08. Arsen

1637 Kata
“Dari mana bang?” tanya mama ketika aku baru pulang dari rumah om Josua. “Dari rumah Om Josua, Ma.” “Nggak lama?” “Enggak, kata Om Josua, ada kegiatan jam 10 nanti, jadi nggak mau ganggu juga.” Jelasku. Mama menganggukkan kepalanya, hingga aku memutuskan untuk meninggalkan mama, sebelum akhirnya mendengar ia berkata, “Oh ya, tadi Papa pesan supaya nanti malam kamu jangan ada kegiatan. Papa mau ngajak kamu ke acara temannya.” Aku mengernyit, “Bukan ngajak Mama?” tanyaku bingung. Biasanya papa selalu mengajak mama untuk kegiatan seperti itu. Apalagi aku juga tidak memiliki kepentingan yang berarti untuk mengenal teman papa. “Iya, Mama juga ikut, tapi kata Papa mau ngajak kamu sama Aldan sekalian.” “Oke.” Anggukku. Aku masuk ke dalam kamar dan membaringkan tubuhku di atas kasur. Ah, rasanya sudah jarang sekali aku bermalas-malasan di akhir minggu seperti ini atau lebih tepatnya setiap harinya. Semakin bertambah umur, aku merasa beban di pundak semakin berat. Sejak masuk usia 21, papa sudah mengarahkanku untuk pekerjaan kantor karena katanya itu cara untuk mengenalkanku secara perlahan. Tapi baru-baru ini aku mulai diarahkan untuk bekerja secara langsung ke kantor, bukan hanya belajar dari rumah saja. Walau bagaimanapun, papa nantinya akan memberikan tanggung jawab itu padaku sebagai anak pertama laki-laki, meski Aldan juga dituntut dengan cara yang berbeda. Aku tidak menganggap diriku pintar dan bisa melakukan ini semua semudah itu, tapi untuk pekerjaan kantor secepat itu, Aldan merasa keberatan karena menurutnya ia belum mampu. Bicara soal kelebihan, aku rasa memang aku lebih pintar dari Aldan dalam hal akademik, tapi pria itu lebih pintar bersosial dibandingkan aku. Jadi apa gunanya semua ini? Dia bahkan lebih bisa diandalkan untuk hal menarik perhatian dan membuat orang sependapat dengannya karena sifatnya yang ramah dan menyenangkan. Aku bisa memikat orang dengan pola pikir dan kepintaranku, tapi sayangnya jiwa sosialku kalah jauh apabila dibandingkan dengan Aldan. Aku termasuk mahasiswa kupu-kupu (Kuliah pulang-kuliah pulang). Lebih tepatnya pulang karena aku punya pekerjaan dan tidak berminat ikut kegiatan organisasi di kampus baik itu organisasi kecil maupun besar. Sementara Aldan, jangan tanya berapa banyak organisasi yang ia ikuti karena ia aktif dari organisasi kecil sampai organisasi besar. IPKnya (indeks prestasi kumulatif) memang tidak setinggi aku, atau bahkan punya jarak yang cukup jauh, tapi jangan tanyakan circle pertemananya. Ia punya teman dari berbagai kelas, jurusan, fakultas bahkan kampus lain. Aku cenderung menutup diri dan takut orang lain tidak bisa menerima sifatku yang kaku jika aku bergabung dengan mereka. Bukan hal mudah untuk menyatuhkan orang-orang yang berbeda pemikiran, sifat atau hal dasar lainnya. Aku juga sulit memahami dan mengerti cara orang lain berpikir dan bertindak. Aku menghela nafas ketika mengingat bahwa aku harus mengistirahatkan pikiranku sejenak. Ada begitu banyak pemikiran-pemikiran berat yang terkadang bersemayam di kepalaku, baik itu tentang circle pertemanan, masa depan atau bahkan hal lainnya. Semakin dewasa, semua itu semakin membebankan. Ponselku bergetar hingga aku mengambilnya dari saku celana dan mengecek sebuah chat yang masuk, ternyata dari bang Dimas. Tanpa banyak berpikir, aku langsung membuka ruang chat kami dan menatap chatnya agak lama. Bang Dimas : Ar, besok sibuk nggak? Temenin gue beli kado untuk Renta dong. Aku menyipitkan mata menatap isi chatnya. Ini dia benar-benar mengajakku untuk membelikan kado untuk Renta? Memangnya aku tahu apa soal kado untuk perempuan? Arsen : Gue? Lo nggak salah ngajak orang, bang? Bang Dimas : Enggak. Udahlah, besok kita ketemuan di luar. Gue shareloc besok. Arsen : Terserah lo. Ketika hendak meletakkan ponselku, aku teringat dengan ucapan putri om Josua pagi tadi yang mengatakan kalau aku belum mengecek DM darinya. Aku tidak berbohong dengan mengatakan kalau aku jarang bermain sosial media karena itu sungguh-sungguh. Kalaupun aku sibuk dengan ponsel, kebanyakan itu dikarenakan game online atau aplikasi chat. Aku mengecek DM dan ternyata ada beberapa pesan yang dikirim dan belum sempat k****a. Aku membukanya satu persatu dan membalas sebisanya. Ada beberapa yang sudah sangat lama dan tak lagi perlu dijawab, tadi ada yang masih baru dan perlu ditanggapi. Aku mengklik DM dari akun armia_g22. armia_g22 Ini beneran akun Arsenio Blacker? Kok nggak ada bacaan officialnya? Udah gitu foto profilnya juga nggak ada Emangnya nggak pernah foto ya? Isi akunnya juga menggambarkan cowok-cowok bijak gitu, padahal kan aslinya judes dan jutek Nggak dibaca juga Nggak pernah buka instajram atau memorinya penuh sampai nggak bisa download aplikasi? Bagi nomor WA dong Bagi nomor WA Bagi nomor WA, penting untuk komunikasi yang lancar diantara kita Aku menggelengkan kepala melihat banyaknya pesan itu dan memilih membuka akun miliknya. Cukup terkejut, itu yang menggambarkan ekspresiku ketika melihat akun miliknya sudah diikuti hampir 665 ribu orang. Dan akun itu sudah memiliki centang biru. Tadinya aku kurang memperhatikan hal itu dan baru sadar setelah mengecek akunnya. Aku langsung menscrool ke bawah untuk mengecek isi akunnya. Aku menggelengkan kepala tak percaya melihat ada beberapa foto ia dengan riasan karakter barbie. Aku kembali ke atas dan menemukan keterangan bahwa dia adalah Beauty Vlogger. Lalu kenapa dia bertingkah genit di depanku? Memangnya dia tidak takut kalau ada yang melihat kegenitannya itu? Aku masih melihat-lihat foto dan video dalam akunnya. Ia cukup aktif dalam penggunaan sosial media karena aku menemukan beberapa postingan yang jaraknya hanya satu minggu dari postingan sebelumnya dan setelahnya. Fashion yang ia gunakan cukup kekinian dan sangat terlihat bahwa dia benar-benar masih muda dan menampilkan dirinya dengan sangat percaya diri. Kebanyakan fotonya menggunakan baju croptop, meski tidak sampai terlihat perutnya, lalu dipasangan dengan rok pendek. “Ngapain Ar?” aku terkejut dengan pintu kamar yang dibuka tiba-tiba dan kemunculan Aldan di depan pintu sambil bertanya. Ia benar-benar mengejutkanku. Aku sampai mengusap dadaa dan menarik nafas beberapa kali. Aku langsung meletakkan ponselku di atas kasur, lalu duduk. Aldan masuk dan menutup pintu sambil menatapku curiga. Dari tatapannya aku sudah bisa menduga apa yang akan ia tuduhkan padaku. Itu terlihat jelas dan itu adalah pemikiran utama yang pasti muncul melihat reaksiku barusan. “Habis nonton film biiru kan lo?” tudingnya sambil menyipitkan mata dengan senyum picik. Tatapan itu, aku membencinya. “Enggak.” Sanggahku cepat, “Ngapain lo masuk kamar orang tiba-tiba. Bukannya tadi lo pergi buat olahraga sama teman-teman lo?” tanyaku agak ketus. Ia tersenyum, “Bagi dong tontonannya. Gue juga pengen lihat, nanti gue kasih link terbaru deh.” “Awas Al, lo bikin panas aja.” Ujarku sambil mendorong tubuhnya yang mendekat, lalu mengipas-ngipaskan tangan ke wajah karena tiba-tiba aku merasa gerah. “Gitu banget, gue ganggunya pas mau kliimaks ya?” tanyanya. “Enggak Al, jangan ngada-ngada deh.” “Kalo enggak, coba tunjukin yang lo lihat barusan sampai muka sama telinga lo merah begitu?” paksanya. “Eh?” aku langsung mengantongi ponselku sebelum ia meraihnya. Lebih baik dituduh menonton film biiru daripada dia tahu kalau aku sedang mengkepoi akun perempuan. Dia pasti akan lebih berulah kalau tahu hal ini dan menyebarkannya pada mama, papa, Renta dan juga Fika. Aku menggelengkan kepala setelah membayangkan bahwa mereka semua akan meledekku. Padahal aku hanya ingin tahu saja isi akun gadis itu. “Berarti beneran.” ujarnya mengambil kesimpulan begitu saja. Aku hanya mengalihkan pandangan, “Ngapain lo ke sini?” “Pengen nyapa lo aja.” Ujarnya dengan senyum menyebalkan itu. “Yaudah, kalo udah siap, mending keluar. Gue males ngeladenin lo.” “Lo bukan nonton konten boy sama boy kan, Ar?” “Siialan.” Aku melayangkan tinju ke perutnya dengan ringan. “Gue nggak segila itu. Gue masih normal.” Desisku. “Siapa tahu, diem-diem ternyata lo nggak selera cewek. Jangan sampai kejadian ya, bang, adek jadi takut kalo itu beneran kejadian. Apa jadinya kalo ternyata cuma gue yang bener-bener lakik di sini selain Papa.” Ujarnya bergidik ngeri. “Nggak usah cari ribut, Al. Pergi sana.” Usirku sambil mendorong tubuhnya keluar dari kamar. Aku malas meladeninya. Isi pikirannya banyak yang tidak benar dan selalu saja menjahiliku seolah itu adalah hobinya. Aku kembali naik ke atas kasur, tapi tidak lama kemudian, Aldan kembali membuka pintu dan memunculkan wajah menyebalkannya yang masih menunjukkan senyum menjijikkan, “Jangan lupa salin link, terus kirim ke gue ya. Ke gue loh, bukan ke Papa.” Pesannya. “Gue nggak nonton video biru.” Bantahku karena benar-benar kesal. “Masa sih? Kalo gitu coba tunjukin sama gue, apa yang lo sembunyiin?” “Itu privasi gue. Gue pun nggak pernah kepo sama apa yang lo lakuin.” “Ya karena gue nggak pernah kepergok lagi nonton video biru sama lo.” Akunya bangga sambil menaik-turunkan alisnya. “Video biru nggak bagus untuk perkembangan otak.” Ujar sebuah suara dan membuat Aldan terkejut. Dari tempatku, bisa kulihat wajah menyebalkan lainnya. Wajah Renta. “Itu tuh si Arsen lagi nonton. Tapi kelihatannya perkembangan otak dia bagus-bagus aja tuh.” Ujar Aldan. “Ren, jangan mancing Aldan deh. Awas kedengaran Papa, Mama atau Fika.” Ujarku. Mereka membahasnya seolah tak ada yang salah dari pembahasan itu. Dan lagi, ini kupikir Renta emang kalem beneran, tapi ternyata otaknya juga nyampe ke sana. Di depan bang Dimas, dia menunjukkan wajah polos dan tatapan bak malaikat, tapi kini ia malah menatapku dengan tatapan seolah ia sedang memberitahu bahwa ia mengetahui semuanya. Senyum itu bahkan lebih picik dari senyum Aldan. “Gue cuma ngasih saran aja sih.” “Mending lo ngasih saran gitu sama bang Dimas, karena bisa jadi dia justru udah kebelet ngawinin lo. Usia dia kan udah sangat dewasa untuk bisa nununana sama cewek-cewek.” Pesan Aldan sebelum Renta pergi dan kini aku yang tersenyum geli mendengarnya. “Pergi dari kamar gue sebelum orang-orang beneran mikir gue lagi nonton video biru.” Aku melemparkan bantal pada Aldan dan ia berhasil menghindar. Ia pergi dengan menutup pintu guna menghindari lemparanku tadi. Aku kembali menghidupkan ponselku dan menghela nafas kasar saat melihat akun instagramm yang masih menunjukkan foto-foto Armia. Aku mengusap dadaaku dengan lega, “Untung nggak ketahuan gue ngepoin lo.” Tunjukku pada foto itu dengan judes.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN