Merawat
Point Of View: Sha.
Cahaya matahari dari timur menghantam mobil Chevrolet Camaro Z28 warna hitam di depan apartemen. Mobil berwarna hitam itu parkir berjajar dengan beberapa mobil lain.
Bagus, dia tidak menginap di rumah salah satu gadisnya. Walau ini tempat khusus orang Indonesia, tapi bukan tempat tinggalku. Raka Aprilio, pemuda yang ingin kutemui tinggal di sini.
Aku mendorong pintu kaca hendak buru-buru mendatangi kamar 105 di lantai tiga. Belum juga naik ke lantai dua, terdengar suara langkah lambat menuruni tangga.
Seseorang lelaki berjaket kain warna biru muda, bertopi University of California tersenyum sambil meremas lengan tas ransel hitam.
"Pagi Shakira. Mengunjungi Raka?"
Aku berhenti sejenak, mengamati pemuda gym. "Pagi juga. Mike, Raka di kamar?"
"Seperti biasa."
Aku tahu kenapa dia bicara dengan nada panjang, karena Raka melakukan kebiasaan bodohnya. Setelah semua itu langkah Mike berhenti, memandang nakal.
"Sha, kenapa tidak cari cowok lain?"
"Maksudnya?"
"Banyak pemuda di UCLA rela menjadi pasanganmu."
"Sepertimu?"
Aku hanya bercanda, berhasil membuat dia tertawa menggeleng kecil. Aku ketawa pula.
Dia berucap, "Sahabat tidak memakan milik sahabat."
"Aku dan Raka hanya bersahabat. Dia tidak memilikiku." Supaya Mike tahu.
"Semua berkata seperti itu. Lalu mereka jatuh dalam kemelut keringat malam, see ya." Dia lanjut menuruni anak tangga dengan kecepatan lebih dari tadi.
Pemuda ramah, easy going. Aku tak tahu kenapa dia bisa terjebak dengan Raka sebagai sidekick. Aku lanjut menuju kamar 105.
Lorong terang oleh sinar mentari. Karpet hitam bersih, semua segar, kecuali kamar di depanku. Kamar Raka berada di sisi menghadap Matahari terbit, menjadi titik nyaman memandang laut. Sayang sekali kamar senyaman itu dipakai oleh pemalas yang tak menghargai keindahan. Aku punya kunci cadangan kamar karena sering ke sini.
Ketika pintu kayu terbuka, aroma pesing semerbak menusuk hidung. Jaket kulit hitam di lantai menyelimuti sepatu hak tinggi hitam wanita. Sepatu kulit punya Raka tercecer di lorong dan kaos putih tergeletak di meja dapur. Aku memungut apa yang seharusnya menjadi milik Raka, membuang jauh c*****************a di lantai parket.
Aku enggan menoleh ke kanan. Hanya ada kasur double size di depan jendela kaca besar. Malas melihat betapa berantakan keadaan kasur terutama ketika dia membawa wanita pulang. Entah di mana saja mereka melakukannya. Aku hanya berharap tak menginjak sesuatu yang aneh. Tujuanku ke dapur membuat sarapan untuk Raka.
Toaster segera kuisi dengan empat roti sobek. Setelah penggorengan panas di atas kompor induksi, aku masak telur mata sapi, kacang juga sosis. Sembari menunggu semua matang, kubuat jus jeruk untuk Raka. Dia paling suka jeruk kecut.
Aroma sosis goreng dan telur mulai semerbak. Semua hidangan kutata ke piring di atas meja dapur. Tak lupa aku mengisi gelas dengan jus. Semua selesai, dia pasti bisa mencium aroma masakan.
Sebelum pergi aku menaruh semua pakaian kotor ke dalam kantong plastik hitam besar. Seluruh isi tong sampah berpindah ke plastik lain. Seperti biasa ada Durex bekas tercecer di dalam keranjang sampah. Kali ini cukup banyak berukuran XXL. Ingin kutuang isi benda ini ke minuman Raka, supaya dia kapok. Hanya angan-angan semu, kasihan dia nanti.
Aku selalu bertanya pada diri sendiri. Kenapa melakukan semua ini dan jawaban selalu sama. Jika bukan aku, siapa yang mengurus Raka? Tanpaku dia benar-benar akan membusuk tak terawat.
Aku cepat-cepat pergi membawa kantong plastik hitam besar juga sekantong plastik berisi roti lapis dan gelas Tupperware wadah jus jeruk. Sekilas kuintip belum ada tanda dia bangun.
"Raka, bangun, kuliah. Cepatlah mandi. Aku taruh sarapanmu di meja dapur." Semoga suaraku cukup untuk memaksa matanya terbuka.
Tasku tertinggal di meja dapur. I dint like it, tapi bagaimana lagi, aku kembali mengambil benda itu.
"Sha?"
Ketika dipanggil aku menoleh, sebentar saja sebelum mengambil langkah seribu hendak keluar dari sini. Dia duduk menguap lebar di atas kasur. Tato garuda menghias d**a kanan memanjang ke lengan, berkombinasi dengan tato lain sampai menutup lengan kanan seperti pakaian. Sementara d**a kiri, lengan kiri, bersih.
"Ayo makan bersama." Raka mengajakku.
"Honey, mau ke mana?" Suara gadis manja. Logatnya Australia sekali.
Persetan dengan hewan-hewan itu. Aku menutup pintu kasar, berjalan cepat menuruni anak tangga. Di lounge kutaruh 'sampah' ke sebelah kursi, untuk nanti kubawa ke tempat laundry.
Sambil duduk, aku menikmati sarapan, roti isi telur dan sosil. Enak, tak terlalu asin, buatan sendiri tak pernah mengecewakan.
Hangat matahari kesukaanku semakin terasa di kulit. Trotoar di luar semakin penuh sesak oleh pejalan kaki. Semakin sering wajah yang aku kenal turun dari tangga. Termasuk sepasang kekasih 'gula jawa s**u creamer'. Yang cowok orang Jawa sementara pacarnya gadis Jepang.
"Kalau mau kamu bisa sarapan bersama kami, Sha. Lengan kiriku kosong, bisa kamu peluk." Tawar pemuda yang namanya aku lupa, menggandeng Kim Mia, sahabatku satu kampus.
Mia sedikit kesal mungkin karena ucapan pacarnya, menjewer telinga pemuda kurus itu hingga tertarik sedikit tertunduk.
"Tenang saja Mia, kamu bisa menguasainya sendiri." Ucapanku membuat Mia cekikikan.
"kalau mau kita bisa bertukar pacar." Mia mengedipkan mata, suara tawa kecilnya terdengar lucu. "Aku ingin mencoba bersama Raka, satu malam saja."
"Dan sekarang keluar sisi gelapmu, huh?" Sahut pemuda di sebelah Mia merespon ajakan swinger. Aku tahu mereka hanya bercanda.
Keduanya tersenyum padaku, melambai kecil sambil berjalan di trotoar. Pasangan aneh. Lagi-lagi ada yang mengira kalau aku pacar Raka.
Hubunganku dengan Raka rumit-rumit aneh. Kami kenal dari kecil karena kedua orang tuaku sibuk bekerja. Bibi Minervam ibunya Raka datang merawatku.
Bibi punya tiga anak. Yang terkecil Ismiralda Cahyani, Isme. Ketika aku SMA, dia masih SD dan selalu ikut bersama Bibi, adik tercintaku, begitu aku memanggilnya. My very first love, Alvaro Danuarta, kala itu baru masuk kuliah. Di antara mereka ada Raka, dua tahun lebih muda dariku, manja, sekarang menjadi pemuda hina tercela. Aku tak bisa membiarkan Raka semakin hina tanpa pengawasan.
Om seorang pengusaha seperti ayahku. Beliau selalu ada untuk keluarga karena bekerja di Surabaya bukan Italia. Hanya itu perbedaan keduanya. Itu juga kenapa keluarga Bibi lebih seperti keluargaku daripada keluargaku sendiri. Kalau diingat kala itu dunia begitu indah. Semua berubah ketika Om meninggal. Beliau ditembak oleh perampok kala mengambil uang gaji di bank.
Semenjak kejadian itu Alvaro menjadi tulang punggung keluarga. Hubungan kami semakin renggang. Dia memilih jalannya sendiri tanpa ada diriku. Sementara Raka mulai menato badan, merokok, susah dinasehati. Dulu Bibi menangis ketika pertama kali melihat tato di lehernya. Sekarang beliau pasrah. Menurut beliau hanya aku yang Raka patuhi, tetapi salah. Aku pun tak mampu membuat dia tobat.
Kata Isme, Raka tak bisa lepas dariku sampai memaksakan diri masuk UCLA. I din't blame him, not at all. Walau dia tak berguna bagi kehidupanku, tetapi Bibi meminta tolong untuk menjaganya. Lagi pula dia sudah kuanggap adik sendiri. Sebagai Kakak aku tak bisa membiarkan dia tenggelam lebih jauh dalam laut ketidakjelasan.
Menurutku kedekatanku dengan Raka karena Teori keterikatan. Sepengetahuanku keterikatan dalam teori ini terjadi karena seseorang mencari kedekatan dengan sosok keterikatan (attachment figure) ketika dia merasa tidak nyamanan pada sesuatu. Dia berharap sosok keterikatan akan membantu menghilangkan rasa ketidaknyamanan tersebut. Mungkin karena dulu aku terlalu memanjakan Raka, dengan harapan membuat Alvaro bangga kepadaku, dia jadi seperti itu.
Bukan berarti aku tak sayang pada Raka, bahkan karena hal itu sesuatu tumbuh dalam jiwaku. Sesuatu yang menginginkan dia bahagia. Entahlah, mungkin rasa sayang Kakak kepada adik.
"Bitch." Suara itu nyaring sekali, membuat rotiku nyaris jatuh.
Dengan memandang sinis gadis itu berjalan cepat keluar apartment. Dia yang ada di kamar Raka. Apa masalahnya? Dia yang pantas dipanggil seperti itu, bukan aku.
Getar pelan iphone dalam tas memaksaku merogoh mengambil benda itu. Di layar terdapat pesan singkat masuk.
[Aku di depan apartment-mu, ayo aku antar kuliah.]
Pesan dari Haikal. Oh god, he never leave me alone. Dia satu dari puluhan cowok korban harapan yang Ibu beri. Haikal lebih tebal muka dari yang lain. Walau baru bertemu kemarin, dia berani menjemput tanpa izin terlebih dahulu.
Semua karena Ibu selalu mencari cowok baik untukku, mencoba menjodoh-jodohkan. Kalau memang niat harusnya dia menemuiku langsung membawa calon yang dia suka. Bukan seperti ini.
Aneh, aku tidak mengenal Ibu. Hanya tahu namanya. Dia tak peduli padaku. Sekarang melihat anak gadisnya tumbuh menjadi bunga indah, berusaha memetik untuk kepentingannya sendiri.
Mungkin kalimat b***h bukan untuk gadis tadi, tapi lebih cocok untuk Ibu.
"Sha, ayo kuliah, jangan malas." Raka turun dari anak tangga. Jaket dan kaos menutup nyaris semua badan. Dengan begini hanya tato di leher yang nampak, sisanya tertutup.
Tunggu dulu, kenapa dia bisa cepat sekali turun? Aku mengendus lehernya, benar saja, bau anyir sisa-sisa pergumulannya.
"Mandi belum? Kalau belum, ogah. Aku nggak suka bau badanmu?"
Dia menciumi ketiak. "Harum parfum wanita, coba cium--"
"Mandi, atau ini terakhir kali aku datang ke mari."
Raka berdiri di atas anak tangga tangga bersandar rill dengan satu alis naik. "Jadi, bagaimana kamu bisa ke kampus tanpaku? Jalan kaki?" Raka tahu kalau aku tak bisa mengendarai mobil, motor, hanya bisa sepeda kayuh.
Aku menjawab asal. "Numpang Mike?"
"Oh, begitu?" Santai dia mengangguk. "Besok Mike akan masuk berita, ditemukan tewas jatuh dari lantai empat gedung ini."
"Rakaa, mandii. Aku serius loh, ini."
"Ok ok, Mom."
Ketika Raka hendak naik, aku melihat mobil Rolls-Royce Sweptail warna hitam berhenti di seberang jalan, tepat di bawah pohon palm. Pria dalam kemeja panjang keluar mobil sambil memakai jas hitam. Kenapa Haikal bisa tahu kalau aku di sini?
"Rak, Raka, tunggu." Aku bangkit menarik tangannya.
"Kenapa? Mau ikut mandi?"
"Tolong."
****