'Rindu itu wajar jika hanya dirasakan dan masih menggunakan akal sehat untuk bekerja, bukankah semua hal yang dirasa itu dianggap wajar.'
* * *
Aira mendesah kecewa begitu mendapat telfon dari suaminya dan pria itu mengatakan bahwa kepulangannya ke Mesir ditunda karena ternyata masih banyak pekerjaan yang harus pria itu lakukan disana, tidak taukan Fahri bahwa disini Aira sangat merindukannya. Rasanya sangat kecewa sekali, padahal ia berpikir Fahri menelfonnya dan mengabarkan bahwa pria itu sedang dalam perjalanan menuju rumah. Namun nyatanya ia salah, bahkan suaminya itu baru menghubunginya saat ini.
Beberapa hari yang lalu Fahri beralasan sangat sibuk hingga lupa mengabari Aira, Aira pun memaklumi alasan Fahri namun hari ini ia benar-benar sangat kecewa dan sedih karena ia tidak dapat bertemu dengan Fahri selama satu minggu kedepan. Apakah hanya dirinya saja yang merindukan Fahri sedangkan suaminya itu nampak biasa-biasa saja tanpa kehadirannya? Segera Aira beristighfar, berusaha menghilangkan pemikiran buruk tentang suaminya.
Mungkin jika benar Fahri sekarang sangat sibuk hingga tidak sempat bercakap lama dengannya, oh ayolah Aira selisih waktu disini dan disana cukup jauh pastilah jika suaminya itu sangat sibuk mengingat bahwa kini adalah waktu kerja. Namun apakah tidak boleh jika dia merindukan suaminya? Ya Allah kenapa kini setelah ia menjadi istri rasa yang ia rasakan pada suaminya semakin hari kian bertambah.
"Aira..." Aira menghentikan lamunannya begitu mendengar suara Ayahnya memanggil namanya, wanita itu menaruh ponselnya diatas tempat tidur kemudian keluar dari kamar.
"Iya Ayah, ada apa?" Aira menghampiri Ayahnya dengan senyum cantiknya, Ayahnya terlihat tengah membaca koran sambil menikmati secangkir kopi buatannya.
"Fahri jadi pulang hari ini?" Tanya Ayah sambil meletakkan cangkir kopi itu diatas meja setelah menyesapjya sedikit.
Wajah Aira mendadak murung mendengarnya, namun segera ia mengulas senyum untuk menutupi kesedihan diwajahnya. Ia tidak mau jika sang Ayah mengetahui isi hatinya meskipun tanpa Aira ketahui sang Ayah mengerti akan perubahan, Ayah menepuk bahu Aira yang kini telah duduk disebelahnya pelan menyentak Aira yang masih dalam lamunannya.
"E-eh, ehmm.. Mas Fahri gak bisa pulang hari ini Ayah, kepulangannya diundur hingga minggu depan. Ada banyak pekerjaan yang harus Mas Fahri urus disana." Ayah mengangguk paham, paham akan alasan mengapa sang anak terlihat begitu murung. Ternyata sang suamilah penyebabnya, ia melihat ada tatapan rindu dibalik kesedihan diwajahnya.
"Kamu merindukan suamimu Nak?" Aira tersentak mendengar praduga Ayahnya yang memang benar adanya.
"E-enggak kok Yah." Aira mengelak sambil menundukkan wajahnya membuat Ayah tertawa pelan akan tingkah Aira yang tak biasanya.
"Jangan bohong pada Ayah Aira, Ayah tau kalau kamu sangat merindukan suamimu." Aira langsung menghambur dalam pelukan Ayahnya, ia meneteskan air mata dalam dekapan hangat orang yang paling mengerti dan menyayangi dirinya ini.
Inilah yang Aira tidak suka dari Ayahnya, ia tidak bisa menyembunyikan rasa sedih atau bahagianya bila dihadapkan oleh Ayahnya. Pria paruh baya itu pasti selalu tau apa yang tengah ia rasakan baik suka maupun duka, ia tidak bisa berbohong ataupun mencoba menyembunyikan apa yang dirasanya karena Ayahnya pasti akan mengetahuinya.
"Iya Ayah, Aira sangat merindukannya. Entah mengapa perasaan Aira sedikit tidak enak Ayah, mengapa Mas Fahri mengubah jadwal kepulangannya kesini Ayah? Tidak taukah dirinya bahwa disini istrinya tengah menunggunya, merindukan dirinya." Setelah lama Ayah dan anak itu berpelukan, Aira mengurai pelukannya sambil mengusap air matanya. Wanita itu mencoba memberikan senyum untuk Ayahnya.
"Aih mengapa Aira kini menjadi wanita yang cengeng dan berlebihan seperti ini? Aira bahkan tidak mengenali diri Aira sendiri lagi Ayah." Aira mencoba untuk tertawa namun tawa itu malah menjadi hambar karena Ayahnya hanya diam dan tangannya mengusap lembut kedua pipi Aira.
"Aira, kamu tidak berlebihan sayang. Itu wajar bagi seorang istri yang tengah mengkhawatirkan suaminya, kamu tenanglah Aira. Fahri pasti akan baik-baik saja, dia sudah berjanji untuk selalu menjagamu didepan Ayah dan para saksi saat pernikahanmu sebulan yang lalu." Aira mengangguk dan kembali memeluk Ayahnya, ia mencoba menenangkan pikirannya yang sedari tadi melalang buana tanpa tujuan yang jelas.
"Terimakasih atas semuanya Ayah, Ayah selalu menjadi penenang Aira disaat Aira tengah resah seperti ini." Ayah tersenyum mendengar ucapan Aira, tangannya mengelus puncak kepala putrinya dengan lembut.
"Tidak perlu berterimakasih sayang, aku adalah Ayahmu. Sudah tentulah itu menjadi kewajibanku, meskipun kini tugasku sedikit demi sedikit akan terkikis dengan kehadiran suamimu. Tapi Ayah senang jika kamu bisa hidup bahagia bersama Fahri, wajahmu ini mengingatkan Ayah pada Ibumu yang dulu masih seumuran sepertimu ini. Ayah juga merindukan Ibumu sama seperti kamu yang merindukan suamimu, kita resapi rasa rindu ini bersama-sama ya Nak?" Aira mengangguk dengan air mata kembali meluruh.
"Iya Ayah..." Dan kedua orang berbeda usia itu kembali meresapi rasa rindu yang sama namun dengan orang yang berbeda-beda, mereka menghabiskan waktu untuk bercerita dan sesekali Ayah ataupun Aira akan tertawa mendengar lelucon yang mereka buat sendiri. Ayah berusaha mengalihkan pikiran Aira agar Aira tidak lagi memikirkan Fahri, sebagai seorang mertua ia cukup maklum akan kesibukan Fahri. Maka dia tidak merasa marah bila Fahri harus meninggalkan Aira sedikit lebih lama lagi asalkan Aira masih berada dalam jangkauannya.
"Maaf Ayah, Aira jadi membuat Ayah mengingat Ibu lagi dan kini berakhir sedih begini." Ucap Aira penuh sesal membuat Ayah tertawa.
"Ayah tidak apa-apa Aira, Ayah tidak sedih lagi jika mengingat Ibumu. Perlahan-lahan Ayah sudah mengikhlaskan kepergian Ibumu, meskipun hati ini selalu bersemayam nama Ibumu Aira." Aira lega mendengar jika Ayahnya sedikit demi sedikit mau mengikhlaskan kepergian Ibunya, itu tandanya Ayah tidak akan sedih lagi dan itu membuatnya juga bahagia.
"Ayah, sebentar lagi masuk shalat dzuhur dan Aira lupa untuk shalat duha. Aira pamit ke kamar ya Yah?" Ayah mengangguk, dan setelah mendapat izin dari Ayahnya yang berupa anggukan Aira memasuki kamarnya.
Ketika ia telah selesai berwudhu dan akan melaksanakan shalat duha, pandangannya tidak sengaja melihat lipatan baju koko milik Fahri yang berada disampingnya sajadahnya. Ia merindukan saat-saat dimana mereka rajin shalat berjamaah bersama jika suaminya itu tidak pergi ke masjid bersama Ayahnya.
"Semoga saja kamu baik-baik saja disana Mas, aku disini menunggumu." Gumam Aira sebelum melaksanakan shalat duhanya.
Aira menghampiri sang Ayah yang kini tengah memberi makan ikan yang berada didalam akuarium kecil dirumah mereka, Ayahnya sangat terlihat bahagia jika melihat hewan yang berenang menggunakan siripnya itu. Bukan tanpa alasan Ayahnya menyukai itu, namun ia sangat tau jika Ibunya pun dulu sangat menyukai hewan itu. Hingga kini Ayahnya memilih memelihara ikan untuk melepas perlahan rasa rindu itu yang semakin hari semakin bertambah membuat Aira terkadang meratapi mengapa Ibunya pergi meninggalkan mereka begitu cepat.
Mereka hanya rindu, dan itu sekedar hanya dan bukanlah sesuatu yang berlebihan. Jika mereka berlebihan mungkin saja mereka akan menyusul seseorang yang begitu mereka rindukan hingga bersama kembali, namun sekali lagi yang mereka rasakan hanya rindu. Sebatas rasa rindu yang memenuhi relung hati, rasa ingin berjumpa itu besar namun harus menggunakan akal sehatmu.