02

1413 Kata
“Sstttt... “ Fany menoleh ke asal suara dan mendapati Darrren sedang bersandar di dinding luar kelasnya. “Darren,” Darren menarik lembut tangan Fany untuk duduk. “Diliatin kita,” Fany melirik orang-orang yang lewat sambil menatap mereka, khususnya anak laki-laki. “Halah, bodo amat!” Darren mengibaskan tangannya menaikkan satu kaki ke atas kursi yang ia duduki dengan mulut yang tersumpal tusuk gigi. ‘Oh iya, tadi jam istirahat pertama Papa aku ada ngomong apa sama kamu?” Darren menghela mapas membuang usuk giginya ke arah laki-laki berambut klimis dengan kancing seragam paling atas ikut dikaitkan menambah kesan culun pada laki-laki itu. Laki-laki tersebut hanya melirik sekilas dan terus berjalan untuk keluar dari sekolah. ”Bokap lo serem, ya.” Fany tertawa, “emang, makanya gak ada yang mau deketin aku.” “Karena serem?” “Bukan, karena Papa aku udah bilang ke semua laki-laki yang ada di sekolah ini untuk gak boleh deketin aku.” “Lah, ketinggalan informasi gue,” gumam Darren. ‘Tapi Darren hebat berani deketin aku.” Fany mengcungkan kedua jempolnya untuk Darren. Dareen tersenyum dengan tatapan lurus ke depan. Hebat banget gua, banget! Banget! Banget! “Udah berapa orang yang sempet jadi bulan-bulanan bokap lo?” “Emm...Aku gak  tau berapa, tapi udah cukup banyak.” “Yang paling parah diapain?” tanya Darren. “Di suruh lari lapangan garuda, tau kan lapangan garuda yang ada di depan sekolah lapangan Garuda Satu? Lebar banget kan lapangannya? Nah, di suruh lari keliling lapangan sampe lima kali.” “Berhasil?”  Fany menggeleng. Darren mengangguk. Yakali anjir berhasil lebarnya aja muat untuk tiga pesawat er esiah. “Kamu beneran mau deket sama aku?” Darren menurunkan kakinya menatap Fany lalu tersenyum. “Gak gampang lho deket sama aku.” Darren mengangguk, “tau. Tapi cewek cantik itu emang kebanyakan bokapnya galak.” Fany tertawa. Begitu juga dengan Darren. Sok ketawa padahal udah ketar-ketir, ajg “Sebelim kamu bener-bener pengen deketin aku. Aku kasiah tau nih ya, dulu waktu jaman SMA Papa tuh bad boy. Biang onar sekolah, suka cbut, sering dapet surat peringatan dari sekolah, sering kena hukuman, tukang berantem, malah kata Mama aku Papa jago banget yang namanya berantem karena emang dia serin mukulin anak orang, bahkan mukulin murid sekolah lain di depan sekolah yang dipikulin sama Papa. Papa ku suka lempar musuhnya sana-sini, apa yang ada dideketnya langsung dilempar ke musuhnya, musuh Papa selalu masuk rumah  sakit, Mama aku aja sampe takut lho.” Fany bercerita seperti itu tidak bermaksud menakut-nakuti Darren, walaupun Darren sendiri sudah merasa was-was.  “Jadi kamu tetep mau deket sama aku?” Darren menelan ludahnya dan mengangguk. “Gue tetep mau deketin lo, gue mau bales rasa suka gue ke elo yang udah ada sejak SD.” Fany tersenyum lebar, mungkin Darren lah yang akan merubah pandangan Ayahnya. “Aku berharap suatu hari nanti ada laki-laki yan bisa bikin Papa luluh, ada laki-laki yang bisa ngelepas aku dari semua sikap overprotektif Papa.” “Dan gue laki-laki itu, Fan.” Fany menatap Darren. “Sekali lagi, apa kamu yakin mau deketin aku?” Dan Darren mengangguk dengan mantap. “Apa waktu kecil lo juga suka sama gue, Fan?” tanya Darren. “Hah?” “Lo suka juga gak sama gue waktu kita masih kecil? Soalnya pas gue cium lo, lo mesem-mesem gitu, malu-malu.” Darren terkekeh. Fany tersenum, “emang iya?” “Iyaaa, pipi lo merah masa pas gue cium. Lo suka sama gue?” Fany tertawa kecil dengan kepala yang tertunduk, Fany pun mengangkat kepalanya untuk menatap Darren. “Lo kenapa?” tanya Darren saat ekspresi wajah Fany langsung berubah tegang. “Apa harus mulut saya berbusa dulu baru kamu ngerti sama omongan saya, gak boleh deketin anak saya.” Nah, mati gua. Darren yang sempat bingung apakah berbalik menatap Ardhan atau kabur saja memilih untuk berbalik menatap Ardhan yang sudah berkacak pinggang, jika kabur dimana letak harga dirinya sebagai seorang laki-laki sejati di mata Fany. “Fany,” panggil Ardhan dengan nada suara rendah. Fany beranjak dari duduknya kemudian berdiri di sebelah Ardhan. “Perngatan terakhir kalo masih mau mata kamu baik-baik saja!” kata Ardhan sambil merangkul Fany membawa Fany pulang. * Fany berjalan menuju ruang kerja Ayahnya dan langsung mendapati Ardhan sedang berkutat dengan laptop ditemani oleh Rara yang sedang duduk di sofa sambil embaca majalah. “What happened, princess?”  “Fanu mau izin, Pah.” “Kenapa izinnya Cuma sama Papa?” tanya ibunya. “Kalo sama Mama pasti diizinin,” jawab Fany. “Iya sih,” gumam Rara. “Fany mau kemana?” gantian Ardhan yang bertanya. Fany menggesekkan kaki nya dan memainkan jemarinya yang ia sembunyikan di belakang tubuh. “Mau ke mall,” Fany tidak berani menatap Ardhan. Fany meringis karena tidak mendengar suara Ardhan, pria itu hanya diam saja. “Sama siapa?” “Mama kok jadi kayak Papa nanya sama siapa.” “Karena Papa diem aja makanya Mama yang nanya.” Rara menoleh ke arah Ardhan yang tengah meatap Fany dalam diam dengan jari-jari yang saling bertautan di depan bibir. “Mau ngapain?” tanya Rara mewakili pertanyaan Ardhan. “Mau makan, terus nonton, Fany belum pernah ngumpul diluar sama temen.” Selama Fany menjawab  pertanyaan Rara tidak sedikitpun Fany berani menatap Rara apalagi Ardhan. Ardhan masih terus diam membuat Fany semakin gelisah. Fany pun mendekati Ardhan memeluk leher Ardhan menempelkan pipi mereka. “Kali ini aja, Pah. Yang ter... eh, bukan ynag terakhir.mtapi besok-besok gak gini lagi. Papa belum pernah ngizinin Fany keluar rumah bareng temen.” Ardhan memegang lengan Fany membuat Fany yakin seribu persen bahwa ia akan diizinkan keluar. “Fany mau makan? Mau nonton?” tanya Ardhan yang langsung dibalas anggukan oleh Fany. Kalo Fany mau makan, di rumah banyak makanan. Terus Fany mau nonton? Ngapain jauh-jauh ke bioskop sedangkan di rumah ada home tetather.” “Pah,” “Ajak aja temen-temen Fany ke sini, makan di rumah nonton di rumah, selesai.” “Fany juga mau shoping,” “Mau beli apa?” “Ya beli baju dong, Pah.” “Fany yang Papa tau sama sekali gak berminat sama yang namanya shoping.” Fany oun melepaskan pelukannya menatap Rara dengan tatapan memohon untuk dibantu. Rara mengangkat sedikit tangannya ke udara menaikkan kedua bahunya. Ardhan menyodorkan tablet nya kepada Fany dan Fany menerimanya menatap layar tablet yang menunjukkan situs resmi produk ternama dengan menawarkan segala keperluan wanita mulai dari pakaian, tas, sepatu hingga perhiasan. “Choose whatever tou want, princess.” Kata Ardhan. “Sini, pilih-pilihnya sama Mama.” Ardhan menatap Rara dan disambut seringaian oleh wanita cantik itu. Fany pun duduk di samping Rara menyerahkan tablet yang ia pegang kepada ibunya. “Waah, ternyata pada ngumpul di sini.” “Eh gantengnya Mama, sini sayang.” Adik laki-laki Fany yang bernama Nevan melangkah masuk duduk di sebelah kiri Rara. “Oh, pada pilih-pilih baju. Lebaran kan masih lama, kok udah pilih-pilih, Ma? Hmm, takut kalo udah deket-deket lebaran harga baju-bajunya naik, ya?” Rara tertawa. Mata Fany dan Rara beralih ke meja saat layar ponsel Nevan menyala menunjukkan sebuah notifikasi pesan. Love udah makan, yang? Rara langsung menatap Nevan denga mata yang memulat lebar, sedangkan Nevan sudah meringis menangkup kedua tangan di depan d**a. Rara menunjuk-nunjuk Ardhan yang sedang fokus dengan layar laptopnya, Nevan menggeleng memasang wajah memelas. “Ma,” panggil Nevan. “Mas, anak kamu udah punya pacar nih.” Ardhan langsung menoleh, “siapa?!” Rara menunjuk Nevan yang sedang bersembunyu dibalik punggungnya. Fany tertawa melihat adinya yang sedang ketakutan. “Kamu masih SMP kelas satu, umur 12 tahun udah pacaran, Nevan? Kakak kamu aja gak ada tuh pacar-pacaran.” Kata Rara. “Kak Fany kan gak dibolehin paaran,” balas Nevan masih bersembunyi dibalik punggung Rara. “Memangnya kamu boleh, Nevan?” tanya Ardhan dengan suara tegas. “Maaf,” lirih Nevan. “Kayak gitu caranya bicara sama orang tua?” tanya Ardhan lagi. Nevan menjauhkan wajahnya dari punggung Rara menatap Ardhan sambil memeluk lengan ibunya. ”Sini handphone nya,” Ardhan mengulurkan tangan. Nevan menatap Rara. “Kenapa kalian berdua suka banget ngeliatin Mama kalo udah berhadapan sama Papa?” Rara menatap bergantian Nevan dan Fany. “Udah kash aja, daripada Papa marah,” ujar Rara. Dengan berat Nevan memebrikan ponselnya pada Ardha dan kembali duduk di sebelah Rara. “Papa sita.”  Nevan mendesah kesal memeluk Rara menyembunyikan wajahnya di leher sang ibu, rara pun meneglus punggung Nevan seraya menyisir rambut Nevan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN