Nevan menatap ponsel yang sangat ia kenali sudah berada di depan matanya dipegang oleh seseorang. Nevan menoleh ke samping dimana Ayahnya berdiri dengan setelan kerja.
Keduanya saling tatap.
"Kok jadi malah tatap-tatapan?" tanya Rara sambil menaruh sarapan yang sudah ia buat.
"Gak mau?"
"EH MAU!" pekik Nevan saat ponselnya hendak dimasukkan ke kantong yang ada di balik jas hitam Ardhan.
"Masih kecil kamu jangan kebanyakan gombal."kKata Ardhan sambil duduk di kursi.
"Nevan juga bisa gombal karna siapa coba?"
Nevan mengangguk setuju mendengar ucapan Rara.
"Sempet Papa ngeliat kamu berduaan sama pcacar kamu itu, Papa seret kamu pulang."
Nevan langsung mengangguk dengan makanan yang penuh di mulutnya.
"Pagi," sapa Fany baru bergabung di meja makan.
"Pagi princess." balas Ardhan sambil mencium pipi dan kening Fany.
Nevan mendengus kesal.
"Pagi Nevan." sapa Fany dan dibalas anggukan oleh Nevan.
"Masih kesel hp nya belum dibalikin?" tanya Fany ketika melihat raut wajah masam Nevan.
Nevan menunjuk ponsel yang terletak di dekat piringnya menggunakan mulut.
"Terus kenapa kayak kesel gitu?"
"Gak papa!"
Fany menatap Ardhan dan Rara.
"Di makan sarapan Fany, abis itu berangkat ke sekolah." kata Ardhan.
"Uang mingguan Fany masih ada?" tanya Ardhan ketika ia sudah selesai makan.
"Masih Pah, masih utuh."
"Kok masih utuh emang gak jajan di sekolah? Gak ada beli apa-apa?" tanya Ardhan lagi.
Fany menggeleng, "Fany aja sekolah pergi-pulang dijemput, dibawain bekal sama Mama, kalo mau beli apa-apa juga pake uang Papa. Gimana uang Fany mau habis?"
"Di tabung aja uang nya." ujar Ardhan.
"Iya, Pah." Fany mengangguk.
"Kalo Nevan, uang mingguan nya masih ada?"
Nevan melirik Fany dan Rara lalu menggeleng.
Ardhan pun mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah memberikan nya kepada Nevan membuat Nevan tersenyum sumringah.
"Sampe Sabtu depan."
"Siap!"
Nevan yang sedang menghitung uang pemberian Ardhan mendadak berhenti ketika melihat Ardhan memberikan uang kepada Fany.
"Gak usah, Pah. Uang Fany masih banyak, gak usah."
"Biar makin banyak." Ardhan memberikan lima lembar uang seratus ribu kepada Fany.
"Kalo kak Fany gak mau Nevan aja, Pah. Siap nampung nih." celetuk Nevan.
"Emang kamu mata duitan." kata Rara membuat Nevan cengengesan.
"Ya udah, ntar Papa transfer kalo gak mau cash."
"Pah!" Fany kurang menyukai aksi Ardhan yang selalu memaksanya.
"Iya sayang?"
Fany memilih diam melanjutkan makannya karena percuma saja jika ia berdebat apalagi menentang perkataan Ardhan, tidak akan menang.
"Ini bekal untuk Nevan, ini buat Fany." ucap Rara sambil membawa dua kotak bekal di tangannya.
"Nevan gak mau bawa bekal!"
"Lho kenapa? Yang masak Mama kok bukan bi Tuti."
"Bukan masalah yang masak, masakan Mama sama bi Tuti sama-sama enak. Nevan gak mau bawa bekal karna kayak anak kecil! Lagian Nevan laki-laki masa bawa bekal, no!"
"Makanan buatan rumah lebih sehat, Nevan." kata Ardhan.
"Iya tau, tapi gak mau ah. Lagian Nevan sekolah di sekolah yang elit, gak mungkin makanan nya gak sehat. Iya gak kak?"
"Sekolah kita kan sama-sama elit, gak mungkin kan makanan nya gak sehat?" lanjut Nevan.
Fany mengangguk.
"Jadi Fany gak mau bawa bekal juga?"
"Mau kok, Ma."
"Ya udah kak Fany aja yang bawa bekal. Nevan gak usah."
Rara menggelengkan kepala melihat Nevan dan memasukkan kotak bekal berwarna pink ke dalam tas Fany.
***
"Pagi Fany." Fany menoleh dan mendapati Darren berada di sampingnya.
"Pagi Darren. Gak takut tiba-tiba ada Papa aku nanti?"
Darren menggeleng.
"Good luck."
Darren tersenyum. "Ntar istirahat ke kantin bareng gue yuk."
"Aku bawa bekal, lagian ntar kayak kemaren. Papa aku dateng tiba-tiba."
"Ya udah ntar istirahat gue ke kelas lo deh. Gak mungkin kan bokap lo dateng ke kelas?"
"Gak ada kata gak mungkin kalo udah soal Papa aku, Darren." Kata Fany sebelum ia masuk ke dalam kelas.
Jam istirahat, sesuai sama apa yang Darren katakan kepada Fany tadi pagi. Kini laki-laki itu sudah berada di luar kelas menunggu guru yang mengajar keluar dari kelas Fany.
"Cuy, panggil Fany dong. Dicariin Darren bilang." kata Darren kepada laki-laki yang baru saja keluar kelas.
Laki-laki itu menatap Darren dari atas sampai bawah lalu menatap Darren seolah-olah berbicara yakin lo?
"Masih gantengan gue daripada lo, panggil cepet." Darren terlihat tidak sabar.
"Ya udah bentar."
Darren tersenyum ketika melihat Fany keluar dari kelas.
"Kamu beneran ke kelas aku? Aku pikir kamu bercanda."
"Gue udah bilang kalo gue serius mau deketin lo."
Fany tersenyum.
"Lo lagi makan ya?" Tanya Darren.
"Enggak, masih mau makan. Kamu udah makan?"
Darren menggeleng menatap Fany dengan lekat.
"Kok ngeliatin nya gitu banget, Darren? Ada yang aneh di muka aku?"
Darren mengangguk.
"Serius? Ada apa di muka aku? Spidol? Tipe-X? Pulpen? Atau-"
"Ada gue di mata lo."
Fany menaikkan sebelah alis dengan bibir berkedut menahan senyum.
"Ada lo di hati gue." lanjut Darren membuat Fany tertawa, kedua orang itu terlihat benar-benar bahagia hanya karena obrolan sederhana.
"Makan gih."
Fany mengangguk, "kamu juga."
Darren ikut mengangguk sambil tersenyum. Ia masih berdiri di depan pintu kelas Fany memperhatikan Fany yang sedang berjalan memasuki kelas kemudian ia pergi ketika Fany sudah masuk.
***
Fany yang sedang berdiri di depan kelas kaget saat tangannya di tarik membawanya menuju toilet sekolah. Fany meringis ketika tubuhnya di dorong ke pintu toilet dengan pergelangan tangan yang dicekal sangat kuat.
"Lo!"
Fany mengangkat wajahnya menatap perempuan yang ia ketahui bernama Pamela, perempuan paling cantik di sekolah dan memiliki body goals.
Pamela semakin mencengkram erat pergelangan tangan Fany membuat Fany mengigit bibirnya menahan rasa sakit.
"Lo itu sok cantik banget ya, sok lugu, sok polos, sok baik!" Pamela menghentakkan tangan Fany.
"Apa? Lo mau ngadu sama bokap lo yang sok berkuasa itu? Dia cuma donatur di sekolah ini please bilang sama dia gak usah sok bossy!"
Fany hanya menundukkan kepala karena matanya sudah memerah.
"Liat gue!!" bentak Pamela mengangkat tinggi-tinggi dagu Fany.
Pamela menoleh kebelakang untuk menatap dua orang temannya. "Enaknya kita apain?"
"Ancem aja, Pam. Bilang jangan deket-deket sama Darren lagi. Kalo gak cemplungin ke kolam renang sekolah, dia kan gak bisa berenang." kata teman Pamela yang bernama Jasmine.
Pamela menatap Fany, "good idea."
"Lo masih mau deketin Darren?" tanya Pamela dengan satu tangannya sudah bermain-main di rambut Fany.
"Bu...bukan aku yang deketin Darren." jawab Fany dengan kepala yang tertunduk.
Pamela tertawa sambil menatap kedua temannya.
"Jadi lo ngerasa paling cantik gitu karna Darren yang deketin lo?" tanya Rachel yang sedang berdiri di samping Jasmine.
"Kalo di tanya jawab!" tangan Pamela pun sudah meremas rambut Fany siap menariknya.
"Lo gak punya mulut, hah? Biar gue paksa lo ngomong!"
Byur!
Pamela dan kedua temannya tertawa puas ketika gayung yang berisikan air ia buang ke wajah Fany membuat rambut serta seragam Fany basah.
"Masih gak mau ngomong lo?" Pamela memberikan gayung yang ia pegang kepada Jasmine.
"Isi lagi!" ujar Pamela.
Pamela tersenyum miring sebelum tangannya kembali meremas rambut Fany. Mulut Pamela terbuka lebar karena ia merasakan jika tubuh bagian belakangnya basah, semakin basah membuat Pamela langsung berbalik mendapati seorang pria yang paling ditakuti oleh seluruh murid laki-laki tengah berdiri dibelakangnya.
"Apa yang mau kamu katakan? Cepat katakan." Ardhan menoleh ke arah Jasmine yang sedang mematung.
"Isi lagi!" Ardhan memberikan gayung kepada Jasmine. Dengan ragu-ragu Jasmine mengisi penuh gayung itu dengan air melalui wastafel dan memberikannya kepada Ardhan.
Byur!
Mulut Pamela kembali terbuka karena wajah serta seragamnya basah.
Pamela terdiam, begitu juga dengan kedua temannya.
Ardhan menjauhkan tubuh Pamela dari hadapannya lalu membuka jas nya dan memakaikan nya kepada Fany.
"Apa proApa profesi orang tua kamu?" tanya Ardhan kepada Pamela.
Pamela menatap Ardhan menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak takut dengan Ardhan.
"Pengusaha dong." jawab Pamela dengan rasa bangga.
"Namanya?" Pamela mengerutkan dahi, ia pikir pria itu akan marah-marah kepadanya namun tidak.
"Apa urusan Anda?" tanya Pamela sambil tertawa.
"Karena kamu sudah mencari gara-gara dengan saya, saya hanya ingin tahu siapa orang tua kamu itu."
Pamela berdehem, "Louis Anderson."
Ardhan diam menatap Pamela, diam nya Ardhan membuat Pamela tersenyum penuh kemenangan.
Ardhan mengeluarkan ponselnya lalu mendekatkan ponsel itu ke kupingnya.
"Halo pak Anderson, saya membatalkan niat saya untuk menyuntikkan dana bagi perusahaan Anda yang sudah berada di ujung kebangkrutan."
Ardhan menatap Pamela dengan ekspresi smirk nya. Wajah Pamela sudah terlihat pucat, yang membuat Pamela yakin jika Ardhan benar-benar berbicara dengan ayahnya adalah panggilan ayahnya dari sesama rekan bisnis, Anderson.
"Saya tidak perduli jika perusahaan Anda mengalami kebangkrutan. Saya melakukan ini karena ulah anak Anda, Pamela."
Ardhan langsung memutuskan panggilan menyimpan ponselnya di kantong celana.
"I win." kata Ardhan sebelum ia pergi membawa Fany untuk keluar dari toilet yang kebetulan kosong tidak ada siapapun selain mereka.
"Lho, Fany kenapa? Fan?"
Ardhan menatap tajam Darren ketika mereka sudah berada di koridor.
"Kamu bilang mau deketin anak saya? Menjaganya saja kamu tidak bisa, sana!" Ardhan mengibaskan tangannya agar Darren menjauh dari mereka.
Darren tidak mengejar Ardhan dan Fany yang sudah menjauh karena tadi Fany tidak ada menatapnya sedikitpun.
***
Nevan menatap laki-laki yang berdiri di dekatnya sambil memegang pintu mobil.
"Cepet masuk Nevan, duduknya di samping kak Fany aja."
Nevan menyenggol perut bodyguard yang memang selalu bersama mereka setia menemani mereka bertiga ketika berada di mobil.
"Kak Fany kenapa?" bisik nya saat tubuh bodyguard nya yang tinggi dan tegap membungkuk di dekatnya.
"Gak tau." balasnya dengan berbisik membuat mata Nevan memicing.
Nevan pun masuk ke dalam mobil duduk di sebelah Fany yang tengah dipeluk Ardhan.
Sampainya di rumah Rara langsung heboh ketika melihat Fany berada di gendongan Ardhan ditambah wajah Fany pucat.
"Ini Fany kenapa? Sakit?" tanya Rara sambil menaruh punggung tangannya di kening Fany.
Ardhan menggeleng sibuk dengan ponselnya untuk menelpon seseorang.
Fany yang sudah tergeletak di tempat tidur melingkarkan tangannya di pinggang Rara yang duduk di dekatnya menyembunyikan wajahnya di pinggang Rara. Rara mengelus-elus kepala Fany menatap Nevan yang duduk di depannya.
Rara menunjuk Fany mengatakan kenapa tanpa mengeluarkan suara. Nevan menggelengkan kepala sambil menunjuk Ardhan yang masih berbicara melalui telepon.
"Fany kenapa?" tanya Rara saat Ardhan duduk di sisi kiri Fany sedangkan ia duduk di sisi kanan bersama Nevan.
"Nanti aku ceritain."
Rara mengangguk.
"Ganti dulu yuk seragamnya." ujar Rara kepada Fany yang dibalas anggukan. Ardhan pun keluar bersama Nevan.
"Pah, kak Fan..."
Ardhan membekap mulut Nevan sambil berjalan menjauhi kamar Fany.
Beberapa saat kemudian Ardhan dan Rara duduk bersamaan di tepi tempat tidur Fany memperhatikan Fany yang tengah terlelap.
"Fany terlalu lemah, sama kayak Mama aku. Mereka berdua juga sama-sama gak bisa marah." ucap Rara dengan tatapan lurus ke arah Fany.
"Ada aku."
Rara mengangguk tersenyum kepada Ardhan.
"Aku yang bakal jaga Fany untuk Mama kalian. Aku janji."
Rara membalas genggaman tangan Ardhan memberikan tatapan penuh rasa terima kasih. Ardhan mendekatkan wajahnya ke wajah Rara.
Ardhan menoleh ke arah Fany dan melihat Fany sudah menutup mata menggunakan kedua tangan membuat Ardhan menjauhkan wajahnya.
"Dari dulu Fany suka banget ganggu Papa sama Mama kalo mau kiss-kiss." kata Ardhan.
"Seharusnya jangan di kamar Fany dong." balas Fany masih menutup matanya.
Fany menatap Ardhan saat tangannya digenggam.
"Besok Fany pindah sekolah." ucap Ardhan.
Fany menatap Ardhan lalu menatap Rara.
"Kenapa? Fany suka sama sekolah Fany sekarang. Kenapa pindah?" tanya Fany dengan raut wajah sedih, mendengar bahwa ia akan pindah ada satu nama yang langsung memenuhi kepalanya. Darren.
"Sekolah Fany itu gak bagus, Papa bakal pindahin Fany ke sekolah yang lebih bagus, lebih berbobot, lebih berpendidikan orang-orangnya, jauh dari yang namanya bullying."
"Papa yakin?"
Ardhan mengangguk mencium. punggung tangan Fany.
"Fany tidur lagi, Papa sama Mama mau keluar. Good night." Ardhan mencium kening Fany diikuti oleh Rara kemudian mereka keluar.
Setelah mendengar pintu kamarnya tertutup, Fany membuka kedua matanya yang terpejam. Fany meremas guling yang ada di depannya, tanpa disadari air mata Fany jatuh membasahi pipi mulusnya.
"Darren." gumam Fany semakin erat meremas guling nya bersamaan semakin banyaknya air matanya yang keluar.