Nathan sedang duduk sambil menyesap secangkir coklat panas di meja sarapan ketika ponselnya berdering. Nathan sedang tenggelam dalam lamunannya, memandangi jendela restoran, menampakkan orang yang telah berlalu-lalang. Nathan menghabiskan malamnya dengan tidur di dalam ruang kerja yang ada di restoran miliknya.
Ia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama dengan pergi ke club disaat kepalanya terasa penuh. Ia memilih untuk berdiam diri dalam keheningan restoran yag sudah tutup.
“Kau ada dimana, Nath?” Isi pesan Jacob usai serangkaian teleponnya tidak dijawab oleh Nathan. Diraihnya ponsel yang tergeletak di atas meja dan Nathan menghubungi balik Jacob.
“Nath.” Pada dering pertama sudah terdengar suara Jacob yang khawatir. Nathan menghembuskan napas pelan. “Iya, Paman. Aku baik-baik saja.”
“Kau ada dimana?”
“Aku ada di La Faye. Aku tidur disini. Tenang saja, Paman. Aku tidak akan mengulangi kesalahanku dengan pergi ke club.” Nathan melayangkan pandangan matanya lagi keluar jendela.
“Kau sudah membaca dokumen tentang gadis itu?”
Dokumen yang masih berada di dalam mobil Nathan. Ia ingat belum membukanya, terlebih untuk membacanya.
“Belum, masih ada di dalam mobilku, Paman.” Suara milik Nathan terdengar lemah di telinga Jacob. Ia merasa ada sesuatu yang menganggu Nathan. Ia yakin Nathan tidak benar-benar baik.
“Ada yang ingin kau ceritakan? Paman akan menyusulmu jika perlu.”
Nathan menyesap coklat panas dalam cangkir yang ada dihadapannya. Meletakkan kembali sebelum ia merespon tawaran Jacob. Sesuatu telah mengusik pikirannya sejak semalam.
“O iya, Paman. Aku ingin menanyakan sesuatu padamu.”
“Apa yang ingin kau tanyakan?” Jacob terdengar tak sabar. Ia penasaran. “Apa yang telah dilakukan mamaku dengan gadis itu?” Pertanyaan yang membuat Jacob langsung terdiam, duduk tegak diatas kursi makan dibawah tatapan bingung Casey dan Irene, istrinya.
“Dia…” Jacob menggantungkan kalimatnya, melirik anak dan istrinya yang tampak bingung. “Katakan yang sebenarnya, Paman,” desak Nathan.
Ada keheningan menyelinap sebelum Jacob mengatakan sebuah kebenaran. “Valerie membeli kawasan itu dan menjadikannya pusat perbelanjaan.”
“Apa?!” Nathan terkejut hingga ia berdiri dari duduknya. “Ya Tuhan,” desah Nathan kasar.
“Nathan, dengarkan Paman. Gadis itu baik-baik saja.”
“Mamaku sudah keterlaluan,” timpal Nathan kesal. Ia menghela napas menyingkirkan himpitan dalam dadanya. “Bukalah dulu dokumen yang Paman berikan padamu, Nath.”
Nathan menghela napas dalam, ia berdiri memandangi jendela dengan tatapan nanar. “Kau akan tahu kondisinya saat ini,” imbuh Jacob usai jeda panjang.
“Selamat pagi.” Suara seorang gadis dari arah belakang Nathan hingga membuatnya berjingkat kaget, memutar tubuhnya. Seketika dunia Nathan berhenti berputar. Anya berdiri dihadapannya dengan tiga kotak kue ditangannya.
“Nath…” panggil Jacob dari seberang ponselnya.
“Kita akan bicara lagi nanti, Paman.” Tanpa menunggu balasan dari Jacob. Nathan mengakhiri percakapannya dengan Jacob. Memasukan kembali ponselnya ke dalam saku celana.
“Hi, selamat pagi,” balasan sapaan yang terlambat bagi Nathan.
“Aku… aku ingin mengantarkan kue-kue ini.”
Suara Anya terdengar lembut. Hari ini Anya tampak sama cantiknya dengan kemarin. Dengan rambut coklat yang dibiarkan tergerai.
“Biar aku yang---”
“Kau bekerja di sini?” potong Anya dengan pertanyaan yang membuat Nathan terkejut. Ia terdiam sebentar sebelum menyahut, “Iya, aku bekerja di sini.”
Keduanya bertatapan sebelum saling melepaskan senyuman. Nathan meraih kotak kue itu dari tangan Anya. Tercium aroma lezat yang menyelinap keluar dari dalam kotak. “Sepertinya enak,” ujar Nathan.
“Iya, kau harus mencicipi kuenya.”
“Kau yang membuatnya?” tanya Nathan yang sesungguhnya ia telah tahu jawabannya dari Luke kemarin. Anya terkekeh. “Aku hanya bisa makan,” seloroh Anya dengan seulas senyum menghiasi wajah cantiknya. Keduanya terkekeh.
“Duduklah, aku akan membawa kue ini ke dalam.” Nathan menatap Anya hingga gadis itu benar-benar duduk di meja yang ada cangkir coklat miliknya. Nathan bergegas ke dapur, menyerahkan kotak kue itu kesalah satu pegawainya, dan dengan cepat kembali ke depan untuk menemui Anya.
“Aku tidak melihat---”
“Bosku sedang ada pertemuan bisnis diluar,” kilah Nathan tentang keberadaan Luke saat ini. Nathan sudah memulai dengan segumpal kebohongan. Anya mengangguk pelan. “Kau bekerja sebagai apa disini?” tanya Anya, mata birunya menatap Nathan yang duduk di seberangnya. Pertanyaan yang di luar dugaan Nathan. Ia harus mencari jawaban segera. “Aku…” Mata hijaunya menangkap sebuah piano hitam besar di sudut ruang restoran. Sudut yang selalu menjadi kesukaan Nathan.
“Aku bermain piano. Bosku ingin suasana romantis, jadi dia---”
“Kau seorang pianis?” tanya Anya lagi penasaran. Nathan tak tersinggung dengan pertanyaan Anya untuknya. “Kau ingin mendengar permainan pianoku?”
Anya terdiam sebelum ia tersenyum manis di hadapan Nathan. Anya tampak memainkan jari-jarinya di atas permukaan meja, jelas Anya terlihat gugup. “Aku akan memainkan sebuah lagu untukmu.” Nathan beranjak dari kursinya, berjalan ke arah piano besar di sudut ruangan. Anya memutar posisi duduknya, mengikuti arah Nathan beranjak.
Nathan telah duduk di balik piano. Keduanya saling melepaskan senyuman sebelum alunan musik terdengar. Betapa terkejutnya Anya saat suara Nathan yang tiba-tiba mengalun bersama dengan jemarinya diatas tuts piano.
“Love, it has so many beautiful faces. Sharing lives and sharing days. My love it had so many empty spaces. I'm sharing a memory now. I hope that's how it stays.”
Suara Nathan yang ternyata merdu, suara vokal yang sengau seakan terasa pas ditelinga Anya dengan lirik Forever Love. Nathan menarik napas sebelum bait berikutnya.
“Now I'm deep inside love and still breathing. She is holding my heart in her hand. I'm the closest I've been to believing. This could be love forever.”
Nathan menyanyikannya dengan pandangan mata hijaunya yang tertuju pada Anya yang menatapnya tanpa berkedip. Anya terkejut.
“All throughout my life. The reasons I've demanded. But how can I reason. With the reason I'm a man.” Bait terakhir sebelum jemari Nathan berhenti. Anya beranjak dari kursinya dan bertepuk tangan seorang diri, memecah keheningan pagi. Nathan tersenyum lebar.
“Wow, suaramu ternyata---”
“Jangan meledekku,” timpal Nathan.
Anya berjalan mendekat. Ia berdiri di ujung piano dan Nathan masih duduk di tempatnya. “Aku yakin, kau akan dibayar mahal untuk suara dan permainan pianomu,” ujar Anya dengan senyum yang tak pernah hilang. Senyum yang dirasa Nathan bagai secercah air di oase kehidupannya. Ia membiarkan Anya tetap tersenyum hingga wajahnya memerah.
“Semoga bayaranku sepadan,” sahut Nathan pelan. Jeda sebentar sebelum Anya mendapati jam ditangannya yang menuju pukul 9.00 am.
“Aku…sepertinya aku harus pergi sekarang.”
“Kau akan kemana?” tanya Nathan terkejut, wajahnya berubah tegang. Anya menarik ujung bibirnya sebelah. “Aku harus mengantar kue lainnya.”
“Boleh aku membantumu?”
Pertanyaan yang membuat Anya terhenyak kaget, dan ia terkejut Nathan telah berdiri tak jauh darinya. “Aku tak mampu membayarmu untuk membantuku,” seloroh Anya sambil beranjak dari tempatnya, Nathan terkekeh mendengarnya. Anya berjalan ke sebuah meja lainnya untuk mengambil kotak kue yang dibawanya dari rumah. Nathan mengekor dibelakang langkah Anya.
“Kau cukup membayarku dengan menemaniku makan siang hari ini.”
Spontan langkah Anya berhenti dan ia berputar diatas tumit sepatu datarnya. Keduanya berhadapan, dan saling menatap satu sama lain.
“Bagaimana?” tanya Nathan dengan mata hijau yang tertuju sepenuhnya pada Anya.
“Baiklah, aku akan mentraktirmu,” Anya menerima tawaran Nathan. “Tidak, aku yang akan mentraktirmu. Gaji pertamaku di tempat ini.”
Keduanya terdiam. Anya sedang menatap dengan tatapan menilai, membuat jantung Nathan berdetak cepat secara tiba-tiba. Anya terus mengamati Nathan yang berdiri dihadapannya. Sosok pria yang baru dikenalnya kemarin. Anya tak merasakan sesuatu yang aneh dan patut dicurigai dari seorang Nathan Grayson. Meski Anya merasa penasaran dengan pencariannya yang belum juga berhasil.
“Aku memang tampan, tapi kau tak perlu menatapku seperti itu,” seloroh Nathan tiba-tiba sambil meraih dua buah kotak kue diatas meja, mendahului Anya. Bagai tersentak, lepas dari lamunan, Anya tersenyum lebar setelahnya.
“Kita akan berjalan ke halte lebih dulu sebelum naik bus. Kau…” Anya menggantungkan kalimatnya, menatap Nathan yang berdiri menunggunya melangkah. “Aku…Aku membawa mobil,” ungkap Nathan ragu pada awalnya. Seketika wajah Anya berubah. Ia larut dalam pikirannya. “Itu mobilku.” Nathan menunjuk sebuah mobil sedan hitam metallic yang ada di tepian jalan. Mobil yang terbilang mewah bagi Anya. “Mobil pemberian orangtuaku,” imbuh Nathan.
Anya masih terdiam. “Ayo, berikan alamatnya biar aku mengantarmu.” Nathan meletakkan kotak kue milik Anya ke jok belakang. Anya masih berdiri di atas trotoar. “Aku memang tampan dan---”
“Dasar b******k,” sambar Anya cepat dan berjalan ke sisi pintu penumpang, ia duduk bersebelahan dengan Nathan.
***