- 6 -

2112 Kata
   Arbis terdiam, kini ia membenarkan posisinya. Tubuh Arbis menghadap televisi yang terdapat di ruang tamu tersebut. Perlahan, Arbis menarik nafas panjang, matanya terpejam. Cukup berat untuknya menceritakan ini semua. Namun Karin sudah terlanjur tau.    "Lo bener. Gue emang punya satu cinta, dan cinta itu udah gue kunci rapat. Gak ada yang bisa membukanya, cuma dia! Dari situ gue udah gak pernah jatuh cinta lagi sama siapapun, cinta gue udah buat dia seorang. Cuma punya dia!" Arbis mulai bercerita. Matanya menerawang pada kisah cintanya yang tak pernah di ketahui siapapun.    "Dia masih hidup?" dengan hati-hati Karin bertanya di sela-sela cerita.    "Masih sehat wal afiat kok. Cuma gue gak tau dia ada dimana, dia bilang dia akan kembali buat gue. Asal gue mau menjaga cinta ini, menanti dia kembali. Bertahan dengan cinta yang di tinggal pergi."    Karin terdiam mendengarkan kisah Arbis. Air muka Arbis kini berubah menjadi mellow, wajahnya getir. Karin dapat merasakannya, betapa sakitnya jika harus menanti seseorang yang di cintainya. Meski Karin tak pernah mengalaminya, namun Karin pernah membaca kisah ini di sebuah novel.    "Lo yakin dia akan kembali?" Karin kembali bertanya. Rasanya ia sedikit tertarik dengan kisah Arbis. Karin, yang biasanya tidak mau tau apa-apa, selalu bersikap cuek dan tidak peduli, entah mengapa malam ini Arbis melihat Karin bukan seperti itu. Sesungguhnya Karin begitu peduli dengan sekitar, hanya saja ia terlalu cuek.    "Pasti." desis Arbis yakin.    Pandangan Karin kini beralih pada sebuah jam dinding yang terdapat di ruang tamu itu. Astaga! Jam 11. Karin mulai kalang kabut, ia tampak panik, meski tak seheboh Kiran jika panik. Karin tetap berusaha tenang.    "Ahh s**l! Tuh anak kemanain sih jam segini belom pulang?" Karin menggerutu kesal saat melihat jam dinding tersebut.    Arbis menoleh, bingung. Tiba-tiba saja Karin berbicara sendiri. "Kenapa?" tanya Arbis.    "Kiran belom balik. Kemanain tuh anak udah jam segini." wajahnya masih terlihat tenang, namun hati Karin sesungguhnya gelisah. Kemana adik kembarnya itu? Tak biasanya Kiran jam segini belum pulang.    Karin mengambil hape nya yang terdapat di meja tersebut. Dengan segera Karin menelpon Kiran. Namun nomor Kiran tak dapat di hubungi. Karin pun semakin panik.    "Kiran kemana Arbis?" Arbis yang berada disitu menjadi sasaran Karin. Karin bertanya memaksa pada Arbis yang jelas-jelas tak tau apa-apa.    "Mana gue tau? Gue kan dari tadi disini sama elo!" Arbis mengangkat bahunya. Karena memang ia sama sekali tak tau.    Drrttt.. hape Karin bergetar menandakan ada sms masuk. Dengan segera Karin membukanya. Berharap itu dari Kiran. From: Ilham Mobil gue mogok di jalan, gue sama Kiran. gak ada kendaraan lewat, jemput dong    Setelah membaca pesan singkat itu, Karin langsung berdiri. Ia berjalan tergesa menuju kamarnya, mengambil sebuah sweeter yang tergantung di salah sati cantolan kamarnya. Ia pun bergagas, sambil mengambil kunci mobilnya.    "Lo mau gue kunciin?" Karin menoleh pada Arbis yang bingung melihat Karin menjadi seperti itu. Arbis yang tersadar pun mengikuti Karin keluar, meski ia masih tak tau apa yang terjadi.    "Emang Kiran kemana? Lo mau kemana?" Arbis yang sedari tadi bingung kini mulai bertanya.    "Dia bareng Ilham, mobil Ilham mogok."    "Mau jemput mereka? Pake mobil gue aja." ***    Arah bola matanya tak jelas memandang kemana. Matanya terlihat memerah, dan mulai berkaca-kaca. Tak peduli ia sedang menyetir mobil, namun tatapannya sama sekali tak fokus. Pikirannya masih kacau dengan apa yang barusan di ketahuinya.    Sayna menghembuskan nafas berat. Hatinya masih terpukul. Di hari yang di yakininya sangat berharga ini, ia harus mengetahui kenyataan pahit. Di hari yang di nanti-nantinya ini, sebuah fakta menyakitkan terbuka.    "Ezaa... kenapa lo malah pacaran sama Sesil sih? Mantannya Regan! Kan kasian guenya.." Sayna berkata lirih di dalam mobilnya. Hatinya masih berkecamukm. Eza, lelaki yang di cintainya, satu-satunya alasan mengapa Sayna ingin sekali reunian, ternyata kini memiliki kekasih. Dan itu adalah Sesil, teman satu sekolahnya, mantannya Regan. ***    Langkahnya gontai, menyusuri koridor sekolahnya itu. Tatapannya kosong, pikirannya melayang entah kemana. Ia terus berjalan bagai raga tak bernyawa, wajahnya lesu tanpa gairah.    Brukk... seketika sebuah bola yang tadi dimainkan para siswa lain, tepat mendarat di kepala Regan. Regan yang saat itu berjalan tak memperhatikan apapun sontak langsung jatuh tersungkur. Bola yang mengenai kepalanya itu membuatnya tak sadarkan diri.    Beberapa siswa yang berada di situ menggerumuti Regan yang terkapar karena terkena bola. Akhirnya beberapa siswa lelaki mengangkatnya menuju UKS. *** Aku tersenyum Melihat segurat senyuman indah tercipta di bibirmu Aku terisak Melihat buliran bening memenuhi pelupuk matamu Namun ini lebih terasa sesak Saat aku tau kau menangis karenanya!    "Apaan sih? Stress ya ini orang?!" Sayna berteriak kesal, saat lagi-lagi ia menemukan secarik kertas itu dengan setangkai mawar di laci mejanya. Wajahnya terlihat kesal, karena surat itu? Mungkinkah? Apa salahnya?    "Lo kenapa, Na?" Kiran menatap Sayna yang wajahnya masih jengkel. Air mukanya hari ini terlihat tidak baik. Bahkan sedari pagi Sayna sama sekali tidak menunjukan senyum manisnya pada siapapun.    "Gue kesel, Kiran!!" Sayna bersuara sedikit teriak. Emosinya benar-benar sedang meluap, ia tak kuat menahan amarahnya ini karena kejadian semalam. Hatinya yang sakit membuatnya menjadi marah-marah seperti ini.    "Sama! Gue juga kesel sama Kiran." Ilham yang tadinya sedang memainkan tab kini ikut nimbrung dengan omongan Sayna.    "Lo apa lagi? Orang gue bilang, gue kesel! Bukan kesel sama Kiran. Makanya jangan pake headset terus! Budeg kan lo!" semprot Sayna pedas. Ilham yang tak tau menau justru malah di omeli Sayna yang hari ini moodnya sedang jelek.    Kiran tertawa kecil, melihat Ilham yang kena semprot Sayna. Niatnya yang ingin menyalahkan Kiran justru malah kena omel Sayna. Kiran tersenyum geli sambil menoleh pada Ilham.    "Kok gue di omelin sih? Elo lagi malah ketawa!" Ilham menjitak kecil kepala Kiran yang sedang berada di dekatnya.    "s****n, sakit pea! Etapi, Na. Elo kenapa sih? Dari pagi gue liat kayaknya bete banget." Kiran meringis, memegangi kepalanya yang tadi di jitak Ilham. Namun pandangannya kini beralih pada Sayna yang wajahnya masih benar-benar kusut.    "Kiraaannn.." Sayna langsung memeluk Kiran sambil sedikit terisak. Matanya memerah, perlahan air mata menetes dari matanya.    Kiran dan Ilham shock melihat Sayna yang spechles menangis di pelukan Kiran. Tanda tanya di benak Kiran semakin besar, sebenarnya Sayna mengapa?    "Kenapa sih? Cerita sama gue." Kiran melepaskan pelukan Sayna. Kedua tangannya menyentuh pundak Sayna. Matanya menatap tajam mata Sayna yang memerah.    "Gue.. gue nyesel semalem dateng ke acara reunian. Awalnya gue kira akan asik, karena gue langsung ketemu Eza. Tapi semua yang gue pikir salah, 4 tahun gue mendem perasaan, 2 tahun gak ketemu, sekalinya gue mau ngelepas kerinduan itu. Eza malah ngenalin ceweknya ke gue. And you know, who is she?" masih dengan matanya yang merah, serta suaranya yang terisak, Sayna bercerita pada Kiran.    "Siapa?" Kiran dan Ilham yang mendengarkan cerita Sayna dengan penasaran menatap Sayna penuh tanya.    "Sesil! Mantannya Regan. Gak punya perasaan banget sih Eza, dia gak tau apa waktu 4 tahun itu lama. Sakit tau cinta kayak gini, dan saat gue lagi kangen kangennya sama dia, sekalinya ketemu dia malah ngenalin ceweknya. Dan gue kenal pula sama ceweknya. Sesil kan baru putus sama Regan, masa semudah itu dia berpaling sama Eza?" Sayna mengoceh, meluapkan amarah kekesalannya yang sedari semalam terpendam. Hatinya benar-benar sakit merasakan semua itu.    Kiran tersenyum, berusaha menegarkan Sayna. Kiran mengerti perasaan Sayna terhadap Eza. Kiran pun tau bahwa Sayna itu sama sekali tidak mudah jatuh cinta. Dan Eza, satu-satunya lelaki yang saat ini dan pertama kali ia cintai.    "Sabar, Na. Mungkin emang dia bukan jodoh lo. Gue tau kok sakit banget mendem perasaan sendirian. Apalagi dianya sama sekali gak pernah tau perasaan lo. Tapi elo yang milih jalan itu, lo udah memilih buat cinta sama dia. Maka lo harus terima resikonya." dengan dewasa Kiran menatap Sayna yang terpuruk. Ia mencoba menenangkan Sayna.    "Lagian kan elo gak pacaran sama Eza, Regan aja pernah pacaran sama Sesil biasa aja." Ilham yang juga menyimak cerita Sayna ikut berkomentar.    "Guys!" suara serak itu tiba-tiba menyentak ketiganya. Sontak Ilham, Kiran, dan Sayna menoleh ke asal suara. Terlihat Arbis yang sepertinya ingin memberitahu sesuatu.    "Kenapa sih?" Kiran penasaran dengan tingkah Arbis.    "Regan kepalanya kelempar bola, kata anak-anak dia jalan sambil bengong gitu. Sekarang dia di UKS." Arbis yang selalu tau info ter-update langsung memberitahu semua teman-temannya. Arbis menyeret sebuah bangku untuk ia duduki.    "Tuhkan! Pasti galau tuh si Regan. Makan noh biasa aja!" Sayna yang mendengarnya langsung mencibir Ilham. Ilham tak terlalu merespon, ia hanya menyunggingkan senyum tipis. ***    Wajah Karin seketika mulai panik. Ia berjalan dengan tergesa, kebingungan mencari sesuatu. Langkahnya semakin di percepat. Pikirannya sudah kalang kabut.    Karin berhenti di depan sebuah UKS sekolahnya. Dengan segera ia langsung masuk ke dalam UKS tersebut. Karin langsung berjalan, menuju sebuah meja yang berada dekat ranjang di UKS.    Degg.. Mata Karin menangkap sosok Regan sedang berbaring di ranjang tersebut. Betapa terkejutnya Karin melihat Regan saat itu sedang berbaring sambil memainkan hanphonenya. Terlanjur, Karin sudah terlanjur melangkahkan kakinya masuk ke dalam UKS tanpa melihat di dalam ada orang atau tidak. Ia tak mungkin keluar lagi, justru itu akan mencurigakan.    "Ehh ada orang yaa.." sekedar basa-basi, Karin berusaha pura-pura baru tau bahwa ada Regan disitu.    Regan menoleh, melihat kearah sumber suara itu. Regan yang tadinya berbaring merubah posisinya menjadi duduk. "Hah? Iya nih. Lo sakit, emm kembaran Kiran?" mata Regan menatap Karin bingung. Ia lupa akan nama Karin, yang ia ingat Karin adalah kembaran Kiran.    "Karin. Enggak kok, cuma nyari yang ketinggalan." Karin langsung memulai mencari flashdisk nya yang terjatuh saat ia mengantarkan temannya ke UKS. Regan hanya mengangguk, di iringi senyuman manisnya.    Karin terus berusaha mencari benda itu, ia mengobrak abrik barang yang menutupi apapun di UKS. Barang kali ada flash disknya disitu, kolong ranjang ia periksa, meja di UKS ia periksa, hingga ke lacinya, namun satu tempat yang belum di periksanya. Ranjang tempat Regan terduduk.    Dengan perasaan yang tidak karuan, Karin berusaha menguatkan dirinya, mau tidak mau Karin harus mencarinya di tempat itu pula. "Em, misi dulu boleh gak?" dengan sopan Karin menyuruh Regan untuk bergeser. Rasanya tak pernah Karin bersikap seramah ini pada orang sepantarannya, bahkan dengan Kakak kelas pun tak segan ia bersikap jutek. Namun dengan Regan? Ia tampak begitu ramah dan manis, meski terkadang kikuk, karena ia harus mengatur detak jantungnya yang berdetak diatas normal.    Regan tak menjawab, ia hanya menggeser tubuhnya, ohh tidak. Tepatnya Regan berdiri sebentar, karena ia bingung melihat Karin yang mondar mandir mencari barangnya. Bahkan Regan tak tau Karin mencari apa?    Karin terus mencari flashdisknya. Meski pikirannya tak tenang, karena terganggu oleh perasaannya. Sikapnya yang terlihat agak tegang, wajahnya yang mulai salting, darahnya yang berdesir dengan cepat, serta deru nafasnya yang tak beraturan. Semua perasaan aneh itu menggerayanginya, membuatnya tak konsentrasi mencari flashdisknya, di tambah lagi Regan yang terus memperhatikannya. Bahkan Karin hanya sedang mengacak-acak tak jelas saja, ia menjadi bingung sendiri.    "Lo nyari ini?" Regan mengambil sebuah flashdisk biru yang terdapat di ujung ranjang UKS. Karin menoleh, matanya seketika berbinar melihat Regan mengangkat flashdisknya.    "Iya. Lo nemu dimana?" Karin langsung mengambil flash disknya. Ia tersenyum riang karena akhirnya ia menemukannya.    "Dari tadi ada disitu. Masa lo gak liat?" Regan menunjuk pada tempat dimana ia menemukannya. Sebenarnya flashdisk itu sedari tadi juga berada disitu. Bahkan Karin sudh berkali-kali melewatkannya, mungkinkah ia sama sekali tak melihatnya?    "Hah? Masasih. Aduh gue kok gak liat yaa?" Karin menggaruk kepalanya, tingkahnya semakin membingungkan. Karin benar-benar bingung dengan kelakukannya sendiri. Mengapa ia menjadi seperti orang bodoh saat ini? ***    "Lama banget sih, Ka?" Kiran mengomel, saat Dimas keluar dari mobilnya dan menghampiri Kiran yang sudah lumutan menunggu Dimas di depan gerbang sekolahnya. Pasalnya, Dimas sudah janji akan menjemput Kiran sekolah, karena kebetulan jadwal kuliahnya hari ini tidak banyak.    "Maaf, tadi gue nunggu temen gue dulu. Dia mau nebeng. Cina! Pindah ke belakang, lo!" Dimas menggedor kaca mobilnya yang di dalamnya terdapat teman kampusnya.    Seorang lelaki yang di panggil "Cina" itu keluar dari mobil Dimas. Ia menutup kembali pintu mobil Dimas dengan gaya cool nya. Matanya di tutupi kaca mata hitam yang di pakainya, senada dengan pakaiannya. Keren memang, Kiran pun mengakui itu. Hanya saja...    "Keren keren kok nebeng." komentar Kiran saat melihat lelaki itu. Di tambah lagi lelaki itu membuka kacamatanya, dan memperlihatkan mata sipitnya, membuatnya semakin tampak keren.    Dimas terkekeh mendengar Kiran yang berbicara terlalu jujur, bahkan tak mengecilka suaranya. "Ohh iya, Ran kenalin. Ini Rafa." Dimas memperkenalkan Rafa pada Kiran. Rafa pun mengulurkan tangannya dengan tampang kecut karena di lecehkan Kiran.    "Rafa."    "Kiran." tangan mereka saling berjabat. Rafa pun pindah tempat duduk di bangku belakang. Ganteng sih, tapi matanya kok nggak melek? Batin Kiran saat ia mulai masuk ke mobil Dimas, berkomentar tentang Rafa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN