04 | Alvaro Vicenzo

1044 Kata
Apa ini saatnya dia membuka hati? *** Cia membuka mulutnya tak percaya, seketika dia menyesal karena dia membalas pesan dari David tadi siang. David kini berdiri di depannya menggunakan rok berwarna pink dan membawa sebuket bunga mawar membuatnya bingung dengan maksud kedatangan David ke rumahnya. Alden tertawa terpingkal-pingkal melihat David menggunakan rok berwarna pink. Dia tidak menyangka bahwa anak sahabatnya itu memiliki niat yang tinggi untuk mendekati anaknya sampai rela menggunakan rok untuk menghibur anaknya. Lauren yang melihat itu tersenyum puas, dia berharap bahwa David adalah laki-laki yang tepat untuk anaknya. Dia tidak ingin anaknya merasakan pahitnya cinta untuk kedua kalinya. Cia bersyukur hanya ada kedua orang tuanya di rumah. Dia yakin jika ada ketiga kakaknya di rumah, maka dia akan diledeki habis-habisan.  "Lo ngapain ke sini? Terus kenapa pakai rok kayak gitu?" tanya Cia mengernyitkan keningnya heran. David berjalan mendekati Cia membuat Cia mundur beberapa langkah hingga punggungnya terbentur dinding. David meraih tangan Cia lalu memindahkan buket bunga yang tadi dia bawa ke tangan Cia.  "Gue ke sini buat ngasih lo bunga," jawab David dengan senyumannya. "Bunga? Buat apa?" tanya Cia sembari menatap buket bunga yang indah itu. "Buat apa ya? Mungkin sebagai ungkapan terima kasih gue ke lo," jawab David membuat Cia menaikkan sebelah alisnya. "Terima kasih apa? Terus kenapa pakai rok segala coba? Emang lo gak malu pakai rok warna pink?" tanya Cia sembari menatap rok David membuat wajah David merah padam.  "Biar lo tahu kalau gue benar-benar serius sama lo. Gue udah tahu lo sejak lama, Cia. Gue udah lama suka sama lo, tapi bukan berarti gue tahu kalau papa gue ngejodohin gue sama lo," ucap David membuat Cia mengatupkan bibirnya rapat, dia tidak tahu ingin berkata apa. David mengenggam tangan Cia sebelum berkata, "Gue tahu gue gak sempurna, gue tahu gue itu bukan tipe lo sama sekali. Gue tahu lo masih belum mau membuka hati karena lo pernah dikecewakan sama orang yang paling lo sayang.  Tapi, lo harus tahu kalau gue benar-benar sayang sama lo. Lo harus tahu kalau gue gak bakalan mainin lo. Gue gak papa kalau kita temenan dulu, tapi lo harus kasih gue kesempatan untuk gantiin posisi dia di hati lo." Cia mematung di tempat mendengar semua perkataan David. Apakah David adalah orang yang tepat untuk menempati hatinya? Dia ragu apa yang harus dia lakukan sekarang. Dia masih takut untuk membuka hati, tetapi melihat laki-laki yang berada di depannya seperti serius kepadanya membuat dia bimbang.  Dia mengembuskan napasnya pelan seraya berharap kepada Tuhan agar laki-laki yang berada di depannya ini tidak akan pernah menyakitinya. Cia tersenyum penuh arti sebelum mengangguk membuat David langsung memeluknya karena kegirangan.  "Makasih, Cia," kata David dengan senyuman lebar. David melepaskan pelukan mereka setelah sadar bahwa dia terlalu kegirangan sampai-sampai dia refleks memeluk Cia.  "Sorry," ujar David sembari tersenyum cengengesan. Alden berdeham membuat kedua orang itu menoleh kepadanya.  "Kamu jadi pergi sama Cia?" tanya Alden dibalas anggukan David. Cia menaikkan sebelah alisnya sembari berucap, "Pergi? Ke mana? Kok lo gak kasih tahu gue?" David tersenyum penuh arti. "Jalan-jalan biasa aja kok, santai aja. Gue gak bakalan bawa lo ke tempat-tempat aneh." "Ya udah, kalian berdua sama-sama ganti pakaian," ujar Lauren membuat kedua orang itu mengangguk. *** Aldri celingak-celinguk untuk mencari siapa orang yang dimaksud David. Pandangannya terhenti pada kedua laki-laki yang berada di pojok. Dia memutuskan untuk duduk di dekat meja kedua orang itu. Dia menajamkan pendengarannya. Kedua tangannya terkepal sempurna begitu mendengar nama adiknya disebut-sebut. Dia harus memberitahu adiknya untuk menjauhi kedua orang itu.  Dia harus meminta David menjauhkan adiknya dari kedua orang itu. Dia tidak mau ada sesuatu yang buruk yang akan terjadi pada hidup adiknya. Aldri menoleh ke pintu masuk cafe begitu mendengar bunyi bel yang menandakan ada yang datang ke cafe ini.  Matanya membulat melihat adiknya dan David berada di cafe ini. Dia langsung menutup wajahnya dengan buku menu. Dia berharap adiknya tidak melihatnya di sini. Dia merutuki David karena David mengajak adiknya ke sini. "Vid, kita mau duduk mana? Kayaknya udah penuh deh," ucap Cia menatap sekeliling cafe. David menunjuk meja yang berada dekat Aldri karena hanya itu satu-satunya meja yang kosong. Cia dan David pun berjalan ke meja tersebut. "Lo mau pesen apa?" tanya David sembari membolak-balikkan halaman buku menu. "Yang enak apa ya? Gue belum pernah ke sini, Vid," jawab Cia membuat David tersenyum kecil. "Pesen makanan Indo aja kali ya?" tanya David dibalas anggukan Cia. "Gue ke toilet dulu ya, Vid. Lo pesenin apa aja, entar gue pasti makan kok," kata Cia. Setelah melihat David mengangguk, Cia berjalan ke toilet. Saat dia baru selesai keluar dari toilet, matanya menangkap sosok yang sangat dia kenal. "Dia?" gumam Cia. Matanya memanas melihat sosok itu kini sedang bermesraan dengan perempuan itu. Matanya memanas mengingat semua yang membuatnya sampai tidak memiliki harapan hidup.  Dia langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya begitu sosok itu menatap ke arahnya. Dia mengira sosok itu sudah tidak melihat ke arahnya sehingga dia membuka telapak tangannya. Jantungnya berdegup lebih kencang begitu sosok itu menatapnya intens. Kakinya seakan kaku tak dapat bergerak sama sekali. Air mata yang ditahannya lolos begitu saja dari pelupuk matanya.  Dia ingin berlari meninggalkan cafe tersebut begitu melihat sosok itu mulai berjalan menghampirinya, tetapi kakinya masih terasa kaku.  "Nita." Suara itu membuat air matanya bercucuran lebih deras. Panggilan kesayangan itu membuat hatinya berdenyut. Senyum yang dimiliki laki-laki itu membuat jantungnya terus berdetak lebih cepat.  Laki-laki itu hendak menarik tangan Cia, tetapi ada yang menahan tangan laki-laki itu membuat laki-laki itu mau pun Cia menoleh ke samping. "Lo siapa? Ngapain ganggu pacar gue?!" ucap Devan membuat mata Cia melotot sempurna sedangkan laki-laki itu hanya tersenyum tipis. "Kalau dia pacar lo, kenapa lo gak tahu gue siapa?" tanya laki-laki itu membuat Devan sukses mengatupkan bibirnya rapat. Cia menepis tangan Devan yang berada di bahunya sebelum berucap, "Gue bukan pacar lo dan sampai kapan pun gue ga bakalan jadi pacar lo. Jangan karena lo teman seangkatan kakak gue, lo jadi seenaknya ngaku-ngaku. Asal lo tahu ya, gue risih dikejar-kejar sama cowok kayak lo."  Cia menyeka air matanya yang berada di sekitar pelupuk matanya. Dia berusaha tersenyum manis menatap laki-laki yang ada di depannya. "Hai, Alvaro Vicenzo! Apa kabar nih? Udah lama ya kita gak ketemu," sapa Cia masih menyunggingkan senyuman manis yang dia miliki membuat laki-laki yang bernama Varo itu merasa sangat bersalah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN