" Nothing feels better than when you love someone with your whole heart and soul and they love you back even more..."
- Karen Kastyla -
*****
Nathan ragu-ragu untuk menekan bel pintu apartemennya yang ditempati Mia, ini menurut informasi Nailee tentu saja. Jantungnya berdetak dua lebih cepat dari biasanya menantikan pintunya terbuka. Sekali, dua kali, tiga kali dan hingga berkali-kali ia tekan belnya, tidak ada seorangpun yang membuka pintunya.
Nathan merogoh ponselnya untuk menelepon Mia, namun ia lupa bahwa ia sudah menghapus nama itu dari kontak ponselnya dan ia belum mendapatkan nomor ponsel Mia yang baru. Ia kembali menghubungi adiknya.
"Nathan, aku sudah kirim pesan bahwa Mia pindah apartemen kemarin..."
Nathan menggeram kesal, "Apa berita sepenting itu kamu enggak bisa telepon Nai?" sungutnya.
"Sorry, kemarin aku sangat sibuk dan aku pikir itu enggak penting-penting banget buat kamu, Nath" suara Nailee penuh ejekan di ujung sana.
"Hissh! Sudahlah..." Nathan menyudahi percakapannya, karena merasa percuma juga berdebat dengan adiknya itu. Sibuk apa? Seperti bekerja saja anak itu, batin Nathan terkekeh.
Nathan menekan password apartemennya dan berhasil masuk ke dalamnya dengan mudah. Apartemennya rapi seperti biasa, seperti tidak pernah ditempati sebelumnya. Ia mendorong koper kecilnya ke sudut ruangan dan mengirim pesan pada Nailee.
Ponsel Nathan berbunyi, notifikasi pesan dari adiknya. Kemudian ia menempelkan ponselnya pada telinganya. Kembali menunggu dengan penuh kesabaran, orang di sana menjawab teleponnya.
Nathan berdecak kesal sembari meraih jaketnya dan keluar dari apartemennya. Ia sudah lelah menahan diri berpura-pura tidak punya perasaan lagi pada Mia. Dan sekarang ia sedang mencari Mia di belahan negeri lain, entah apa yang akan dikatakan keluarganya nanti. Urusan belakangan, pikirnya.
Ponselnya berbunyi lagi, adiknya menelepon.
"Nathan!"
Nathan menjauhkan sedikit ponselnya dari telinganya karena suara bising Nailee, "Duh, apa sih?"
"Mia sudah terbang kembali ke New York, barusan aja dia telepon aku!"
"WHAATTT???"
"Sorry, Nath" suara Nailee terdengar ikut prihatin atas nasib Nathan.
Nathan menghela napasnya panjang sambil menghentikan langkahnya yang terburu-buru sebelumnya. Seandainya Nailee ada di depannya sekarang, entah apa yang sudah ia lakukan pada adiknya itu.
"Apa dia benar-benar di Singapore, Nai?" tanya Nathan penuh nada selidik.
"You still love her, Nath!! I am sure about it now!" lonjak Nailee gembira di seberang sana.
Dan mata Nathan pun membesar sempurna karena menyadari sesuatu.
"NAILLLEEEEEEEEEEE!!"
Nailee pun memutuskan sambungan teleponnya dan tertawa terbahak-bahak di ujung sana.
Sementara Nathan sedang memijat pelipisnya sambil menggelengkan kepalanya. Bertanya dalam hati, kenapa ia bisa sebodoh itu terjebak dalam perangkap adiknya. Terbang secepat mungkin dengan pesawat pribadinya dari New York ke Singapore hanya untuk menemui Mia?
.
.
.
Sehari setelah Nathan kembali ke New York, ia sudah berada di kantor Yonki. Matanya bergerak mengedar ke semua penjuru ruangan mencari sosok Mia.
"Kunjungan yang tidak biasa, Nath. Ada yang bisa kubantu?" tanya Yonki.
Nathan duduk di depan meja Yonki, "Kita harus segera memutuskan akan pakai agency yang mana untuk iklan yang akan kita lakukan, Yon" ujarnya.
Yonki mengangguk, "Kau benar, aku masih mempelajari beberapa proposal yang masuk. Aku juga minta bantuan Mia untuk memutuskan, walau secara teknis dia tidak lagi dalam proyek ini" katanya.
"Ya ya, kau benar. Dia bisa membantu" sahut Nathan seraya manggut-manggut.
"Apa kedatanganmu ke sini ada hubungannya dengan Mia, Nath?" tuding Yonki.
Kedua alis Nathan menyatu, sehingga dahinya ikut berkerut. "No!" jawabnya cepat tanpa dipikir lagi dan ia menyesal dalam hati.
"Baguslah..."
Pintu ruangan Yonki terbuka dan muncullah sosok wanita yang selama ini Nathan cari-cari. Mata mereka bertemu dan Mia menatap dengan pandangan syok. "Saya kembali nanti saja..." ujarnya sambil memutar tubuhnya.
Namun suara Yonki mengurungkan niatnya, Mia kembali berjalan menuju ke meja Yonki dna menyerahkan dokumen yang tadi ia bawa. Jantungnya berdegup keras ketika melewati Nathan, bukan, sebetulnya dari pada saat melihat Nathan ada di ruangan ini tadi jantung Mia sudah berdentum sangat keras.
Ia berusaha sekeras mungkin agar tidak terlihat aneh. Perlahan ia mengarahkan pandangannya ke Nathan, mata Nathan masih menatapnya. Tanpa berkedip, sampai kemudian Yonki berdeham dengan sangat keras.
"Duduklah Mia, Nathan ingin mendiskusikan sesuatu..." perintah Yonki.
Mata Mia menyiratkan kebingungan, "Tapi aku kan---"
"Sebentar saja, ya kan, Nath?"
Nathan mengangguk. "Aku hanya ingin pendapatmu tentang beberapa konsep iklan yang ditawarkan oleh agency" ujarnya dengan nada seformal mungkin.
Mia mengangguk setuju dan menarik kursinya agar berjarak dengan Nathan, ia menyilangkan kakinya yang jenjang berbalut celana kulot tipis berwarna hitam. Gerakan tersebut menyita perhatian Nathan dan ia tidak bisa menghindari matanya dari menatap Mia di depannya. Gerakannya sangatlah biasa, tapi entah kenapa efek yang ditimbulkan bisa sangat luar biasa untuk Nathan.
"Apa kamu akan berdiam menatapku terus seperti itu, Nath?" tanya Mia bertanya dan membuyarkan pikiran Nathan.
Nathan langsung memalingkan wajahnya kembali pada Yonki yang sedang tersenyum kecut, dan ia bersumpah mendengar Mia terkekeh ringan.
She is defenitely gorgeous! Batin Nathan.
Diskusi berlangsung formal dan profesional, Nathan dan Mia mengesampingkan dulu persoalan pribadi mereka dan fokus pada proyek yang dikerjakan. Walau sesekali Nathan merasa geram dengan perhatian-perhatian yang Yonki berikan pada Mia di depan matanya.
"Aku ingin kamu kembali mengerjakan proyek ini, Mi" kata Nathan dengan ekspresi serius.
"Itu juga yang kukatakan padanya..." timpal Yonki.
"Kenapa?" Mia balik bertanya.
Kening Nathan berkerut, ia sudah memprediksi pertanyaan Mia ini, "Ya, karena kamu yang menguasai materi ini. Kurasa enggak ada alasan lain lagi" ujarnya.
"Benarkah?"
"Iya, apa benar enggak ada alasan lainnya, Nath?" sambar Yonki ikut-ikutan mencecar Nathan.
Nathan menatap Yonki curiga.
"Karena aku tidak mengizinkan Mia masuk kalau kau punya alasan selain itu" tegasnya.
Apa-apaan sih Yonki, dia pikir dia siapanya Mia? Pikir Nathan kesal.
Nathan berdiri dengan gusar, ia mendekati Yonki tepat di depan wajahnya, "Kau tidak punya hak menentukan keinginan Mia, Yon!" kecamnya geram.
"Oya? Tentu saja aku berhak, karena Mia kekasihku sekarang" ujarnya.
Dan Nathan tidak mendengar Mia menyangkalnya lagi seperti sebelumnya. Ia berpaling pada Mia yang dengan perlahan menganggukkan kepalanya.
Entah dorongan apa yang akhirnya membuat Nathan bergerak cepat meraih tangan Mia dan menariknya keluar ruangan. Yonki hampir berteriak mencegah perbuatan Nathan tapi tatapan Mia membuatnya berhenti.
Nathan membuka pintu tangga emergency dan membawa Mia ke sana, ia melepaskan tangan Mia dan menyapukan kedua tangannya ke kepalanya sambil mendengus mengembuskan napasnya. Nathan menarik napasnya dalam-dalam, dan menatap manik mata Mia.
"Apa kamu serius Mi? Kamu dan Yonki?"
Rahang Mia mengeras, "Aku dan Yonki, apa yang salah? Bukannya kamu enggak menginginkan aku lagi?"
"Tapi kenapa harus Yonki, Mi?"
"Karena dia yang selama ini ada untukku, Nath!"
Dahi Nathan berkerut keras, rahangnya ikut mengeras mendengar alasan Mia, "Kamu bilang begitu, seolah-olah aku yang pergi ninggalin kamu, Mia!"
"Ya ampun Nathan, berapa kali aku harus minta maaf sama kamu! Kurasa aku yang lebih menyesal dari pada kamu. Lihat saja berapa banyak wanita yang ada di sekililing kamu sekarang, huh? Apa perlu aku kumpullkan foto-foto yang kudapat dari internet tentang kamu dan wanita-wanita kamu itu, Nath?!"
"Dan sekarang kamu salahkan aku? Itu semua karena kamu, Mia! Karena kamu pergi ninggalin aku!" seru Nathan emosi sambil mendekati Mia intens ke dinding.
Wajahnya berada dekat sekali dengan wajah Mia sekarang. Sudah sangat lama Nathan tidak sedekat ini dengan Mia. Bau harum Mia masih sama seperti dalam ingatannya, ia rindu wanginya. Nathan menarik napasnya panjang untuk menghirup wanginya, atau lebih tepat untuk membuatnya sedikit lebih tenang. Sedangkan Mia berdiri kaku menyadari kedekatannya dengan Nathan sekarang. Ia menelan ludahnya dengan susah payah.
"Nath..."
Nathan memejamkan matanya dan mundur selangkah dari Mia, ia memijat pangkal hidungnya dengan sangat keras untuk memulihkan kesadarannya.
"Kamu yang memintaku pergi terakhir kali kemarin, kan? Aku tidak akan mencampuri urusan pribadimu lagi, bukankah itu yang kamu mau, Nath?"
"Apa kamu mencintai Yonki, Mi?"
"Waktu akan membuatku mencintainya..." jawab Mia gugup.
Mata Nathan bergerak-gerak menatap mata Mia, berusaha mendalami makna pernyataannya tadi. Apakah itu berarti Mia menerima cinta Yonki walau ia tidak mencintainya? Apa Mia mencintai orang lain saat ini, apa itu dirinya?
"Jadi kamu enggak cinta---"
"Aku akan berusaha mencintainya" sahut Mia cepat-cepat.
Nathan mendengus, "Baik, baiklah! Lakukan apa yang mau kamu lakukan, Mia! Ini hidup kamu!" ujarnya dengan ekspresi kesal dan keluar dari tempat persembunyian mereka.