Melt Slowly - 9

1279 Kata
                       "When we don't forgive, we re not hurting the other person, we re not hurting the company did us wrong, we re not hurting God, we re only hurting ourselves"                                                                                     - The Fresh Quotes -                                                                                                   ***** "Kenapa sih lo enggak bilang aja masih cinta sama Nathan?" tanya Zack sambil mengunyah steaknya yang alot. Mia berdecak, "Ck! Ya mana mungkinlah Zack! Gue enggak sama lagi di mata dia, lo tahu kenapa kan?" sahut Mia pelan, sambil bola matanya bergerak-gerak ke arah Nathan dan Sofia duduk. "Hooh, Nathan lebih nakutin sekarang. Masalahnya sekarang kalau marah, dia bawaannya pengin makan orang" Rino menimpali, "tapi lo enggak perlu khawatir sama Sofia deh, karena Nathan benar-benar memperlakukan dia sama kayak dia perlakuin Meghan dulu, sahabat!" "Cih! Mana bisa Sofia disamain sama Meghan. Sofia itu lebih menggoda dari pada Meghan! Dan lo lihat sendiri kan bahasa tubuhnya kalau di dekat Nathan?" suara Mia meninggi karena emosi. "Pssst, lo teriak aja sekalian, biar Nathan dengar sana" "Yang pasti nih, gue butuh bantuan kalian..." "Untuk lo balikan lagi sama Nathan?" Mia menghela napasnya dan mengembuskannya sekaligus, "Untuk menjauhkan Sofia dari Nathan" Lagi-lagi Zack dan Rino saling bertatapan. "Ish, lama-lama gue geli lihat lo berdua, tatap-tatapan terus. Kayak sejoli" seloroh Mia. Zack dan Rino sama-sama buang muka dan bergidik ngeri sambil mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya. "Amit-amit, amit-amit!" ujar mereka kompak. "Sejak kapan kalian di sini?" suara Nathan membuat mereka bertiga melonjak kaget. Untung saja Zack tidak tersedak steaknya yang alot tadi. Tubuh mereka membeku ketika melihat Nathan sudah berdiri di samping mejanya dan menatap mereka bergantian. Kemudian Mia merubah ekspresi wajahnya menjadi terkejut yang dibuat-buat, "Eh? Nathan? Kamu makan di sini juga?" Zack dan Rino segera paham kode yang diberikan Mia, "Lho Bro? Lo juga makan siang di sini?" drama Rino. Nathan berdecak, ia paham situasinya. Kedua sahabatnya pasti berada dalam tekanan ancaman Mia saat ini. Tentu saja ia ingat bahwa tadi ia sudah mengatakan kemana tujuan makan siangnya dan dengan siapa. Ini pasti ide Mia, yang memaksa mereka untuk membawanya ke tempat di mana ia dan Sofia makan. Dasar posesif, cerca Nathan dalam hatinya. Namun anehnya ada perasaan senang yang menyelinap di sana. Zack bergeser dan membiarkan Nathan duduk di sebelahnya, di depan Mia. Mata Mia berkedip berulang kali melihat Nathan memandangnya, "Ini ide kamu,kan? Memaksa mereka untuk nganterin kamu ke sini?" tuding Nathan tepat. Mia kelabakan mendapat tuduhan yang benar itu, "Huh? Eh, enggak! Tanya aja mereka" dalihnya sambil melotot menatap ke Zack dan Rino. Rino melihat ke jamnya dan terkejut, "Ya ampun Bray! Udah satu jam! Balik ke kantor yuk, tahu sendiri Bos kita kan galak banget" tukas Rino membuat Nathan menggeram. Zack dengan tampang suka cita lekas berdiri dan mengikuti Rino pamitan pada mereka berdua. Mata bulat Mia bergerak-gerak mengikuti langkah Rino dan Zack. Cacian dalam hati untuk mereka berdua keluar dengan bebasnya. Suara dehaman Nathan di depannya membuatnya kembali pada kesadaran sebelumnya. Nathan memergokinya. "Kita hanya teman bisnis kan, Mi?" Pertanyaan Nathan membuat d**a Mia diserang tawon bertubi-tubi, panas. "Apa aku ada pernyataan kalau kita lebih dari itu? Apa hubungannya sih, aku enggak ngerti..." "Aku tahu kamu alasan kamu di sini ngapain, hubungan aku sama Sof---" "Tunggu!" sela Mia, "jangan-jangan kamu berpikir aku menguntit kamu ke sini?" Nathan mengangguk seraya menyandarkan punggungnya dan melipat kedua tangannya di depan dadanya, tanpa melepaskan pandangannya pada wanita di depannya itu. Kepala Mia menggeleng sambil terkekeh pelan, "Kamu pikir aku enggak ada kerjaan lain apa?---Aku itu cuma mau makan bareng Zack dan Rino, dan mereka ngajaknya makan di sini? Salahnya di mana ya?" Dalih Mia. Giliran Nathan yang terkekeh, "Aku tahu kamu itu dari kamu mulai pakai diapers Mia, jadi aku tahu tujuan kamu makan di sini itu apa" Mia berdecak sambil mendengus kesal. "Ihh...! Oke fine, aku memang mau lihat kamu sama Sofia! Puas?" ketus Mia sambil menghentakkan sendoknya pada piring makannya. "Tapi bukan karena apa-apa ya, catat! Aku cuma heran aja kenapa kamu bisa dekat sama Sofia?" "Bukan karena cemburu?" "Cemburu???" Nathan mengangguk, "Hee--eemh." "Untuk apa cemburu? Emangnya aku siapa dan kamu siapa?" Tiba-tiba Nathan bangkit dari kursinya, "Good, karena aku enggak mau ini terjadi lagi. Kita punya kehidupan pribadi masing-masing, tolong hormati dan hargai itu! Clear?" Ujarnya dan ia pergi dari hadapan Mia yang masih menganga syok. Panasnya suasana hati Mia saat ini membuat dirinya mengejar Nathan keluar restoran, "Nath, tunggu!" serunya, dan Nathan berhenti dengan memutar tubuhnya menghadap Mia. "Katakan satu hal, dan aku akan ikuti. Kamu bilang aku untuk tinggal aku tinggal, kamu bilang agar aku pergi, aku pergi, aku akan pergi dari hadapan kamu Nath. Aku tahu aku salah, dan aku sudah mencoba untuk memperbaikinya, tapi kamunya yang enggak kasih aku kesempatan. Jadi tolong katakan..." "Leave, Mia" ujar Nathan dingin. Mia menarik napasnya dalam-dalam, mencoba menahan rasa sakit di dadanya. "Apa kamu yakin, Nath?" suara Mia sedikit bergetar, entah kenapa ia harus menanyakan hal ini lagi kalau ia sendiri sudah tahu jawabannya. Alih-alih menjawabnya Nathan berbalik dan menjauh dari Mia. Mata Mia berkaca-kaca memandangi punggung Nathan yang menghilang di balik pintu mobil. Kevin mengangguk padanya dan kemudian pergi meninggalkan Mia yang terlihat sedang menyeka air matanya. . . . Seminggu setelahnya, dan pada rapat berikutnya ketika tidak nampak kehadiran Mia di ruangan yang disiapkan Nathan. Nampak Yonki didampingi seorang wanita, bukan Mia yang malah menjelaskan ide-ide desain Mia tersebut padanya dan seluruh kreditor. Bukannya Nathan menanti-nanti wanita itu, tapi rasa penasaran yang tinggi membuatnya bertanya pada Yonki ketika rapat sudah selesai. "Ehm, mana Mia?" Yonki mengerutkan alisnya dan matanya menyipit memandang Nathan, "Apa kau serius bertanya dia ke mana?" "Apa maksudmu?" Yonki menghela napasnya panjang, ia menyentuh bahu sahabatnya itu dan meremasnya. "Untuk kepentinganku, aku senang kau memperlakukan Mia dengan buruk, Nath. Tapi karena aku betul-betul mencintainya, aku hanya menginginkan kebahagiaan untuknya" sahut Yonki samar-samar. "Yonki, jangan berbelit-belit. Apa maksudmu sebenarnya?" "Aku tahu tentang masalahmu dan Mia. Dia menceritakan semuanya padaku. Aku tidak akan mencampuri urusan kalian berdua, atau menyarankan apapun padamu. Keputusan yang kau ambil adalah murni dari dirimu sendiri" ujar Yonki, ia menghela napasnya sekali lagi, "aku mencintainya, Nath. Aku tidak suka melihatnya bersedih karena harus bertemu denganmu dalam project ini. Jadi aku menerima pengunduran dirinya" lanjut Yonki. Mata Nathan membesar sesaat, ia merasa bersalah karena sudah membuat keputusan yang membuat Mia memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya. Tangannya menyapu rambut dan wajahnya sekaligus. Tampak raut penyesalan di sana, tapi terlambat. "Aku menemaninya selama dia menyesali perbuatannya padamu. Aku ingin membuatnya bahagia dan aku serius, Nath. Walaupun dia belum menerimaku saat ini, tapi aku akan memperjuangkannya" tekad Yonki seraya membereskan bawaannya dan pergi dari hadapan Nathan. .. Malam semakin larut, namun mata Nathan belum juga bisa terpejam, bahkan kepalanya terus dipenuhi kata-kata Yonki tadi siang.                         " Aku ingin membuatnya bahagia dan aku serius, Nath. Walaupun dia belum menerimaku saat ini, tapi aku akan memperjuangkannya"   "Aarrrgghhhh!!!" Nathan melempar bantalnya ke sembarang arah dengan kekuatan penuh. Ia bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menuju dapurnya. Nathan meraih minuman kaleng dingin dalam lemari esnya dan kembali menuju kamarnya. Diraih ponselnya yang tergeletak di meja kerjanya, ia menekan nomor seseorang. Tidak ada jawaban sama sekali, kemudian ia mencobanya lagi. Hasilnya tetap sama, tidak ada jawaban. Ia melirik jam yang menggantung di dinding kamarnya. Jam 11 malam. Nathan mengacak rambutnya dengan frustrasi. Kenapa ia harus resah? Bukannya ini yang dia inginkan, agar Mia pergi dari hidupnya? Tidak membayanginya lagi. Ponsel Nathan berbunyi, dan dengan cepat ia menjawabnya. "Kenapa Nath?" tanya suara di ujung sana. Nathan menelan ludahnya sambil menghela napasnya, entah untuk apa ia menanyakan hal ini pada adiknya, "Apa kamu tahu Mia di mana?" "Finally?" "Jawab saja..." "Dia di Singapore, berlibur. Di apartemen" jawab Nailee singkat, padat dan jelas. "Thanks sist" Nathan menutup teleponnya walau masih terdengar suara Nailee mendumal di ujung sana.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN