04

3136 Kata
  Fany menatap dua seragam dengan warna dan model yang berbeda tergantung di lemarinya. Tangan Fany terulur untuk mengambil seragam sekolahnya yang berwarna putih dibagian atas dan berwarna krem di bagian rok nya. Saat tangannya sudah memegang seragam lamanya, tangan Fany terkepal dan beralih mengambil seragam barunya. Fany memperhatikan seragam barunya membandingkan nya dengan ragam lamanya. Perbedaan dari kedua seragam itu yang pertama ada di bagian tangan, seragamnya yang lama berlengan pendek sedangkan yang baru berlengan panjang. Perbedaan yang kedua terdapat di bagian warna rok, rok sekolahnya yang lama berwarna krem dan yang baru berwarna navy serta terdapat dua garis berwarna putih yang mengelilingi rok itu. Kedua rok sekolah Fany sama-sama berbentuk lipitan. Fany akui jika seragam sekolahnya yang baru terlihat lebih berkelas. "Siap untuk masuk ke sekolah baru?" tanya Ardhan kepada Fany yang tengah duduk di sampingnya. Fany mengangguk diselingi senyuman kecil. Mata bulat Fany memperhatikan sekolah barunya yang di d******i warna light sand dengan lambang inisal dari nama sekolah itu berada di gedung paling atas. Fany tidak tahu berapa jumlah lantai sekolah barunya, yang jelas gedung itu sangat tinggi dan Fany baru mengetahui jika di dalam sekolah barunya ada lift. Lift khusus siswa-siswi, khusus guru dan staf, dan yang terakhir khusus untuk kepala sekolah dan orang-orang penting lainnya. "Ayo Papa anter masuk." Ardhan mengambil tas Fany yang berada di jok mobil belakang. Fany menggosokkan tangannya yang terasa dingin saat kaki nya sudah menginjak lantai dasar sekolah barunya dan mereka langsung disambut oleh seorang pria berwajah arogan. "Selamat datang, Stefany. Perkenalkan nama Saya Richard Miller. Saya kepala sekolah sekaligus pemilik sekolah ini." Fany merasa senang karena ia disambut langsung oleh sang kepala sekolah. "Terima kasih, pak." kata Fany.  Richard pun tersenyum. Rasa keterkejutan Fany mengenai dirinya disambut oleh sang kepala sekolah hilang ketika melihat Papa nya berbicara santai dengan kepala sekolahnya yang baru. "Kalau gitu mari Stefany saya antar ke kelas, bersama Bu Gracia." kata Richard sambil menunjuk seorang perempuan bertubuh semampai yang baru saja bergabung bersama mereka. Fany menatap Ardhan. Ardhan tersenyum menganggukkan kepala. "Pulang sekolah Papa jemput." Fany mengangguk kemudian berjalan diikuti oleh Richard dan Gracia menuju kelasnya. *** "Selamat pagi anak-anak." Kelas yang tadinya ricuh mendadak hening karena seorang guru bertubuh semampai dengan rok di atas lutut masuk ke kelas. Semua pasang mata tidak tertuju kepada Gracia guru yang akan memperkenalkan Fany kepada mereka, mata mereka tertuju kepada gadis berambut hitam sebatas d**a berdiri di samping Gracia. Suara bisik-bisik pun mulai memenuhi ruangan kelas itu. Kebanyakan yang saling bisik adalah murid perempuan sementara murid lagi-lagi secara terang-terangan menatapnya. Fany menatap dua orang laki-laki yang duduk di bangku paling belakang, dimana laki-laki memiliki jambul menyenggol lengan teman sebangkunya yang sedang menatap ke bawah meja. "Harap tenang. Biarkan dia memperkenalkan diri." "Silahkan perkenalkan diri kamu." lanjut Gracia saat kelas sudah benar-benar hening. Fany mengangguk menatap teman-teman barunya. "Hai, nama aku Stefany Darlena Alisha. Biasa dipanggil Fany." ucap Fany memperkenalkan diri. Usai Fany memperkenalkan diri suasana kelas masih hening membuat Fany meyakini jika tidak ada yang menyukainya di kelas ini karena jika di sekolahnya yang lama kedatangan murid baru selesai murid itu memperkenalkan diri murid yang lainnya langsung membalas sapaan dan bertanya-tanya. Tapi di kelas ini semuanya diam. "Hai juga Fany," Fany menatap sekumpulan laki-laki yang duduk di paling belakang dimana mereka lah yang menyala Fany untuk yang pertama kali lalu diikuti oleh yang lainnya membuat senyum Fany mengembang. "Ada yang mau bertanya?" Tanya Gracia membuat semua murid laki-laki mengangkat tangan. "Tinggal di mana?" "Umurnya berapa?" "No WA berapa?" "Id line?" "i********: dong." "Udah punya pacar belum?" "Udah pu..." "STOP!" ujar Gracia karena kelas langsung ricuh. "Jangan di jawab Fany. Kamu langsung duduk saja, duduk di samping..." mata Gracia menyapu seisi kelas untuk melihat bangku yang kosong. "Bu, saya duduk sendirian." Gracia mengangguk lalu menatap Fany. "Kamu duduk di sana, ya." kata Gracia. "Terima kasih, Bu." kata Fany sambil berjalan menuju bangku yang kosong. Fany bernapas lega karena ia duduk di samping perempuan. "Hai, nama gue Irene." Fany membalas uluran tangan teman sebangkunya. "Fany," balas Fany sambil tersenyum. Fany menoleh kebelakang karena bahu nya di sentuh beberapa kali. "Gue David," kata laki-laki yang duduk di belakang Fany. "Fany," balas Fany. "Kenalan sama dua temen gue yang lain." kata Irene membuat Fany kembali duduk menghadap depan. "Gue Miya." Kata perempuan berambut gelombang berwarna kecoklatan. "Kalo gue Maia." kata perempuan yang duduk di samping Miya. Fany memperhatikan wajah teman barunya. "Nama kalian hampir sama." ucap Fany. "Iya, kebetulan aja kok. Bukan berarti kita kembar." Miya menyeringai. Fany merasa lega karena di hari pertama masuk ia sudah mendapatkan tiga orang teman. "Si Maia udah punya cowok, gue sama Miya belum. Nah, kalo lo?" Irene memutar tubuhnya saat tubuh David condong ke depan. "Ngapain lo?" tanya Irene tidak suka. "Gue mau denger pertanyaan gue yang belom di jawab tadi." jawab David menatap Fany sambil tersenyum. "Aku gak punya pacar." David semakin mendekatkan tubuhnya, "berarti gue bisa daftar dong?" Fany menatap David dengan mengerutkan dahi. "Daftar? Daftar apa? Aku gak ada buka pendaftaran apa-apa kok." Irene dan kedua temannya tertawa mendengar ucapan polos Fany serta ekspresi masam David. "Masih polos ternyata, Dav. Please stay away, jangan nodai dia dengan otak m***m lo itu!" celetuk Maia. David kembali duduk di kursinya mencibir ucapan Maia. *** "Anak IPA satu, kan?" tanya seorang perempuan kepada Fany karena Fany tengah berdiri di depan pintu kelas menunggu Irene dan dua temannya keluar karena mereka ingin ke kantin bersama-sama. "Mau cari siapa?" tanya Fany. "Ketua kelas, tolong bilang di panggil sama pak Juna di suruh ke ruang OSIS." lalu perempuan tadi pergi. "Ketua kelas, aku aja belum tau ketua kelas nya siapa." Fany bergumam. "Yuk ke kantin!" seru Miya sambil merangkul Fany. "Eh, bentar Mi. Aku ada mau sampein sesuatu ke ketua kelas kita. Ketua kelas kita siapa? Yang mana?” "Mau sampein sesuatu?" "Iya Ren, soalnya tadi ada yang nyuruh aku sampein ke ketua kelas di panggil sama pak... Duh, pak siapa tadi ya. Aku lupa." Fany langsung gelisah berusaha mengingat siapa nama guru yang sudah disampaikan kepadanya. "Dia gak bilang guru apa?" tanya Maia. "Katanya di suruh ke ruang OSIS." "PAK JUNA!" teriak Miya sambil menunjuk Fany. "Nah iya, pak Juna. Terus ketua kelas kita yang mana?" Irene memegang pipi Fany mengarahkan kepala Fany kepada sekumpulan laki-laki yang duduk di belakang meja mereka. "Yang duduk di deket tembok, yang asyik sendiri sama hape nya. Namanya Reagan." kata Irene. "Oh iya, aku samperin dulu ya. "Jangan lama-lama Fan, dia ganteng takutnya lo naksir." bisik Maia. Fany hanya tertawa dan berjalan ke arah sekumpulan laki-laki yang sedang menonton melalui ponsel. "Anjir, gila gede ba..." "Permis," Lima orang laki-laki langsung menoleh saat mendengar suara yang begitu halus berada di dekat mereka. "Eh Fany," David memasukkan ponsel ke saku yang menjadi bahan tontonan mereka tadi. "Nyariin gue ya?" Fany menatap laki-laki yang memiliki tubuh tinggi yang berada di dekatnya. "Pede lo anjir, nyariin gue pasti." kata David sembari menunjuk Fany. Fany menggelengkan kepala membuat kepala David dihujami berbagai pukulan dari teman-temannya. "Aku ke sini nyariin ketua kelas." Mendengar itu mereka langsung menatap laki-laki yang belum menyadari jika ia diperhatikan. "Woy!" David menyenggol teman sebangkunya. Dengan malas laki-laki itu menatap David dan David pun menunjuk Fany. "Reagan, kan?" tanya Fany. Fany memainkan jemarinya di balik punggung, kebiasaan yang ia lakukan jika sedang takut dan gelisah. Laki-laki bernama Reagan menatapnya dengan datar ditambah rahang yang tegas membuat Fany takut menatap laki-laki itu dengan waktu yang lama. "Kamu dicariin pak Juna, di suruh ke ruang OSIS." "Waah, kamuuu." "Kamu loh kamu." "Aah kamu!" "Ka..." Reagan menutup mulut David yang hendak berbicara lalu pergi begitu saja keluar kelas tanpa mengucapkan apapun. "Lo kaget gak Fan liat sikap Reagan tadi?"  Fany menatap Irene sambil memakan sandwich yang dibawakan dari rumah. "Kaget sih, emang orangnya gitu ya? Dingin?" "Dingin banget! Tapi dingin-dingin gitu banyak juga yang mau. Dingin-dingin gitu Reagan pinter, jago matematika, dari kelas sepuluh sampe kelas sebelas juara satu umum terus." kata Maia. Fany hanya menganggukkan kepala. "Eh, entar jadi kan?" tanya Miya kepada Irene dan Maia. "Jadi dong, gue udah izin." "Lo Fan, mau ikut?" "Ikut kemana, Ren?" "Nongkrong Fan, seru lho nongkrong bareng kita." Fany tersenyum, "aku enggak deh, kalian aja." "Lho kenapa?" Gak diizinin. "Gak papa, kalian aja."  "Ya udah deh, next time?" tanya Maia. Fany hanya tersenyum dan kembali memakan sandwich nya. "Fan, minta id Line lo dong. Terus ntar lo masukin ke grup kita Mai." Irene mengeluarkan ponselnya dan Fany pun memberikan id Line nya. "WA sekalian, Fan." "Iya," "Terus i********: dong, kita harus saling follow. Terus kasih like ya buat foto-foto gue." kata Miya. "Gue juga, Fan." sahut Maia dan Irene. Fany memegang ponselnya menutupi mulutnya sambil menatap ketiga temannya. "Emm... Aku, aku gak punya Instagram." "Uhuukk!" Irene buru-buru minum karena ia tersedak kuah bakso yang warnanya sangat merah. "Lo serius?" Maia terlihat tidak yakin. Fany mengangguk. "Astaga Stefany. Ini tuh udah tahun dua ribu delapan belas. Anak SD aja udah punya i********: dan lo gak punya?" Irene bersuara. Fany kembali mengangguk, entah kenapa Fany merasa malu kepada teman-temannya. "Sini hape lo, biar gue bikinin." ujar Irene. "Eh gak usah, Ren." tolak Fany. Ketiga teman Fany menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya. "Aku belum dibolehin punya i********:, umurku masih 16 tahun, ntar kalo udah 17 boleh punya Instagram." Aku Fany tanpa menatap teman-temannya. Irene menatap Miya dan Maia, mereka saling tatap. "Oh, oke. Kayaknya orangtua lo sayang banget sama lo. Kita ngerti." ucap Maia. *** "Siang," Mendengar suara yang cukup berat dan dingin membuat seluruh pasang mata menatap ketua kelas mereka yang sedang berdiri di depan kelas. "Siang," balas mereka bersamaan. "Bulan depan sekolah bakal ngadain lomba pentas seni. Setiap kelas wajib ikut, gak harus seluruhnya. Lomba nya terdiri dari baca puisi, pidato, story telling, nyanyi, drama, nari, dan dance. Soal nyanyi boleh grup boleh solo, maksimal orang kalo mau dance itu tujuh orang. Kalian bisa pilih sesuai bakat dan kemam..." "Lo tau, selain dingin Reagan tuh gak banyak omong. Banyak omong di suasana tertentu doang, kayak gini nih. Makanya gue heran kenapa... Kenapa Fan?" tanya Irene ketika Fany menusuk-nusuk tangannya menggunakan telunjuk. Mata Fany fokus ke depan membuat Irene ikut menatap ke depan. Irene nyengir karena ternyata Reagan memperhatikan mereka dengan ekspresi datarnya. "Kalian bisa pilih sesuai bakat dan kemampuan kalian. Bagi yang berminat mau ikut daftar nya sama gue, besok terakhir pendaftaran karna selesai daftar bakal langsung tampil di depan panitia yang bertugas jadi juri, tampilnya di ruangan, ntar bakal diseleksi yang mana yang layak masuk ke final. Di final nanti tampilnya di aula, dan di situ orangtua kalian bakal di undang karna nanti bakal ada penggalan dana. Jadi bagi yang mau ikut daftar." Reagan duduk di kursi guru menunggu teman-temannya mendaftarkan diri. Miya dan Maia langsung berbalik ke belakang ketika sebagian teman-teman sekelas mereka sudah berkumpul di depan untuk mendaftar. "Kita ikut gak, Ren? Lumayan lho kita bisa nyanyi, selama ini kita nyanyi cuma di kamar doang. Gue rekam suara kita gak jelek-jelek amat." kata Miya. "Gue saranin ikut!" tambah Maia. "Yee, lu ikut bilang aja pengen diliatin sama cowok lu." kata Miya membuat Maia menyeringai. Irene menatap Fany. "Lo bisa nyanyi gak, Fan? Kalo bisa ikut aja yuk. Kita berempat." "Bisa sih aku nyanyi." "Nah, ya udah kita ikut aja!" "Tapi aku malu."  "Ngapain malu sih Fan? It's time for you to shine at school. Lo anak baru tapi lo berani tampil di depan orang banyak, ditambah lagi muka lo itu mendukung banget, Fan. Gue yakin besoknya setelah tampil lo bakal langsung terkenal." kata Maia. yang disambut anggukan setuju oleh Irene dan Miya. "Aku gak mempermasalahkan soal terkenal atau enggak, Mai. Ya aku malu aja." Irene berdiri dari duduknya lalu mendorong meja belakang dimana David tengah tertidur. David mengangkat kepalanya menatap tajam Irene. "Gue mau keluar!" bentak Irene kepada David. "Eh, Irene mau kemana?" tanya Fany. "Mau daftar dong," balas Maia sambil tersenyum. "Tapi..." "Sssttttt!" Miya membekap mulut Fany karena ia tidak ingin mendengar apapun dari Fany. *** Fany berjalan ke arah garasi mobil bersama Nevan yang sudah berjalan di depannya. "Nevan mau ngapain aja kakak ke sini? Kakak belum ganti baju lho." Fany menatap kebawah melihat seragam sekolahnya yang masih melekat ditubuhnya. "Menurut kakak Nevan mau ngapain?" tanya Nevan seraya menaruh tangan kanannya di bagian belakang mobil sport berwarna hitam. Mata Fany membulat ketika tangan kiri Neva Mata Fany membulat ketika tangan kiri Nevan yang berada di kantong keluar sambil memegang kunci mobil. "Ih itu kunci mobil Papa, kok ada di tangan Nevan? Awas lho ntar Papa marah kalo tau kunci mobilnya sama Nevan." Nevan menggelengkan kepala memutar-mutar kunci mobil sambil bersiul. "Nevan mau nyobain mobil sport Papa, sayang banget gak pernah dipake sama Papa." kata Nevan sudah berjalan ke bagian sisi kanan mobil. Nevan mengurungkan niatnya ketika ingin membuka pintu mobil dan beralih menatap Fany yang hanya diam saja di belakang mobil. "Nevan pake ini, kakak pake itu." Fany mengikuti arah telunjuk Nevan, bibir Fany mengerucut karena Nevan menunjuk mobil-mobilan berwarna hitam yang terletak tepat di sebelah mobil sport Ardhan. Nevan terkekeh lalu membuka pintu mobil milik Ardhan. "Nevan jangan, Nevan kan gak bisa bawa mobil." Fany berpindah di dekat Nevan yang sudah duduk di dalam mobil. "Bisa, kata siapa gak bisa? Mobil-mobilan kakak sama kayak mobil Papa, Nevan sering tuh bawa mobil kakak, bisa kan Nevan? Sama aja mobil kakak sama mobil Papa." "Beda, mobil Papa kan mobil beneran. Mobil Papa gak bisa sembarang di bawa, Nevan. Apalagi Nevan belum pernah bawa mobil." "Lagian kalo ntar mobil Papa kenapa-napa kan ada kakak, Nevan bilang aja kalo kakak yang bikin mobil Papa rusak, pasti Papa gak bakal marah. Papa kan gak pernah mau marah sama kakak." "Nevan turun aja, kalo tiba-tiba Papa pulang gimana?" Nevan mengeluarkan tangannya dari kaca mobil yang sengaja ia turunkan, telunjuk Nevan berada di bibir pink Fany memberi isyarat untuk diam. Setelah Fany diam tangan Nevan bergerak ke arah tombol yang ada di dalam mobil keren itu. Nevan membuka atap mobil, kedua alis Nevan bergerak naik turun ke arah Fany saat ia berhasil membuka atap mobil. Fany menggeleng menyuruh Nevan untuk berhenti bermain di mobil Ardhan. "Ini jam berapa?" tanya Nevan. Fany melihat jam tangannya, "jam lima, bentar lagi Papa pulang lho." "Mama kemana?" tanya Nevan lagi sambil menata rambutnya dari spion. "Ke kantor Papa." Nevan tidak berbicara apa-apa lagi. Karena atap mobil terbuka Fany bisa melihat pergerakan Nevan dengan leluasa, termasuk pergerakan kaki Nevan. Fany meringis saat kaki Nevan mulai menginjak pedal gas. "Nevan, jangan." kata Fany dengan nada rendah, bahkan memohon. Fany takut membayangkan bagaimana reaksi Ardhan ketika melihat kelakuan Nevan terhadap mobil kesayangan Papa nya. Nevan belum pernah mengendarai mobil, tanpa ada pengalaman sedikitpun tiba-tiba saja Nevan ingin mengendarai mobil dan parah nya lagi mobil pertama yang Nevan coba adalah mobil kesayangan Ardhan. Nevan menatap Fany sejenak untuk memberikan seulas senyuman manis, kedua mata Fany tertutup ketika suara mobil terdengar semakin keras. "Ini Nevan mau mundur, ya. Kakak liatin, kakak jadi tukang parkirnya biar Nevan gak nabrak pot bunga kesayangan Mama." kata Nevan. Fany menggeleng tidak ingin mengikuti apa yang Nevan katakan. "Gak seru ih, cepetan dong.”  Fany membuka kedua matanya. "Kak, gak asik nih." Nevan tersenyum ketika Fany berdiri di belakang mobil untuk memberi aba-aba kepada Nevan yang hendak memundurkan mobil. "Nevan lurus aja."  Nevan mengacungkan jempolnya dari arah belakang. Nevan menoleh ke belakang dengan satu tangan berada di setir mobil. Kaki Nevan pun mulai menginjak pedal gas lebih dalam. Braak! Fany yang sedang menatap ke arah jalanan langsung menoleh ke arah Nevan yang sedang terdiam di dalam mobil. Fany berlari mendekati Nevan. Mata Fany terbelalak dan mulutnya terbuka lebar. "Mampus, nabrak. Mati gue." gumam Nevan belum beranjak dari dalam mobil. Tak lama Nevan luar dari dalam mobil berdiri di dekat tembok dimana bagian depan mobil tengah berciuman dengan tembok. Kedua orang itu terdiam memandangi muncung mobil dan tembok, tembok tersebut terlihat retak sedangkan bagian depan mobil penyok cukup parah. Fany menatap Nevan ketika Nevan memberikan kunci mobil kepadanya. Wajah Nevan langsung pucat akibat insiden barusan. "Ngapain sih pada ngeliatin tembok? Lucu banget." ucap seorang wanita yang baru saja turun dari mobil, wanita itu adalah Rara. Ardhan tersenyum dengan mata menatap layar ponselnya. Rara berjalan mendekati Fany dan Nevan yang masih menatap tembok. Ardhan menyimpan ponselnya di saku melepas jas nya yang berwarna abu-abu dan menyampirkan nya di tangan. "Kok tiga-tiganya jadi ngeliatin tembok." Ardhan tertawa melihat istri dan anak-anaknya. "Asik banget yang lagi ngeliatin tembok."  Fany dan Nevan terlonjak kaget mendengar suara berat dari arah belakang mereka. "Emang tembok nya kenapa?" tanya Ardhan. Nevan menggeleng sedangkan Fany melirik Nevan. Rara menarik Ardhan yang sedang berdiri di belakang mobil untuk berpindah ke bagian depan. "Hancur sudah." Rara menunjuk dua objek berbeda. Mulut Ardhan terbuka lebar, Ardhan berjongkok untuk melihat lebih dekat lagi mobilnya yang sudah penyok. Ardhan menaruh tangan kanannya di kening dengan kedua mata yang terpejam. Ardhan menghela napas agar emosinya tidak memuncak karena Ardhan ingin berbicara kepada kedua orang yang sedang berdiri bersebelahan dengan wajah pucat mereka. "Siapa yang bikin?" tanya Ardhan dengan nada dingin. Nevan menyikut Fany, Fany menatap Nevan yang sedang menatap Ardhan. Gadis itu menelan ludahnya lalu kembali menatap Ardhan. Fany mengangkat tangannya, menatap Ardhan dengan takut-takut karena mata Ardhan terlihat sangat mengerikan selain wajah pria itu. Ardhan yang sudah sangat yakin bahwa Nevan lah penyebabnya menatap Nevan bukan menatap Fany, saat melihat Fany mengangkat tangan Ardhan beralih menatap Fany, tatapan Ardhan yang semula dingin langsung melemah. "Ma...maaf, Pah. Fany, Fany udah bikin mobil Papa jadi jelek gitu." ucap Fany dengan nada bergetar, kepala Fany juga sudah tertunduk, Fany merasa takut jika Ardhan akan marah kepadanya karena ini menyangkut soal barang kesayangan Ardhan, mobil yang sangat berharga di mata Ardhan sampai-sampai Ardhan tidak rela jika harus memakai mobilnya keluar dari garasi hanya karena takut kotor. "Dari kecil emang Fany suka nabrak tembok." Rara tertawa geli. Suasana yang tadinya sudah mencekam berubah seketika akibat suara tawa Rara. Ardhan menatap Rara dengan tatapan yang sulit diartikan, merasa ditatap Rara pun berhenti tertawa. Ardhan beralih menatap Fany yang sedang memegang kunci mobil. Ardhan berdiri memutari mobil untuk mendekati Fany.  Tangan Fany semakin dingin saat Ardhan mendekatinya. Kedua mata Fany terpejam tidak siap menerima kemarahan Ardhan. Tidak lama Fany menutup mata kini matanya langsung terbuka ketika merasakan usapan lembut di puncak kepalanya. "Gak papa, lain kali jangan gini ya." kata Ardhan. Suara Ardhan yang terdengar begitu lembut bukan membuat Fany senang malah air mata Fany keluar membasahi pipinya. "Papa gak marah, jangan nangis. Gak papa mobilnya kenapa-napa, masih bisa dibenerin, bisa beli lagi. Kalo Fany nya yang kenapa-napa beli nya mau dimana coba?" Fany tertawa mendengar kalimat terakhir Ardhan. Ardhan tersenyum mengelus-ngelus kepala Fany sambil meminta kunci mobil karena Ardhan ingin menjauhkan mobilnya dari tembok yang masih berciuman. Nevan menatap Fany. "Gak dimarahin kan," bisik Nevan. Fany tersenyum sambil mengangguk. "Lain kali kakak lagi ya yang jadi tumbal nya Nevan." Nevan menyeringai menatap Ardhan yang sepertinya masih frustasi dengan keadaan mobilnya
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN