01

1782 Kata
Mohon baca ‘HEAL’ sebelum baca cerita ini karena keduanya berhubungan dan supaya kalian paham. **** “Fany udah selesai belm? Kalo udah cepetan keluar sarapan.” Fany yang baru ingin memakai dasi menoleh ke arah pintu kamarnya yang tertutup. Fany menghela napas kecil karena harus terburu-buru karena Ia bangun kesiangan. Fany pun mengambil tas nya lalu berlari keluar kamar sambil mmegang dasi yang belum sempat Ia pakai. “Pagi semuanya.” Sapa Fany. “Pa...” “Duh, kayaknya Fany telat. Fany gak sarapan deh, Fany pergi Assalamualaikum.” Fany memotong ucapan orang tua dan adiknya yang hendak membalas sapaan pagi nya tadi. “Fany sarapan dulu.” “Fany udah telat, Pah.” “Enggak sarapan dulu.” Fany meremas rok lipitnya yang berwarna krem. “Ntar kalo Fany telat gimana?” Tanya Fany dengan pikiran yang sudah dipenuhi berbagai hukuman yang akan Ia dapatkan jika terlambat nanti. “Gak papa telat, yang penting sarapan dulu, sini.” Balas Papa Fany. Fany yang sempat berjalan beberapa langkah mendekat ke meja makan dengan raut wajah khawatir. Fany pun menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya dan hanya bisa pasrah saat sepuluh menit lagi gerbang sekolah akan tutup. “Santai aja, kak. Jangan takut. Kayak Nevan dong selalu santai.” Fany menoleh ke arah adik laki-lakinya yang tengah makan sereal. “Nevan kan udah sering telat, udah biasa jadinya gak takut, kan?” Nevan cengengsan sebagai balasan dari ucapan Fany. “Pasti ntar dibantu Papa, tenang aja.” Bisik Ibunya sambil menyodorkan sepiring nasi goreng dan segelas s**u cokelat. *** Fany menempelkan tubuhnya di pintu mobil dengan mata yang terus tertuju ke arah luar jendela mobil. Fany menoleh ke arah pria yang sedang memegang tablet dengan santainya. Rasanya Fany ingin sekali menangis karena sepengetahuannya Ia sudah terlambat hampir satu jam lamanya, yang artinya jam pelajaran pertama sudah selesai dimana hanya memiliki jam bekajar selama satu jam dan ditambah lagi pelajaran pertama adalah Matematika, pelajaran kesukaan Fany. “Tuh kan, telat!” kata Fany dengan suara bergetar saat matanya tidak melihat murid yang ada dilingkungan sekolah. Fany yang sedang memperhatiakn gerbang sekolah beralih menatap Ayah nya yang masih bersikap tenang sedangkan dirinya sudah ketar-ketir tidak siap menerima hukuman. “Sudah sampai, pak, non Fany.” Kata supir membuat Fany langsung turun dari mobil. Fany tidak langsung berlari ke kelas karena harus menunggu Ayah nya sebab tas nya ada bersama sang Ayah. “Yuk, masuk.” Fany bisa sendiri, Pah.” Fany menatap sekilas wajah Ayahnya. Fany merasa bahwa dirinya diperlkukan seperti anak TK dimana orang tuanya ikut masuk ke dalam kawasan sekolaj sambil membawakan tas. “Iya besok-besok sendiri, hari ini Papa temenin.” Fany pun diam. “Selamat pagi, bu.” “Selamat pagi juga pak Ardhan.” Seorang wanita dengan sambut disanggul rapi serta kacamata yang bertengger di hidungnya menatap Ardhan kemudian Fany. “Hari ini yang piket ibu, benar?” “Iya benar, dan kenapa Fany terlambat?” wanita itu melihat jam tangannya, “terlambat sampai satu jam.” Fany menatap Ardhan yang berjalan menjauhinya untuk berbicara pada wanita tadi. Fany tidak tahu apa yang dibicarakan oleh kedua orang itu karena yang hanya Ia tahu guru piket tersebut sesekali menatapnya lalu kembali menatap Ardhan. “Ya sudah Fany boleh masuk, tidak ada hukman. Tapi jangan bilang ke teman-teman kamu kalai kamu tidak dapat hukuman.’ Fany tersenyum lebar mencium punggung tangan guru piket seraya mengucapkan terima kasih lalu guru tersebut pamit pergi. “Gak dihukum, jangan sedih. Sekarang masuk ke kelas, Lain kali tidurnya gak boleh lewat dari jam sembilan, tadi malem kebanyakan baca novel sih. Papa sita ntar novelnya kalo tidrunya malem-malem banget.” Kata Ardhan sambil memberikan tas Fany. Fany mengangguk sambil tersenyum lalu mencium punggun tangan Ayahnya. “Ntar pulang sekolah Papa jempt... Fany jangan lari-lari.” Fany yang sedsng berlari pun berhenti mengangkat jempolnya ke udara berjalan dengan langkah cepat. *** “Gila, lo dateng jam segini, Fan.” Fany menyeringai mendengar ucapan teman sebangkunya. Untung saja ketika Fany masuk ke kelas guru bidang studi selanjutnya belim masuk. “Kesiangan, Fel. Terus sarapan, nganter Nevan dulu ditambah jalanan macet banget, ya udah deh baru bisa sampe di sekolah jam segini.” Feli menepuk-nepuk punggung Fany melihat napas Fany tersenggal-senggal. “Tadi lo dicariin.” Fany yang hendak minum menjauhkan ujung botol minumnya menatap Feli. “Masih ada juga ya yang nyariin aku? Laki-laki?” “Ya kalo cewek yang nyariin lo paling Cuma gue sama Cindy, Fan. Iya laki-laki, anak IPS.” Feli memelankan kata IPS di dekat kuping Fany. “Gak kamu tanya dia mau apa nyariin aku?” “Paling mau PDKT sama lo.” Feli menyenggol lengan Fany. Fany mengglengkan kepala tidak mau ambil pusing walaupun sebenarnya Ia sedang memikirkan apa yang baru saja Feli sampaikan mengenai ada yang mencarinya, laki-laki. “Eh, Fan, tadi ada yang nyariin lo.” Itu adalah suara Cindy. Feli memutar bola matanya, ‘telat, Cin. Udah gue sampein.” Cindy yang duduk di samping Fany menganggukan kepala. “Ganteng lho, Fan.” Tambah Cindy. “Ssstt.. Pak Otis,” balas Fany menaruh telunjuknya di bibir dengan mata yang tertuju ke arah pria berkumis tebal. *** Fany mengerenyit saat Feli yang duduk di sampingnya malah beranjak duduk di hadapannnya tepat di samping Cindy. “Kok pindah, Fel? Aku bau, ya?” “Wangi,” Mata Fany memblat saat mendengar suara laki-laki disebelahnya. “Hai! Sapa laki-laki tersebut sambil tersenyum manis ketika Fany menoleh. “Emm, hai.” Balas fany kembali memakan spagetinya. “Boleh kenalan?” Fany kembali menoleh. “Darren,” katanya sudah mengulurkan tangan dengan senyum yang tak pernah hilang. Fany melirik Feli dan Cindy yang sedang menatap mereka dengan sendok yang berada di mulut masing-masig. “Ni orang belom tau apa?” bisik Feli. “Anak baru kali.” Balas Cindy terus menatap laki-laki yang duduk di depannya. “Darren.” Ulang laki-laki itu saat Fany hanya diam saja. “Eh, aku Fan...” “Fany, kan?” Lagi Fany membulatkan mata. “Kok tau?” bukan Fany yang bertanya melainkan Cindy. “Tau dong,” balas Darren tidak menatap Cindy tapi Fany. “Maaf, apa kita pernah ketemu?” tanya Fany. Darren mengangguk. “Gue tau siapa lo, bahkan gue udah pernah ketemu sama bokap nyokap lo. Lo tau siapa gue?” Fany mengangguk membuat Darren lebih mendekat pada Fany. “Darren, kan?” kata Fany. “Ppfftt...” Darren menatap Feli dan Cindy yang sedang menahan tawa kemudian ia beralih menatap Fany. “Lo gak inget siapa gue, Fan? Bener lo gak inget? Kok gue inget lo ya, tapi lo nya enggak.” “Hanya ingin lo tau, Fany orangnya gampang lupa.” Celetuk Feli. “Gue ngomong sama Fany, bukan sama lo.” Feli menyikut Cindy yang sedang mentertawakannya. “Gue temen kecil lo, Fan. Temen sekolah lo pas masih SD, waktu itu lo ulang tahun ngerayainnya di kelas, gue ada waktu itu.” Fany memundurkan tubuhnya ketika Darren semakin dekat. Fany memperhatikan sekelilinya dimana orang-Orang yang ada dikantin sudah menatap mereka. Fany melotot saat tangan Darren menyentuh pinggangnya mendekatkan bibir laki-laki itu ke telinga Fany membuat siapapun yang melihatnya langsung menahan napas. “Gue Darren, laki-laki yang gak sengaja cium lo pas mau ngasih kado di depan bokap nyokap lo, Fan.” Bisik Darren sepelan mungkin. Darren menjauhkan tubuhnya menatap Fany yang sedang termenung. Fany mengerjapkan mata beberapa kali ketika wajahnya ditiup membuat hidungnya dapat merasakan aroma mint dari tiupan laki-laki yang ada di hadapannya. “Masih belom inget?” “Darren yang duduknya satu meja sama aku? Darren sendiri yang duduk sama perempuan? Darren yang selalu teriak-teriak sebelum mau baca doa?” “NAAAH!!!” seru Darren seraya menepuk tangannya sekali membuat openghuni kantin langsung menoleh. “Nah, inget kan?” Fany mengangguk membuat Darren tersenyum lebar hingga memperlihatkan giginya. “Aduuh, Fan. Akhirnya gue ketemu sama lo lagi. Lo SD, SMP dimana? Gue heran kenapa kita baru ketemu sekarang padahal kita satu sekolah, pas kelas sepuluh gue kemana aja ya sampe gak ketemu sama lo, baru ketemu nya sekarang pas udah kelas dua belas.” Cerocos Darren sambil meminum jus jeruk milik Fany. “Darren itu...” “Ntar gue beliin yang baru.” Potong Darren mengerti jika Fany ingin mengatakan soal jus jeruk yang Ia minum. “Bukan soal jus jeruk, soal...” Puk! Darren berhenti meminum jus jeruknya ketika merasakan tepukan di bahunya dan Darren pun berbalik. “Ngapain kamu deketin anak saya?” “Lah, mampus.” Gumam Feli menutup mulutnya yang sedang menyunggingkan senyum sedangkan Cindy sudah cekikikan. “Gak denger apa yang saya bilang?” Mereka yang ada dikantin tidak kaget dengan kehadiran Ardhan yang datang secara tiba-tiba karena itu sudah sering terjadi saat ada laki-laki yang sedang mendekati Fany. Darren langsung berdiri. “Eh, om Papa nya Fany, kan? Saya Dar...” “Kamu!” Ardhan menunjuk laki-laki yang memakai kacamta duduk tidak jauh dari meja Fany. “Bilang sama guru yang piket bel masuk dibunyikan! “ Anak laki-laki itu langsung mengangguk dan pergi dari kantin. Tak lama setelah kepergian laki-laki tadi bel masuk pertanda jam istirahat pun berbunyi membuat para siswa-siswi terpaksa masuk walaupun sebenarnya mereka sangat ingin menonton dan menjadi saksi apakah Darren selamat dari Ardhan atau tidak. Kantin pun kosong hanya menyisaka beberapa orang penajaga kantin. “Kamu di sini aja sama saya.” Darren tersenyum diselingi anggukan membuat Fany, Feli dan Cindy mendelik. Punya nyali ni anak. Ardhan pun duduk di single chair milik Cindy yang sudah tidak diduduki lagi karena Cindy sedang berdiri bersama Fany dan Feli. “Fany dan kalian masuk.” Suruh Ardhan dan tanpa ba-bi-bu ketiga gadis itu pergi dari kantin untuk masuk ke dalam kelas. “Lho om, Fany kok di suruh masu? Di sini aja kan gak papa.” Ardhan menyandarkan tubhnya sambil mengetuk-ngetuk meja menggunakan telunjuknya menatap Darren seperti lupa jika harus berkedip. “Ya udah deh gak papa Fany nya masuk. Saya mau ngenalin diri ke om, nama saya...” “Yang saya tanya ngapain kamu deketin anak saya?” Darren diam beberapa saat. Real cewek cantik bapaknya galak, fix! Darren tersenyum. “Saya ini temen SD Fany, om. Nama saya Darren.” Ardha tiak mengucapkan apapun selain memberikan ekspresi datar membuat Darren bingung harus apa dan memikirkan dimana letak kesalahannya, memangnya salah jika ingin mendekati Fany? Pikir Darren. “Temen pas masih sekolah dulu. Kan om sama tante ada ngerayain ulang tahun Fany di sekolah bareng temen-temen bareng guru juga, di situ saya ada, saya ikut ngerayain. Saya kasih Fany kado kotak musik, om.” Darren mengangguk setelah berbicara. Ardhan masih diam. Darren menggaruk tengkuknya yang tak gatal bingung harus bagaimana lagi. BRAAKK!!! “Astagfirullah!” Darren mengusap-usap dadanya karena jantungnya berdetak kencang setelah mendengar gebrakan meja Ardhan. “Oh, jadi kamu yang cium Fany? Berani-beraninya kamu!” Darren mengangkat kedua tangannya di udara saat sumpit yang baru saja Ardhan ambil dari tempat sendok sudah berada di depan matanya. Serem banget elah! “Tujuan kamu deketin Fany?” “Emm... I-itu om. Mau bales rasa su...” “Langsung ke intinya!” Darren memejamkan mata saat sumpit tadi semakin dekat dengan matanya. “Pacaran, om.” Balas Darreng dengan kedua mata yang sudah terbuka lebar. Ardjan menjauhkan sumpit yang ia pegang membuat Darren bernapas lega. “Kamu tau kegunaan sumpit bukan cuma untuk makan?” Darren refleks mengangguk. “Selain untuk makan, sumpit juga bisa nusuk mata kamu! Robek mulu kamu!” Anjiir ngapa pengen pipis ue. “Hehehe, om bisa aja bercandanya. Kalo gitu saya permisi dulu om, mau masuk. Saya anak baik gak mau cari masalah sama guru. Salam kenal, om.” Darren langsung beranjak pergi dengan mulut yang berkomat-kamit. “Anjir...anjir...anjir!” Ardhan meletakkan sumpitnya di meja menatap kepergian Darren lalu menoleh ke kiri. “Bu, siomay satu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN