Siapa Kau?
“Kau, mengapa kau menatapku?” tanya seorang pria berambut berantakan itu saat aku menghampiri kursinya di bus.
“Bukankah kau yang menatapku?” tanyaku membalik padanya karena tujuanku yang sebenarnya adalah untuk menegurnya.
Dia pun berdiri lalu menyentuh selempang tas yang menggantung di bahuku seketika aku pun berteriak pada pak sopir dibuatnya “Pak, ada penguntit di sini!” Pak sopir hanya menolehku beberapa detik saja, Kukira usahaku akan membuahkan hasil, tetapi nyatanya aku dikeluarkan dari bus bersamanya.
“Ini gara-gara kau?” gumamnya yang langsung pergi berjalan lurus dengan kemeja putih kotor yang sangat kuhafal leceknya.
Melihat dari atas hingga bawah kakinya, aku pun mulai menyadari bahwa dia mencuri tas punggungku yang bergambar bunga-bunga putih itu. “Jambret!” teriakku mengejar dirinya yang semakin kencang berlari.
“Kenapa kau mengejarku?” tanyanya yang tak kudengar karena sedang berlari, aku pun berteriak balik padanya, “Apa?”
Tanpa menolak dan dengan sungkan, ia pun mengulang kembali pertanyaannya, “Kenapa kau mengejarku?” Namun tetap saja aku tidak bisa mendengar.
Melirik ke kiri disaat aku melihat pedagang es jeruk manis setelah bus itu pergi, aku pun menabrak dirinya yang berhenti di depanku. Digenggamlah pergelangan tangan kananku yang mengarah ke punggungnya dengan sebuah cengkeraman. “Apa maumu?” tanyanya dengan mata yang sinis.
“Aku menginginkan tasku,” sahutku dengan menjambret tasnya atau tasku itu dengan tangan kiriku. Memutuskan kedua selempang tas dari punggungnya, tidak lupa aku pun melepaskan pergelangan tanganku yang dicengkeram olehnya.
Berbalik dan berlari, aku pun segera memakai tasku. Namun, tasku itu malah menumpuk dengan tasku yang lainnya. “Bodoh, itu tasku!” teriaknya dari belakangku bersamaan dengan suara ayam berkokok yang dibawa Pak Nova keluar dari pasarnya.
Berhenti, aku pun melihat punggungku yang nyatanya dan kebetulan terdapat dua tas yang sama. Kedua tas itu membuat diriku melangkah lambat padanya. “Ini,” kataku lesu sembari melepaskan tas itu.
Kaki bersandalnya yang berketuk-ketuk di aspal, menungguku untuk menyerahkan tas itu. Tangan kiriku masih mencengkeram keras tas itu membuatnya terus menarik-narik, sebelum ia mendapatkan tasnya, aku ingin melakukan beberapa hal.
“Traktir aku es jeruk manis di sana.” Tunjukku ke arah pedagang es jeruk manis di sisi kiriku.
“Apa kau gila?” tanyanya yang begitu naif membuatku terbahak-bahak.
“Kau mengikutiku, menjambret tasku, lalu sekarang kau ingin mencopet uangku?” tanyanya yang memicu kernyit di dahiku. “Apa aku tak salah dengar?”
Tanyaku kepadanya yang tak terjawab, aku pun melanjutkan pertanyaanku, “Bukankah kau yang menatapku?” Menunggunya untuk menjawab pertanyaan sembari melihat pemandangan daun-daun kering yang berguguran.
Agak menyebalkan menunggu dirinya untuk menjawab pertanyaan mudahku. Aku pun meniru perilakunya dengan menginjak-injakkan sepatuku pada aspal, seseorang pun menghampiriku.
“Tuan putri, Ini minuman favoritmu!” ucap pedagang es jeruk manis itu sembari memberikan segelas es mangga s**u yang mencuri tatapan sinis dari seorang penguntit.
Segera saja aku menutupi minuman favoritku dengan kedua tanganku. “Diam!” usirku pada pedagang es jeruk manis itu menimbulkan sebuah pertanyaan yang terlontar dari mulut pereman k*****t itu.
“Bukankah kau sudah mendapat keinginanmu?” congkaknya pada saat aku melamun memandangi tangannya yang mengepal dengan darah menetes-netes ke aspal.
Apakah itu berdarah karena berkelahi denganku?
“Bukankah kau sudah mendapat minuman favoritmu, tuan putri?” tanyanya kembali yang mengguncang kepalaku.
Aku pun menarik pergelangan tangannya yang terdapat sedikit darah, “Kau tahu ...,” ucapku yang terhenti di bangku-bangku setelah menaiki tiga anak tangga.
Kuberikan saja tas yang tercengkeram oleh tangan kiriku kepada pegagang es jeruk manis yang mengikutiku di belakang.
“Amankan tasnya!” perintahku padanya, ia pun mengambil tas tersebut dengan tangan kirinya. Segelas minuman es mangga s**u itu, kuambil dari genggamannya membuatnya tersenyum manis meninggalkanku.
Menancapkan sedotan pada minuman es mangga s**u yang baru saja kutaruh di meja bersamaan dengan tasku, aku pun berbicara padanya yang masih berdiri sedangkan aku sudah duduk terlebih dahulu di kursi plastik berwarna merah. “Kau tahu ...,” kataku kepadanya sembari menyedot minumanku yang dingin.
“Pak, minta es jeruk manis 1, pak,” Teriakku meminta dengan tangan kanan ke atas memanggil pedagang es jeruk manis yang ada didalam sebelum lanjut bercerita pada penguntit ini.
“Anggap saja aku menguntitmu, berlari untuk mengejarmu, lalu berlari lagi untuk menjambret tasmu ....” Menyedot kembali minuman itu sembari menatap dirinya yang mulai duduk gelisah di kursi plastik kuning. Aku pun mulai menyambung kembali setelah selesai mengunyah mangga yang tersedot.
“Betapa hausnya diriku,” lirihku sembari memegang leherku sendiri dengan tangan kiri. Terlihat, ia tak tertarik sama sekali dengan ceritaku, itu terlihat dari lututnya yang berguncang mengenakan celana hitam kebesaran sobek-sobek bermodel.
Meraba-raba leherku hingga mengarah ke daguku, kuraih meja dengan sikuku untuk menopang seluruh tubuh. “Aku adalah anak sebatang kara, yatim piatu, yang merindu, perhatian orang kaya.” tutupku sedikit puitis sembari menatap matanya yang sinis.
“Sudah selesai ... bisakah kuminta tasku?” gumamnya terdengar seperti bisikan ke kupingku.
Berdiri, ia pun mengambil tasnya dari atas meja. Berjalan dan menuruni tiga anak tangga dengan tas bergambar bunga-bunga putih yang menggantung di punggungnya, ia pun belok kiri tanpa menoleh.
Kembali lagi, pedagang es jeruk manis itu dengan tas di tangan kirinya dan segelas minuman es jeruk manis di tangan kanannya menghampiriku.
“Quinn.” Terburu-buru aku langsung mengambil kedua barang yang ada ditangannya dan memanggil temanku yang kebetulan saja melewati Jalan Melati ini, ia datang dari arah kiri dan menyapaku dengan tangannya yang melambai. “Hai.”
Kuturuni tangga dengan cepat, segera kukalungkan tanganku yang memegang es jeruk manis di lehernya untuk menarik dirinya berlari menjauh.
“Kamu tidak naik bus?” tanyanya yang menatapku dengan pipi kembungnya, aku pun segera menjauhkan tanganku yang memegang segelas minuman es jeruk manis dari lehernya.
Kutancapkan gigiku dengan cepat aku pun menyedot minuman itu sembari menggeleng kepadanya. “Kenapa selempang tasmu robek?” tanyanya kembali sembari berjalan santai bersamaku, segeralah menjawab pertanyaannya setelah berusaha mengunyah es batu yang dingin itu, “Entah,” sahutku dingin, merasakan es itu melepuhkan mulutku yang terbuka lebar, sembari melihat ayam jago Pak Nova yang terkurung di dalam kurungan ayamnya.