Pletak!
Arga menjitak kepala Naura. Akibat ucapan Naura. "Dih udah berani main jitak-jitakan!" sindir Naura.
Arga hanya diam, sembari menghela nafas berat. Naura tersenyum, sembari menopang dagunya menatap Arga.
"Bang, tipe cewek Abang kayak gimana sih?" tanya Naura.
"Kayak Felly."
Naura terdiam sebentar, ia mencoba mengalihkan pertanyaannya. "Kalau tipe istri Abang?"
"Kayak Felly."
"Bu Felly lagi? Cinta banget ya sama, Bu Felly?" ucap Naura, sembari menatap Arga. Naura berharap, tidak seperti itu.
"Banget."
Naura tersenyum tipis. Rasa sesak di dadanya muncul tiba-tiba. "Gimana kalau dia tahu, Felly Kakak gue?" batin Naura.
"Permisi, Kak, ini pesanannya." Waiters datang membawa pesanan kami. "Silahkan di nikmati."
"Mbak, saya gak pesan spaghetti carbonara," ucap Arga. Karena di depannya ada sepiring spaghetti carbonara.
"Tadi, Kakak ini yang memesan," ucap waiters menunjuk Naura. Naura menatap Arga, sembari mengunyah makanannya.
"Oh iya, terima kasih," ucap Arga. Waiters itu pergi. Dan kini, Arga menatap Naura.
"Kenapa?" tanya Naura tanpa dosa.
"Tadi kamu tahu kopi kesukaan saya. Sekarang, kamu tahu makanan kesukaan saya, jangan-jangan.... "
"Jangan-jangan apa? Tadi itu saya mau pesan makanan bingung mau pesan apa buat Abang. Eh malah waiters-nya saranin buat pilih ini spaghetti carbonara," jelas Naura. Padahal Naura memang tahu semua makanan yang di suka, dan tidak di suka oleh Arga.
"Oh gitu, saya kira kamu suka sama saya." Ucapan Arga membuat Naura tersedak. "Nih minum-minum. Kamu yang kenapa-napa, saya yang tanggu jawab nanti."
Naura pun mengambil minum dari Arga.
"Kalau makanan kesukaan Felly, kamu sudah tahu?" tanya Arga tiba-tiba.
Naura terdiam sebentar, seingatnya Felly sangat suka dengan makanan yang manis-manis. Felly tidak suka makanan pedas, karena perutnya sangat sensitif dengan makanan pedas.
"Ra, kamu gak jawab pertanyaan, saya?" ucap Arga menegur Naura.
"Eum, dari sumber yang saya tahu. Bu Felly itu suka sama makanan yang.... " Naura menggantungkan ucapannya. Ia melirik mangkuk seblak yang yang sedang ia makan.
"Yang apa?"
"Yang pedes! Iya! pedes!" seru Naura.
Arga mengangguk-angguk paham. Ia pun melanjutkan makannya lagi.
"Maafin gue, Kak. Gue terpaksa berbohong. Biar lo illfeel sama Bang Arga," ucap Naura dalam Hati.
****
Felly menyerahkan kunci mobilnya kepada satpam. Setelah ia turun dari mobil. Ia berjalan masuk kedalam gedung kantor keluarganya, Atmajaya grups.
"Siang Mbak Felly... "
Sapaan kepada Felly terus berdatangan. Tapkala ia bertemu dengan karyawan dari kantornya.
"Siang Mbak Felly, Pak Atmajaya sudah menunggu Mbak Felly di ruangannya," ucap Putri Sekertaris Tuan Atmajaya.
Felly pun hanya mengucapakan terima kasih. Ia berjalan masuk kedalam ruangan ayahnya.
"Duduk Nak!" perintah Atmajaya, mempersilahkan Felly untuk duduk.
"Makasih, Pi."
"Gimana, soal Naura?" tanya Atmajaya tanpa basa-basi.
"Masih sama, Pi. Belum ada perubahan. Tapi, Naura sekarang jarang bikin masalah di kampus," ucap Felly. Atmajaya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya paham.
"Papi khawatir dengan masa depan Naura. Kenapa sifatnya masih kekanak-kanakan..." ucap Atamaja kepada Felly.
"Sebanenya akhir-akhir ini aku liat Naura dekat sama seorang Dosen muda di kampus," ucap Felly. Atamaja menatap anak sulungnya.
"Siapa? Kasih tahu Papi."
"Arga Dwipangga Wijaya," jawab Felly.
Atmajaya terdiam, mendengar nama tersebut. "Kamu bisa memastikan, kalau Naura punya hubungan dengan lelaki, itu?"
"Tadi Naura pergi sama dia, Pi," jawab Felly lagi.
"Kalau lelaki itu bisa membawa aura positif kepada Naura. Papi tidak akan melarang mereka."
"Setahu aku, Pak Arga dosen yang pintar, tanggung jawab, dan sangat disiplin," ujar Felly.
"Papi akan cari tahu pemuda itu," ucap Atamaja.
***
"Kok hujannya gak selesai-selesai, sih," gumam Naura menatap hujan di luar. Hujan gerimis, namun cukup deras.
Naura mendongak, menatap Arga yang sedang memejamkan matanya.
"Bang.... " panggil Naura. Namuan Arga menyahutnya hanya dengan suara gumaman.
"Bang Gaga.... " panggil Naura, Arga kaget, dan langsung menatap Naura.
"Kenapa?"
Belum sempat menjawab, ponsel Naura berbunyi. Pertanda sebuah panggilan masuk. Naura menghela nafas, sembari mematikan ponselnya.
"Kenapa gak di angkat?" tanya Arga yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Naura.
"Gak pa-pa. Gak penting," jawab Naura. Arga pun menghela nafas berat. Mendengar jawab Naura.
Keduanya diam, hanya ada suara gerimis yang terdengar. Tiba-tiba Naura mengajukan pertanyaan kepada Arga.
"Menurut Bang Gaga, tentang orang tua yang selalu menekan anaknya, dan selalu membeda-bedakan anaknya, gimana?" tanya Naura menatap Arga.
"Gak bisa nyalahin orang tuanya, juga gak bisa nyalahin anaknya," jawab Arga. Hal ini menimbulkan kebingungan bagi Naura.
"Maksudnya?"
"Bayangkan kamu menjadi orang tua. Kamu ingin yang terbaik untuk anak kamu. Apa yang kamu lakukan?" tanya Arga.
"Eum, memberi yang terbaik buat anak saya, lah," jawab Naura.
"Nah, begitulah gambaran orang tua kamu," jawab Arga.
"Bang, hampir setiap hari saya itu di banding-bandingkan sama Kakak saya, apa itu yang terbaik?"
"Saya malah.... saya malah jadi benci sama Kakak saya... " ucap Naura, bahkan ia memelankan ucapannya di akhir kalimat.
"Mungkin dengan membanding-bandingkan kamu dengan Kakak kamu, kamu jadi tergerak, dan termotivasi, untuk menjadi yang lebih baik."
Naura tertawa mendengar ucapan Arga. "Omong kosong!"
"Bukannya tergerak dan termotivasi, saya malah tertekan hidup di rumah. Apa mereka gak memikirkan dampaknya?" ucap Naura mengebu-gebu.
Arga diam, bukankah tadinya mereka hanya berdebat? Tapi kenapa sekarang makin kacau.
"Naura... "
"Bang Gaga gak tahu. Karena Bang Gaga gak pernah merasakan jadi saya!" ucap Naura. Naura bangkit dan malah pergi dari cafe.
"Naura... " panggil Arga yang akan mengejar Naura.
"Eh maaf Mas, pesanannya belum di bayar, " ucap waiters yang menahan Arga pergi.
"s**t!" umpat Arga. Arga mengambil dompet dari sakunya. Dan langsung membayar makanan mereka. Setelah itu, Arga langsung mencari keberadaan Naura. Ia tidak perduli dengan hujan yang mulai membasahi tubuhnya.
"Naura... "
Ia melihat Naura yang sedang memberi makan seekor kucing di halte. Arga memutuskan melangkah menuju Naura.
"Naura... "
"Kasian kucingnya. Kedinginan, kelaperan. Untung saya selalu bawa makanan kucing dalam tas," ucap Naura. Membuat Arga membeku.
Naura bukan tipe orang yang selama ini Arga bayangkan. Bahkan, Arga tidak bisa menebak jalan pikiran Naura.
"Naura, pulang yuk.. "
"Bang Gaga pulang aja. Saya naik busway," ucap Naura.
"Tapi, kan... "
"Kenapa? Baju Abang basah tahu. Nih pake ini." Naura melepaskan hoodie yang ia pakai, namun Arga melarangnya.
"Eh Ra, jangan... " ucap Arga mencegah Naura. "Saya pake ini aja. Itu biar buat kamu. Kamu beneran mau pulang sendiri?"
Naura mengangguk.
"Bang Gaga pulang, ya. Itu busway udah datang," ucap Naura menujuk sebuah bisway yang berhenti di depan mereka. Naura pun masuk kedalam busway. Menatap Arga dari dalam busway. Tidak lupa Naura juga melambai-lambai tangannya kepada Arga.
"Gadis itu, benar-benar aneh... " gumam Arga setelah melihat kepergian Naura.
****
"Kenapa tadi gue bisa emosi sama Bang Gaga?" gumam Naura. Naura mengamati jalanan Raya dari dalam jendela.
Banyak hal yang ia pikirkan. Salah satunya Arga, ia sama sekali tidak sanggup melihat Arga mencintai Felly. Terlebih, Felly adalah Kakaknya sendiri.
"Mbak, boleh saya duduk sini?" ucap seorang perempuan yang tengah hamil.
"Oh iya Mbak, boleh kok silahkan," ucap Naura. Wanita hamil itu duduk di sebelah Naura. Naura memperhatikan wanita itu, ia nampak kesusahan saat akan duduk. Perutnya sudah lumayan besar.
Dan mungkin sebentar lagi akan melahirkan. Hujan kembali menerpa, menambah kesyahduan perjalanan kali ini. Naura memilih untuk tidur. Dari pada memikirkan hal yang membuat hatinya sakit.
Beberapa menit kemudian. Busway berhenti. Namun Naura belum juga bangun. Wanita hamil di sebelah Naura berinisiatif untuk membangunkan Naura.
"Mbak... "
Naura membuka matanya. Dan menatap wanita hamil di sebelahnya.
"Busnya berhenti. Siapa tahu Mbak mau berhenti di sini," ucapnya.
Naura menatap sekitar. Di daerah ini dekat dengan kos Airin.
"Iya Mbak, makasih ya. Mbak mau turun, juga?" tanya Naura.
"Iya, kebetulan saya tinggal di daerah sini," jawab wanita tersebut. Mereka sama-sama turun. Naura membantu wanita hamil tersebut untuk turun dari busway.
Tanpa di ketahui oleh Naura, Arga mengikutinya dari belakang. Ia hanya memastikan kalau Naura baik-baik saja.
"Oh jadi Naura tinggal di sini?" gumam Arga ketika Naura masuk kedalam sebuah gang. Bersama dengan wanita hamil tadi.
Karena sudah yakin, tidak terjadi apa-apa dengan Naura, Arga pun melanjutkan perjalanannya pulang ke apartemennya. Sementara itu Naura berjalan menuju kos Airin.
"Nah, ini kosan saya sama suami saya. Siapa tahu, mbak mau mampir di rumah saya," ucap Wanita hamil tersebut.
"Loh, yang ini kosan teman saya."
"Oh temannya Airin?"
Naura mengangguk.
"Wah bisa kebetulan gini. Lain kali mampir, ya Mbak. Oh iya nama saya Selvi," ucap wanita hamil itu.
"Nama saya Naura. Iya, kapan-kapan saya akan mampir," ucap Naura. Selvi pamit, karena sudah maghrib, ia harus segera masuk kedalam rumah.
Naura pun segera mengetuk pintu kosan Airin.
Tok.... tok.... tok...
"Rin.... Airin... " panggil Naura. Tidak berapa lama pintu terbuka. Menampilkan sosok Airin.
"Loh, Ra... " ucap Airin kaget melihat kedatangan Naura. Belum di izinkan masuk, Naura sudah lebih dulu masuk kedalam.
Airin pun mengunci pintu kos.
"Kok lo di sini?"
"Gue nginep, ya!" ucap Naura yang sudah merebahkan tubuhnya di atar kasur Airin.
"Lo udah izin orang tua, lo?" tanya Airin.
"Enggak, males!" jawab Naura.
"Ra, harusnya lo izin sama orang tua lo. Biar mereka gak khawatir," saran Airin.
"Mereka juga gak perduli, Rin!" ujar Naura.
Airin hanya menghela nafas panjang. Ia lupa, bahwa Naura memang tidak bisa di beri saran.
Beberapa menit mereka hanya hening. Lalu tiba-tiba ponsel Naura berbunyi. Naura tidak menghiraukannya. Namun malah Airin yang risih dengan ponsel Naura.
"Ya elah, udah kebo banget nih anak," ucap Airin ketika melihat Naura yang tidur. Airin mengambil ponsel Naura dan tertera nama "bapak tiri"
Ponsel itu terus-terusan berbunyi. Dan akhirnya Airin memutuskan untuk mengangkat telponnya.
"Naura! Kemana saja kamu! Sudah jam berapa ini! Pulang sekarang!"
Mendengar omelan tersebut, Airin menjauhkan telinganya dari speaker ponsel. "Galak banget bapak Naura."
"Maaf Om, ini Airin," ucap Airin dengan segenap keberanian yang tersisa.
"Airin? Naura mana?"
"Naura-nya ketiduran di kos Airin."
"Saya mau vidio call."
"Iya, Om." Panggil telpon berubah menjadi vidio call. Airin memperlihatkan Naura yang sedang tertidur pulas.
"Apa perlu, saya bangunkan Naura, Om?"
"Gak usah biarin aja. Kalau terjadi apa-apa sama Naura, kamu segera hubungi saya!"
"Iya Om." Vidio call di matikan. Kini Airin dapat bernafas lega.
Airin melirik Naura yang masih tertidur pulas.
"Lo tuh harusnya bersyukur dengan keberuntungan yang lo miliki, Ra."