DAMI KEMBALI

1166 Kata
“Aku sangat setuju dengan pendapatmu, Rangga…” tiba-tiba sebuah suara berat dan santai terdengar. Hana menoleh sedikit mengikuti arah suara, meski ia tidak bisa melihat. Diana langsung berseri-seri — karena pria yang baru datang itu tak lain adalah Wira Anggara, suaminya. Pria tampan itu melangkah mendekat tanpa ragu. Dengan satu tarikan lembut, ia meraih pinggang Diana, menarik istrinya ke dalam pelukan, lalu mencium bibir wanita itu dalam-dalam, tepat di hadapan semua orang. Ciuman hangat, penuh romansa, dan tanpa malu. Ciuman yang membuat Diana tersenyum malu-malu dan memukul d**a suaminya perlahan. “Kalian berdua menjijikkan,” cibir Rangga sambil memutar bola mata. Namun nada suaranya mengandung tawa kecil. Hana tersenyum. Tersenyum karena mereka — empat orang itu — adalah sahabat-sahabat yang dia sayangi… Tapi sekaligus tersenyum getir, karena dunia mereka begitu terang. Terlalu terang bagi dirinya yang hidup dalam gelap. “Ahh… aku ingin pulang,” ucap Hana pelan. Suaranya lembut, namun penuh kerinduan yang tidak tersampaikan. Dia ingin kembali ke kamarnya. Menghirup aroma tubuh Vin dari bantalnya. Dia rindu pelukan yang tidak sempat ia dapatkan semalam — karena Vin menghilang sebelum ia terbangun. “Hmmm… kau selalu saja begitu,” Diana merenggut Hana masuk ke pelukannya, hangat dan lembut. “Jangan sedih,” bisik Diana sambil mengelus punggung Hana. “Kami semua selalu ada untukmu. Kami akan berusaha membuatmu bisa melihat indahnya dunia lagi. Kau tidak sendiri, Hana…” Jessica ikut memeluk dari sisi lain. Ketiga wanita itu saling menguatkan, membentuk lingkaran kecil yang hangat, yang seharusnya bisa menguatkan siapa pun. Namun pelukan itu justru menghancurkan sisa pertahanan Hana. Air mata mengalir dari mata yang tak lagi berfungsi. Hana memejam, menahan isakan yang ingin meledak. “Aku… hanya ingin melihat… sekali saja…” ucap Hana lirih. “Aku ingin melihat wajah suamiku… sekali saja…” Diana dan Jessica saling memandang. Tangan mereka mengencang di punggung Hana. Sementara Rangga dan Wira ikut terdiam. Bahkan mereka, dua pria dewasa itu, tampak tersentak oleh kesedihan yang begitu telanjang. Wira mengeluarkan ponselnya, menatap layar sambil bersiap menelepon. “Aku akan menelepon Vin, meminta dia menjemputmu, Han—” “JANGAN!!” Teriakan itu meledak dari Hana, membuat semua orang terdiam. Membuat kafe kecil itu seolah membeku. Hana menunduk, bahunya bergetar halus. “Jangan telepon suamiku,” katanya, suaranya sudah retak, “Aku… aku tidak ingin dia mendapat masalah karena aku…” Diana ingin membantah. Namun Hana mengangkat tangan, menghentikannya. “Aku… dikenal orang sebagai pelacur.” Suara Hana pecah. “Penghancur pernikahan putri seorang konglomerat. Wanita jalang yang merebut calon suami wanita lain.” Jessica dan Diana langsung meraih tangan Hana, menggenggamnya erat. “Aku ini… sampah bagi mereka,” lanjut Hana, suaranya hampir tak terdengar. “Julian menyebarkan semua foto telanjangku… foto saat aku… saat aku dipaksa melayani kolega-koleganya…” Tangannya mengepal, gemetar, memeluk dirinya sendiri seakan menahan tubuhnya agar tidak runtuh. “Aku mohon…” Napasnya tersengal. “Jangan biarkan Vin dipermalukan karena aku…” Keempat sahabatnya terdiam. Tak ada yang bisa disangkal. Tak ada yang bisa dibantah. Tak ada kata yang cukup kuat untuk menutup luka sebesar itu. Yang mereka lihat sekarang bukan Hana yang mereka kenal: Bukan Hana yang ceria, bukan Hana yang penuh kebaikan. Tapi seorang wanita yang hancur, patah, dan menanggung beban masa lalu yang begitu kelam. “Antar aku pulang…” Hana berbisik. “Hanya itu.” Diana menatap Jessica. Jessica menatap Rangga. Rangga menatap Wira. Dan mereka semua mengangguk, satu per satu. Tanpa memaksakan apa pun lagi. Tanpa bicara panjang. Mereka tahu… Kadang, menyayang seseorang bukan berarti mendorongnya untuk kuat. Tapi… Menemani dia saat hatinya sudah terlalu retak untuk diperbaiki. --- Dami Mandala, seorang desainer ternama di Indonesia, wanita cantik yang selalu tersenyum dan hangat, namun tak tersentuh oleh kata-kata cinta manapun. Hari itu, Dami melangkah masuk ke sebuah mansion megah — rumah adik kesayangannya, dan tentu juga adik ipar tercintanya. Para pelayan terpaku melihat kedatangan Dami. Ada rasa cemas, ketegangan, dan harap-harap cemas bercampur. Dulu, Vin tidak pernah mengizinkan Hana berada di mansion itu. Ia takut kakaknya mengetahui pernikahan mereka, takut ibunya mengetahui hubungan mereka. Dengan segala cara, Vin menutup rapat semua kenyataan, termasuk pernikahan yang bahkan tidak dicatat secara resmi. “Di mana adik iparku?” tanya Dami pada salah satu pelayan, matanya menatap tajam, menuntut jawaban. Pelayan itu menunduk, jantungnya berdegup kencang. Haruskah ia berbohong? Jika ketahuan, konsekuensinya fatal. Jika jujur, lebih mengerikan lagi. “A-ah… itu…” pelayan itu menunjuk ke lantai atas, tempat Vin berdiri panik. Baru saja ia ingin menyambut Hana, namun kakaknya sudah lebih dulu datang. Dengan panik, Vin meraih ponselnya dan menelepon Rangga. “Rangga! Bawa Hana sejauh mungkin! Dami, kakakku, dia ada di sini!” Setelah memutus sambungan telepon, Vin menatap kakaknya dengan wajah penuh kecemasan. Bagaimana bisa ia menjelaskan keadaan Kinara? Wanita itu tampak seperti orang gila, menatap dinding tanpa bicara. Hatinya hampa, jiwanya tertekan. Vin tak tahu kapan semuanya bisa membaik. “Kakak…” panggil Vin, melangkah cepat mendekat dan memeluk kakaknya. “Vin… Kakak sangat merindukanmu, sayang,” ucap Dami lembut, menatap adiknya dengan mata berbinar. “Di mana adik kesayanganku yang cantik itu?” tanyanya, pertanyaan yang membuat senyum Vin terpaksa muncul, meski aneh dan canggung. “Di mana Kinara, Vin?” Dami menatap sekeliling mansion, mencari-cari Kinara. Ia melangkah ke dapur, mengetahui Kinara gemar memasak, namun tak menemukan jejaknya. Wanita itu terus mencari, sampai ke kamar Vin dan Hana. Baru saja Dami ingin membuka pintu, Vin segera menahannya. “Hmmm… Kak, Kinara berada di kamar kami berdua,” ucap Vin. Dami menatapnya bingung. “Tapi… ini kamar kalian, bukan?” tanya Dami, penasaran. “Ini… ini kamar tamu,” jawab Vin, menyembunyikan kenyataan dengan licik. “Benarkah? Bolehkah kakak tidur di kamar ini?” tanya Dami lagi. Vin terdiam. Bagaimana bisa ia mengizinkan kakaknya tidur di kamar itu? Kiamat akan terjadi jika Dami melihat semua foto mereka — pernikahan, momen mesra, dan rahasia yang seharusnya tersembunyi. “Apa kau keberatan?” tanya Dami lagi. Vin menatap kakaknya, sadar ia tak mungkin menolak. Ia menggeleng pelan. “Ti-tidak… hanya kamar, ya, kamar ini harus dibersihkan terlebih dahulu,” jawab Vin gugup. “Kakak akan membersihkannya untukmu,” Dami tersenyum lembut, baru saja ingin membuka pintu kamar, tapi Vin menahannya lagi. “Kak… semalam Daniel menginap di sini. Kau pasti ingat bagaimana berantakannya dia, bukan? Dan lagi pula, kakak bukan tamu, tapi saudaraku,” jelas Vin, mencoba meyakinkan Dami. “Ck… kenapa kau baru bilang? Astaga, aku akan gila. Tidak, aku tak akan tidur di kamar itu!” keluh Dami, menjauhi kamar, wajahnya menunjukkan kesal yang luar biasa. Ia menatap Vin memelas, jelas ingin kamar yang layak. “Kau bisa tidur di kamar lain, Kak. Lebih nyaman di sana,” ucap Vin, menarik lembut tangan kakaknya. Ia menuntun Dami ke kamar lain, yang sudah ia siapkan khusus sejak lama. Pintu besar dengan ukiran rumit dan warna cokelat terbuka, menawarkan ruang yang lebih aman, lebih privat. Dami menatap kamar itu dengan ekspresi lega, sementara Vin menahan napas. Sebuah ketegangan yang tak terlihat, tapi terasa begitu berat di antara mereka berdua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN