Chapter 6

1148 Kata
"Hilya?" Adlan mengerutkan keningnya saat melihat Hilya berjalan terpincang-pincang saat memasuki gerbang sekolah. "Kaki lo kenapa?" tanya cowok berambut cepak itu sambil meneliti kaki Hilya dengan seksama.             Senyum Hilya yang memang tidak pudar dari kejadian kemarin, semakin merekah membuat Adlan mengerutkan keningnya. Hilya sama sekali tidak terlihat seperti orang sakit, orang sakit mana ada senyum-senyum begitu. Oh tidak, Adlan melupakan satu hal, Hilya memang selalu tersenyum.             "Lya?" panggil Adlan sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Hilya.             "Eh? Nggak papa kok," ucap Hilya seakan baru saja mendapatkan kesadarannya kembali.             Kerutan tercetak di antara kedua alis tebal kembaran Adlen itu. "Nggak papa kok kaki lo bisa sampai pincang gitu?" tanya Adlan sambil menunjuk kaki Hilya dengan dagunya.             Hilya menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, gadis itu bingung harus menjawab apa karena tidak mungkin Hilya menceritakan yang sebenarnya, Davren tidak akan suka dengan hal itu.             "Yaudah, gue anter ke UKS!" Adlan langsung menggenggam pergelangan tangan Hilya, berniat membawa gadis itu menuju UKS.             Hilya memekik pelan saat tubuhnya hampir saja kehilangan keseimbangan karena ulah Adlan yang tiba-tiba itu. Namun, untunglah Adlan dengan sigap pula menahan tubuh Hilya dengan cara memeluknya, gadis itu pun secara refleks melingkarkan tangannya di leher Adlan.             Jantung Hilya berdetak tidak normal saat antara tubuhnya dan Adlan tidak ada jarak sama sekali sampai-sampai Hilya juga dapat merasakan detak jantung Adlan yang seirama dengannya.             Hilya mendongakan kepalanya, menatap Adlan yang juga menatapnya. Untuk sesaat mereka berdua sama-sama terlena oleh sorot mata yang berbeda, sampai akhirnya sudut mata Hilya tidak sengaja menangkap sosok yang menjadi alasan senyumnya tidak luntur dari kemarin.             "Davren," gumam gadis itu pelan yang hanya dapat didengar oleh Adlan. Namun, Adlan tidak mau repot-repot melepaskan pelukannya pada Peri cantik Almo itu.             Sekarang tatapan Hilya terfokus pada Davren yang berada beberapa meter dari mereka, mengikuti nalurinya, Hilya mendorong Adlan menjauh.             "Dav—" Hilya tidak melanjutkan memanggil Davren saat cowok itu sudah melangkah pergi tanpa berkata apa pun, tanpa menunjukan emosinya sedikit pun. Hati kecil Hilya berharap Davren datang dan memarahinya karena begitu dekat dengan cowok lain, apalagi cowok itu adalah sahabat Davren sendiri.             Tapi itu hanyalah sebuah harapan karena harusnya Hilya sadar, meskipun kemarin Davren membantunya bukan berarti cowok itu akan merubah sikapnya pada Hilya. Hilya yakin, jika cewek lain yang ada di posisinya kemarin, Davren pasti juga akan membantunya, Hilya saja yang terlalu besar kepala.             Kembali terlena dengan ilusi yang ia ciptakan sendiri. Ini bukan salah Davren.             "Sorry, lo nggak papa, 'kan?" tanya Adlan sembari menyentuh pundak Hilya. Manik mata hitam pekat cowok itu menatap lekat ke arah Hilya yang kehilangan fokusnya.             Adlan menyentuh pipi Hilya. "Lya, lo nggak papa, 'kan?"             Hilya tersentak, mundur selangkah  menjauh. "I-iya gue nggak papa. Gu-gue duluan, ya?" Tanpa menunggu jawaban dari Adlan lagi, Hilya sudah melangkah menjauh, secepat yang ia bisa meskipun tertatih.             Baru saja Hilya memasuki kelasnya, pekikan Feni langsung terdengar bersahutan dengan Lila.             "ASTAGA KAKI LO KENAPA, LYA?!"             "PASTI GARA-GARA SI TRIPLEK DAVREN!"             Perhatian seisi kelas langsung tertuju pada Hilya yang berdiri di ambang pintu dengan tangan yang berpegangan pada sisi pintu.             "Hilya, kenapa?"             "Ya ampun, Dedek Hilya kenapa?"             "Sweety Hilya, GWS ya."             "Pasti gara-gara si Davren deh tuh."              "Tapi masa sih Davren sampe main fisik gitu."             "Hilya kecelakaan, ya?"             Hilya menggaruk kepalanya yang tidak gatal saat teman-temannya saling bersahutan bertanya padanya.             "Thanks ya, guys. Gue nggak papa kok," sahut Hilya dengan senyuman manisnya membuat senyuman itu menular pada kaum adam yang berada di kelas Hilya, kapan lagi mereka dapat sarapan senyuman manis si peri cantik.             Gadis itu melangkah ke arah tempat duduknya, siap menerima cerocosan kedua sahabatnya yang pastinya sedetik lagi akan menyerbunya dengan segala pertanyaan tentang apa atau siapa yang membuat kaki Hilya menjadi seperti ini.             Di luar dugaan Hilya, kedua sahabatnya itu justru hanya diam sambil menatap tajam. Seakan berbicara lewat tatapan, 'cerita atau mampus'.             "Oke." Hilya menghela napasnya, melepaskan tas punggungnya, lalu kembali fokus pada kedua sahabatnya itu.             "Kemarin Davren—" Baru dua kata. Namun, Lila sudah menggebrak meja bak seorang preman yang siap memalak pedagang di emperan jalan.             "JADI DAVREN YANG NGEBUAT LO JADI GINI? WAH KURANG DIINJAK TUH COWOK, UDAH BERANI MAIN TANGAN TERNYATA!" Bentakan penuh emosi dari Lila berhasil menarik perhatian seisi kelas menjadi tertuju pada tiga sahabat itu. Mereka tahu betul jika seorang Lila sudah murka maka habislah orang yang membuatnya murka itu.             Sedikit cerita, Hilya pernah dibully Kakak kelasnya karena katanya merebut pacar cewek itu dan kalian tahu, tanpa rasa takut sedikit pun Lila menjambak rambut Kakak kelas tersebut ditemani Feni yang menyerang dengan celotehannya.             "Gue temenin, Lil." Feni sudah bangkit dari duduknya, siap menemani temannya yang pandai bela diri itu untuk menyerang si prince ice sekolah.             "Kuy!" Tanpa mendengar penjelasan Hilya terlebih dahulu, kedua sahabatnya itu sudah melangkah dan hilang di balik pintu kelas.             "Lila! Feni!" teriak Hilya yang tentunya tidak didengarkan oleh dua cewek pembela Hilya itu.             Dengan tergopoh-gopoh Hilya menyusul kedua sahabatnya itu sambil berteriak memanggil namanya, perhatian orang-orang yang berkeliaran di koridor sekolah terfokus pada Hilya.             "Lya, kaki lo kenapa?" Langkah Hilya terhenti saat Reno menghalangi jalannya, kedua tangan Kakak kelasnya itu sudah berada di atas bahu Hilya.             "Nggak papa, Kak. Aku duluan, ya."             "Lya, kenapa lo menjauh?" Reno menahan tangan Hilya saat gadis yang tidak bisa ditaklukannya itu ingin kembali melangkah.             Hilya menatap Reno, lalu kedua sahabatnya yang sudah memasuki kelas Davren. Masalahnya akan sangat panjang nantinya.             "Kak, please." Hilya mencoba menarik tangannya dari genggaman Reno. Namun, cowok itu malah mengeratkannya seperti mencengkram.             "Ikut gue!" Sudah tidak ada lagi Reno yang lembut, cowok itu menarik paksa Hilya membuat hampir saja gadis berbulu mata lentik itu terjatuh ke depan.             "Kak, lepasin, sakit." Hilya mencoba menarik tangannya dari cengkraman Reno yang semakin mengerat saja.             Hilya menatap orang-orang yang ada di koridor, berharap ada di antara mereka yang mampu menolongnya dari Reno yang mulai memperlihatkan sifat aslinya. Namun, mereka juga takut pada Reno, mereka tahu bagaimana rekor keburukan Reno si bad boy.             Reno melepaskan cengkramannya saat mereka sudah berada di belakang gedung perpustakaan sekolah, jangan lupakan cowok itu mendorong tubuh Hilya hingga punggung gadis itu membentur dinding gedung perpustakaan dengan cukup keras.             "Kak?" Hilya menatap Reno tidak percaya.             Reno berdecih, menatap Hilya dengan rendah. "Lo pikir lo cantik, hah?! Nggak ada cewek yang bisa nolak gue!" Sorot matanya memancarkan amarah karena penolakan Hilya, tadi malam ia dibully teman-temannya di club.             Seakan iblis tak memiliki hati, Reno mencengkram dagu Hilya. "Bener kata Davren, lo itu cewek munafik!"             Hilya mencoba melepaskan cengkraman tangan Reno yang seakan ingin meremukan bagian bawah kepalanya. Namun, yang membuat Reno lebih mencengkram lagi adalah karena gadis di hadapannya ini bukannya menangis, justru menatapnya datar.             "Gua bakalan buat lo ngemis-ngemis di kaki gua!" Percaya atau tidak, Hilya pernah mendapat perlakuan lebih kasar daripada ini dan apa kata Reno tadi, mengemis di kakinya? Hilya pun sudah pernah mengemis di kaki seseorang.             "Lepas!" Reno cukup terkejut, suara lembut gadis itu berubah menjadi datar tak bernada. Reno pikir, si peri cantik sekolah ini akan memohon minta dilepaskan.             "Lepasin!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN