Bab 3 : Tetangga

1070 Kata
“Sepertinya saya salah perusahaan,” ujar Sanya sambil meringis canggung, lalu mengangguk hormat. Belum sempat ia berbalik, lelaki itu sudah lebih dulu meraih tangannya untuk berjabat. “Selamat bergabung. Kamu diterima,” ucapnya dengan senyum menawan. Namun Sanya menggeleng cepat. “Mohon maaf, Pak. Saya tidak jadi melamar kerja di sini. Permisi.” Ia kembali menunduk hormat lalu berbalik, hendak melangkah keluar dari ruangan itu. Langkahnya tertahan ketika suara berat lelaki itu kembali terdengar. “Kamu bisa mulai bekerja besok.” Sanya menganga menatap tak percaya pada apa yang baru ia dengar. Wawancara saja belum dimulai, tapi lelaki itu sudah langsung menerimanya. “Biasa aja, nggak usah kelihatan terlalu senang. Saya tahu kamu bahagia bisa kerja di perusahaan saya,” ujar lelaki itu penuh percaya diri. “Maaf, saya tidak berminat,” ucapnya akhirnya, mencoba tetap sopan. Lelaki itu hanya tersenyum tipis, lalu dengan santai menyebutkan jumlah gaji yang akan Sanya terima jika bekerja di perusahaannya—dua kali lipat dari gaji standar. Sanya spontan menelan ludah. Meski berasal dari keluarga kaya, punya penghasilan sendiri tetap terasa menyenangkan dan membanggakan. Iman Sanya mulai goyah membayangkan seorang fresh graduate menerima gaji sebesar itu. “Tapi kamu hanya akan menerima tiga puluh persennya,” lanjut lelaki itu datar. “Sisanya akan dipotong untuk mencicil semua kerugian yang saya tanggung malam itu,” tekan lelaki itu. Wajahnya yang ramah nan menawan berubah menjadi dingin nan arogan. Ia membuka dompet, mengeluarkan selembar kupon yang Sanya berikan padanya malam itu. “Minimal kasih kupon yang masih berlaku,” katanya, lalu meraih tangan Sanya dan menaruh kupon itu di atas telapak tangan wanita itu. Mata Sanya membulat. Ia baru sadar, yang ia berikan malam itu bukan kartu nama, melainkan kupon ayam goreng pedas. “Tidak ada negosiasi. Kamu harus bekerja di sini untuk membayar semua hutangmu,” tekan lelaki itu tajam, membuat Sanya kicep. Sanya mengerjap sesaat, lalu menegakkan tubuhnya mencoba menutupi gugupnya. “Katakan saja berapa nominalnya. Saya akan bayar semuanya,” ujarnya dengan nada tinggi, terdengar lebih sombong. *** Ardika J. Ryou, dia lelaki yang bersama Sanya malam itu. Dan dia juga lelaki yang ingin Sanya hindari seumur hidup. Namun, mau tak mau ia harus menerima pekerjaan di perusahaan milik lelaki itu setelah melihat panjangnya resi pembayaran dan angka fantastis atas kejadian malam itu. Tabungannya akan langsung ludes atau mungkin saja kurang. Jika memberi tahu atau bahkan meminta uang pada papanya, Sanya tahu akibatnya—ia bisa kembali dikurung seperti dulu, hidup dalam aturan yang menyesakkan. “Ini sih namanya keluar dari kandang singa, masuk ke mulut buaya. Tetap saja nggak selamat, Sanya,” gerutunya seorang diri. “Ardika J … J apa jelek? Nggak lagi, dia ganteng,” gumamnya, bertanya dan menjawab seorang diri. Tersadar memuji lelaki arogan itu, Sanya menepuk-nepuk bibirnya. Dengan geram, Sanya mengusap rambutnya kasar, lalu menunduk, merebahkan kepala di setir mobil sambil mengembuskan napas berat. Merasa fisik dan mentalnya sudah membaik, Sanya memutuskan kembali ke apartemennya. Kebetulan, kantor tempatnya bekerja sekarang tidak jauh dari sana. Saat melangkah lesu melewati lobi, ia terhenyak ketika seseorang tiba-tiba meraih tangannya. Dan Yuji berdiri tepat di hadapannya. “Sanya, maafkan aku—” Refleks, Sanya menarik paksa tangannya dan mundur. Yuji terus mencoba mendekat, suaranya memohon. Namun langkahnya terhenti ketika seorang pria bertubuh besar berdiri menghadang. “Tuan Yuji tidak diperkenankan bertemu dengan Nona Sanya,” ucapnya tegas. Sanya menatap pria itu, terkejut. Ia menoleh sekitar, baru sadar ada dua orang lain di belakangnya berdiri dalam posisi siaga. “Minggir!” hardik Yuji dengan nada kesal. Namun, pria suruhan Taro Isagi itu tetap teguh di tempatnya. “Kami sudah mendapat perintah langsung dari Tuan Isagi,” ujarnya dingin. Yuji mendengus keras, memakai kacamatanya dengan gerakan kasar. Sebelum pergi, ia menatap Sanya. “Aku tidak akan membiarkan pertunangan ini dibatalkan. Kamu tetap milikku, Sanya,” tekannya. Begitu Yuji menghilang dari pandangan, pengawal tersebut berbalik—mengangguk hormat pada Sanya. “Tuan Isagi meminta Nona segera mengganti kata sandi unit. Kami juga sudah mencoret nama Tuan Yuji dari daftar akses penghuni apartemen.” Sanya mengangguk paham. Ada rasa lega, tapi juga rasa tidak nyaman di dadanya. Ia kembali diawasi seperti dulu. Setiap geraknya terbatas dan selalu dilaporkan. Namun, kali ini ia mencoba berpikir positif bahwa ini bentuk perlindungan Papa. Malamnya, setelah membersihkan diri, ponselnya berdenting pelan. Satu pesan masuk dari Yuji. Sanya menatap layar cukup lama sebelum akhirnya membuka ruang obrolan yang sudah dipenuhi pesan belum terbaca. Isinya berulang permintaan maaf, caci makian, dan permintaan maaf lagi. Sanya mengembuskan napas berat. Yuji seperti seseorang dengan dua kepribadian—mudah marah, lalu tiba-tiba lembut kembali. Emosinya tak pernah stabil. Terlalu malas menganggapi lelaki itu, ia melempar ponselnya ke sofa, lalu menjatuhkan tubuhnya di sana, menyandarkan kepala di sandaran—memejamkan matanya. Sunyi, tapi juga menenangkan. Seketika wajah Ardika terlintas di pikirannya, membuat Sanya tersentak. “Sialan… kenapa tiba-tiba aku teringat wajah lelaki arogan itu,” gumamnya kesal pada diri sendiri. *** Pagi itu, alarm Sanya berbunyi untuk kedua kalinya setelah sebelumnya ia tekan tombol snooze. Dengan mata masih berat, ia meraih ponselnya dan seketika membulatkan mata. Ia kesiangan. Segera ia melompat gegas ke kamar mandi. Pesan dari CEO menyebalkan itu langsung terlintas di kepalanya, “Kamu harus tiba di kantor sebelum saya.” Kantor mulai pukul delapan. Sanya dengan sombongnya mengatakan pada Ardika akan tiba setengah jam lebih awal—harusnya pukul tujuh tiga puluh ia sudah di sana. Sekarang, jam di ponselnya menunjukkan pukul tujuh tiga puluh dia bahkan belum berangkat. “Ya ampun, semoga makhluk arogan Tuhan satu itu belum sampai,” gumamnya panik. Ia duduk di depan cermin, mencoba menenangkan diri. “Enggak telat kok, Sanya… tenang, calm down,” ucapnya, menyemangati diri sambil memoles wajahnya dengan riasan natural. “Semoga jalanan nggak macet,” desisnya sambil menenteng tas kerja. Sanya keluar tergesa, satu tangan masih sibuk mengenakan sepatu. Langkahnya sedikit tertatih. Tepat saat ia hendak menyeimbangkan diri, seseorang keluar dari unit di berseberangan dengan unitnya dan … brak! tubuh Sanya oleng, jatuh hampir tersungkur. “Maaf,” suara seorang lelaki terdengar datara. Ia segera menunduk, mengulurkan tangan untuk membantu. Sanya menerima uluran itu dan berusaha berdiri. Namun begitu tegak, napasnya tertahan. Mata mereka bertemu dan Sanya terpaku. “Ka–kamu?” ucap lelaki itu heran, menunjuk wajah Sanya lalu pintu unitnya bergantian. Ya Tuhan. Ardika J. Ryou. Sanya menatap tak percaya. Bertetangga dengan lelaki ini? Tuhan … tidak ada takdir yang lebih menyebalkan dari ini, pekiknya dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN