Setelah hampir dua pekan selalu sarapan dan makan malam bersama, kini sudah dua hari Bina tidak melihat keberadaan Niko. Ah, ini bahkan hari ketiga Bina tidak pernah melihat Niko sekalipun mereka tinggal se-rumah. Apa Niko se-sibuk itu? Atau pria itu berada di studio? Bina tidak tahu karena chat-nya pun hanya di-read saja.
Saat Bina mengetuk pintu kamarnya pun tidak ada respons, karena memang pria itu tidak ada di dalam. Terbukti motornya tidak ada.
Padahal Bina merasa sudah se-dekat itu dengan sepupunya, tapi sekarang jadi terasa jauh. Bina jadi overthinking, apa dirinya berbuat salah yang membuat Niko merasa tidak nyaman sehingga memilih menjaga jarak?
Bina berharap Niko hanya sedang sibuk, bukan menjauhinya. Lagian kalaupun ada masalah, bukankah seharusnya dibicarakan? Bukan malah menghilang seperti ini.
“Tunggu, apa Kak Niko udah punya pacar baru? Jadi jaga jarak demi menjaga perasaan pacar barunya?” batin Bina, menebak-nebak. Bukan hal aneh kalau pria se-tampan Niko tidak akan lama menjadi jomlo. Bahkan, pesona Niko sanggup menyihir para wanita agar menyatakan cinta lebih dulu.
Saat Bina sedang dilanda kebingungan tentang alasan Niko seperti ini, ponselnya bergetar lama tanda ada panggilan masuk. Jujur, Bina sempat mengira Niko-lah yang menghubunginya, tapi ternyata bukan karena yang menelepon adalah ibunya.
“Halo Bina, lagi apa kamu?” Suara Selin langsung terdengar tepat setelah Bina mengangkat panggilan tersebut.
“Lagi bingung.”
“Hah? Bingung kenapa?”
Mustahil Bina memberi tahu kalau ia bingung dengan sikap Niko. Itu sebabnya ia akan memberi tahu ibunya tentang kebingungannya yang lain.
“Bingung soalnya Ibu pernah bilang pulangnya Senin, tapi ini udah mau Senin ke berapa coba? Udah dua minggu loh ibu di sana. Betah banget,” protes Bina. “Pembeli setia rumah makannya pada kabur baru tahu rasa. Jangan sampai rumah makan satu-satunya kita bangkrut.”
Sebentar, jangan bayangkan rumah makan yang orangtua serta tante dan om-nya kelola adalah rumah makan yang besar, ini hanya rumah makan sederhana tapi berhubung lokasinya di depan rumah sakit ... jadi bisa dibilang ramai dan menjadi andalan orang-orang di sekitar situ.
“Bukannya betah, Bina. Soalnya tanggung ini di desa lagi musim tandur. Bapak sama Om Bas disuruh bantuin. Ibu sama Tante Puri juga sekalian bantu-bantu di sawah. Asyik loh. Jadi anggap aja kami lagi liburan, oke? Kapan lagi coba kami begini? Soalnya setiap hari dunia kami berempat cuma warung, warung dan warung,” jawab Selin. “Lagian suruh siapa kamu nggak ikut? Harusnya kamu ikut supaya bisa ikutan keseruan kami di sini.”
“Kalau ikut, aku pasti dipecat, Bu. Cuti macam apa yang dua minggu lebih?”
“Kamu pasti kesepian ya? Makanya pengen kami semua cepetan pulang. Sabar ya, Bina. Senin depan jadi. Kali ini beneran.”
Kesepian? Kemarin-kemarin tidak karena bersama Niko, tapi sudah tiga hari ini ... Bina harus akui memang benar dirinya kesepian.
Selin melanjutkan, “Segitu kamu pernah bilang pengen ngekos, ya. Ditinggal dua mingguan aja udah merengek dan uring-uringan.”
“Siapa yang merengek, Ibu Selin? Aku cuma bingung doang. Harusnya Ibu jelasin sejak awal alasan menunda waktu pulang.”
Lagi pula kepergian orangtua Bina dan orangtua Niko ke luar kota lalu pulangnya agak terlambat tidak sesuai jadwal, tak bisa dimungkiri membuat dua sepupu yang saling menjaga jarak jadi lebih akrab. Ya walaupun belakangan sudah terasa jauh lagi.
Selin tertawa. “Ngaku aja. Kamu takut, kan, sendirian?”
“Enak aja. Aku nggak takut.”
“Sejujurnya ibu yang takut dan khawatir. Takutnya kamu bawa laki-laki ke rumah.”
“Astaga. Pikiran Ibu.”
“Bercanda, Bin. Kamu tahu, kan? Ibu sempat menitipkan kamu sama Niko, cuma memang kalian itu kurang akur jadi tidak ada yang bisa ibu harapkan. Niko juga tidak mungkin jagain kamu,” ucap Selin. “Seperti yang kamu bilang. Kamu udah dewasa, ngapain dijagain?” kekehnya.
Selin melanjutkan, “Serius ibu percaya kamu tidak mungkin aneh-aneh. Ibu percaya kamu sudah dewasa dan tahu mana yang baik atau buruk. Cuma yang tidak ibu percaya itu....”
“Apa?” tanya Bina karena sang ibu menggantung ucapannya.
“Soal kerapihan rumah. Pasti kamu tidak pernah beres-beres, kan?”
“Pernah dong. Ibu tenang aja. Enggak jadi kapal pecah, kok.”
“Baiklah, baiklah,” kata Selin. “Hmm, ngomong-ngomong Niko masih belum pulang ya? Masih di luar kota?”
Bina spontan terkejut. “Apa, Bu? Kak Niko ada di luar kota? Ibu kata siapa?”
“Loh, memangnya kamu tidak tahu? Ah, harusnya ibu tidak heran. Begini, nih, akibat sepupu kurang ngobrol. Padahal tinggal se-rumah, tapi tidak tahu kalau Niko ada kerjaan di luar kota sejak beberapa hari lalu. Kalau nggak salah di daerah puncak.”
Pantas saja Bina tak pernah melihat Niko dan sepupunya itu seolah menghilang. Tapi masalahnya adalah ... kenapa Niko tidak cerita kalau ada kerjaan di luar kota? Padahal mereka sudah kembali akrab. Sejauh ini juga tak jarang mereka membicarakan keseharian masing-masing. Kenapa giliran keluar kota pria itu tidak bilang? Aneh.
“Sejujurnya aku juga nggak pernah lihat motor Kak Niko, sih,” ucap Bina kemudian.
“Ya iya, karena Niko memang ada job di luar kota. Ibu juga tahu dari tante kamu yang cerita. Jujur ibu kaget, artinya kamu beberapa hari ini sendirian doang dong? Lalu ibu sadar ... kamu mau sendiri atau ada Niko di sana itu tidak ada bedanya, kan? Toh kalian itu punya kehidupan masing-masing dan hampir tidak pernah ngobrol.”
“Padahal sekarang kami udah mulai ngobrol,” jawab Bina, tapi dalam hati.
“Kak Niko keluar kotanya bakalan lama?”
“Tidak tahu, sih. Ibu tidak tanya detailnya gimana,” jawab Selin. “Bentar Bin, kebetulan tante kamu lewat tuh. Mbak Puri...,” panggil Selin pada kakak iparnya. Selama beberapa saat Selin bertanya tentang Niko. Setelah mendapat jawaban, wanita itu kembali berbicara dengan Bina.
“Bilangnya beberapa hari doang, kok, Bin. Besok atau lusa mungkin udah balik,” lanjut Selin. “Hmm, kamu yang sendirian aja di rumah ... anggap aja jadi ajang uji coba, misalnya suatu saat bapak kamu beneran mengizinkan putri semata wayangnya ngekos.”
“Aku santai, kok. Seperti yang Ibu bilang sendirian atau ada Kak Niko itu nggak ada bedanya.”
“Kalau gitu tidur sana. Besok kerja, kan? Jangan sampai kesiangan. Soalnya ibu jauh, gimana bangunin kamunya coba?”
“Anehnya pas sendirian aku nggak pernah kesiangan loh, Bu. Alarm-ku lumayan kenceng.”
“Alah, biasanya juga alarm kenceng tapi makin nyenyak tuh.”
Bina tertawa.
“Ya udah sana tidur.”
“Iya ini mau tidur, Ibu.”
Selesai bicara dengan ibunya, Bina kini sedang mempertimbangkan untuk menelepon Niko duluan atau jangan. Kalau begini, mau tidur pun boro-boro bisa.
Andai saja Bina dan Niko tidak sepakat untuk menjadi akrab dan bersikap selayaknya saudara normal pada umumnya, Bina mana mungkin mempermasalahkan Niko yang keluar kota tanpa bilang-bilang. Mau ke luar negeri atau ke luar angkasa sekalipun terserah!
Masalahnya adalah ... Niko sendiri yang ingin kembali akrab dengannya, tapi kenapa Niko juga yang tiba-tiba bersikap aneh?
“Ada job deket aja bilang loh, tapi kenapa giliran keluar kota kayak menghilang tanpa jejak? Apa aku punya salah?” gumam Bina yang kini mulai tak bisa menahan diri. “Apa Kak Niko berubah pikiran dan pengen jaga jarak lagi?” lanjutnya.
Bina itu tipe orang yang tidak bisa menunda-nunda masalah. Daripada terus bertanya-tanya atau menebak-nebak, bukankah lebih baik meminta penjelasan langsung pada yang bersangkutan?
Sampai akhirnya, Bina kini sedang menunggu sampai panggilannya tersambung. Ya, tidak peduli ini sudah pukul setengah sepuluh malam, tidak peduli Niko sedang sibuk atau bahkan sudah tidur ... Bina sudah memutuskan untuk menelepon pria itu.
“Ha-halo, Bin?” Suara Niko di seberang telepon sana terdengar ragu.
“Aku dengar Kak Niko lagi di luar kota. Itu bener?”
“Kamu dengar dari siapa? Ibu kamu, ya?”
“Berarti beneran ya? Kak Niko lagi ada job di luar kota?” tanya Bina. “Kok nggak bilang-bilang, sih? Aku pikir kita udah sepakat jadi saudara yang akur dan akrab. Aku nggak paham kenapa Kak Niko nggak cerita bahkan chat yang aku kirim cuma di-read doang.”
Bina masih berbicara, “Apa aku ada salah?”
“Enggak, Bin. Lo nggak salah, kok.”
“Terus kenapa?”
“Sayaaang, celana dalam aku mana?” Itu adalah suara wanita yang tampaknya sedang berbicara dengan Niko. Nada bicaranya sangat manja.
Wow, bukankah itu seolah memberikan Bina jawaban? Bina segera menutup sambungan telepon mereka.
Konyolnya, kenapa Bina sakit hati? Padahal wajar saja Niko punya pacar baru! Atau jangan-jangan Niko balikan dengan Velia yang telah mengkhianatinya itu?
Tunggu, bilang apa tadi? Celana dalam?