CINTA YANG PATAH

1064 Kata
Pagi datang perlahan. Mengusir gelapnya malam. Menghapus mimpi-mimpi manis yang seharusnya bisa menjadi pelarian… lalu menggantinya dengan kenyataan yang pahit—kenyataan yang selalu terasa menghantam lebih keras daripada malam. Vin membuka mata. Cahaya pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, memantul di dinding kamar luas itu. Ia mengerjap sekali, kemudian pandangannya tertuju pada balkon kamar. Di sana—duduk dengan punggung membungkuk dan tubuh terbalut selimut tebal—ada seorang wanita mungil. Kinara. Ia duduk di atas sofa kecil di balkon, memeluk lututnya yang terlipat. Angin pagi yang dingin masuk dengan mudah, membuat rambut panjangnya berantakan dan wajah pucatnya tampak semakin sendu. “Hachim…” Suara bersin itu kecil, hampir seperti suara anak kecil yang menahan tangis. Vin mendiam. Wajahnya datar, namun matanya sempat menatap lama ke arah wanita itu. Kinara menggigil, bahunya berguncang halus setiap kali hawa dingin menghantam kulitnya. “Hachim…” Lagi. Lebih keras. Namun tetap terdengar rapuh. Gaun tidurnya yang tebal serta selimut yang ia tarik sampai dagu tak mampu mengusir dingin dari tubuhnya. Kinara menggigit bibir, menahan getaran yang tak ingin ia tunjukkan. Di kepalanya, serpihan memori lama muncul tanpa diundang. [‘Aku benci udara dingin, karena aku tak akan bisa hangat dengan cepat…’ ‘Ck… lalu bagaimana dengan impianmu? Kau ingin kita berbulan madu dan berciuman di tengah hujan salju di Paris, bukan?’ ‘Itu berbeda, Vin. Jika kau memelukku, aku tak akan merasa dingin.’] Vin memejam sesaat, menepis bayangan itu. Dia tidak ingin ingat. Tidak ingin mengenali Kinara yang dulu pernah ia sayangi. Tidak ingin merasa apa pun selain benci. Ia bangun dari kasurnya, berjalan menuju kamar mandi tanpa mengatakan sepatah kata pun. “Hachim…” Suara bersin terakhir itu terdengar pelan, nyaris menyentuh sesuatu yang telah lama ia kubur. Dadanya mengencang sesaat, namun Vin langsung menggeleng keras seolah ingin mengusir rasa itu. Tidak. Dia tidak boleh peduli. Tidak kepada wanita itu. Tidak kepada luka lama yang pernah terasa hangat. Vin menutup pintu kamar mandi dengan cepat. --- Di balkon, Kinara masih menggigil. Ia menarik selimut lebih rapat ke lehernya sambil menunduk, menatap secangkir air hangat yang ia genggam dengan kedua tangan. Uap tipis dari gelas itu naik ke udara, menyentuh pipinya yang mulai memerah akibat udara dingin. Ia mencari matahari. Mencari sedikit kehangatan untuk tubuhnya. Mencari sedikit cahaya agar hatinya tidak mati seluruhnya. Namun angin pagi tetap saja menusuk tanpa ampun. Kinara menarik napas panjang, mencoba menenangkan rasa dingin yang menusuk tulang. Di depan sana, bunga-bunga di taman belakang bermekaran indah. Mawar putih. Anggrek ungu. Lily yang tertata rapi di sudut-sudut taman. Indah… namun terasa begitu jauh dari jangkauannya. Ingatan lain datang. Hangat. Sebuah kenangan yang dulu pernah membuatnya merasa dicintai. [‘Ck… apa kau sangat ingin kupeluk? Yakin?’ Suara Vin muda, lembut dan jahil. ‘Ya,’ jawab Kinara dulu, sambil tersenyum malu. ‘Aku merasa tenang saat berada di pelukanmu.’ ‘Kalau begitu,’ ujar Vin sambil menariknya ke d**a, ‘aku akan memelukmu. Tanpa kau minta pun aku akan memelukmu erat.’] Kenangan itu menusuk seperti duri di tengah d**a. Kinara menggigit bibir agar tidak menangis. Tangannya bergetar di sekitar cangkir. Ia meremas ujung selimut, mencoba mengendalikan rasa kehilangan yang tiba-tiba menyergapnya. Kini… bahkan suara Vin saja tak memandangnya. Apalagi pelukannya. Kinara menutup mata, merasakan matahari yang mulai hangat di kulitnya. Senyum kecil yang miris muncul di bibirnya. Betapa ironisnya… dulu ia tidak tahan dingin karena tahu ada pelukan yang siap menghangatkannya. Kini ia tidak tahan dingin karena tidak ada siapa pun yang akan melakukannya. Dan pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya, Kinara hanya duduk sendiri—menggigil, menahan bersin, menahan tangis, dan berteman dengan kenangan yang tak bisa ia buang. ___ Pagi itu masih terlalu muda. Langit Jakarta berwarna abu-abu pucat, udara dingin pagi menyelinap masuk seperti kabut yang tersesat. Setelah menginap di rumah keluarga Mandala, Vin dan Kinara akhirnya berpamitan dan kembali pulang. Begitu pintu mobil tertutup, keheningan langsung merayapi ruang sempit itu. Tidak ada ucapan selamat pagi. Tidak ada percakapan ringan layaknya pasangan suami istri. Hanya suara mesin yang hidup pelan dan dingin AC yang menusuk kulit. Kinara duduk dengan tubuh menciut, bahunya mengerut menahan dingin. Rambutnya sedikit lembap oleh embun pagi, wajahnya pucat setelah malam panjang yang penuh kecanggungan dan ketakutan. “Hachim…” Bersinnya terdengar seperti suara dari orang yang sedang memohon kehangatan. Vin tetap menatap lurus ke depan. Sorot matanya tidak memantulkan apa-apa selain kelelahan dan emosi yang ia pendam. “Hachim…” Bersin kedua terdengar lebih keras. Kinara menunduk, jemarinya mencengkram ujung baju tidurnya yang ia kenakan di balik cardigan tipis. Tubuhnya masih menggigil sejak tadi malam ia tidur di lantai kamar Vin yang dingin. Ia melirik Vin perlahan. Ragu. Takut. Tapi dingin itu menusuk sampai tulang. Ingin rasanya ia meminta AC dimatikan. Ingin… sekali. Namun setiap kata yang melewati bibirnya selalu berubah menjadi ketakutan. “Apa yang kau inginkan?” Suara Vin memecah udara, dalam, datar, tanpa sedikit pun niat membantu. Kinara terkejut. Ia menggeleng cepat. “B-bi… ah, lupakan saja.” Ia memilih diam. Karena diam selalu lebih aman daripada membuat Vin marah. Tapi Vin tidak menyukai diam. “Katakan.” Nada suaranya turun, rendah, penuh ancaman terpendam. Kinara menelan ludah. “Aku… aku hanya… aku…” Suaranya patah-patah, gemetar. “Apa yang kau inginkan?!” Bentakan Vin menggetarkan seluruh tubuh Kinara. Mobil seketika terasa semakin sempit, udara semakin dingin. Kinara menutup mata sesaat, menahan desakan tangis. “Ma… matikan AC… a-aku kedinginan.” Vin memalingkan wajahnya sekilas, menyeringai tipis. Bukan iba. Bukan simpati. Hanya sinis. Bahkan seolah menikmati ketidakberdayaannya. “Kedinginan?” ulangnya dengan nada mengejek. Kinara mengangguk pelan. Namun Vin tidak menggerakkan tangan sedikit pun menuju panel AC. Ia kembali melajukan mobil, membiarkan udara dingin terus memukul kulit Kinara tanpa ampun. “Hikss…” Kinara menggigil hebat. Ia memeluk lututnya di kursi, menundukkan kepala, mencoba mempertahankan sedikit kehangatan yang tersisa dari tubuhnya sendiri. Pagi itu cerah. Matahari bersinar di luar sana. Tetapi di dalam mobil… dunia Kinara tetap gelap, dingin, dan penuh luka. Vin tetap tidak peduli. Tidak pada bersinnya. Tidak pada tubuhnya yang menggigil. Tidak pada wajahnya yang semakin pucat. Ia menatap lurus ke depan, membiarkan rasa campur aduk—cinta lama, marah, dendam, dan rasa bersalah—berputar di hati yang tak pernah ingin ia akui masih terluka. Sementara Kinara… ia hanya bisa memeluk dirinya sendiri. Menahan dingin. Menahan sakit. Menahan cinta yang tak pernah dibalas. Dan mobil itu terus melaju pelan, meninggalkan jejak pagi yang dinginnya lebih kejam daripada malam sebelumnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN