“Aku ingin kau tahu satu hal, Vin.” Suara Julian terdengar pelan, namun mantap, seperti seseorang yang sudah terlalu paham luka orang lain. Ia menatap Vin lama, seolah sedang menimbang apakah pria di depannya cukup kuat untuk mendengar sisa kalimat itu. “Rasya itu jelas—jelas mengincar harta kakakmu dan keluargamu.” Julian berhenti, napasnya mengembus pelan. Bibirnya terangkat menjadi senyum sinis yang tidak pernah membawa kabar baik. “Sedangkan Hana…” ujarnya lagi, kali ini lebih tajam. “Aku jujur saja, aku tak pernah suka kau bersama wanita itu. Kalau kau pakai rasio normalmu, kau pasti mengerti kenapa aku membenci Hana.” Seketika itu pula, tatapan Vin berubah. Mata yang tadinya hanya kosong oleh kelelahan mendadak memercik seperti belati yang baru diasah. “Apa maksudmu!” suaranya

