Chapter 2

1092 Kata
Selamat membaca Beberapa hari setelah hari ulang tahun Vano, Yura menjadi sosok yang pendiam dan tidak banyak bicara. Dia juga tidak lagi mencoba menarik perhatian Vano, atau pun mendekati anak itu agar lebih akrab. Jika biasanya setiap malam Yura selalu datang ke kamar Vano hanya untuk sekadar menemani Vano belajar atau pun bermain, kini dia sudah tidak pernah datang lagi ke kamar Vano. Padahal dulu saat Vano mengusir Yura, bahkan sampai berteriak kepada wanita itu agar keluar dari kamar. Yura tetap berada di sana dan bersabar menghadapi sikap Vano yang kasar. Bahkan setiap malam dia terus datang ke kamar Vano, walaupun kehadirannya tidak pernah digubris oleh anak itu yang selalu bersikap dingin terhadap Yura. Yura tidak pernah menyerah, meskipun sudah ditolak berkali-kali oleh Vano. Namun tanpa ada hujan atau pun angin, kini Yura tiba-tiba berhenti menemui Vano dan tidak pernah lagi datang ke kamar Vano di saat anak itu sudah tidak lagi menolak kehadirannya. Bahkan, sekarang dia sudah tidak pernah lagi menawarkan diri untuk menyuapi Vano, menemaninya bermain, atau pun membacakan buku dongeng setiap malam. Yura seperti berubah menjadi seseorang yang berbeda. Arka melirik ke arah Yura yang hanya diam dan fokus dengan sarapannya. Sudah beberapa hari ini Yura tidak akan berbicara jika tidak ditanya lebih dulu. Bahkan dia juga tidak lagi mengajak Vano untuk mengobrol ringan, atau pun bertanya tentang kesehariannya di sekolah. Ditambah lagi, sudah beberapa ini Yura juga tidak memasak dan menyiapkan bekal untuk Arka dan Vano. Yura justru meminta asisten rumah tangga yang memasak, dan menyiapkan bekal untuk suaminya dan anaknya itu. Padahal Yura adalah tipe orang yang selalu ingin melakukannya sendiri, dan tidak ingin merepotkan orang lain. Ditambah lagi, dia ingin mengurus suami serta anaknya dengan baik. Karena itu, dia menyiapkan keperluan Arka dan Vano seorang diri tanpa campur tangan orang lain. Tetapi akhir-akhir ini Yura seperti angkat tangan dan tidak lagi peduli dengan hal itu. "Hari ini bibi lagi ya yang masak?" tanya Arka ketika baru saja mencicipi makanan di atas meja. "Iya, aku males masak," sahut Yura singkat tanpa menoleh ke arah Arka. Arka sama sekali tidak komplain, atau pun mempermasalahkan hal tersebut. Pria itu mencoba mengerti dan memahami posisi Yura yang mungkin jenuh dengan kegiatan di rumah. Sesaat kemudian, Yura telah selesai menyantap sarapan. Dia segera merapikan piring kotor tersebut dan membawanya ke wastafel. Lalu dia kembali melangkah menuju meja makan sembari membawa segelas air putih, dan duduk di kursi. "Hari ini kamu yang antar Vano ke sekolah, ya. Aku lagi nggak enak badan," ujar Yura datar. "Sejak kapan? Apa mau aku antar periksa ke dokter?" "Nggak perlu, aku bisa sendiri," tolak Yura tanpa basa-basi. "Nanti aku yang akan jemput Vano setelah pulang dari klinik," sambungnya tanpa ekspresi dan beranjak dari kursi, lalu berjalan menuju kamar meninggalkan Arka dan Vano yang masih berada di meja makan. "Bunda lagi marah sama Ano, ya, Pa?" tanya Vano pelan dengan raut wajah memelas. Arka menaikkan alis sebelah. "Kenapa Ano tanya begitu?" "Soalnya sekarang bunda nggak pernah ngajak main dan datang ke kamar Ano lagi," jawab Vano terlihat sedih. "Bukannya Ano nggak suka kalau bunda dekat-dekat sama Ano?" tanya Arka heran. Vano hanya terdiam dan tertunduk lesu dengan raut wajah memelas. "Mungkin karena bunda lagi capek, makanya nggak datang ke kamar Ano karena harus istirahat," tutur Arka menenangkan Vano yang terlihat murung. "Kalau bunda udah sehat, nanti pasti main ke kamar Ano lagi. Jadi Ano jangan sedih, oke?" sambungnya tersenyum kecil sembari mengacak-acak puncak kepala Vano lembut. Sedangkan Vano hanya diam dengan raut wajah murung dan tidak membalas ucapan Arka. ***** Yura sudah berada di depan sekolah Vano ketika jam pulang sekolah hampir tiba. Dia menunggu di dalam mobil dan menyandarkan punggung di kursi sembari memejamkan mata. Pikirannya melayang jauh pada saat dia masih lajang dan belum menikah dengan Arka. Dia merindukan masa-masa menyenangkan di saat dia masih bekerja dan berkumpul bersama dengan teman-temannya. Semenjak menikah dengan Arka, Yura memutuskan untuk berhenti bekerja karena ingin fokus mengurus keluarga. Karena itu, sekarang dia sudah jarang berkumpul dengan teman-temannya karena mereka juga sudah sibuk dengan kesibukannya masing-masing. Terkadang ada sebuah keinginan di hati kecil Yura untuk kembali bekerja agar ia memiliki kegiatan lain yang membuat dirinya lupa dengan permasalahan di dalam hidupnya yang tengah ia alami. Karena sejujurnya ia sedikit merasa bosan terus berada di dalam rumah. Lagipula ia dan Arka masih belum memiliki seorang bayi, jadi ia tidak akan kerepotan jika kembali bekerja. Ditambah lagi, Vano juga sudah besar, dan tidak pernah menginginkan keberadaannya. Yura membuka mata perlahan, dan melirik ke arah jam tangan. Lalu dia membuka pintu dan turun dari mobil. Dan pada saat itu banyak anak-anak yang keluar dari sekolah dengan raut wajah gembira setelah jam pelajaran terakhir selesai. Vano yang baru saja keluar dari kelas tersenyum ceria ketika mendapati Yura sudah berada di halaman sekolah. Dia sudah berniat untuk berlari ke arah Yura, namun tiba-tiba dari ujung sana ada seorang wanita yang datang menghampiri Vano. "Hai, Sayang!" sapa Giska riang sembari melambaikan tangan ke arah Vano. Anak itu terdiam di tempatnya berdiri sembari menatap ke arah Giska dan Yura secara bergantian dengan tatapan bingung. "Tadi papa telfon Mama katanya disuruh jemput Ano," ujar Giska lembut. "Tapi, Bunda ...." Vano menatap ke arah Yura bimbang. Giska juga melirik ke arah Yura yang hanya berdiam diri di samping mobil dan tidak mencoba untuk mendekat. "Gini aja, Ano mau ikut pulang sama Mama apa Bunda?" tanya Giska sengaja mengeraskan suaranya agar Yura mendengar. Vano terlihat ragu dan bingung karena tidak tau harus memilih siapa. Namun sesaat kemudian, dia memberikan jawaban yang sesuai dengan tebakan Yura. "Emm ... Mama," jawabnya pelan sembari menunduk tidak berani menatap ke arah Yura karena merasa bersalah. Giska tersenyum lebar. "Ya udah yuk, sekarang kita pulang ke rumah," ajaknya dengan raut wajah sumringah dan berseri-seri sembari menggandeng tangan Vano untuk menuju ke mobilnya. Vano menoleh ke belakang dan menatap Yura dengan tatapan sayu. Sedangkan Yura hanya memasang raut wajah datar membiarkan Vano yang ingin pulang bersama dengan ibu kandungnya. Karena dari awal Yura tidak pernah berniat untuk menggeser posisi Giska di hati Vano. Wanita itu hanya sedikit berharap anak itu akan menerima kehadirannya. Tetapi semua itu hanyalah angan-angannya saja yang takkan pernah terwujud. Yura akhirnya kembali masuk ke dalam mobil dan bersiap pergi. Namun tiba-tiba ponselnya berdering. Dia melihat sekilas nama yang tertera di layar ponsel sebelum akhirnya menerima panggilan tersebut. "Aku sudah minta Giska jemput Vano, jadi kamu bisa istirahat di ru—" Tut Tut Tut Yura memutus sambungan telepon secara sepihak sebelum Arka selesai berbicara. Kemudian dia mematikan ponsel, dan pergi dari halaman sekolah Vano dengan raut wajah dingin tanpa ekspresi. TBC.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN