Aku memasuki cafe sambil memperhatikan sekitarku sebentar.
Ini pertama kali aku ke sini, suasananya cukup nyaman, tak terlalu ramai meski sudah masuk jam makan siang. Mungkin karena sekarang libur semester, jadi tak banyak mahasiswa ke kampus. Setelah masuk, aku memilih duduk di dekat jendela yang langsung menghadap ke jalan.
Jam di tanganku menunjukkan pukul 12:35 WIB
Seorang pegawai cafe menghampiri dan mencatat pesananku, begitu selesai melayani, dia permisi.
Mengedarkan kembali pandangan dengan lebih cermat, ada empat cowok dan dua cewek memakai jaket warna biru yang sangat familiar bagiku. Mereka berbincang sembari menikmati pesanan.
Beberapa cowok yang tak mengenakan jaket warna biru, yang duduk tak jauh dariku, memperhatikan sambil berbisik-bisik.
Aku menarik nafas panjang, mengambil ponsel di tas dan menelepon seseorang.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam," jawabku, tersenyum tipis secara refleks begitu dengar suara Syuja.
"Ada apa?"
"Di mana?" tanyaku memastikan keberadaannya.
"Kampus."
"Masih koordinasi??"
"Baru selesai."
"Sudah makan?"
"Belum."
"Kan udah jam makan siang??"
"Habis ini."
"Luthfi sama Bintang di situ juga?"
"Enggak, mereka keluar duluan."
"Ke mana?"
Bersamaan dengan itu pegawai cafe mengantar minuman, aku mengucapkan terima kasih dengan suara pelan.
"Ke Fakultas, lihat pameran fotonya anak-anak."
"Terus mau makan sama siapa nanti?"
"Paling sendiri."
"Di mana?"
"Nggak tahu, cari dekat kampus aja."
"Mau aku temenin??" tanyaku menggodanya.
"Temenin?" Dia balik bertanya dengan nada heran.
"Iya, mau aku temenin makan siang??"
Ada jeda beberapa detik sebelum kemudian dia kembali bersuara. "Kamu lagi bosen di kos?"
"Enggak kok, serius ini! Mau?"
"Udah makan?"
"Belum lah, kan mau makan siang bareng kamu."
Aku mendengar beberapa orang menyapa Syuja dan dia membalas sapaan mereka.
"Mau nggak??" tanyaku lagi lalu menyeruput minuman di depanku.
"Cepat beli makan, jangan telat."
"Kan udah dibilang maunya makan siang sama kamu!"
Syuja menghembuskan nafas pelan. Lalu tiba-tiba terdengar suara mesin motor menyala yang cukup dekat.
"Kamu di parkiran??" tanyaku panik, teringat rencananya makan siang di luar.
"Iya."
"Mau makan siang? di mana?"
"Nggak tahu, mungkin sekitar toko buku dekat kampus."
Setahuku toko buku dekat kampusnya harus melewati dua kali lampu merah.
"Terus mau ninggalin aku sendiri??" Aku makin panik, khawatir dia benar-benar keluar kampus dan pergi begitu saja.
"Apa?"
"Matiin nggak mesin motornya??!!?"
"Hah?"
"Matiin nggak???? Kalau nggak, aku masuk ke kampus nih!!" ancamku refleks.
"Hah??"
"Matiin mesin motormu atau aku masuk ke kampusmu sekarang!"
"Tunggu, kamu di mana?" tanyanya, ada nada bingung dan terkejut dalam suara Syuja yang biasanya tenang.
"Matiin mesin motormu dan jalan keluar kampus! Nanti kamu tahu," kataku sedikit memerintah.
Kepanikanku menyebabkan aku melakukannya tanpa sadar. Selang beberapa detik, suara mesin motor tiba-tiba tak terdengar lagi.
"Kamu di mana?"
"Jalan dulu keluar kampus!"
"Kamu bercanda?" tanyanya lagi memastikan, "kamu di mana?"
"Bisa nggak sih berhenti nanya dan jalan aja ke depan kampus?!" perintahku semakin geregetan.
Tak ada jawaban dari Syuja, hanya saja aku mendengar nafasnya sedikit lebih cepat. Mungkin dia bukan jalan tapi berlari.
Mengarahkan pandangan keluar jendela, sepasang mataku awas menatap ke gerbang besar di seberangku. Selama beberapa menit, tatapanku tak teralih dari titik yang sama, ponselku juga masih terhubung pada Syuja meski tak ada percakapan.
Lalu aku melihat sosok berkulit putih dengan rambut hitamnya yang terlihat sedikit acak-acakan. Sosok yang selama ini paling aku rindukan selain Ibu dan Farah.
Dia berjalan, ralat ... Syuja sedikit berlari ke arah gerbang utama. Mengenakan kaos putih polos dirangkap jaket parka hijau, jeans gelap, kets hitam dengan ransel tersampir di salah satu bahu. Dia mengedarkan pandangan sembari memegang ponsel yang menempel di telinga sebelah kanan.
Tangan kananku menyangga dagu, sedangkan tangan kiri memegang ponsel.
"Di mana?" tanyanya dengan sorot mencari dan ekspresi seperti kebingungan.
Aku diam tak menjawab, memilih untuk tetap memperhatikannya dari jendela.
Pandangannya terarah ke semua arah mencariku, sampai akhirnya tatapan kami bertemu.
Refleks senyum terkembang di wajahku.
Dia menatapku selama beberapa detik, lalu mematikan sambungan telepon kami dan memasukkan ponselnya ke saku jaket.
Suasana jalan yang cukup ramai membuatnya harus menunggu untuk menyeberang jalan. Tatapan mataku benar-benar tak bisa lepas darinya.
Setelah menyeberangi jalan, Syuja langsung berjalan ke arah pintu masuk cafe.
Cowok-cowok dan dua orang cewek yang mengenakan jaket warna biru menoleh ke arah pintu ketika melihat Syuja masuk.
"Siang, Ja!" sapa mereka bersamaan.
"Hmmm," jawabnya datar, tatapan matanya langsung tertuju padaku.
Dia berjalan tanpa bicara apapun dan langsung berhenti tepat di depanku.
Aku tersenyum padanya, sementara dia menatapku dengan sorot tak percaya. "Duduk," ajakku akhirnya.
"Sejak kapan?"
"Ke sininya??" tanyaku balik.
Dia diam tak menjawab, sepertinya masih terkejut melihat kehadiranku.
"Kalau di sini dari 10 menit yang lalu."
Syuja masih diam.
"Kalau pulang dari Jogjanya udah dari kemarin."
"Kemarin?" tanyanya akhirnya, salah satu ujung alisnya sedikit terangkat.
Aku mengangguk, "duduk dulu," pintaku sembari melempar senyum.
Meski masih menatapku dengan sorot heran, Syuja menurut dan duduk di depanku sambil meletakkan ransel. "Jadi kemarin sudah di rumah?"
Aku menganggukkan kepala.
"Waktu telepon Luthfi?"
"Aku di Appetite sama Farah."
"Janjian di sana?"
Kepalaku cepat menggeleng. "Aku ke sekolah, terus ke cafenya baru bareng dia."
"Kenapa?" tanyanya dengan kening sedikit mengernyit.
"Apanya??" tanyaku balik.
"Sebelumnya bilang nggak pulang, kan?"
"Mau ngasih kejutan aja," jawabku sambil tersenyum
Syuja kembali diam menatapku.
"Nggak suka ya??" tanyaku mulai khawatir karena melihat responnya.
"Eh Ja, lagi di sini?" seseorang tiba-tiba menginterupsi kami.
Padahal aku sedang was-was menunggu reaksi Syuja.
Saat kulihat, seorang cowok dengan badan atletis berdiri di dekat meja kami. Tatapannya beralih dari Syuja ke aku. Dan dia tersenyum saat melihatku. "Siapa nih? Kayaknya belum pernah lihat," katanya sambil menatapku masih dengan tersenyum.
"Ada urusan apa?" tanya Syuja tanpa basa-basi, tatapan cowok itu segera beralih ke Syuja.
"Enggak, cuma mau nyapa aja."
"Sudah nyapa kan?"
Cowok itu kembali tersenyum ramah, tapi bukan ditujukan pada Syuja melainkan aku.
"Santai bro, pertandingan masih lama kan?" tanyanya, "bisa dikenalin kali Ja," tambahnya tanpa sungkan lalu menatapku.
"Mau dikenalin sama dia?" Syuja tiba-tiba menodongku.
Karena terkejut, aku hanya bisa menatap Syuja dan cowok yang berdiri di dekat kami bergantian.
"Baru ini aku lihat Syuja duduk berdua sama cewek," kata cowok itu seperti sengaja mengabaikan Syuja.
Syuja diam, tatapan tajamnya tetap terarah padaku.
"Aku Dika, seangkatan sama Syuja, tapi jurusan Ekonomi." Dia mengulurkan tangan sambil tersenyum ke arahku untuk kesekian kali.
Aku menatap Syuja menyandarkan punggung dan bersedekap. Jelas kalau Syuja tak suka.
"Kahiyang," balasku seraya menyambut uluran tangannya lalu dengan cepat melepas jabatan tangan kami.
"Nama dan orangnya sama cantiknya," puji Dika sembari tersenyum padaku. Entah itu murni pujian atau ada maksud tertentu.
Syuja mendadak tersenyum sinis meski samar.
"Kalau aku gabung kalian kira-kira ganggu nggak?"
"Mmmm, sebenernya aku mau ngobrol berdua aja," jawabku coba mengusirnya dengan cara halus.
Dika sempat diam mencermatiku. "Oooh, oke," sahutnya menganggukkan kepala selang tiga detik kemudian.
"Oke tadi artinya paham kan?" tanya Syuja melirik Dika.
"Paham lah Bro. Santai aja ... aku nggak akan ganggu kalian," balas Dika. "Tapi lain kali kalau ketemu lagi, boleh ya ngobrol berdua juga?" tanya Dika yang kali ini kembali menatapku.
"Mau kupatahin kakimu biar nanti nggak bisa main?" tanya Syuja dengan satu alis terangkat tinggi.
Dika tersenyum pada Syuja lalu menatapku lagi. Dia sengaja mengabaikan Syuja.
"Ya udah deh, cabut dulu ya. Semoga lain kali bisa ketemu lagi ... tanpa Syuja," pamit Dika lalu pergi dan bergabung dengan teman-temannya yang duduk tak jauh dari kami.
"Senang?" tanya Syuja dingin.
"Apa??" tanyaku balik dengan nada bingung karena tak tahu maksud pertanyaannya.
"Dibilang cantik, digombalin kayak tadi?"
"Kamu nggak lagi cemburu kan ini??"
Dia tak menjawab, hanya memandangku tanpa jeda.
"Tadi pertanyaanku belum dijawab loh, Cha," sambungku mengubah arah obrolan kami.
"Pertanyaan?"
"Nggak suka sama kejutanku??"
"Kalau ada kejadian kayak barusan apa menurutmu aku suka?"
"Kok jadi gitu?? kalau nggak suka bilang, atau pergi aja sekalian," sungutku sembari mengaduk-aduk minuman di depanku.
"Kita keluar."
"Ke mana??" tanyaku terkejut.
"Cari tempat lain buat makan."
"Nggak mau! Aku mau makan di sini aja."
"Kamu mau jadi pusat perhatian cowok-cowok b******k kayak Dika?" tanyanya, membuatku sontak melihat ke meja Dika. Dia dan teman-temannya sedang bicara, beberapa mata melihatku sambil tersenyum genit. Segerombolan cowok yang tadi berbisik-bisik sebelum aku telepon Syuja.
"Kan ada kamu!"
"Kita keluar."
"Di sini ajaaa," rengekku spontan, "kalau keluar butuh waktu buat nyari tempat, belum perjalanannya, makannya, terus waktumu sama aku jadi kepotong banyak, makannya juga musti buru-buru karena jam 3 udah tanding! Menurutmu berapa lama waktu kita buat bisa ngobrol?"
Syuja diam menatapku lekat.
"Ini udah mau jam satu, kalau kita keluar, palingan entar waktu buat ngobrolnya cuma bentar. Sebelum jam 3 kamu udah harus balik ke kampus. Menurutmu aku datang ke sini cuma buat bisa sama kamu dalam waktu kurang dari sejam??"
"Ok. Habis makan terus pulang."
"Kok pulang??" tanyaku terkejut karena kalimatnya.
"Nggak usah lihat pertandingan."
"Kenapa?" protesku tak terima.
"Kamu cuma kenal Bintang sama Luthfi di sini, mereka juga ikut main," jawab Syuja, "kalau kamu mau nonton, siapa yang nemenin?"
"Nggak perlu ditemenin, aku bukan anak kecil."
"Di sini nggak cuma ada satu Dika, banyak Dika-Dika lain di dalam sana. Kamu mau aku nggak fokus tanding?"
Aku mengerucutkan bibir kesal. Meski jujur ada rasa senang karena paham maksudnya barusan.
"Kan kamu bisa kenalin aku sama temanmu yang nggak ikut main?" tawarku tak mau menyerah.
"Kamu lihat sendiri gimana Dika tadi?" tanyanya dengan wajah tenang, "ada aku aja dia berani."
"Tapi katamu nanti dia mau tanding juga?"
Syuja terlihat menghembuskan nafas pasrah. Mungkin mulai lelah karena aku belum mau menyerah. "Dengar nggak, tadi aku bilang ada banyak Dika di dalam sana?"
Aku menyandarkan punggung sedikit kasar. Terus terang aku ingin sekali melihat pertandingannya, sudah sangat lama aku tak melihatnya bermain basket. Tapi Syuja tak peka sekaligus tak peduli dengan keinginanku.
"Mau makan apa? Aku pesenin."
"Terserah," ketusku karena kesal.
"Itu nama menu baru? Dari planet mana?"
Aku memelototkan mata karena makin dibuatnya kesal.
"Ayam manis sama corn soup mau?" tawarnya kemudian.
Aku mengangguk tapi masih dengan cemberut.
Tanpa coba membujukku, dia pergi memesan makanan.
Aku bisa melihat pandangan orang-orang di cafe teralih antara aku dan Syuja selama beberapa kali, diiringi bisik-bisik yang kemungkinan membicarakan kami.
Begitu kembali, Syuja melepas jaket. Mengenakan kaos putih polos berlengan pendek, dengan kulitnya yang putih bersih, aku masih tak percaya kalau dia kuliah di jurusan yang mengharuskannya berpanas-panasan.
"Kenapa?"
Dia menyadari aku sedang mengamatinya.
"Kamu diam-diam perawatan ya?"
"Perawatan?"
"Bukannya kapan hari kamu baru pulang dari lapangan selama 2 minggu? Berapa hari ini juga tanding basket. Kok nggak ada belang sama sekali?"
Dia langsung melihat kedua lengannya setelah mendengar pertanyaanku. "Kenapa? Iri?"
"Ditanyain serius malah nuduh iri!"
"Ini namanya takdir."
"Ngeselin!!" sahutku sebal, "perawatan buat siapa??"
"Nggak perawatan."
Aku menatapnya dengan tatapan penuh selidik. "Apa perlu aku tanya ke anak-anak yang nyapa kamu itu?" tanyaku sambil melihat ke meja yang kumaksud sekilas. Beberapa dari mereka sempat balas melihat ke arahku.
"Tanya aja," jawabnya super tenang.
Dan itu membuatku makin geregetan dengan reaksi Syuja.
"Kenapa? Nggak percaya juga?"
"Jangan-jangan kamu ngelarang aku lihat pertandingan sebenarnya karena ada gebetan kamu yang lagi nonton juga ya??"
Pada akhirnya aku menyuarakan apa yang sempat dikatakan Farah padaku.
"Nggak cuma kangenmu aja yang diformalin, ternyata cemburumu juga."
"Ngaku deh!! Benar dugaanku kan??" protesku tak peduli dengan ledekan Syuja.
Dia menghela nafas tapi tetap diam tak menjawab.
"Tahu gini aku nggak usah pulang," gerutuku dengan wajah cemberut.
"Aku bilang nggak ada, kamu marah. Aku bilang ada, jadinya tambah marah. Aku bilang nggak perawatan kamunya nggak percaya, bilang perawatan malah jadi curiga. Terus aku harus gimana?"
Bibirku makin manyun karena kesal, pandangan sengaja kualihkan keluar jendela. Aku memilih untuk diam dan mengabaikannya selama beberapa saat.
"Tadi nggak mau makan di tempat lain karena nggak mau ngobrolnya cuma sebentar. Sekarang malah diem, nggak mau ngomong."
Aku langsung menoleh dan menatapnya tajam.
Syuja yang diam dan Syuja yang bawel sama-sama ngeselin!
Ponsel Syuja tiba-tiba berbunyi. Dia mengambil jaket yang ada di kursi sebelah lalu merogoh saku bagian kanan. Setelah melihat layar ponselnya sejenak, Syuja menerima panggilan masuk, lalu menekan tombol speaker. "Hmmm."
"Di mana??"
Aku mengenali kalau barusan itu suara Bintang.
"Homey."
"Tumben, ngapain?"
"Makan," jawab Syuja sambil melihatku.
Waitress cafe datang mengantar pesanan kami. Setelah menata pesanan di meja, dan aku mengucap terima kasih, waitress itu langsung pergi.
"Halo Ja?!? Di mana??" Kali ini terdengar suara penasaran Luthfi.
"Homey," sahut Bintang yang ada di dekatnya.
"Beneran Ja?? Ngapain?? Kita susulin ya?? Jarang-jarang kamu makan di cafe! Kan lumayan kalau aku dapet gratisan di sana!"
"Hmmm," jawab Syuja singkat lalu memutus sambungan.
Aku hanya bisa menggeleng pelan lihat kelakuannya. Luthfi jelas akan mengomel panjang lebar sekarang, karena itu yang biasanya dia lakukan kalau Syuja mengakhiri percakapan begitu saja.
"Mereka mau ke sini??" tanyaku penasaran.
"Iya. Ayo makan!" ajaknya.
Setelah hampir 15 menit, aku melihat sosok Bintang dan Luthfi berboncengan.
Luthfi duduk di belakang, seperti yang dia lakukan jaman sekolah. Jarang sekali dia bawa motor sendiri. Kalau kebetulan Syuja menyuruh Bintang buat mengantar Farah pulang, Luthfi akan cari tebengan lain. Dan dia bisa dengan random sekaligus cueknya minta tebengan ke siswa yang bahkan bukan teman mainnya, asal searah.
"Kok mereka naik motor?" tanyaku heran, Syuja menoleh ke jendela, mengikuti arah pandanganku.
"Jauh kalau jalan."
"Tapi tadi kamu jalan??"
"Kan kamu yang nyuruh jalan, lupa?"
"Kenapa nggak ngomong kalau jauh??"
Dia diam dan tersenyum tipis.
Aku tahu, kalaupun dia bilang tadi, aku pasti tak peduli dan tetap menyuruhnya jalan.
"Siang Bin, Fi!" tiba-tiba terdengar sapaan dari orang-orang yang menyapa Syuja tadi.
"Siang, lanjut aja," kata Luthfi sambil matanya mencari-cari.
Begitu mata kami bertemu, dia melotot tak percaya.
"YAYANG??!!!" serunya lalu mempercepat langkah, Bintang yang berdiri di sebelahnya juga terlihat sama terkejutnya dan mengikuti Luthfi dari belakang.
Orang-orang di dalam cafe kembali memperhatikan meja kami, lebih tepatnya aku.
"SUMPAH!!! NGGAK SALAH LIHAT KAN MATAKU???"
Aku berdiri untuk menyambut mereka dengan senyum terkembang.
"MAKIN CANTIK SI YAYANG!! PANTESAN ADA YANG KANGENNYA MEMBARA TIAP HARI SEPULANG DARI JOGJA!!!!"
Aku melirik Syuja sekilas, dia mengalihkan pandangan keluar jendela sambil mengunyah makanannya.
Dasar cowok sok cool!
Luthfi dan Bintang menjabat tanganku bergantian.
"Apa kabar, Yang?" tanya Bintang kalem.
"Alhamdulillah baik, kalian apa kabar?"
"Kabar baik, apalagi setelah lihat kamu!! Langsung sehat lahir batin!!" jawab Luthfi antusias, membuatku tersenyum geli.
"Duduk," tawarku pada mereka.
Syuja tiba-tiba berdiri.
"Duduk sana," perintahnya pada Luthfi yang baru akan duduk di sampingku.
"Dih, takut amat Yayang kujejerin!! Nggak bakal dia tiba-tiba naksir aku cuma karena aku jejerin!!" sungutnya sambil menuruti kata Syuja.
Syuja berjalan pergi, kulihat dia menuju wastafel.
"Katanya nggak pulang??" tanya Luthfi setelah duduk.
Aku hanya merespon dengan tersenyum.
"Udah ada yang tensinya naik pas kamu bilang nggak akan pulang liburan! Tapi kutunggu-tunggu nggak stroke juga dia!!"
Bintang refleks memukul kepala Luthfi, dan Luthfi cuma bisa mengaduh sambil mengelus kepalanya.
"Kapan datang, Yang?" tanya Bintang yang memang selalu terlihat tenang seperti Syuja.
"Kemarin siang."
"Lah, berarti pas kita teleponan, kamu udah di rumah?" timpal Luthfi.
"Itu lagi di Appetite sama Farah."
"Farah?? Apa kabar dia?? Masih galak???" canda Luthfi, membuatku kembali tersenyum. "Kalau ketemu lagi, bilang sama Farah, dapat salam dari Bintang."
"Sinting!" umpat Bintang masih dengan ekspresi santai.
Luthfi tertawa mendengarnya, "habis, kalau kulihat-lihat kalian cocok."
Bintang kembali memukul bagian belakang kepala Luthfi.
"Awas ya! Kusumpahin kamu jadi beneran sama Farah! Biar diomelin terus kamu tiap hari sama singa betina itu!"
Kali ini Bintang cuma menggeleng malas.
Syuja kembali dan langsung duduk di sampingku. "Dihabisin dulu," kata Syuja melihat sisa makan siang di piringku.
"Ciieeee, yang tekanan darahnya langsung normal tapi detak jantungnya nggak normal!!" ledek Luthfi sambil melihat Syuja.
"Pernah makan piring?" tanya Syuja, Luthfi menatap piring kosong yang ada di depannya
"Oh, jelas nggak pernah dong. Aku bukan kuda lumping. Kamu mau nyoba? Kali belum kenyang."
Aku tersenyum mendengar sekaligus melihat ekspresi Luthfi yang tersenyum jahil pada Syuja.
"Aku pesen makan dulu," kata Bintang sambil berdiri.
"Aku pesenin juga Bin!"
"Males!!"
"Bin!! Pesenin aku juga dong!! Apapun pilihanmu aku pasti cocok kok!!!" seru Luthfi. "Beib!!" tambahnya karena tak dipedulikan Bintang.
"Pesen sendiri sana!" perintah Syuja pada Luthfi yang masih duduk menatap kepergian Bintang.
Sontak Luthfi memasang wajah cemberut. "Tahu deh yang lagi yangyangan!!" gerutunya sambil berdiri, "jangan aneh-aneh ya, tuh di depan sana ada pos polisi!"
Melihat tatapan Syuja, Luthfi tiba-tiba nyengir lalu langsung menyusul Bintang.
"Mereka nggak berubah," ujarku sembari menatap sosok Luthfi.
"Yang satu berubah."
"Siapa??"
"Luthfi, tambah berisik."
Aku tertawa mendengarnya lalu melanjutkan makanku yang tinggal sedikit.
"Mereka satu jurusan sama kamu kan?" tanyaku sambil menatap ke arah meja yang dikelilingi mahasiswa berjaket biru.
"Hmmm."
"Mereka pake jaket itu, kok kalian bertiga enggak??"
"Mereka panitia acara."
Aku menganggukkan kepala lalu menyuapkan sendokan terakhir makan siangku.
"Nanti langsung pulang, ya?" pinta Syuja.
Aku menoleh padanya dengan sorot bertanya.
"Nanti malam aku ke rumah."
"Bukannya kamu mau lihat sekalian bantuin acara musik nanti malam?" tanyaku makin heran.
"Ditinggal bentar nggak apa-apa."
Kali ini aku diam menatapnya. Tanpa aku duga Syuja tersenyum melihatku, senyum yang selalu sanggup merobohkan setiap mili sel-sel kemarahanku.
"Aku bikin dosa apa semalam sampai harus lihat orang pacaran di depan mata!!" gerutu Luthfi yang ternyata sudah berdiri di dekat meja kami.
Aku mengalihkan pandangan padanya dan tersenyum. Luthfi duduk dengan wajah bersungut-sungut. Sedangkan Bintang kulihat berhenti di tempat teman-temannya.
"Aku cuci tangan dulu," pamitku lalu berdiri.
Pandangan teman satu jurusan Syuja seperti mengekori pergerakanku.
"Berapa lama Yang liburannya?" tanya Luthfi setelah aku kembali duduk. Bintang juga sudah kembali ke meja kami.
"Sebulan."
"Waah, puas-puasin deh itu kangen! Jangan lupa stok kenangan sebanyak-banyaknya biar nanti kalau udah balik Jogja tinggal dibuka itu stok."
Aku tersenyum mendengar ledekan Luthfi.
"Nanti mau nonton musik juga?" tanya Bintang.
"Nggak dibolehin."
"Kenapa?" tanya Bintang heran, dia menatap Syuja sekilas.
Aku mengedikkan bahu.
Pesanan mereka akhirnya datang, tanpa menunggu lama keduanya langsung menyantap makan siang mereka.
"Kenapa sih Ja? Kan seru kalau ada Yayang!" protes Luthfi sambil mulutnya mengunyah makanan.
Aku menganggukkan kepala, setuju dengan ucapan Luthfi.
"Boleh ya??" pintaku sambil menatap Syuja, dia tetap diam.
"Kan sekalian lanjut kangen-kangenannya Ja sama si Yayang! Masak kamu aja??? Aku kan juga mau kangen-kangenan sama Yayang!!"
"Masih ada besok-besok." jawab Syuja kalem.
"Di--EH KAMPRET!!!" Seru Luthfi tiba-tiba.
Kami pun sama kagetnya karena seseorang mengetuk jendela tepat di samping Luthfi.
Seorang cowok, dengan alis tebal dan rapi, terlihat sumringah melihat Luthfi, Bintang dan Syuja. Dia sempat tersenyum canggung padaku.
Kulihat, setelah mengetuk jendela dia berjalan menuju pintu masuk cafe.
"Dari mana dia?" tanya Bintang.
"Mana kutahu, aku bukan asisten pribadinya!"
"Katanya kalian pacaran?" Ekspresi Bintang datar, tapi aku tahu dia bercanda.
"Cemburu??" tanya Luthfi sambil mengedipkan sebelah mata pada Bintang.
"Amit-amit!!"
Terdengar sapaan dari teman seangkatan mereka ketika sosok yang tadi kulihat berjalan masuk. Tingkahnya sedikit mirip Luthfi, cengengesan.
"Ngumpul nggak bilang-bilang!" sapanya ketika sudah berdiri di dekat meja kami.
"Dari mana, Gam?" tanya Bintang ke cowok yang berdiri di sampingnya.
"Ngopi--"
"Ngopi?? Di mana?? Kok nggak ajak-ajak?? Kamu ngopinya ngutang ya??" serang Luthfi bertubi-tubi.
"Nih ngopi!!" sahut cowok itu sambil memukulkan sebuah buku ke kepala Luthfi.
Luthfi sempat meraih buku itu dan mengamati sampulnya. "Ini sih fotokopi bukan ngopi, dasar jepitan jemuran!!!"
"Makanya orang ngomong didengerin dulu, ganjelan pintu!!" balas cowok yang masih berdiri itu pada Luthfi.
"Berisik kayak blender!!" sahut Luthfi tak terima.
"Diem gilingan kopi!!"
Aku tersenyum mendengar mereka berdebat. Setelah sekian lama, aku baru melihat lagi ada yang bisa meladeni debatan Luthfi selain Bintang.
"Sudah makan, Gam?" tanya Syuja.
Cowok yang ditanya Syuja menggeleng sambil menyeruput minuman Bintang, sementara yang punya minuman cuma menatapnya datar.
"Iiisshh, giliran Gama aja ditanyain, aku sama Bintang nggak ditanyain!!"
"Syuja tahu, mana orang baik dan mana orang-orangan sawah!!"
"Bin, kita dibilang orang-orangan sawah!!! Ngajak rame ini remahan kapur barus!!!"
"Kalian lama-lama kujodohin kalau ribut mulu!" sahut Bintang acuh.
"Najissss!!!" seru Luthfi tak terima. Mukanya kelihatan sebal, tapi aku tahu dia bercanda.
"Idiiih, emang eyke cowok apaan!!!" timpal Gama dengan nada dibuat kecewek-cewekan. Sekali lagi aku tersenyum melihat interaksi mereka.
"Pesen makan sana!" perintah Syuja.
"Dibayarin nih??" tanya cowok yang dipanggil Gama oleh Luthfi tadi.
"Ja, punyaku juga dibayarin kalau gitu!"
"Berisik," kata Syuja sembari mengambil gelas minumannya.
"Dasar cowok, ada yang baru yang lama dilupain!" gerutu Luthfi dengan wajah cemberut.
"Nggak usah, aku lagi buru-buru," tolak Gama kemudian.
"Mau ke mana?" tanya Syuja tak peduli pada dumelan Luthfi.
"Tadi ditelepon Bang Ranu, katanya ditunggu di dalam."
"Ada apa?" Kali ini Bintang yang bertanya.
"Mana aku tahu, tadi cuma dibilang suruh nemuin dia kalau urusanku sudah selesai."
"Kenalin ... dia Gama," kata Syuja tiba-tiba sambil menatapku.
Karena terkejut, aku balas menatapnya selama beberapa saat lalu beralih ke Gama dan mengulurkan tangan.
"Kahiyang."
"Gama." Dia membalas uluran tanganku.
"Oh ya, tadi aku lihat anak-anak udah banyak yang datang," ujar Gama setelah melepas jabatan tangan singkat kami. Sikapnya jelas berbeda dengan Dika yang mencari kesempatan untuk bicara denganku.
"Jam berapa kok udah pada datang?" tanya Luthfi, Bintang melihat jam tangannya.
"Udah mau jam dua."
"Minumnya udah belum?" tanya Syuja padaku.
Aku melihat gelas di hadapanku yang isinya tinggal sedikit. "Udah."
"Kuantar ke halte."
"Loh, Yayang nggak lihat pertandingan??" tanya Luthfi.
Bintang dan Gama menatap Syuja heran.
"Enggak."
"Kenapa?? Kan lumayan jadi suporter spesial nanti!!"
"Ayo," ajak Syuja tanpa menjawab Luthfi.
Dia sudah berdiri dan memakai jaket lalu ranselnya. Tanpa menungguku, dia berjalan ke arah kasir.
"Serius kamu nggak nonton pertandingan kami, Yang?" tanya Luthfi masih terlihat penasaran.
Aku cuma bisa mengangguk.
"Kenapa? Ada acara??"
"Nggak dibolehin," jawabku seraya mengambil tas dan memasukkan ponsel.
"Masak dia nggak mau ditonton ceweknya sih?? Kan lumayan buat penyemangat!!" gerutu Luthfi.
"Ai'," panggil Syuja yang berdiri di dekat kasir.
Aku mengerucutkan bibir dan menatap Luthfi.
"Sabar ya, Yang ... pacarmu itu kadang suka abnormal pikirannya. Do'ain aja semoga segera kembali ke jalan yang lurus. Kalau nggak, nanti kita rukyah samai-ramai!!" kata Luthfi, membuatku tersenyum mendengarnya.
"Pergi dulu. Kapan-kapan ngobrol lagi," pamitku pada Luthfi, Bintang dan Gama. Ketiganya tersenyum mengiyakan.
Setelah itu aku berdiri dan meninggalkan mereka.
"Udah dibayar?" tanyaku ketika sudah di dekat Syuja. Dia mengangguk, lalu berjalan mendahuluiku. Menghela nafas pelan, aku mengikutinya di belakang.
Teman-temannya kembali menyapa saat kami melewati mereka, dan dia hanya menggumamkan 'hmmm' tanpa menghentikan langkah.
Kami berjalan ke arah halte yang letaknya tak begitu jauh dari cafe.
Dia masih seperti dulu, meski sedang bersamaku dia akan jalan selangkah di depanku.
Nggak boleh nonton pertandingan, nggak boleh nonton acara musik ... jalan juga kayak orang nggak kenal.
Aku menghela nafas kesal.
Begitu sampai di halte yang lumayan sepi, Syuja duduk di bangku sisi kiri yang kosong, aku memilih duduk agak jauh darinya.
Sekalian biar memang kayak orang nggak kenal!
Aku mengacuhkan tatapan Syuja.
Selama hampir 5 menit, aku memilih diam. Aku juga sama sekali tak memperhatikannya, pandanganku tertuju ke arah yang berlawanan dengan keberadaannya.
"Marah kenapa lagi?" tanyanya yang tiba-tiba sudah geser di sampingku.
Aku hanya meliriknya sekilas tanpa menjawab, tatapanku beralih ke ujung sepatuku.
"Kalau mau nonton basket, nanti nggak ada yang nemenin selama aku main. Kalau mau nonton musik, nggak ada yang nemenin juga karena aku, Luthfi sama Bintang harus keliling."
"Aku bisa jaga diri kok," sungutku.
Syuja diam, aku tahu dia sedang menatapku meskipun aku sendiri masih menatap ujung sepatuku.
"Kamu mau ketemu yang modelnya kayak Dika tadi?"
Aku diam tak menjawab.
"Aku tahu betul gimana kelakuan cowok-cowok di sini. Sebagian besar b******k kayak Dika."
"Tapi yang kayak Gama tadi juga ada," sahutku cepat, tapi kali ini aku melihatnya.
Dia menarik nafas dan menghembuskannya. "Iya, tapi sedikit."
"Kan aku bisa ditemani Gama."
"Kenapa Gama?"
"Tadi kamu nggak nyebut nama dia waktu bilang harus keliling pas acara musik nanti," jawabku, "lagian kamu yang ngenalin aku duluan tadi sama Gama?? Sementara sama Dika kamu nggak mau ngenalin aku," tambahku seolah mendapat satu celah.
"Karena Gama beda sama Dika."
"Nah, berarti Gama cowok baik, aman kalau aku sama dia kan??"
Syuja menyandarkan punggung dengan tatapan lurus ke depan.
"Lagian sebenernya marahku bukan cuma karena nggak dibolehin nonton basket atau musik kok," sungutku kesal.
Syuja langsung menoleh padaku. "Apalagi?"
"Tadi ... "
Aku ragu antara mengatakannya atau tidak.
"Apa?"
Aku diam. Makin ragu untuk bicara karena pasti akan terdengar kekanakan.
"Ada apa tadi?" tanyanya sembari menegakkan badan.
Aku diam sambil mengerjap. "Sudah, lupain," kataku menyerah.
"Tadi kenapa?"
"Udah nggak usah dibahas," tolakku sambil mengalihkan pandangan ke ujung sepatuku lagi.
"Ai'," panggilnya tenang.
Aku memilih diam.
Ekor mataku menangkap Syuja bergerak menyandarkan punggungnya lagi.
Lalu tiba-tiba tanpa kuduga, Syuja meraih tangan kiriku dan menggenggamnya. Jantungku rasanya seperti terkena efek kejut dari alat pemicu detak jantung.
Aku menoleh dan menatapnya bingung.
"Karena ini?" tanyanya mengeratkan genggaman sembari menatapku yang mendadak bisu. “Marah karena tadi nggak kugandeng?"
Bisa kulihat ada sorot jahil di matanya.
Aku melengos karena kesal bercampur deg-degan karena senang sekarang.
"Nanti malam kujemput," ucap Syuja tiba-tiba.
Sekali lagi aku menoleh karena terkejut."Mau ke mana??" tanyaku bingung.
"Katanya mau nonton acara musik?"
"Boleh??"
Tanpa kuduga dia mengangguk.
See, Syuja masih sulit ditebak.
"Serius??"
Sekali lagi dia mengangguk. "Tapi ada syaratnya."
"Apa???" tanyaku cepat.
"Kalau nggak ada aku, Bintang atau Luthfi, cuma Gama yang boleh ada di dekatmu, paham?!"
Aku menganggukkan kepala dan tersenyum senang, sama sekali tak keberatan dengan syaratnya.
Sementara Syuja menghela nafas panjang, dengan sorot tertuju ke lalu lalang kendaraan di depan kami.
"Aku kangen," gumamnya pelan sembari mengeratkan genggaman tangannya.
***