa repot-repot menoleh atau berbicara.
Aku mencebikkan bibir dengan kesal. Sepertinya ia merasa kalau suaranya semerdu atau semahal itu untuk diperdengarkan. Sesekali aku meliriknya untuk melihat apa yang sedang ia lakukan. Ia memainkan ponselnya dengan sangat fokus, seolah tidak ingin diajak berbicara sama sekali. Sepertinya itu cara dia membatasi keinginanku untuk mengajaknya berbincang.
“Hp kamu kepenuhan memori ya, jadi nggak bisa download Instajram?” tanyaku mengingat bahwa ia belum juga membaca DM ku. Mumpung di sini, kenapa tidak sekalian diingatkan saja, yak an?
“Enggak.” Ujarnya.
“Jadi, kenapa nggak balas DM aku. Dibaca pun enggak.” Desisku sedikit judes.
“Nggak sempat buka instajram.” Jawabnya.
“Yaudah, kalo gitu, nomor telpon kamu aja.” Pintaku dengan antusias.
“Memangnya ada keperluan apa?” tanyanya.
Aku meliriknya sinis, “Memangnya harus ada keperluan baru bisa berkontak sama kamu?” tanyaku. Ia mengangguk tanpa menunjukkan rasa bersalah. Jahat sekali.
“Harusnya nggak gitu lah. Kamu mana bisa berteman cuma sama orang yang penting-penting bagi kamu aja. Membangun relasi pertemanan yang baik itu penting. Kita mungkin nggak butuh sekarang, tapi suatu saat nanti kan bisa jadi kita butuh.” Jelasku.
“Gue nggak merasa begitu.” Bantahnya.
Aku menghembuskan nafas kasar. Ternyata dia tipe pria yang kerasa kepala, sulit sekali diberi saran, padahal itu kan saran baik. “Iya sih, orang kaya mah lingkar pertemanannya pasti udah berkualitas. Wajar juga kalau nggak butuh orang asing.” Ujarku mengangguk setuju. Mengingat bahwa ayahnya adalah bos di perusahaan papa, maka sudah dipastikan kalau mereka dari kalangan berada dan jauh di atasnya.
“Aku mau beli makanan.” Ujarku sambil menutup pintu dan menguncinya, kemudian melirik Arsen sebentar, “Nanti kasih tahu sama Papa.” Ujarku. Ia hanya mengangguk singkat.
“Ihhhh.” Aku menggeram kesal sambil melirik ke belakang ketika mulai menjauh dari rumah. Cowok menyebalkan. “Kena pelet baru tau.” Desisku sambil menghentakkan kaki ke jalan yang tidak bersalah.
***
Ketika aku kembali ke rumah, motor besar itu masih ada di depan rumah dan aku melihat pintu rumah sudah dibuka, juga motor papa ada di sampingnya. Aku segera masuk dan mendapati Alfren hanya sendirian di ruang keluarga, sedang menonton televisi sambil menyantap bubur. Aku menatapnya dengan mata membesar, lantas merebut dari tangannya.
“Ihh apaan sih Kak?” protesnya.
“Ini punya gue kan?” tanyaku judes ketika tak melihat adanya bungkusan lain selain yang ia pegang.
“Punya gue lah. Lo kan abis dari luar beli makanan, yaudah punya lo buat gue aja.” Ujarnya sambil merebut bubur itu kembali.
Aku memukul tangannya, “Ihh lo udah makan di luar tadi. Lihat tuh badan lo yang bagus, nanti jadi jelek.” Ujarku mengingatkannya. Padahal hati tidak rela sama sekali memuji badan adik lucknut itu. Itu hanya trik supaya ia mau mengalah.
“Apaan sok muji-muji. Lo pikir gue tersanjung? Enggak. Awas ihh. Lo cewek, makannya dikit aja kenapa. Udah beli banyak itu.” tunjuknya pada apa yang kubeli menggunakan bibirnya.
“Fren, ngalah dikit sama Kakak.” Tegurku sudah lelah berdebat dengannya.
“Lo yang ngalah sama adek. Di mana jiwa kasih sayang kakak lo ke gue?” ia malah membalas perkataanku tanpa mau mengalah. Buburku. Di depan bubur sudah habis, jadi aku hanya membeli lontong saja, padahal aku sedang ingin bubur. Oh bubur, kenapa engkau cepat habis?
“Jangan harap lo bisa terima duit lagi dari gue.” Ancamku padanya sambil menunjukkan gerakan telunjuk yang seolah memotong leher.
“Heh, kok gitu? Iya, iya, ini buat lo aja.” Ujarnya di suapan terakhir. Akhirnya ia merelakannya untukku. Meski tinggal sedikit, setidaknya bisa mengobati keinginanku untuk menyantap bubur ayam itu.
Aku tersenyum puas sambil menatapnya dengan picik. Ia meraih gorengan yang kubeli, lalu tangannya kutepis. Tidak ada kata berbagi untuk orang yang sudah mencuri makanan jatahku. Ia hendak protes, tapi urung setelah melihat tatapanku seolah memberikan ancaman.
Enak juga ya kalau punya sesuatu untuk bisa dijadikan ancaman supaya adik jadi nurut sama kakak. Untung aku punya duit, jadi Alfren merasa butuh dan harus mengalah padaku.
“Memangnya kamu nggak merasa berat di semester 7 gini sesibuk itu sama kerjaan?” suara papa membuat aku maupun Alfren menoleh. Papa baru saja keluar dari ruang kerjanya bersama Arsen.
“Awalnya berat sih Om, apalagi awal masuk semester 7, di situ kepala kayak udah mau pecah.”
“Iya, emang beratnya di situ. Apalagi tugas kuliah kamu juga banyak. Ngambil berapa sks semester ini?” (sks = satuan kredit semester, bisa diartikan sebagai besarnya beban studi mahasiswa.)
“24 sks Om.”
“Wah, banyak loh itu. Tugasnya masih masih bisa dihandle begitu banyak?”
“Diusahakan selalu siap Om.”
Papa menepuk bahu Arsen sambil tersenyum bangga layaknya seorang ayah pada anaknya. Aku memutar kepalaku ketika Arsen tak sengaja menatap tepat pada mataku. Mereka pergi keluar dengan kebiasaan papa yang mengantarkannya sampai ke depan gerbang.
“Tumben nggak kegenitan lo?” Alfren menggerakkan kakinya ke kakiku sambil menaik turunkan alisnya.
“Diem lo bocil, nggak usah nanya-nanya.”
“Sensi banget. Udah ditolak ya tadi waktu bang Arsen datang?” ejeknya.
Aku hanya mencebikkan bibir tanpa menanggapi dengan kata-kata. Alfren tuh tipe adik yang akan menjatuhkan harga diri kakaknya, apalagi jika dia tau kalau aku minta nomor ponsel atau bahkan minta Arsen balas DM ku yang udah dianggurin cukup lama. Aku tidak ingin kehilangan harga diri di hadapan Alfren, jadi lebih baik bersabar saja.