Nyonya dan Tuan Wijaya berdiri di pintu depan rumah keluarga Mandala. Malam Jakarta menyelimuti mereka dengan udara dingin dan tiupan angin yang membawa bau aspal basah, bercampur suara samar klakson dari jalan raya jauh di luar kompleks elit itu. Lampu-lampu halaman yang tinggi memantulkan bayangan panjang di tanah—bayangan yang bergerak perlahan seiring hembusan angin, menciptakan suasana sendu yang sulit diabaikan.
Malam ini mereka harus terbang ke Cina—kepergian yang mendesak, untuk menyelamatkan bisnis yang berada di ujung krisis.
Dan lagi-lagi, mereka harus meninggalkan putri satu-satunya.
Nyonya Wijaya mendekat, meraih wajah Kinara dengan tangan yang gemetar lembut. Di bawah cahaya lampu taman yang keemasan, air mata yang ditahannya terlihat mengilap. Ia mencium kedua pipi Kinara, lalu memeluknya erat—erat seolah ia tahu ada begitu banyak hal yang ingin ia ucapkan namun tak punya keberanian untuk melakukannya.
Tuan Wijaya menyusul, memeluk putrinya dengan genggaman kuat. Tangannya berpindah ke belakang kepala Kinara, mengusap rambut putrinya seperti ketika ia masih kecil.
Namun Kinara tetap diam.
Hatinya… kosong.
Kakinya seolah menancap di tanah.
Ini sudah terlalu sering terjadi. Terlalu sering ia dilepas di malam hari menuju rumah yang tak pernah memberinya kehangatan.
“Jadilah istri yang baik, Nak… Ayah dan Ibu akan kembali beberapa bulan lagi,” ucap Nyonya Wijaya kecil, seakan khawatir suara keras akan membuat hatinya pecah.
Kemudian ia menoleh pada Vin, menaruh seluruh harapannya pada pria yang tidak mengetahuinya.
“Vin… jaga Kinara untuk kami.”
Senyum muncul di bibir Vin—senyum yang terlihat lembut jika dilihat dari jauh, namun secara dekat tampak seperti topeng halus yang terpasang sempurna.
“Ibu, tentu. Aku pasti menjaganya.”
Ia melirik Kinara sebelum kembali menghadap orang tuanya.
“Tentu saja kami akan menjaga menantu kami,” ujar Tuan Mandala dengan percaya diri.
Setelah beberapa kata perpisahan terakhir, Tuan dan Nyonya Wijaya masuk ke dalam mobil. Lampu mobil menyala terang, menerangi wajah Kinara yang menunduk, membuat air matanya tampak seperti titik kaca yang berkilat.
“Sampai jumpa…”
Itu saja.
Meski kata itu terasa terlalu kecil untuk menahan perpisahan besar ini.
Pintu mobil tertutup.
Bunyi mesin menyela ketenangan, lalu mobil perlahan bergerak melewati pekarangan rumah besar.
Kinara menatap cahaya lampu belakang mobil yang semakin mengecil… semakin jauh… hingga menghilang di tikungan.
Dan ketika suara mesin benar-benar lenyap, halaman yang luas itu kembali sunyi.
Sunyi… hingga terasa menggigit.
Hanya ada Vin.
Dan malam yang terlalu panjang.
Kinara menurunkan kepalanya, rambutnya jatuh menutupi sebagian wajah.
“Bagaimana ini…?” suaranya pelan, hampir lenyap terbawa angin malam.
“Kau tidur di lantai malam ini,” jawab Vin—pelan, namun tajam seperti bilah tipis.
“Dan jangan ada penolakan.”
“B-baik…”
Kinara mengepalkan jemarinya.
Cahaya bulan membuat mata basahnya tampak berkilau seperti serpihan kaca yang pecah.
Dari dalam rumah terdengar teriakan Nyonya Mandala, bernada tinggi dan tidak sabaran.
“VIN! CEPAT BAWA ISTRIMU MASUK!”
Vin menutup mata singkat, menghela napas.
“Masuk,” katanya datar.
---
Sementara itu…
Hana duduk di sofa ruang keluarga. Langit malam terlihat dari jendela besar yang ditutupi tirai tipis, memantulkan siluet rembulan yang pucat. Lampu-lampu gantung berwarna emas memancarkan cahaya lembut, memberi kesan hangat kontras dari dinginnya udara di luar.
Di pangkuan Hana, ada selimut tipis berwarna krem.
Pelayan setianya duduk di samping, selalu siaga namun menjaga jarak sopan.
Di telinga Hana, suara Vin terdengar melalui telepon.
Suara yang begitu lembut… suara yang tidak pernah didengar Kinara.
“Iya, suamiku… aku mengerti. Dan aku mencintaimu,” ucap Hana, senyumnya mengembang.
[“Besok aku pulang dan bersamamu, Sayang. Jangan menangis. Aku mencintaimu.”]
Suara Vin terdengar pelan namun begitu penuh kasih.
“Ya… tidurlah. Kau harus rapat pagi besok. Jangan lupa makan. Pulanglah dengan selamat… aku menunggumu, Vin.”
[“Maaf aku tidak berada di sampingmu…”]
Hana menggigit bibirnya, menahan rasa rindu.
“I-itu tidak apa-apa… aku lebih mencintaimu,” bisiknya.
Ketika panggilan itu terputus, Hana menghela napas, lalu memeluk ponselnya pelan seperti memeluk kehangatan yang tersisa dari suara Vin.
Pelayan di sampingnya menunduk, sorot matanya mencerminkan iba yang tidak bisa ia ucapkan.
“Nyonya, apakah ada yang Anda perlukan?” tanyanya lembut.
“Tidak… aku hanya ingin tidur.”
Pelayan membantu Hana bangkit dan menuntunnya ke kamar.
Namun di dalam hatinya, ia mengingat wajah Kinara yang selalu terlihat begitu hancur setiap kali mereka bertatapan.
---
Di rumah utama Mandala… malam semakin menekan.
Kamar Vin gelap hampir seluruhnya.
Satu-satunya cahaya adalah rembulan yang masuk melalui tirai setengah terbuka, jatuh langsung ke lantai marmer putih yang dingin.
Di sanalah Kinara berbaring.
Di lantai.
Tanpa selimut.
Tanpa alas.
Hanya berusaha menghangatkan dirinya dengan memeluk tubuh sendiri.
“Jangan berisik… atau kau tidur di balkon,” bisik Vin dari atas kasur.
“Y-ya…”
Suara Kinara bergetar.
Ia menutup mata, air mata jatuh tanpa suara, meresap ke lantai marmer yang dinginnya menusuk sampai tulang.
Vin berbaring di kasur empuknya, selimut tebal menutupi tubuhnya.
Namun matanya tetap terbuka.
Menatap langit-langit yang gelap.
Dan malam itu, seperti banyak malam sebelumnya… kenangan itu datang.
— Kenangan yang pahit. Kenangan yang tak mau padam. —
Suara Dami menggema di kepala Vin.
‘[Kau kejam, Vin! Bagaimana bisa kau mengatakan hal seperti itu pada wanita yang mencintaimu?!’
‘Aku tidak peduli! Dia meninggalkanku dan mengingkari janjinya!’
‘Dia tidak meninggalkanmu! Dia berjuang untuk hidup! Dia kritis, Vin!’
‘Biarkan dia mati. Aku tidak peduli.’
Dami memandangnya dengan mata yang nyaris pecah.
‘Semua ini karena wanita bar itu? Wanita lelangan itu? Obsesi-mu membuatmu buta.’
‘BERHENTI! HANA BUKAN w************n!’
‘Dia penyebab Rasya bunuh diri! Kau pikir aku lupa?!’
PLAK!
Tamparan keras itu menggema.
Rasya…
Pria yang mati demi Hana.
Pria yang meninggalkan Dami di altar.
Pria yang menghancurkan hidup kakak kandungnya karena cinta yang salah.
‘Kinara mencintaimu, Vin! Dia pergi ke Amerika demi hidup! Demi kau!’]
Kenangan itu memudar, menyisakan detak jantung Vin yang cepat dan napasnya yang berat.
Ia memalingkan kepala.
Di bawah sana…
Kinara masih menggigil.
Bahunya naik turun dengan tidak stabil.
Begitu rapuh, begitu kecil… namun tetap berusaha bertahan.
“Maaf…”
Kata itu keluar pelan.
Hanya sehembusan napas.
Malam terlalu dingin untuk mengirimkan kata itu ke telinga Kinara.
Dan Kinara terlalu hancur untuk menyadari bahwa Vin—untuk pertama kali dalam waktu lama—merasa sakit yang sama.