Bad Boy

1636 Kata
Point of view: RAKA Aku pikir pukulan dari dalam kepalaku berasal otak yang mencoba keluar dari tengkorak. Tadi malam terlalu banyak minum minuman keras. Mataku semakin terbuka oleh suara berisik di dapur, suara derap kaki yang aku kenal, juga aroma sosis goreng yang kusuka. Dia di sini. Entah berapa kali dia melihatku tidur bersama beberapa gadis, termasuk yang dia kenal. Berapa kali aku bersikap kasar padanya. Dia tetap datang pagi, memasak, membawa pakaian kotor ke laundry dan membangunkan untuk-- "Raka, bangun, kuliah. Cepatlah mandi. Aku taruh sarapanmu di meja dapur." Suara jutek Sha. Yep, seperti itu. Erangan kecil di sebelah membuatku sadar jika tadi malam lagi-lagi aku tidur bersama gadis lain. Aku melakukannya lagi. Bukan dengan si rambut pirang amber ini saja, tapi dengan dua temannya yang lain.  Dua temannya, satu berkulit hitam dan satu lagi berparas Korea. Aku tak ingat siapa nama mereka, peduli setan, tak penting. Aku ingat dua di antara mereka pulang karena dicari pacar. Si pirang satu ini menginap karena dia single. Dia berputar dalam tidur. Dengan mata tertutup menguap kecil memberiku senyum. "Morning. Apa kamu memasak sarapan?" Suara derap kaki di lorong semakin keras. Gadis di lorong itu kembali ke dapur.  Aku bicara, "Sha, ayo sarapan." Sha tak menjawab, malah mempercepat langkah keluar dari sini. Aku hendak mengejar, tapi gadis pirang di sebelah memeluk perutku erat tak ingin aku pergi dari sini.  "Honey, mau ke mana?" Gadis di sebelahku menoleh karena suara pintu ditutup. "Siapa tadi?" "Shakira." "Gadis spesial?" "Sejenis itu lah." "Aku kira kamu single?" Tuduhan yang sebenarnya benar. "Kamu berbohong padaku?" Nah, hubunganku dengan Sha sulit dijelaskan, aku tak berbohong. Lagi pula andai berbohong juga tak masalah.  Gadis baik harus diperlakukan dengan baik, tidak dengan yang satu ini. Entah siapa gadis ini, jelas dia bukan tipe gadis baik. Aku akui tubuh telanjang berkulit halus warna kuning cerah begitu menggoda. Butir di d**a mencuat menantang keras, seperti cherry di kue pie bundar. Dia duduk menyelimuti tubuh itu pakai selimut putih sambil memberi lirikan kesal. "Kau pembohong!" Aku mengangguk tanpa beban. Bukannya marah, dia malah menjambak-jambak kecil rambutku. Senyum nakal seperti berharap sesuatu muncul.  "Apa pacarmu marah?" "Mungkin." Aku tak pernah tahu isi kepala Sha, apalagi hatinya. Kecupan kecil mendarat ke pundakku. Manja dia berbisik. "Biar dia marah, jika kalian putus masih ada aku." Gadis ini ingin menggantikan Sha? "Kamu bisa pulang dengan Mike sekarang." "Siapa Mike?" "Penghuni kamar sebelah. Berpakaianlah, aku sibuk mau kuliah." "Begitu caramu memperlakukan wanita?" Nada bicaranya mulai meninggi.  Aku tak peduli dia mau apa bukan urusanku. Lebih baik pergi gosok gigi, dari pada mendengar dari dekat suara teriakannya. Ketika aku sampai di depan pintu kamar mandi, dia melempar sisir ke punggungku.  "Apa kamu bercanda, Raka? Tadi malam kamu bilang cinta, kita bersenang-senang di semua sudut kamar ini. Kamu bilang aku satu-satunya gadismu. Kamu memanggil-manggil Sha Sha Sha, namaku!" Aku masuk ke kamar mandi tanpa menutup pintu. Kencing di wastafel sambil menggosok gigi. Nyaris bantal melayang ke arahku, segera kutendang benda itu. Setelah kumur-kumur, membuang air ke wastafel, aku menoleh sebentar ke arah kasur. Dia masih sibuk bicara sendiri, menghujat atau bercerita, entahlah. Aku meraup wajah memakai air dingin di wastafel, membiarkan gadis itu melampiaskan kekesalan dengan menjambak sprei kasur. "Lalu apa maksudmu dengan Cinta? Kau b******n Raka! Jawab!" "Aku lupa pernah bilang cinta. Lagi pula, apa yang kamu harapkan dari pria b******n sepertiku?" Aku memakai pakaian bekas dalam kotak cucian kotor, bersiap ke kampus. Dia memandang bengis ke mana pun aku bergerak. "Sekarang bagaimana?" "Kalau mau, kamu bisa tetap di sini. Siapa namamu?" "Namaku Natasya Minovski. Kamu benar-benar lupa?" Suaranya mulai sendu. "Sha, namamu mirip Shakira. Pantas aku memanggil-manggil." Aku memakai jaket, menyemprot minyak wangi milik wanita. Tak apa, yang penting wangi. Aku belum mandi dan badanku bau sisa-sisa percumbuan brutal tadi malam. Sha pasti benci aroma ini. Gadis di atas kasur terdiam, tertunduk. Walau para gadis tak berguna ini hanya hiburan, tetap saja wanita. Mungkin ini bisa menghiburnya. "Ada sarapan di dapur. Kalau kamu mau, makan lah dulu sebelum pulang. Kamu bisa menaruh nomor telepon di meja dapur, nanti jika ada waktu senggang akan kuhubungi." "b******n!" Dia mendorongku, memungut tanktop kecil, celana jeans pendek, jaket putih. "Kamu benar-benar tak tahu siapa diriku, ya? Setidaknya kamu harus ingat ini!" Dia melempar kamera ke kasur. "Selamat tinggal Raka. Kamu b******n tengik!" "Raka, kenapa? Apa kamu selalu begini kepada setiap gadis?"  Oh, dia masih di sini? Dia menangis membenturkan kening ke tembok. Aku mengangguk, mengerti apa yang harus kulakukan. Kali ini aku merangkul lehernya menggiring ke dapur. Terdapat noda cupang di tengkuk, d**a, dan punggung. Bibirnya sedikit pecah. Semua itu pasti karena tadi malam. Aku membiarkan dia menangis di dadaku, mengelus lembut penuh sayang. Kuberi usapan kecil di lengan, mendudukkan dia di kursi dapur.  Aku mengusap pipi membersihkan air mata. Memberi kecupan di kening. "Terima kasih banyak. Aku hanya seorang b******n. Apapun yang keluar dari mulutku, mungkin terdengar indah.  Percayalah, semua keindahan itu hanya omong kosong. Kamu tahu kenapa?" Dia menggeleng, menanti dengan pasrah. "Semua itu hanya untuk membawa gadis ke ranjang, mencumbu habis-habisan, lalu setelah itu sudah. Kamu pasti hebat karena aku bisa memilihmu untuk kubawa pulang, Itu tandanya kamu spesial di antara gadis lain. Dengar ... siapa namamu tadi?" "b******k!" Dia meronta, memukul-mukul dadaku, hendak menyiram pakai jus. Aku berhasil mengelak. "Natasya! Namaku Natasya! Kamu harus ingat nama itu! Lihat, apa yang bisa aku lakukan kelak, b******n!" Dia membawa tas juga jaket pergi dari sini, membanting pintu. "Thank you for last night, Dear!" Aku melambai pada pintu. Pasti aku membuatnya super kesal. Bukan salahnya karena diriku b******n, selalu lupa dengan nama orang tak penting. Buat apa mengingat nama orang yang hanya akan dipanggil semalam saja. Ah sial, sekarang aku harus mengepel sebelum semut datang. Sambil makan aku membersihkan noda tumpahan jus memakai c*****************a tadi. Sayang sekali, ini jus buatan Sha, pasti enak. Padahal aku selalu berusaha tidak membawa gadis masuk kamar. Aku selalu mengatakan pada diri sendiri untuk masuk ke kamar mereka. Setidaknya kamarku akan selalu bersih. Tetapi ketika hendak melakukan itu, bayang Sha muncul. Bagaimana jika pagi-pagi dia datang dan aku tak ada di sini? Aku tak ingin membuatnya terlambat ke kampus. Shakira termasuk dalam gadis spesial dalam hidupku. Entah apa jadinya diriku tanpanya. Semenjak kecil Sha selalu menemaniku. Aku selalu sayang padanya, tapi dia mana suka pada pria sepertiku. Walau tanpa kalimat b******k sekalipun. Dia tak pernah suka padaku karena Alvaro. Itu masalah terbesar dalam hidupku. Alvaro. Si muka dua, pandai bermain drama dan mampu berbuat baik kapanpun dimanapun, pada siapapun. Dia sok baik supaya Sha suka padanya. Itu satu alasan yang kutahu. Sambil keluar kamar aku memandang kamera Canon XLG. Banyak foto tadi malam. Oh, semua posisi ini, pasti temannya yang mengambil foto. Mereka bertiga memiliki tubuh indah, tetapi tidak seperti Shakira. Sha memiliki badan bentuk kurva dengan kulit putih terawat. Dadanya bundar sempurna seperti buah pearl. p****t bundar yang seperti mengundang orang untuk menepuk. Kata orang kecil tapi menurutku pas dengan badan mungil--setidaknya bagiku dia mungil, karena tinggiku tak kalah dari orang Amerika. Wajah Sha manis berkombinasi dengan rambut kecokelatan panjang sedikit berombak di bagian bawah. Semua fisik itu mampu membuat para lelaki menjadi bodoh dan ingin memberi sayang juga kasih untuknya. Yang paling aku suka sifat Sha. Dia baik, sempurna, perhatian, lembut dan suaranya kecil imut. Biasanya ada dua tipe wanita, pertama mereka yang enak dijadikan pacar, dan mereka yang patut dijadikan istri. Sha spesial. Dia cocok dijadikan pacar, juga ibu dari anak-anakku kelak. Jika dia mau tentunya. Langkahku melambat di tangga terakhir. Gadis itu duduk di kursi berayun kaki sambil makan, memandang ke luar. Dia bisa makan bersamaku, malah makan di sana sendirian. Aku membenarkan pakaian juga jaket, supaya luka tak nampak oleh Sha. Dia pasti ceramah kalau melihat luka cakaran baru di badanku. "Sha, ayo kuliah. Jangan malas." Aku mendekatinya dan Sha menyambut dengan dengusan seperti anjing pelacak narkoba ke sekujur tubuh. Tiba juga hidung pesek itu ke rambutku. "Mandi belum? Kalau belum, ogah. Aku enggak suka bau di badanmu." Aku coba mencium ketiak supaya dia mau mencium ketiakku juga. "Harum parfum wanita, coba cium--" "Mandi, atau ini terakhir kali aku datang ke mari." Aku bersandar rill, bersila tangan mengamati gadis unik itu. "Jadi, bagaimana kamu bisa ke kampus tanpaku? Jalan kaki?" "Numpang Mike." "Oh, begitu? Besok Mike akan masuk berita, ditemukan tewas jatuh dari lantai empat gedung ini." "Rakaa, mandii. Aku serius loh, ini." Apapun untukmu, Sha. Apapun. "Ok ok, Mom." "Rak, Raka, tunggu." Dia bangkit menarik tangannya. Aku berbalik badan dengan lemas. "Kenapa? Mau ikut mandi?" Wajah Sha panik. "Tolong." Lucu juga wajah ini. Membuatku ingin mencubit kedua pipi Sha, tapi bahaya jika aku melakukan itu dia bisa menggigit putus jariku. Aku melihat sosok pria berjas menyeberang jalan, mendekati pintu kaca. Itu masalahnya. Pasti pemuda pilihan tante. "Tolong apa?" "Jadi pacarku, seperti biasa. Usir pria itu." Aku tertawa cukup lepas. Mudah sekali dia berkata seperti itu. Padahal di luar sana banyak wanita ingin menjadi pacarku harus berusaha keras.  "Aku bosan jadi pacar satu-dua jam, lalu putus," jawabku. "Bisa lebih lama, seminggu misalnya? Atau mungkin satu lingkar kehidupan." Sha menarik kasar tanganku. Gadis kalau punya mau, harus dituruti. "Ayolah, jangan main-main." "Serius, aku bosan, Sha." "Raka, aku mohon." Dia mulai memasang wajah memelas, seperti kucing minta sesuatu. Wajah yang mampu membuat semua pria langsung berkata iya, tau berusaha menuruti permintaan Sha. Tidak denganku. Terlalu sering dia memakai wajah itu di hadapanku. "Apapun akan kulakukan," pinta Sha. "Asal itu bukan hal mesum." "Yah, kenapa bukan hal m***m?" "Raka! Kan aku sudah baikin kamu, gantian!" Sha membuat perutku geli dengan tingkahnya yang lepas kendali. Jadi begini cara barunya meminta sesuatu? Kembali ke jaman SMP. Pemuda berjas membuka pintu kaca. Wajah tampan itu panik, cemas, cemburu, entah apa maunya, tapi terima kasih ya, gara-gara dia datang, Sha memeluk lenganku dengan manja. Ok, seperti biasa, aku menjadi tameng gadis ini. Kau harus membayar mahal untuk ini, Sha. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN