Nathan - 7

1514 Kata
Tak ada percakapan yang terjadi untuk beberapa menit setelah mobil berjalan meninggalkan La Faye. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Anya menatap jalanan di depannya meski sesekali menoleh kesamping, keluar jendela mobil, bukan menatap kesamping arah Nathan berada. Ia sedang mencoba untuk mengaitkan semua yang terjadi di hadapannya tentang pria dibalik kemudi saat ini. Seorang pianis dengan orangtua yang mampu membelikannya sebuah mobil sedan mewah keluaran terbaru. Nathan mencoba untuk melirik Anya yang duduk di sampingnya. Tangannya yang menggenggam tas kecil dipangkuannya. Anya yang tampak tenggelam dalam dunianya. Nathan melirik Anya dari sudut matanya. Ia sadar Anya sedang menilainya saat ini. Perjalanan mereka tak lebih dari lima belas menit. Mereka sampai pada sebuah bangunan sederhana, toko kue yang menyerupai ruko. “Ini alamatnya?” tanya Nathan memastikan. Anya mengangguk. Nathan langsung melepaskan sabuk pengaman yang terpasang melintasi tubuh depan Anya, sebelum ia melepaskan sabuk pengamannya sendiri. Nathan keluar dari dalam mobil disusul Anya. Mengeluarkan kotak kue dari jok belakang. “Anya,” kata seorang pria tua yang tampak terkejut dengan kehadiran Anya pagi ini di depan tokonya. Yang membuatnya terkejut adalah kemunculan Anya dari dalam sebuah mobil mewah bersama seorang pria muda tampan yang tak pernah terjadi sebelumnya. “Paman Tom. Apa kabar?” tanya Anya ramah. Keduanya berpelukan hangat. Pria tua itu menghadiahkan Anya sebuah kecupan hangat di kedua belah pipinya. “Kabarku baik, Anya.” “Aku dengar---” Anya batal melanjutkan kalimatnya saat ia teringat Nathan yang berdiri tak jauh darinya dengan membawa dua kotak kue miliknya. “Maafkan aku, Nath,” desis Anya pada Nathan yang dibalas dengan senyuman. “O iya, Paman. Kenalkan temanku, namanya Nathan. Dan Nathan, ini paman Tom. Salah satu kenalan bibiku yang bersedia membantu untuk---” “Sudahlah, Anya,” sela Tom sambil merangkul bahu Anya. Nathan tersenyum dan mengulurkan tangannya kehadapan Tom. “Senang berkenalan dengan Anda, Paman.” “Aku juga anak muda.” Anya memberikan kotak kue yang ada di tangan Nathan pada Tom. Mereka berbincang sebentar sebelum Anya dan Nathan beranjak pergi, kembali ke dalam mobil milik Nathan. Waktu telah merambat cepat menuju pukul 11.00 am. “Kau sudah lapar?” tanya Anya. Nathan menoleh bersamaan dengan warna lampu jalanan yang berubah merah. Mobil berhenti seketika. “Ya, aku lapar. Kau suka makan apa?” tanya Nathan kali ini. “Aku pemakan segalanya, hahahah,” sahut Anya dengan tawa setelahnya, disusul dengan tawa Nathan.   *** Keduanya tiba di depan sebuah restoran ternama di Boston. Anya tampak terkejut dengan apa yang ada dihadapannya. “Ayo, aku sudah lapar,” ajak Nathan usai melepaskan sabuk pengaman mereka. Anya menoleh, mata birunya menatap Nathan dengan lurus dan penuh curiga. “Kau…Kita akan…” Nathan mengangguk. Memamerkan seulas senyuman pada Anya yang menatapnya bingung. “Kau---” “Setelah ini aku harus berhemat luar biasa,” kata Nathan menyingkirkan pikiran dalam kepala Anya yang seakan sedang menyelidik. Anya keluar dari dalam mobil dengan pikiran yang bercampur-campur. Ia masih sibuk dengan pikirannya sampai Nathan perlu meraih telapak tangannya untuk membawanya masuk ke dalam restoran. “Selamat datang, Sir, tempat bi--” “Aku ingin di dekat jendela,” selak Nathan sebelum pelayan restoran melanjutkan kalimatnya. Nathan perlu menghentikan pelayan itu sebelum ia membawa Nathan dan Anya ke ruangan tempat keluarganya makan. Sebuah ruangan khusus. “Silahkan,” ujar sang pelayan. Nathan menarik sebuah kursi untuk di duduki Anya, dan setelahnya ia duduk di seberangnya. “Kau ingin pesan apa?” tanya Nathan sambil menyambar sebuah buku menu. Meski ia tahu apa yang akan dipesannya. Bahkan pelayan di restoran itu sudah tahu tanpa mereka menyebutkannya. Nathan mendapati tatapan mata biru Anya yang membulat. “Ini terlalu mahal,” desis Anya. Nathan melirik sang pelayan yang tampak bingung. “Aku mohon jangan lihat harganya,” kata Nathan. “Iya tapi---” “Aku pesan ini. Dan ini,” Nathan langsung menunjuk dua menu kesukaannya dan kesukaan Casey. Ia yakin Anya juga suka. Anya melongok ke arah tulunjuk Nathan pada buku menu. “Ya Tuhan, itu---” Nathan langsung menutup buku menu dan menarik yang ada di hadapan Anya lalu memmberikannya pada pelayan. Pria itu berlalu. “Nathan, kau bisa bangkrut bulan ini dengan sekali makan.” Anya melirik ke sekeliling meja tempatnya berada. Nathan hanya menatap Anya dengan senyum tipis di wajahnya. “Itu mahal sekali,” tambah Anya. Nathan hanya menatap tanpa menimpalinya. Membuat Anya mendengus kesal. “Lebih baik aku---” “Hey, kau akan kemana?” tanya Nathan sambil menyambar pergelangan tangan Anya saat gadis itu akan beranjak dari kursinya. Rahang Anya mengatup, wajahnya berubah masam. “Tenanglah, aku membayarnya dengan kartu kreditku, aku bisa mencicilnya.” Nathan mengatakannya dengan lugas, meski Anya masih menatapnya dengan penuh curiga. Pelayan itu datang lagi dengan semua menu yang dipesan Nathan. Meletakkan semua pesanan diatas meja dan setelahnya pelayan itu pergi lagi. “Ayo kita makan,” celetuk Nathan bersiap untuk menyendok makanannya. Tiba-tiba Anya meraih telapak tangan Nathan, membuatnya terkejut bukan main. Telapak tangan yang terasa lembut. “Kau lupa untuk berdoa,” kata Anya pelan. Mata hijau Nathan terkejut. Nathan nyaris lupa akan ritual berdoa selama ini. Tapi kini, ia dihadapkan pada kebiasaan yang tak pernah terjadi dalam hidupnya. Beberapa tahun belakangan, Nathan hidup seorang diri di belahan dunia lainnya, tanpa keluarga dan tak banyak teman. Hanya rekan bisnis yang biasanya terjadi dalam pertemuan meeting. Tapi siang ini, bagai moment langka dalam hidupnya. Nathan mendapati Anya yang telah menundukan kepala, menggenggam tangannya erat. Pada akhirnya Nathan mengucapkan doa secara pelan, nyaris berbisik. Disudut ruangan tampak seseorang menatap Anya dengan kelopak mata melebar, ia tak percaya bertemu dengan Anya di tempat semahal ini. Dan ia juga mencurigai pria yang bersama Anya di meja itu. “Siapa pria yang bersamanya?” desis Fedra pada dirinya sendiri sebelum pria tambun berkumis di hadapannya bertanya secara tiba-tiba, “Kau sedang memperhatikan siapa?” Fedra tersenyum kaku dihadapan pria itu yang tak lain adalah bosnya di tempatnya bekerja. “Tidak, bukan siapa-siapa.”   *** Bukan hal sepele Valerie sampai harus datang ke Boston untuk mengingatkan Jacob akan keberadaan Nathan di rumahnya. Valerie tahu bagaimana dekatnya hubungan adiknya dengan anak semata wayangnya, Nathan. Sejak kepergian Rodrix Stephenson akibat serangan jantung tak lama setelah malam tragedi yang menimpa Nathan. Sejak saat itulah Jacob yang mengurus semua permasalahan Nathan, khususnya untuk lepas dari jerat jeruji besi penjara yang menantinya, setelah korban dinyatakan tewas akibat mobil yang dikendarai Nathan. “Aku tak peduli bagaimana kau menyuruhnya untuk pulang ke Manhattan, Jacob.” Suara Valerie terdengar mengintimidasi. “Aku tak ingin ia kembali hanya untuk menghindariku. Aku telah memiliki rencana untuk putraku,” imbuh Valerie. Valerie menatap Jacob dengan tajam dari salah sofa dalam ruang kerja Jacob. “Nathan bukan lagi remaja, dia sudah menjadi pemuda yang bertanggung jawab, Val. Kau harus merubah gayamu terhadapnya.” “Dia tetap harus menurut semua perintahku. Aku ibunya, jadi tugasnya hanya menurut.” “Kau tak akan pernah mendapatkan putramu,” timpal Jacob dengan penekanan. Ia menatap sang kakak dengan lurus dan tak kalah tajam. Valerie beranjak dari sofa dengan gayanya yang angkuh. “Jika kau tidak mampu membuatnya pulang ke rumahku, kau akan tahu apa yang dapat aku lakukan padamu,” ucap Valerie dengan sebuah ancaman. Jacob ikut berdiri dari kursi kebesarannya. “Kau bebas melakukan apapun padaku, Val. Seperti apa yang kau lakukan pada gadis itu.” Seketika wajah Valerie berubah tegang, matanya melebar menatap Jacob yang ada dibalik meja kerjanya. “Aku sudah mengatakan tentang apa yang kau lakukan pada gadis itu.” “b******k kau Jacob,” sembur Valerie dengan kesal. Jacob tersenyum miring dihadapan sang kakak. “Cepat atau lambat ia akan tahu.” “Ia harus melupakan gadis itu selamanya.” “Tidak mungkin,” sambar Jacob cepat, hingga membuat Valerie menatapnya dengan tanya. Nathan telah mengatakan rencananya pada Jacob. “Ia ingin menemui gadis itu.” “Anakku sudah gila,” maki Valerie dengan wajah marah. “Aku rasa apa yang dilakukannya sudah benar.” “Tidak ada yang benar dengan menghamburkan uang demi membiayai kehidupan gadis sialan itu,” racau Valerie kali ini. Ia menyambar tasnya yang tergeletak di atas sofa. “Apanya yang tidak benar, Ma?” Pertanyaan yang tiba-tiba muncul dari balik pintu, sosok Nathan yang berdiri di ambang pintu ruang kerja Jacob. Valerie dan Jacob tampak terkejut. “Nathan,” desis Valerie. Nathan tampak dingin membalas senyuman di wajah mamanya. Valerie berjalan mendekat. “Ya Tuhan, Nath. Akhirnya mama bisa melihatmu lagi,” ujar Valerie sambil memeluk Nathan, memberikan kecupan pada kening Nathan. “Sebaiknya kau pulang bersama Valerie, Nath.” Nathan tersenyum miring sebelum ia berkata, “Aku sudah mengatakannya semalam. Aku akan pulang tapi tidak sekarang.” “Nath, rumahmu di Manhattan, bukan disini.” “Tidak, Ma. Aku akan tetap disini.” “Nathan!” Suara Valerie memekik seketika. Keduanya saling bertatapan lurus. Kelopak mata Valerie melebar, ia memelototi Nathan yang masih berdiri di hadapannya. “Kau harus---” “Aku bukan anak kecil, Ma,” potong Nathan cepat sambil berjalan melewati Valerie. Ia menghempaskan tubuhnya di kursi tepat di hadapan Jacob. “Nathan, kau harus---” “Tidak bisakah kata harus dihilangkan?” protes Nathan dengan sorot mata tajam yang ditujukan pada Valerie. Suasana berubah tegang, Jacob hanya mengamati keduanya bergantian. Nathan yang mendengus kesal, Valerie yang tampak marah dengan wajah yang telah mengeras dan kedua rahang mengatup. “Aku akan pulang setelah urusanku selesai disini.” “Dengan mencari gadis itu?” sambar Valerie tajam. Kali ini rahang Nathan yang mengatup rapat. Ia menghela napas dalam sebelum beranjak dari kursi yang didudukinya. “Ya, aku akan mencari gadis itu.” “Kau sudah gila, Nath!” “Aku memang sudah gila sejak malam nahas itu, Ma.” Suara Nathan meninggi beberapa oktaf. Ia mencoba untuk menahan amarahnya. “Aku tidak bisa hidup lebih lama dalam rasa bersalahku.” “Apa yang kau lakukan sudah cukup, Nath.” Nathan menggeleng pelan, sorot matanya berubah keruh. Banyak kesedihan didalam mata hijaunya. “Tidak, Ma. Aku ingin mendengar langsung darinya.” “Dia hanya gadis miskin,” hina Valerie. “Iya, gadis miskin yang ayahnya tewas ditanganku!” Timpal Nathan lantang hingga bergema ke sudut ruangan kerja Jacob. Kebekuan menyelinap, meski tak lama. Nathan beranjak dari duduknya. “Hanya gadis itu yang dapat mengembalikan ketenangan dalam hidupku.” Nathan mengatakannya dengan pelan dan terdengar menyakitkan.     ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN