1. Kafe

1022 Kata
Gadis dengan surai panjang curly berwarna cokelat itu menyeruput secangkir kopi s**u dengan wajah datar, kopi s**u adalah minum favoritnya. Waktu istirahat juga waktu favoritnya. Double favorit yang tengah ia rasakan. Beribu-ribu masalah di benak gadis itu sama sekali belum menemukan titik terang. "Lo dengerin gue ngomong gak, sih, Ra? Gue ngomong sama lo loh dari tadi!" Tiba-tiba suara tersebut membuyarkan lamunan gadis yang tadinya melamun. "Ngagetin aja lo, Mik. Gue gak denger sorry, pikiran gue tadi melayang sejenak." Namanya Anara Clarys Graceva, seorang wanita berusia dua puluh empat tahun yang masih setia mendengarkan pertanyaan 'kapan menikah' dari keluarganya. Di hadapan Anara ada sahabatnya yang sudah berusia dua puluh lima tahun, namanya Mikhaella Anceline, seorang pebisnis papan atas yang tak diragukan lagi kehandalannya. "Lagian lo melamun mulu, kenapa, sih? Ada masalah apa lo?" tanya Mikhaella ulang. Anara menggeleng, menetralkan pikirannya yang bertumpuk menjadi satu. Menarik napas dalam-dalam, lalu dikeluarkan dan memejamkan mata sejenak. Salah satu tips untuk menenangkan diri yang ampuh digunakan oleh Anara. "No problem, cuma sedikit pusing aja, sih, tadi," jawab Anara. Mikhaella yang tak memusingkan jawaban Anara pun hanya mengangguk, melanjutkan acara menyeruput teh hijaunya. "Gue bentar lagi tunangan, lo kapan tunangan?" todongnya pada Anara. Huft ... tolong berkompromi sehari saja, Anara bosan mendengar pertanyaan 'kapan nikah', 'kapan tunangan', 'kapan menyusul', yang selalu membuat telinganya memerah. Pertanyaan tersebut sudah melebihi minum obat, sehari melebihi tiga kali. Anara pikir usianya masih belia, belum perawan tua yang harus disegerakan menikah. Masih banyak kok usia tiga puluh tahun yang menjomblo, dan Anara masih ingin menyenangkan diri sendiri, tidak ingin terburu-buru menikmati hidup. Bagi Anara, takdir, rezeki, jodoh, maut, sudah ada yang mengaturnya, bukan? Maka Anara hanya bisa menanti saja, menanti sampai waktu yang tepat itu tiba. "Lo kayak ibu-ibu aja nanya gitu. Gue bakalan tunangan, menikah, pacaran, or something kalau Tuhan emang udah kasih, kalau belum ya belum. Tandanya Tuhan masih mau gue santai dan menikmati hidup. Gue juga merasa bukan perawan tua, usia gue masih dua puluh empat, dipaksa nikah buru-buru juga gak baik, kan? Mental gue belum siap jadi istri." Anara selalu saja menjawab seperti itu, menjawab dirinya bukan perawan tua sampai harus dipaksa buru-buru nikah. "Lagian juga nanti kalau udah nikah ditanyain lagi, kapan punya momongan lah, kapan nambah lah, kapan nyusul dedeknya lah, kapan isi lah, males sama manusia. Selalu aja menilai sesuatu dari standar, nanti belum dikasih anak dibilang mandul, gak ngerti lagi. Entah itu pemikiran kuno atau emang tradisi turun-temurun. I mean, mau mereka tanya atau enggak, semuanya udah ada yang atur. Dengan mereka tanya pun gak mengubah apapun," lanjut Anara dengan dengusan kecil. Anara itu pandai membalas kata-kata, tak ada yang mampu berdebat dengannya. Jika ada ibu-ibu yang menanyakan hal tersebut pasti Anara balas menyemprot. Ayolah, ini adalah masa milenial. Tidak semua hidup orang sama dan harus memenuhi standar. Jangan mengatakan cantik itu harus putih. Jangan mengatakan usia menikah itu dua puluh lima tahun, jangan mengatakan mempunyai anak di tahun kesekian pernikahan. Tidak, Sayang. Semua orang itu mempunyai takdir yang berbeda-beda. Ada yang cantik karena hitam manis. Ada yang menikah umur tiga puluhan, ada juga yang lebih. Ada yang menikah umur dua puluhan. Ada yang langsung dikaruniai anak, ada yang harus menunggu lebih sabar lagi. Mayoritas orang itu memang seperti ini, bertanya tanpa berpikir, jika dibalas akan dibandingkan. 'Buktinya dia udah hamil, kamu aja yang mandul kali.' Atau seperti ini, 'buktinya dia udah menikah, padahal dia usianya jauh lebih muda dari kamu. Kamu mau jadi perawan tua?' Menyebalkan. "Good! Bagus banget omongan lo, lo itu selalu bisa buat orang lain kicep. Emang seharusnya mulut-mulut kayak gitu dibales supaya gak nyakitin orang lagi. Ya mereka emang nanya, sih, tapi maksudnya mengejek. Sorry kalau tadi gue sempet masuk ke bagian 'mereka', ya. Gue janji gak bakalan ungkit apapun. Lo pasti bisa menemukan jodoh terbaik versi lo, kok." Mikhaella, gadis dengan kacamata bundar yang menghiasi matanya merasakan tak enak hati pada Anara, oleh sebab itu meminta maaf pada gadis itu. "No problem, gue udah sering kok ditanyain gini, gak sama orang tua, orang kantor, keluarga, tetangga, sehari bisa lebih dari tiga kali, udah melebihi dosis minum obat. Sampai enek aja gitu gue. Kok bisa ya orang-orang nanya dengan niat mengejek gitu, sampai melukai perasaan orang lain. Merugikan, meresahkan juga." Anara menangkup wajahnya, membenamkan wajahnya di tumpukan kedua tangan. Melelahkan, satu pertanyaan yang selalu membuat Anara unmood. Lagi-lagi tunangan, menikah, punya anak, nambah anak, begitu terus. Anara ingin bahagia dengan versinya sendiri. Tidak ingin berpanutan pada orang A atau orang B, ia ingin menjadi versi terbaiknya sendiri. Tidak mau memaksa takdir, tidak mau terlalu terburu-buru. Pernah dengar kalau sesuatu yang terburu-buru itu tidak baik akhirnya, bukan? Lagian masih banyak yang ingin Anara lakukan, seperti melanjutkan kuliahnya sampai S2. Ada juga memajukan perusahaannya. Menikmati puncak karirnya, dan banyak lagi. Anara tidak mau menjadi wanita yang hanya sehari-hari di dapur, Anara ingin menjadi wanita karir yang sukses. Anara tidak mau direndahkan oleh laki-laki. Anara bisa menyaingi laki-laki, bahkan melebihinya. Menurut Anara, pernikahan adalah kekangan. Kekangan karena tidak bisa berproses lebih jauh lagi. Kekangan karena tidak bisa menjadi versi terbaik bagi dirinya sendiri. Tidak bisa melanjutkan pendidikan, tidak bisa berkarir. Hanya bisa masak dan bekerja di dapur terus-menerus, menyebalkan. Sama sekali bukan tipe Anara banget. "Tapi, Ra, gue gak setuju sama omongan lo waktu itu, katanya lo gak mau menikah sebelum lo lulus S2, katanya lo gak mau menikah sebelum usaha lo berhasil, lo bisa beli semuanya dengan mudah. Menurut gue pernikahan itu bukan kekangan. Lo masih bisa kok senang-senang, foya-foya, lo masih bisa menjadi versi terbaik dari diri lo, lo masih bisa jadi wanita karir, masih bisa melanjutkan kuliah. Semua tergantung restu suami lo. Kalau dia gak kasih izin berarti emang dia mau berjuang lebih keras untuk lo. Kalau dia kasih izin, berarti dia mau melihat lo berkembang." Mikhaella itu pola pikirnya seperti orang kuno, Anara sampai menguap berkali-kali mendengar Mikhaella berbicara. Entah apa yang Mikhaella katakan, pola pikir Anara tetap sama. Anara masih belum siap menikah. Anara masih belum siap menggantikan statusnya menjadi ibu rumah tangga. Anara masih ingin bersenang-senang sendiri. Anara ingin hidup seperti air mengalir saja, tidak peduli dengan apapun yang terjadi. "Lo mau menikah gak sih, Ra?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN