- 5 -

2124 Kata
   "Haii Karin.." lelaki itu melambaikan tangannya, sambil tersenyum tak jelas pada Karin.    "Huhh.. Kenapa ini orang lagi sih?" Karin mendengusan nafas sebal, batinnya menggerutu ketika melihat lelaki tinggi kurus ini berada di hadapannya.    "Siapa sih, Rin?" Kiran bertanya, karena belum melihat siapa yang datang itu.    "Temen lo!" sentak Karin jutek, Karin langsung berjalan meninggalkan ruang tamunya itu.    Rizky yang sedari tadi di pintu akhirnya memasuki apartemen Kiran. Semua langsung tertawa melihat kedatangan Rizky. Pantas saja Karin jadi sewot.    "Lo ngapain kesini, Ky?" Arbis menatap Rizky bingung yang tiba-tiba datang. Padahal kan malam ini acara Klover untuk semalaman begadang, tapi kok ada Rizky?    "Gue di suruh Ilham." jawab Rizky dengan wajah polosnya.    "Bisa aja nih sih Ilham!" Kiran terkekeh mendengar penjelasan Rizky.    Akhirnya, khusus malam ini. Acara mereka tak hanya berempat, namun di tambah Rizky. Dan juga rencana Ilham dan Arbis tak berhenti sampai situ. Sebisa mungkin mereka menyuruh Karin untuk keluar dan bergabung bersama mereka. Mau tak mau Ilham yang tadinya tertidur harus bangun. ***    Ilham menyemprotkan parfumnya pada pakian yang telah melekat di tubuhnya. Matanya menatap lekat pada cermin yang memantulkan bayangan dirinya. Ia tersenyum sekilas, melihat wajah tampannya.    Disisirnya rambut berwarna hitam itu. Setelah ia melihat bayangan dirinya di cermin itu sudah terlihat rapi, Ilham langsung berjalan menuju rak sepatunya. Ilham mengambil sepatu berwarna coklat dengan tali berwarna putih. Cukup keren penampilannya sore ini.    "Minggu ini sama Dewi dan Sinta doang. Oke masboy, kita berangkat." Ilham mengambil sebuah topi berwarna hitam dengan tulisan BOY.    Dengan pasti ia melangkah keluar dari kamarnya. Melewati ruangan demi ruangan yang berada di rumahnya yang cukup mewah ini. Di ruang keluarga terlihat seorang wanita paruh baya sedang menyaksikan acara tv. Ilham menghampirinya sejenak.    "Ma, Ilham main dulu yaa.." Ilham berpamitan pada Mamanya, tangannya menyalami tangan Mamanya.    "Jangan pulang malem-malem yaa.." Mama Ilham tersenyum, sambil mengangguk. Menatap sang anak yang sudah berpenampilan rapi sekali itu.    Ilham pun keluar dari rumahnya, berjalan menuju garasi yang berada di pekarangan depan rumahnya. Ilham mengambil mobil jazz silver-nya itu. ***    Hampir semua pakaian yang berada di lemari berbahan dasar kayu jati itu, telah di keluarkannya. Satu-persatu pakaian yang di milikinya telah di cobanya, namun rasa tak puas selalu menghampirinya. Sayna kembali dan kembali mengacak lemari yang berada di kamarnya itu.    Kini tinggal tersisa satu baju yang tergantung di lemari kamarnya. Sayna berharap baju itu cocok untuk dikenakannya malam ini. Ia sungguh ingin terlihat cantik malam ini, di hadapan lelaki yang amat di cintainya itu. 2 Tahun Sayna tak bertemu dengannya, Sayna berharap ini akan memberi kesan pada lelaki itu.    "Huaa.. ini lumayan cocok akhirnya." Sayna tersenyum begitu riang ketika melihat bayangannya di cermin mengenakan dress itu. Dress dengan baju bagian atas berwarna kolaborasi orange, merah, dan kuning. Serta menyambung dengan rok yang panjangnya di atas lutut. Dress itu bukan bertali satu, hanya saja tanpa lengan. Di lehernya ia mengikatkan aksesoris seperti tali yang berpasangan dengan bajunya itu.    "Masih setengah 6 loh, sedangkan acaranya jam 8. Tapi gue udah ribet begini. Aaaa... ini bener-bener hari yang gue tunggu-tunggu. Gue kangen banget sama elo Muhamad Eza Anugrah." Sayna berjalan mundur, lalu merebahkan tubuhnya asal di atas kasurnya yang empuk itu.    Sayna menatap langit-langit kamarnya. Segurat senyuman muncul di bibir indahnya. Ia terus tersenyun sendiri, memikrkan tentang lelaki yang menjadi teman masa SMP nya itu. ***    Dengan perasaan bahagianya Sayna keluar dari dalam mobilnya. Sebuah caffe dengan desain anterior modern telah berada di hadapannya. Khusus malam ini caffe itu telah di pesan untuk acara reunian SMP nya.    Cahaya gemerlap lampu sudah terlihat dari luar. Sungguh! Sayna sudah tak sabar bertemu dengannya. Kira-kira seperti apa dia malam ini? Sayna bersumpah pada dirinya sendiri. Malam ini ia tak akan menyia-nyiakannya. Sayna harus bisa memanfaatkan waktu yang singkat itu untuk bisa mengobrol atau berbasa-basi dengannya. Meski ia tau, pasti jantungnya tak akan tinggal diam. Detak jantungnya akan langsung meningkat saat dekat dengan Eza.    "Eza!!" tanpa berlama-lama, mata Sayna langsung menangkap sosok Eza sedang mengobrol dengan teman SMP nya yang lain. Sayna langsung memanggilnya, tak perlu lagi ada rasa takut. Rasa itu hanya akan menyiksa batinnya, karena ketakutan akan Eza yang nantinya tau perasaannya, Sayna semasa SMP jarang dekat dengan Eza. Kini! Malam ini Sayna akan memperbaiki sikapnya. Ia ingin membuang jauh-jauh kemunafikannya, Sayna mencintai Eza! Jadi, apa yang di permasalahkan? Urusan Eza cinta atau tidak pada Sayna itu hak Eza. Yang penting Sayna gak mendem perasaannya terus, nanti bisulan ehh jerawatan.    "Elo..." Eza tampak bingung melihat Sayna yang baru datang. Eza tampak mengingat-ingat wajah Sayna.    "Lupa sama gue? Oke, fine!" Sayna terlihat seperti ngambek. Bibirnya sedikit di majukan. Kedua tangannga di tekuk di depan d**a.    "Haha enggak kok, elo Sayna Putri Afika kan? Yang hape nya sering disita sama Pak Marno." Eza tersenyum jail menatap Sayna. Ya ampun! Sungguh, bagi Sayna ini adalah malam terindah. Setelah sekian lama ia tak melihat sosok lelaki ini, kini dia! Eza, sedang tersenyum di hadapannya. Dan kali ini nyata! Bukan mimpi belaka.    Sayna terpaku melihat Eza yang tersenyum menggodanya. Senyuman itu tampak begitu manis di mata Sayna. "Ehh.. Ahh.. elo ingetnya yang jelek." Sayna gelagapan menjawabnya. Ia masih terpesona akan senyuman Eza. ***    "Ka, kenapa jadinya malem ini sih jalannya?" Kiran mengaduk-aduk dengan malas gelas yang berisikan jus alpukat miliknya.    "Kan tadinya Kakak mau main bola hari ini, tapi di undur besok. Yaudah, jadi jalannya hari ini." Dimas menatap wajah Kiran yang berada di hadapannya. Wajah cantik Kiran terlihat jelas di pandangannya.    "Ohh, berarti semuanya tergantung sama bola. Emang pentingan gue apa bola?" Kiran menatap Dimas menantang, matanya bertanya tentang kejujuran dari mata Dimas. Meski sesungguhnya Kiran pun tidak benar-benar mencintai Dimas.    "Dua-dua nya penting." jawab Dimas yakin. Dimas tersenyum manis pada Kiran. Berusaha meyakinkan Kiran atas jawabannya yang tak memihak apapun.    "Gak bisa gitu dong. Kalo di suruh milih, pilih gue atau bola?" Kiran kembali bertanya pada Dimas.    "Tergantung." Dimas tersenyum misterius. Kiran semakin penasaran dengan tingkah Dimas ini.    "Tergantung gimana?"    "Tergantung, elo nya milih gue apa enggak?" suara Dimas terdengar mencari kebenaran dari dalam diri Kiran. Jujur! Dimas sudah sering menunjukan rasa sukanya pada Kiran. Hanya saja Dimas belum menyatakan cintanya. Karena Dimas masih ragu pada Kiran yang tidak jelas pikirannya ini.    "Kalo gue di bandingin sama bola, gue juga males milih elo nya." ucap Kiran.    "Ck! Ngeles nya pinter, bilang aja karena cadangan yang laen masih banyak. Iya kan?" Dimas terkekeh sinis, membuka aib Kiran.    "Haha, kok lo tau sih, Kak?" Kiran tertawa dengan sedikit malu, karena Dimas yang ternyata tau kartu nya.    "Apasih yang gak gue tau tentang lo.." senyuman Dimas terlihat begitu tulus. Setulus cintanya, meski Dimas tau Kiran sebenarnya cuma main-main. Dimas tau semuanya! Tentang perilaku Kiran yang hobi banget ngasih harapan ke orang, tapi akhirnya malah nyakitin. Tapi mau gimana lagi? Dimas udah terlanjur cinta sama Kiran.    "Kak, gue ke toilet dulu yaa.." Kiran berdiri dari duduknya.    Kiran pun berjalan mencari toilet di caffe yang cukup ramai ini. ***    Karin berjalan menghampiri pintu apartemennya, ketika ia mendengar ada yang mengetuk pintu tersebut. Di bukanya pintu apartemen yang cukup mewah itu.    Karin mendenguskan nafas sebal, saat melihat seorang lelaki berdiri di hadapannya. Tubuh cungkring nya yang di balut sebuah kaos berwarna putih, dengan gambar 2 jari bertanda "Angkat Damai". Kali ini bukan Rizky.    "Kiran mana?" tanpa basa-basi, Arbis langsung bertanya tentang sahabatnya itu.    "Jalan sama Dimas katanya."    "Lah? Katanya hari minggu. Gue sendirian dong?" Arbis menatap Karin tak percaya. Karena kemarin ia mendengar Kiran akan jalan hari minggu.    "Mana gue tau. DL!" jawab Karin santai.    Arbis tak menjawab. Ia langsung menyerobot masuk, melewati tubuh Karin yang menghalangi jalannya. Tak peduli akan tatapan sinis Karin, Arbis kini malah sedang duduk santai di atas sofa empuk yang berada di ruang tamu tersebut.    "Terus lo ngapain? Kiran nya gak ada? Kenapa gak pulang?" Karin menutup pintunya, lalu berjalan menuju sofa nya, terduduk di sebelah Arbis.    "Kan ada elo."    "Gue mau tidur!" sentak Karin jutek. Berusaha agar Arbis cepat pulang dari tempatnya.    "Yaelah, malem minggu ini Karin. Masa mau tidur?"    "Seenggaknya lebih baik, dari pada elo! Yang gak punya pacar jadi luntang lantung gak jelas!" dengan sinisnya perkataan Karin terdengar menusuk Arbis. Namun Arbis sudah mengerti bagaimana Karin, yang bicaranya memang jutek. "Lagi gue liat-liat, kok dari para Bandit itu..."    "Klover, Karin!" Arbis membenarkan omongan Karin yang memang sengaja mengatakan Klover itu Bandit.    "What ever. Yaa di antara mereka nih kok gue liat elo paling gak laku atau gimana sih? Gak pernah jalan sama cewek, atau deket gitu." entah mengapa, Karin terlihat ingin tau melihat Arbis yang pasalnya memang sangat tidak terdengar kisah cintanya. Tidak seperti Kiran yang kerjaannya php-in orang, Sayna yang naksir berat temen SMPnya, Ilham yang playboy naujubilah. Sedang Arbis? Nothing! ***    Alunan musik di caffe tersebut terdengar indah di telinga para pengunjung. Caffe ini cukup ramai di kunjungi. Kiran sampai sedikit bingung mencari toilet dimana? Padahal ini bukan kali pertama Kiran ke Caffe ini.    Mata Kiran menangkap pada sebuah meja yang tak jauh dari pandangannya. Seorang lelaki duduk berhadapan dengan gadisnya. Mereka menyantap hidangannya dengan di selingi candaan dan gurauan, terlihat sang gadis sedikit bersemu merah saat lelaki itu memujinya.    Otak jail Kiran seakan bekerja ketika melihat pemandangan itu. Kiran mengabaikan niatnya ke toilet, dengan segera ia menghampir meja tersebut.    "Ilham.." tangan Kiran bergelayut manja di leher Ilham. Ilham tersentak kaget merasakan perlakuan yang Kiran lakukan, meski ia belum melihat bahwa itu Kiran.    "Ish, Kiran!" mata Ilham melotot pada Kiran. Namun hatinya sedikit lega, karena ia pikir pacarnya yang lain. Ternyata hanya Kiran.    Mata gadisnya itu kian memanas, menatap lelakiny masih di rangkul seorang wanita yang tidak di kenalnya itu. Sedetik yang lalu ia mendengar pujian tulus terlontar dari mulut Ilham, namun ini. Apa maksdunya?    "Sayang, kok kamu disini sih? Katanya mau nganter Mama kamu.." suara Kiran semakin terdengar manja. Jujur! Kiran sendiri sebenarnya jijik dengan suara seperti itu. Hanya saja ia terlanjur jail.    "Kiran apaan sih? Ngaco deh lo!" Ilham menatap Kiran bingung, saat Kiran berbicara keluar jalur.    "Cukup. Kamu tuh, arghh.." gadis itu berteriak dengan amarahnya. Emosinya membeludak. Brakk.. Di pukulnya dengan kencang meja yang berada di hadapanny, ia pun pergi meninggalkan Ilham dan Kiran.    "Kiraann!! Lo apa-apaan sih?" dengan kesal Ilham melepaskan tangan Kiran yang merangkul di lehernya itu.    "Hahaha.." Kiran tertawa dengan puasnya melihat Ilham yang marah. "Putus satu masih banyak ini, Ham." Kiran nyengir kuda, ia masih geli melihat Ilham yang kesal. Ekspresinya lucu. ***    Arbis menatap Karin tak percaya, ternyata di balik sikap cueknya Karin pun turut memperhatikannya. Tentang kisahnya yang tak di ketahui siapapun itu. Membuatnya enggan terbesit sebuah percintaan lagi. Hatinya sudah terikat, pada satu cinta, satu hati, satu jiwa.   Arbis kembali menatap mata Karin begitu dalam. Entah mengapa, saat Karin mengatakan hal tadi, Arbis seakan lelah memendam semuanya sendirian. Mata Karin memang menjelaskan bahwa ia dapat di percaya. Tapi, apakah ini waktunya Arbis membagi kisahnya pada orang lain?    "Gak usah liatin gue kayak gitu! Lo mau nyari apa di mata gue hah? Kalo mau cerita tinggal cerita, gue dengerin kok." seolah tau apa yang di pikirkan Arbis, Karin berbicara dengan santainya.    "Rin, lo bisa baca pikiran orang yaa?" dengan shock Arbis semakin menatap Karin tak percaya.    "Gak usah ngaco! Dari mata lo kebaca. Gue tau sebenernya lo nyimpen sebuah cinta yang besar. Buat seseorang, dan gak akan lo kasih buat siapapun kecuali orang itu. Iya kan?" Karin kembali menebak tentang kisah Arbis melalui mata Arbis. Karin menatap intens mata Arbis. Kemampuannya ini di dapatkan saat ia belajar ilmu psikolog membaca mata seseorang.    "Elo.. elo tau semuanya?" Arbis semakin tak percaya, ia terkejut saat Karin membuka kisahnya. Tebakannya sama sekali tak terpeleset sedikitpun.    "Gue cuma tau intinya."    Arbis terdiam, kini ia membenarkan posisinya. Tubuh Arbis menghadap televisi yang terdapat di ruang tamu tersebut. Perlahan, Arbis menarik nafas panjang, matanya terpejam. Cukup berat untuknya menceritakan ini semua. Namun Karin sudah terlanjur tau.    "Lo bener. Gue emang punya satu cinta, dan cinta itu udah gue kunci rapat. Gak ada yang bisa membukanya, cuma dia! Dari situ gue udah gak pernah jatuh cinta lagi sama siapapun, cinta gue udah buat dia seorang. Cuma punya dia!" Arbis mulai bercerita. Matanya menerawang pada kisah cintanya yang tak pernah di ketahui siapapun.    "Dia masih hidup?" dengan hati-hati Karin bertanya di sela-sela cerita.    "Masih sehat wal afiat kok. Cuma gue gak tau dia ada dimana, dia bilang dia akan kembali buat gue. Asal gue mau menjaga cinta ini, menanti dia kembali. Bertahan dengan cinta yang di tinggal pergi."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN