DURI CINTA

1246 Kata
[Sore itu indah—begitu indah hingga seolah dunia berhenti dan hanya menyisakan dua manusia yang sedang berjalan berdampingan di tepi pantai. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma asin dan dingin yang menenangkan. Butiran pasir menyelip di antara jari-jari kaki mereka, sementara ombak kecil menyapu bibir pantai dengan suara yang menenteramkan. Di kejauhan, matahari perlahan menuruni singgasananya. Ia bersiap kembali ke pelukan malam—terbenam di sebelah barat, lalu mengarungi mimpi panjang sebelum kembali muncul di timur. Cahaya jingga keemasan memantulkan bayangan dua sosok itu di permukaan pasir. ‘Kenapa Vin ingin ke pantai hari ini?’ tanya Kinara pelan. Ia memandang pria di sampingnya—pria yang membuat jantungnya terus berdebar, membuat dadanya terasa sesak, dan membuat hatinya selalu berada di antara bahagia dan sakit. Vin berjalan dengan kepala sedikit tertunduk, seolah sedang menyembunyikan sesuatu di balik senyumnya. Namun ketika ia mendengar pertanyaan itu, ia berhenti. Langkahnya pelan, namun penuh makna. ‘Kinara-ku sayang.’ Suara itu terasa hangat… terlalu hangat hingga membuat d**a Kinara bergemuruh. Vin berbalik sepenuhnya. Ia memutar tubuhnya hingga berdiri tepat di hadapan Kinara. Cahaya senja jatuh di wajahnya, membuat tatapannya terlihat semakin lembut… dan berbahaya bagi hati siapa pun yang dicintainya. ‘Aku hanya ingin mengatakan… aku mencintaimu.’ Ucapan itu jatuh begitu lembut, seperti angin senja yang menyapu sisi wajah. Tangan Vin terangkat perlahan. Jemarinya menyentuh pipi Kinara—hangat, hati-hati, seolah Kinara adalah sesuatu yang rapuh dan berharga. Mata pria itu menatap langsung ke mata Kinara, menembus sampai ke dasar perasaan terdalam yang ia sembunyikan. ‘Dan aku akan terus menjaga cintaku hanya untukmu.’ Nada suaranya pasti. Tak ragu. Tak goyah. Kinara mematung. Detik itu, seluruh dunia seolah hilang. Tubuhnya terasa ringan… namun dadanya sakit—sakit indah yang hanya dirasakan oleh orang yang mencintai terlalu dalam. Ia ingin berbicara, namun lidahnya kelu. Sesaknya membuat napasnya berat, seolah bahagia dan takut bercampur menjadi satu. Vin tersenyum ketika melihat wanita itu tidak bisa menyembunyikan perasaannya. ‘Kau dan aku… kita akan menikah. Kita akan punya keluarga kecil yang bahagia. Kau mau, kan?’ tanya Vin sambil menunduk sedikit, menatapnya dengan mata yang penuh harapan—mata yang tidak pernah menatap orang lain seperti itu. Kinara menatap pria di hadapannya. Pria berkemeja putih, berwajah tenang, tersenyum seperti malaikat sore hari… Pria yang tatapannya penuh cinta—cinta yang hanya pernah ia impikan. ‘Vin… aku juga sangat mencintaimu.’ Akhirnya, kata itu keluar. Gemetar, namun jujur. Vin tersenyum—senyum yang menghancurkan seluruh pertahanan Kinara. Ia mendekatkan wajahnya. Kinara spontan memejamkan mata rapat-rapat. Lalu sebuah ciuman mendarat lembut di bibirnya. Ciuman penuh cinta. Penuh pengharapan. Penuh masa depan yang mereka rencanakan bersama. Vin memeluk Kinara erat, seolah ingin mengunci momen itu dalam hidup mereka selamanya. Namun justru pada saat itulah tubuh Kinara melemas. Matanya terbuka sedikit… penglihatannya tiba-tiba mengabur. Dunia di sekitarnya memudar—cahaya senja, suara ombak, wajah Vin… semuanya berputar dan memudar. ‘Kinara?!’ Kinara jatuh. Tubuhnya limbung dan tidak kuat menopang dirinya sendiri. Dan dalam hitungan detik, gadis itu terkulai lemas dalam pelukan pria yang berjanji akan mencintai dan menjaganya.] Cerita yang baru saja Kinara bagi hanyalah secuil dari luka masa lalunya. Ia tak menyebutkan nama Vin di dalam cerita itu—bukan karena ia tak ingin jujur, tetapi karena ia tak ingin melukai Hana. Biarlah dirinya yang menanggung semua rasa sakit itu. Biarlah dirinya saja yang menyimpan seluruh kepedihan yang pernah ia alami. Hana tidak tahu apa-apa. Hana tidak tahu masa lalu. Hana tidak tahu kenyataan bahwa dirinya dan Kinara mencintai pria yang sama. Dan dengan kondisinya yang tidak baik-baik saja… Hana tidak pantas menerima kenyataan pahit itu. Hana tertawa kecil—tawa yang lembut, polos, dan entah kenapa terasa seperti menyayat hati Kinara lebih dalam. “Hahaha… jadi kau pingsan setelah dia menciummu?” Ia membayangkan versi romantis dari cerita itu—seolah kisah itu milik siapa saja, bukan kisah yang mengiris hati seseorang di sampingnya. “Saya sangat terkejut, Nyonya,” jawab Kinara. “Bagaimanapun… itu ciuman pertama saya. Dan dia membuat saya berdebar sampai… sampai tak bisa mengendalikan diri.” Hana tersenyum. Ia tak bisa melihat wajah Kinara, tetapi ia mengira pipi pelayannya kini bersemu merah. Kenyataannya? Wajah Kinara dipenuhi kesedihan. Matanya berkaca-kaca, menahan air mata yang ingin pecah kapan saja. “Ya… aku tahu rasanya,” ucap Hana lembut. “Aku pun merasakannya. Suamiku sangat romantis. Kadang… aku berpikir pria yang kau ceritakan itu adalah Vin.” Senyuman Hana begitu polos—begitu menyakitkan bagi Kinara yang tahu kebenarannya. Ya—pria itu memang Vin Mandala. Dan kisah cinta itu miliknya sebelum semuanya hancur. “Ba-bagaimana kisah Anda dan Tuan?” tanya Kinara. Hana terdiam sejenak, lalu memejamkan mata. Ia menarik napas panjang—napas seseorang yang menyimpan kisah penuh badai. “Mungkin suatu hari akan kuceritakan semuanya padamu, Marisa,” ucap Hana lembut. “Banyak hal yang harus kau dengar… tapi biarkan aku menceritakannya perlahan. Kau bersedia mendengarnya, kan?” Kinara tersenyum tipis. “Iya… saya sangat bersedia, Nyonya. Saya akan mendengarkan semuanya.” Sebelum Hana sempat menjawab, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Kinara menoleh. Dan di sana—berdiri Vin Mandala. Bersandar di ambang pintu dengan sikap angkuh, wajahnya dingin, dan mata tajamnya langsung tertuju pada Hana. Hana tersenyum begitu mendengar langkah Vin mendekat. Ia mengendus aroma parfum khas suaminya—aroma hangat yang selalu dikenalnya. “Suamiku… kenapa kau menguping pembicaraan kami?” Vin mendengus pelan. “Hm. Kau selalu tahu saat aku datang,” gumamnya. Tanpa menunggu lama, ia melangkah mendekat, lalu mencium kening Hana dengan lembut. Kinara memalingkan wajah. Ia tak sanggup melihatnya. Hatinya seperti diremas dari dalam—perlahan… pasti… menyakitkan. “Suamiku… aku malu,” protes Hana ketika Vin mengecup pipinya lagi. “Kenapa?” tanya Vin sambil tersenyum tipis. Tatapannya hangat, penuh cinta—cinta yang tidak pernah ia berikan pada Kinara. Itu cukup untuk menghancurkan pertahanan Kinara yang tersisa. Air matanya jatuh—tanpa bisa ia hentikan. Perlahan, tanpa suara… namun terasa seperti gempa di dadanya. Ia melihat bagaimana pria yang dulu memujanya kini memberikan seluruh cinta itu kepada wanita lain. Ia ingin berteriak. Ingin marah. Ingin bertanya—kenapa ia tidak cukup? Tetapi bibirnya hanya mengeluarkan satu kalimat pelan. “Nyonya… Tuan… saya pamit. Saya harus segera pulang.” Hana menoleh pelan. “Marisa… panggil aku Kakak, bukan Nyonya.” Kinara menggigit bibir, menunduk lebih dalam. “K-ka… Kakak, aku pulang. Dan… yah, Tuan… saya permisi.” Tanpa menunggu jawaban, ia membalikkan tubuhnya dan keluar dari kamar itu. Ia berjalan cepat. Menuruni tangga. Melewati dinding-dinding besar yang penuh foto bahagia Vin dan Hana. Setiap langkah terasa berat—seperti menyeret beban yang tak terlihat. Saat mencapai lantai bawah, tubuhnya akhirnya menyerah. Kinara terjatuh. Lututnya menghantam lantai marmer yang dingin. Tangannya gemetar. Dadanya naik turun, tersengal. Lalu tangis itu pecah— Tangisan yang ia tahan sejak lama. Keras, patah, menyayat. Ia memukul dadanya sendiri, mencoba meredakan rasa sakit yang tak tertahankan. “Sakit…” suaranya pecah. “Semuanya sakit…” Para pelayan yang melihatnya hanya bisa menatap dengan mata basah. Mereka tahu segalanya. Mereka tahu beban Kinara. Mereka tahu cinta yang tidak pernah terbalas. Mereka tahu penderitaan itu. Dan mereka tahu— kadang, mati terasa jauh lebih baik daripada menahan semua rasa sakit itu. Kinara berdiri lagi, meski lututnya bergetar. Ia berlari menuju pintu menuju ruang bawah tanah. Tempat satu-satunya di mana ia bebas menangis sepuasnya. Tempat satu-satunya yang masih menjadi miliknya. Tempat satu-satunya yang menampung semua duka yang tidak bisa ia ucapkan. Dan malam itu… tembok-tembok ruang bawah tanah menjadi saksi bagaimana seorang wanita mencintai sampai dirinya hancur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN