"Rin, lo kenapa begong aja?" tanya Rahma yang duduk sembari menatap Airin.
"Gue takut, suatu saat Naura kenapa-napa," ucap Airin.
"Kenapa-napa gimana?" tanya Rahma mengerutkan keningnya.
"Iya pokoknya kenapa-napa," jawab Airin.
"Ya, semoga apa yang lo takutkan itu gak terjadi," ujar Rahma sembari menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi.
"Lo tahu, kan? Hubungan Kak Felly sama Naura itu gimana?" ucap Airin setelah beberapa menit hening. Rahma mengangkat kepalanya. Ia diam, seakan tau semuanya. Tiba-tiba ingatannya melayang, ke hari itu.
Flashback on
Rahma berjalan menuju gudang. Untuk mengambil bola basket. Karena tidak membawa seragam olahraga. Rahma harus menerima hukuman. Ia di suruh mengambil bola di gudang. Sendirian!
Apa lagi pernah ada rumor yang mengatakan bahwa gudang sekolah sangat angker. Karena pernah terjadi siswa yang bunuh diri di sana.
"Sialan! Kenapa gue lupa bawa baju olahraga sih! Gini kan jadinya," gumam Rahma. Rahma berjalan perlahan menuju koridor. Terlihat sekali koridor itu begitu gelap dan banyak debu. Koridor ini adalah satu-satunya koridor yang menghubungkan ke gudang sekolah.
Bulu kuduk Rahma tiba-tiba merinding. Ketika mendengar rintihan orang menangis. Rahma pun menghentikan langkah kakinya.
"Perasaan gue aja kali, ya? " gumam Rahma. Rahma pun menepis pikiran buruknya jauh-jauh. Ia tetap melanjutkan perjalanannya.
Hingga, suara tangisan tersebut kembali terdengar. Kali ini lebih jelas.
"Oke, gak mungkin siang bolong gini ada hantu. Jadi itu bukan suara hantu.... ayo Rahma lo pasti bisa ambil bola itu... " ucap Rahma menyemangati dirinya sendiri.
Clek....
Rahma membuka pintu gudang. "Anjir!" seru Rahma kaget.
Ia melihat seorang siswi yang hendak menusukkan pisau di perutnya.
"Heh! Lo gila ya!" ucap Rahma. Ia mendorong tubuh siswi itu. Membuat pisau yang berada di tangannya terjatuh.
Siswi itu menangis, jatuh di atas lantai. "Sorry-sorry, gue gak sengaja dorong, lo. "
Rahma ikut berjongkok di depan siswi itu. Lalu memeluk siswi itu mencoba untuk menenangkannya.
Beberapa menit kemudian, setelah tangisannya tidak terdengar lagi. Rahma melepaskan pelukan mereka.
"Lo jangan ngelakuin hal bodoh kayak tadi, dong!" ucap Rahma. "Lo mau? Nambah daftar kehororan di sekolah ini?"
Siswi itu menggekengkan kepalanya.
"Iya udah ya, jangan bunuh diri! Semuanya gak akan selsai kalau lo mati sekali pun! Malah akan menambah masalah baru," omel Rahma.
"Makasih, ya... udah ingatin gue," ucap siswi itu dengan suaranya yang parau. Karena memang ia terlalu lama menangis.
"Iya. Lo jangan lakuin itu deh, pokoknya!" ucap Rahma. "By the way, gue Rahma. Nama lo siapa?"
Siswi di depan Rahma menyingkirkan sedikit rambutnya. Lalu menghapus sisa iar matanya. Dan menerima jabatan tangan Rahma.
"Gue... "
"Lo Naura? Anaknya Pak Atmajaya yang tajir melintir, itu kan? " ucap Rahma memotong ucapan Naura.
"Gak usah bawa-bawa keluarga," ucap Naura tidak suka.
"Eh.... so... sorry... " ucap Rahma gugup. Di tegur seperti itu membuat Rahma tidak enak.
"Lo kelas apa? Mau gue anterin ke kelas atau mau ke UKS, aja? " tanya Rahma.
"Gak usah. Gue di sini aja, " jawab Naura.
Rahma terdiam sebentar, lalu menatap sekitar. "Lo... lo gak takut?"
Naura menggelengkan kepalanya.
"Oke, lo emang pembrani sih. Buktinya lo ada di sini sendirian," ucap Rahma.
"Lo ngapain di sini?" Kini giliran Naura yang bertanya.
"Eh kan, hampir lupa." Rahma tidak menjawab ucapan Naura. Ia mengambil bola baskter sebagai tujuan pertamanya. Naura sendiri sudah tahu apa yang Rahma cari.
"Eh keluar yuk! Gue takut ningvalin lo sendirian. Nanti lo berbuat nekat kayak tadi, " ajak Rahma. "Gue pelajaran olahraga dan gue gak bawa seragam. Nanti kita bisa ke kantin, atau kemana gitu. Jangan di sini."
Naura pun mengangguk, dan menuruti kemauan Rahma. Mereka keluar dari gudang sekolah. Sejak hari itu, Rahma dan Naura menjadi sahabat.
Flashback off
"Huh," Rahma menghela nafasnya panjang. Baru saja ia mengingat pertemuan pergamannya dengan Naura.
"Kenapa lo?" Airin bertanya kepada Rahma.
"Gue.... gue jadi ingat, momen pertama kali gue ketemu Naura dulu." Rahma menghentikan ucapannya. "Naura hampir bunuh diri, hanya karena di banding-bandingkan sama Kak Felly."
Airin diam.
"Gue takut Rin, kalau suatu saat Naura ngelakuin hal nekat kayak dulu, lagi. Kalau dulu gue masih bisa nyelamatin dia. Nah kalau sekarang?"
"Itu yang gue takutkan... " ucap Airin menanggapi ucapan Rahma.
"Kita yang harus jaga Naura, Rin!" ucap Rahma yakin.
"Iya, lo bener Ma," jawab Airin lirih.
***
"Yuda!" teriak Naura ketika melihat sosok Yuda yang melintas di depannya.
"Apa?"
"Mana bayaran gue!" ucap Naura.
"Bayaran apa?"
"Lo pikir, gue gak tahu? Lo berhasil jadian sama Diva, kan? Jadi gue mau bayaran gue!" ucap Naura membalikkan tangannya meminta uang kepada Yuda.
"Ah elah, Ra. Lo ingat banget kalau masalah duit," sindir Yuda. Yuda membuka dompetnya. Lalu memberi Naura uang.
"Nah, gini dong! Baru adil," ucap Naura mengibas-ngibaskan uang yang ada di tangannya.
"Udah, ya. Urusan kita selsai. Gue mau jemput Diva dulu, by!" ucap Yuda, sembari pergi meninggalkan Naura.
"Yey! Dapat uang jajan!" ucap Naura berasorak gembira.
"Khem... khem... " Naura mendongak ke belakang. Dan menemukan Arga yang berdiri di belakangnya.
"Eh, Pak Arga... " ucap Naura.
"Ayo ikut saya!" ucap Arga menarik tangan Naura.
"Ma... mau kemana, Pak?" tanga Naura gugup. Naura tidak mampu menormalkan detak jantungnya saat ini. Karena jaraknya dengan Arga begitu dekat.
"Katanya mau di ajarin bikin makalah yang bener," ucap Arga.
"Eh, i... iya Pak," jawab Naura. Ia hanya menurut, ketika Arga memintanya masuk kedalam mobilnya.
Tanpa sepengetahuan keduanya, ada mobil lain di sisi gerbang kampus. Orang yang ada di dalam mobil itu memperhatikan mereka.
"Mau ikutin Den Arga, Bu?" ucap sang supir.
"Gak usah. Kita pulang aja, ya," ucap seseorang itu.
Sang supir mengiyakan. Ia pun mengambil jalur yang berbeda dengan jalur yang di pilih Arga tadi.
"Arga, Mama hanya mau melihat kamu menikah, sebelum Mama pergi," batin seseorang itu. Sembari mengusap foto Arga dan dirinya.
****
"Eh, kalian dengar gak kalau Pak Arga dekat sama Mak Comblang kampus kita itu! Siapa namanya?" ucap salah satu dosen muda yang sedang berkumpul.
"Oh iya gue tahu, Naura kan!" ucap salah satu di antara mereka.
Mendengar nama adiknya di sebut, membuat Felly menatap kearah mereka.
"Gak nyangka ya, Pak Arga sukanya sama cewek kayak gitu."
"Kalian jangan salah paham dulu, dong. Siapa tahu, kan. Pak Arga minta sama Naura buat di comblangin sama gue! " cetusnya sembari tertawa.
"Hahaha... ngarep, gue juga mau dong!"
Mereka semua tertawa. Lalu salah satu di antara mereka menatap Felly yang memperhatikan mereka.
"Eh Fel, lo gimana? Suka juga, kan sama Pak Arga?"
Felly diam, lalu mengangkat kedua bahunya. Felly pun melanjutkan aktivitasnya. Felly terkenal sebagai pribadi pendiam. Dia juga orang yang susah berinteraksi dengan orang lain. Itulah kenapa teman Felly tidak sebanyak Naura.
Tiba-tiba ponsel Felly berbunyi. Felly pun segera mengambil ponselnya.
"Halo... "
"Kamu ke kantor Papi, sekarang!"
"Iya. Felly siap-siap dulu."
Sambungan telpon di matikan. Ia segera mengemasi barang-barangnya. Dan berjalan menuju parkiran mobil. Saat akan masuk kedalam mobil. Felly sempat melihat Arga dan Naura. Naura masuk kedalam mobil Arga. Lalu mereka pergi.
Felly masuk kedalam mobil. Ia meletakkan tasnya asal. Tidak, Felly tidak langsung menjalankan mobilnya. Tetapi, ia hanya diam, dan menyandarkan kepalanya pada stir mobil.
Banyak hal yang di pikirkan oleh Felly. Namun, ia hanya diam. Tidak mau berbicara, atau bercerita kepada siapapun. Felly memilih menghapus air matanya. Dan menghidupkan mesin mobil.
Mobil Felly melaju dengan kecepatan sedang. Di luar sedang gerimis. Felly memilih memutar radio. Agar jiwanya menjadi tentram.
***
Arga memarkirkan mobilnya di depan cafe. Ia mengambil payung. Karena hujan di luar cukup lebat.
"Kamu tunggu di sini dulu. Biar saya jemput. Payungnya cuma satu soalnya," ucap Arga ketika Naura akan membuka pintu mobil.
Naura diam, ia tidak mampu berkata-kata sekarang. Ia melihat Arga keluar mobil, mengitari mobil untuk membukakan pintu untuknya. Sesuatu yang belum pernah Naura pikirkan sebelumnya.
Mereka berdua berjalan masuk kedalam cafe. Dengan satu payung sama. Jantung Naura benar-benar tidak bisa di ajak kompromi saat ini. Fokusnya mulai buyar. Dan akhirnya....
Arghhh....
Naura sedikit berteriak, ketika kakinya tidak sengaja tergelincir. Tidak separah apa yang di bayangkan. Karena dengan cepat Arga menahan tubuh Naura.
Tapi, payung yang mereka gunakan berhasil lepas dari tangan Arga. Kini payung itu terbang tinggi entah kemana.
Mereka yang menyadarinya. Segera berlari menuju teras cafe.
"Kaki kamu, gak pa-pa?" tanya Arga.
"E.... enggak Pak, terima kasih," ucap Naura gugup.
"Jangan panggil Pak, kalau kita di luar kampus," ucap Arga.
"Ha?" Ucapan Arga tentu saja membuat Naura tercengang. "Terus saya panggil apa?"
"Terserah kamu," jawab Arga. Arga melangkah lebih dulu. Namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara Naura memanggilnya.
"Bang Gaga... "
Naura tersenyum, akhirnya ia bisa memanggil Arga dengan panggilan itu.
"Udah ayo masuk!" ujar Arga, setelah beberapa saat diam. Arga berjalan lebih dulu, lalu di ikuti oleh Naura.
"Mbak, saya mau cappuccino, sama americano di meja sebelah sana, ya," ucap Naura menunjuk salah satu meja kosong.
"Baik, Mbak mohon di tunggu pesanannya," ucap waitres.
"Kok kamu tahu, saya suka americano?" tanya Arga saat mereka akan duduk di kursi.
"Eum, nebak aja sih," jawab Naura asal. Ia duduk dan meletakkan tasnya.
"Loptop kamu mana?" tanya Arga.
"Laptop?" ucap Naura.
"Kita, kesini mau belajar bikin makalah. Bukan nongkrong. Laptop kamu mana?"
"Enggak bawa laptop. Lupa," jawab Naura dengan santainya.
"Gimana sih? Kamu ke kampus gak bawa laptop? Terus kamu belajar apa Naura di kelas!" ucap Arga tidak habis pikir.
Naura hanya diam, sembari menggit bibir bawahnya.
"Terus sekarang kalau gini kita ngapain?" tanya Arga.
"Nongkrong... "