Bab 2 : Pertemuan

1057 Kata
Hening sesaat setelah benturan. Sanya mengerang pelan, tubuhnya terasa berat, sementara bunyi mesin yang berasap terdengar di kejauhan. Pintu mobil terbuka, seseorang menariknya keluar dengan tergesa. Pandangannya buram, tapi di sela kabut dan cahaya lampu jalan, wajah pertama yang tertangkap matanya adalah Yuji. Ketika menyadari siapa yang sedang memegangnya, Sanya sontak memberontak. Dengan sisa tenaga yang masih tersisa, tangannya terayun dan menampar pipi lelaki itu. Suara tamparan terdengar jelas, diikuti erangan kesal. “Hei! Dasar tidak tahu terima kasih! Kenapa kamu menamparku?” protes lelaki itu. Sanya memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri. Saat kembali membuka matanya, ia terkejut. Bukan Yuji yang berdiri di depannya, melainkan lelaki pemilik mobil itu. “Ma—maaf,” ucapnya lirih. “Kamu baik-baik saja?” tanya lelaki itu, mulai menatap khawatir karena selain fisik sepertinya mental wanita di hadapannya tidak baik-baik saja. Terbesit iba di hati lelaki itu. Sanya menoleh sekitar. Mereka berada di jalanan yang sepi. Truk besar yang nyaris menabrak mereka kini terguling di depan, sementara kap mobil lelaki itu terangkat dan berasap. Syukurlah, mereka berdua dan supir truk selamat. Namun pikiran Sanya masih penuh oleh bayangan Yuji—ciuman di klub, pertikaian, dan tatapan penuh amarah lelaki itu membuatnya hanya ingin segera pulang. Pulang dan memberitahu orang tuanya siapa sebenarnya Yuji Wistara. Sanya merogoh dompet, mengeluarkan semua uang yang ada di dalamnya, lalu menyodorkannya pada lelaki itu. “Ini semua yang saya punya saat ini. Kalau kurang, kamu bisa hubungi saya ke sini.” Ia menyerahkan selembar kartu kecil tergesa-gesa tampak tak tenang. “Hei, jangan pergi begitu saja! Ini bagaimana?” pekik lelaki itu. Ia menatap semua pemberian Sanya di tangannya dengan kening berkerut. Sanya menoleh, berbalik mengambil dua lembar uang dari tangan lelaki itu. “Saya perlu sedikit untuk bayar taksi,” katanya cepat, lalu menambahkan, “Hubungi saya kalau masih kurang.” Ia sempat membungkuk singkat, lalu berlari meninggalkan tempat itu, wajahnya pucat, langkahnya goyah. Syukur ada taksi yang lewat di sana. Lelaki itu menghela napas kasar, menatap taksi yang membawa Sanya menjauh. “Kalau kurang, katanya?” gumamnya kesal, sebelum akhirnya menatap kartu yang tadi diberikan. Suara sirene mobil polisi terdengar sayup, semakin lama semakin dekat. Lelaki itu mengembuskan napas kesal—enggan berurusan dengan polisi setempat. Lebih kesal lagi karena kartu yang Sanya berikan itu bukan kartu nama—melainkan kartu diskon ayam goreng pedas. “Argh!” serunya frustrasi, memejamkan mata. Hari sial, pikirnya. Hari sial yang tidak tercantum di kalender dan ia sedang mengalaminya. Di tempat lain … Pintu utama kediaman Taro Isagi terbuka, Sanya melangkah masuk dengan tubuh berantakan, wajah pucat, dan luka yang belum sempat dibersihkan. Sang ibu yang sedang duduk di ruang tengah sontak berdiri, matanya membulat tak percaya—memanggil suaminya. “Sanya… kamu kenapa, Nak?” tanyanya dengan suara bergetar. Sanya tak menjawab. Bibirnya hanya terbuka sedikit, lalu air mata tumpah seolah menjawab semuanya. “Yuji?” tanya sang ibu menebak. Sanya menunduk, bahunya terguncang. Sang ibu langsung memeluknya erat. “Sanya…,” bisiknya sedih. “Mama di sini.” Langkah berat terdengar dari lantai atas. Taro Isagi muncul di tangga, wajahnya penuh tanya melihat istri dan putrinya berpelukan. Sang ibu melepaskan pelukan perlahan menyadari kedatangan suaminya. “Papa, lihat Sanya…,” ucapnya marah, menatap suaminya dengan mata basah. Tatapan Taro bergeser pada wajah putrinya yang bengkak. “Yuji?” tanyanya datar. Sanya mengangguk. Rahang Taro Isagi menegang. Seketika ruangan itu diliputi hening, hanya isak tertahan yang terdengar. Sanya akhirnya menceritakan semuanya—tentang apa yang terjadi di klub termasuk pengkhianatan Yuji. Taro Isagi mendengarkan tanpa memotong, tangan mengepal di sisi tubuhnya. Ponselnya berdering di tengah suasana itu. Nama Yuji tertera di layar. Taro menatapnya beberapa detik, lalu menjawab. Tak ada yang tahu apa yang dikatakan lelaki itu di seberang, tapi wajah Taro Isagi semakin keras, suaranya tegas ketika menjawab, “Kamu akan mendapat balasan atas semua ini, Yuji. Dan percayalah, kamu akan hancur berkali lipat dari Sanya saat ini. Pertunangan kalian akan dibatalkan.” Sambungan telepon ia putus begitu saja. Air mata Sanya kembali jatuh. Untuk pertama kalinya, ia akhirnya dibela. Pasalnya dulu, Sanya pernah mengatakan bahwa Yuji sering bersikap kasar. Namun, Taro Isagi tak percaya—hanya menganggap apa yang lelaki itu lakukan bentuk ketegasan. Tapi malam ini, melihat anak semata wayangnya pulang dengan luka di wajah dan tubuhnya yang lemah, tak ada ayah mana pun yang tak patah hati. “Obati dia,” kata Taro Isagi tegas pada sang istri, lalu kembali melangkah naik ke lantai dua. Sang ibu menatap punggung suaminya menjauh, lalu memeluk putrinya. *** Sudah seminggu Sanya berdiam diri di rumah orang tuanya. Fisiknya mulai pulih, begitu pula pikirannya yang perlahan membaik. Bukan karena patah hati akibat perselingkuhan Yuji, melainkan karena luka dari sikap kasarnya yang masih membekas di ingatan. Meski begitu, ada rasa syukur yang terselip—setidaknya kebusukan Yuji terbongkar sebelum mereka menikah. Tidak ada cinta di antara mereka. Meski telah saling mengenal sejak lama, hubungan itu tak pernah dilandasi cinta. Hanya Yuji yang terlalu memuja, sementara Sanya … terpaksa menjalaninya. Jangan tanyakan soal Yuji. Ponsel Sanya sampai panas karena terus-menerus dihubungi lelaki itu, tapi tak sekali pun ia pedulikan. Pesan-pesan yang masuk dari mantan tunangannya pun dibiarkannya menumpuk tanpa dibaca. Ia sempat mendengar kabar bahwa Yuji datang, tapi orang tuanya menolak mempertemukan mereka. Untuk pertama kalinya, seumur hidup, Sanya benar-benar merasakan rumah yang sebenarnya. Ponselnya berdering, memecah keheningan kamarnya pagi ini. Sanya melonjak girang sendiri saat menerima panggilan telepon dari perusahaan lain tempat ia pernah memasukkan lamaran. Perusahaan itu meminta dirinya untuk datang wawancara. Dengan langkah tergesa, Sanya berlari menuju ruang kerja ayahnya untuk memberi tahu kabar itu. Jujur saja, ia takut sang ayah akan menolak. “Sanya mau mencobanya, Pa,” ucapnya lirih. Pandangan Taro Isagi terarah lama pada undangan wawancara di ponsel putrinya. Ia menimbang sejenak, lalu mengangguk setuju saat melihat nama perusahaan ternama itu. Refleks, Sanya memeluk sang ayah, membuat lelaki paruh baya itu tersenyum samar. Siang itu juga, Sanya datang untuk wawancara. Ia dituntun ke ruang pimpinan oleh sekretaris perusahaan. Namun begitu pintu ruangan pimpinan terbuka, langkahnya terhenti. Napasnya tercekat melihat lelaki yang duduk di kursi eksekutif di hadapannya itu. Mereka saling menatap, sama-sama terkejut. Lelaki itu memandang CV di mejanya, lalu kembali pada wajah Sanya. Lelaki itu bangkit dari kursinya, melangkah menuju Sanya yang mundur perlahan. “Selamat bergabung. Kamu diterima,” ucap lelaki itu mantap, padahal wawancara pun belum dimulai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN