Perjalanan selama dua jam itu akhirnya berakhir sudah, mereka telah sampai di desa Rogokepaten yang jaraknya berada di pedalaman hutan. Tentu saja akses masuk ke sini tidak mudah, mereka harus melalui pohon-pohon berjejeran serta jalanan tanah becek.
Sahel mengintruksikan agar kelompoknya segera turun, Seruni yang berniat tidur tadinya justru tak dapat memejamkan mata. Sedari tadi ia masih terjaga sembari tubuhnya bergetar kecil, telapak tangannya basah serta jantungnya berirama dengan kencang.
“Bangun Mel, kita sampai.” Seruni menggoyangkan bahu Amel.
Gadis yang berusia sama dengan Seruni pun melenguh sambil merenggangkan otot-otot tubuhnya. Ia menguap sejenak sebelum benar-benar membuka mata.
“Ehh, udah sampai? Cepet amat.” Gumamnya.
“Ayo guys, turun-turun! Warga desa udah nungguin kita.” Teriak Sahel dengan lantang.
“Jangan lupa angkut barang-barang kalian, jangan sampai ada yang tertinggal di bus.” Lanjut si ketua kelompok, bus ini akan kembali ke pangkalannya dan menjemput mereka lagi setelah selesai melaksanakan agendanya.
Seruni beranjak dari duduknya, ia melirik ke luar jendela, benar saja di sana sudah berdiri beberapa warga desa yang seakan-akan sedang menunggu kehadiran mereka.
“Geser, Mel.”
Mata Amel masih berat, ia mengantuk, rasanya malas sekali harus beranjak dari tidurnya.
Seruni berdecak pelan. “Kamu mau ku tinggal di sini? Busnya berhantu.”
Sontak saja mata Amel terbuka dengan lebar, rasa kantuknya menghilang seketika. Ia tahu bahwa Seruni memiliki indra keenam, jadi perkataan sahabatnya itu tak bisa dianggap main-main.
Amel penakut, ia akan selalu mengekori Seruni dimanapun mereka berada.
“Tungguin bentar, mau rapihin camilan dulu.” Amel langsung semangat empat lima, ia tak mau ditinggal di bus berhantu ini.
Diam-diam Seruni terkekeh pelan, bus ini tidak ada hantunya. Namun, tempat di luar bus ini cukup ‘ramai’ menurutnya. Tentu saja, desa ini ada di dalam hutan yang pastinya juga dihuni oleh makhluk-makhluk gaib.
Seruni mencoba untuk mengabaikan saja selama dirinya tidak diganggu, maka ia pun takkan mengambil tindakan.
Amel memunguti plastic snack yang berserakan, cukup lama karena makanan itu sempat jatuh berceceran saat ia tidur tadi.
Di belakang jok Seruni ada Dayu, lelaki itu berdiri dari duduknya. Netra keduanya saling berpandangan, mata Dayu seperti tidak asing bagi Seruni.
“Selesai, yok turun.” Amel berseru, sontak saja mampu membuat Seruni mengalihkan atensinya dari Dayu.
Mereka pun turun dari bus, Amel membawa koper besarnya, sedangkan Seruni hanya menggunakan tas ransel yang memuat beberapa potong pakaian serta tas selempang sederhana.
Di bawah sana Sahel memberi salam pada kepala desa, lelaki yang berpakaian kemeja lusuh disertai celana panjang itu menyambut mereka dengan senyuman merekah.
“Nak Sahel? Ketua dari kelompok KKN ya.” Sulaiman, kepala desa dari Rogokepaten.
Sahel mengangguk sembari tersenyum lebar. “Benar, saya mewakili teman-teman ingin meminta izin untuk melaksanakan KKN di sini, saya berharap agar Bapak dan warga lainnya tidak keberatan dengan keberadaan kami.”
“Tentu saja, kami merasa senang karena desa ini akan ramai oleh kalian.” Balas Sulaiman.
Handi, Yudi dan Roni berada di barisan paling depan, mereka juga terlibat perbincangan pendek dengan mereka.
Namun, salah satu dari mereka bergerak tak nyaman. Handi Tijaya, anak dari kyai ternama di kotanya, ia menggaruk lehernya yang tidak gatal. Sudah ia duga, tempat ini memiliki banyak ‘penghuni.’
“Ini istri saya bernama Yanti.” Sulaiman memperkenalkan sang istri pada mereka.
“Wah, Ibu Kades.” Celetuk Yudi Isnaeni.
Yanti tersenyum kecil, ia pun bersalaman dengan para mahasiswa di barisan depan.
“Saya Yudi, mahasiswa paling tampan.” Celetuk Yudi dengan percaya diri tinggi, membuat Roni memutar bola mata jengah.
“Roni.”
Tangan Yanti bergeser pada Handi, lelaki itu menatapnya lekat sebelum menerima jabatan tangan Yanti.
“Saya Handi.” Ucapnya sambil terus memperhatikan perempuan paruh baya itu.
Bulu kuduk Handi semakin meremang saja, ditambah dengan desiran angin kencang.
“Oh ya, Nak Sahel. Pak Dayat dan juga istrinya akan bertanggungjawab selama kalian KKN di sini, apa yang boleh atau dilarang dilakukan akan dijelaskan oleh mereka.”
Sulaiman memperkenalkan Dayat—pria berusia limapuluh tahun beserta sang istri yang bernama Asmidah, mereka akan mengurus apapun yang berkaitan dengan agenda mereka di sini.
“Saya harap Bapak dan Ibu bisa membimbing kami selama berada di sini.” Sahel berujar dengan nada sopan.
Dayat dan Asmidah tersenyum senang.
“Jangan sungkan-sungkan untuk meminta bantuan pada kami.”
Seruni mendengarkan obrolan mereka, disampingnya ada Amel yang terus mengitari desa ini.
Desa itu seperti perkampungan jaman dulu, akses keluar masuk susah, bangunan rumahnya juga rata-rata terbuat dari kayu atau bilah-bilah bambu.
Yang paling mencekam bagi Amel adalah suasananya, ia merasa merindung dan takut.
“Run, aku takut, di sini ada hantunya?” Amel berbisik pelan pada Seruni.
Seruni mengangguk mantap. “Ada banyak.”
“Hah?” Amel terkaget hingga mengeluarkan suara agak kencang, membuat atensi beberapa orang teralih padanya.
Amel meringis pelan dan meminta maaf pada mereka.
Seruni sedang memfokuskan pandangan pada suatu obyek, terlihat sosok kakek-kakek baya berdiri cukup jauh dari gerombolan warga dan kepala desa.
Pria tua itu agak menjauhkan diri, berdiri di bawah pohon tinggi dengan mata yang menatap mereka dengan nyalang. Pakaiannya seperti orang jaman dulu, stelan baju dan celana berpakaian hitam dengan garis kemerahan, jenggot berwarna putih serta tatapan nan tajam dan menghunus.
Seruni terus memperhatikan orang tua itu.
“Mel, itu siapa ya?” Gumam Seruni pada Amel.
Entah kenapa ia berfirasat bahwa pria tua itu aneh.
Amel mengikuti arah pandang sahabatnya.
“Mana? Tidak ada siapapun.” Balasnya sambil mengendikkan bahu.
Seruni mengenyitkan dahi, orang tua itu masih di sana dan saat ini bahkan sedang menatap balik padanya.
Untuk beberapa saat Seruni terus memandangi kakek-kakek itu, hingga tangan kirinya disentak oleh seseorang dari belakang.
Seruni mengaduh, buru-buru ia menoleh untuk melihat pelakunya.
Dayu? Ia tidak yakin jika lelaki itu yang melakukannya.
Dayu mengangguk pelan, membuat Seruni semakin keheranan saja. Ia pun mengendikkan bahu dan kembali fokus pada bawah pohon tadi, tapi sang kakek sudah menghilang.
Bagaimana bisa secepat itu?
Refleks ia kembali menatap Dayu, pria itu menggeleng pelan seolah memberinya kode agar tak memperhatikan orang tadi.
Jadi, Dayu bisa melihat sosok itu?
Apa tadi adalah hantu? Tapi kakinya menapak pada tanah.
Seruni ingin bertanya lebih, tapi Dayu lebih dulu membuang muka dan kembali ke mode juteknya.
Oke, hingga detik ini sudah ada kejadian yang cukup ganjal. Seruni harus menyegarkan otaknya agar tak terpaku dengan hantu-hantuan lagi, ia sungguh tak mau berurusan dengan ‘mereka.’
Perbincangan singkat itu diakhiri dengan Dayat yang mengajak mereka untuk melihat tempat tinggal selama berada di desa ini.
Mereka menyusuri tanah basah sehabis diguyur hujan, Sahel dan Handi memimpin di depan, mereka harus berhati-hati agar tak tergelincir.
Sedangkan Venska dan Siska sudah menggerutu sejak tadi, mereka terus meratapi nasib sialnya yang harus ditempatkan di tempat seperti ini.
Samirah dan Putri sama seperti Amel dan Seruni, mereka lebih banyak diam sambil terus mengikuti intruksi.
Mata Dayu selalu waspada pada sekitar, ia tak mau kejadian buruk menimpa kelompoknya. Memilih baris paling belakang dan sendirian, lelaki itu bisa melihat penampakan arwah-arwah tak berbentuk rupa yang berseliweran.
Ini adalah kemampuannya, melihat bentuk mereka yang menyeramkan.
Akhirnya mereka telah sampai ke tempat tujuan, Dayat dan Asmidah mempersilahkan mereka untuk melihat rumah itu.
“Rumahnya seperti ini, seadanya, maklum lah karena desanya di pedalaman dan masih kuno.” Asmidah berujar.
“Tidak apa-apa, ini sudah cukup bagi kami.” Handi menjawab.
“Yang terpenting bisa dibuat berlindung dari hujan dan panas.” Sahut Roni, si pemalas yang ingin sesegera mungkin merebahkan dirinya di ranjang dan tidur.
Rumah itu cukup luas dan besar, terbuat dari bilah-bilah bambu, alasnya sudah dilapisi oleh semen, jadi bukan berupa tanah merah lagi.
“Bagian kanan di isi oleh laki-laki, yang kiri perempuan. Saya harap selama kalian ada di sini tidak berbuat macam-macam, tetap ikuti norma dan tata krama.” Dayat memberi pesan singkat.
“Pasti, kami akan berperilaku sebaik mungkin.”
“Untuk peraturan dan larangan lainnya akan saya jelaskan nanti. Di sana ada 3 kamar untuk perempuan dan 2 kamar untuk laki-laki, kalian bisa membaginya.”
“Baik Pak, terimakasih banyak atas bantuannya.”
Mereka pun memasuki rumah itu bersama-sama, letak rumah ini cukup jauh dari pemukiman lainnya. Jarak pandang sepuluh meter baru terlihat satu rumah sederhana, itu adalah rumah Dayat dan keluarganya.
“Aku dan Siska berada dalam kamar yang sama.” Venska langsung berujar dengan cepat, ia tak mau dipisahkan dari gengnya.
“Ya, berisik amat dah.” Roni mendengus pelan.
“Sana-sana pergi, pilih aja kamar kalian.” Yudi mengusir Venska dan Siska.
Kedua gadis itu pun langsung mencari kamar yang terbaik, tapi tak ada yang menarik sama sekali. Apa yang bisa mereka harapkan dari rumah gedek yang berada di dalam hutan ini?
“Hel, desanya kayak angker gini sih.” Amel menyuarakan ketakutannya.
“Tidak ada hantu, itu hanya dongeng orangtua untuk menakuti anak-anaknya.” Sahel berujar dengan entengnya.
Sontak saja membuat Seruni, Handi dan juga Dayu menatap cepat kepadanya. Sahel adalah orang realistis, juara pertama sains dan orang yang tak percaya adanya kehidupan gaib.
Ia mempercayai sains dan yakin bahwa tidak ada hantu di bumi ini.
Bagi mereka bertiga yang sudah pernah menyaksikan sendiri eksistensi hal gaib, maka perkataan Sahel terdengar amat bodoh!
“Misalnya kalau ada hantu gimana?” tanya Putri.
Sahel tertawa mengejek, entah kenapa teman-temannya ini suka sekali termakan oleh hoaks tentang hantu.
“Tidak ada, aku sendiri yang akan menghadapinya” Sahel berujar sambil terkekeh keras.
Seruni tidak suka dengan sikap Sahel yang sesumbar. Tanpa lelaki itu sadari, perkataannya telah didengar oleh penghuni tempat ini. Seruni memejamkan matanya erat, tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya, ia tak mau menebak-nebak.
Begitu juga dengan Handi dan Dayu yang memilih untuk pergi dari sana, meninggalkan Sahel yang masih setia dengan tawanya.
“Jangan gitu Hel, ntar kemakan omongan sendiri lho.” Yudi Isnaeni menyahut.
“Halah santai aja, Yud.” Jawab Sahel.
“Nanti nangis kalau udah kejadian.” Cibir Roni.
Sahel mengendikkan bahu cuek, ia masih tetap pada prinsipnya; hantu tidak ada, itu hanya dongeng semata.
Saat mereka sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing, terdengar suara jeritan dari salah satu kamar.
“Arghhh…”
Sontak saja mereka semua terkejut.
“Nah lho, muncul hantunya.” Ujar Roni.
Sahel berdecak pelan. “Apaan sih, belum juga dilihat. Ayo ke sana, kayaknya itu suara Siska.”
Sahel langsung berlari menuju ke salah satu kamar.
“Tahu aja dia kalau suara Siska.”
“Karena suara Siska import, dia kan blasteran luar negeri, jadi kedengeran bule-bulenya.” Sahut Putri sambil tersenyum.
“Bisa aja kamu Put, cantik deh.” Yudi menggoda Putri, ia mengedipkan sebelah matanya.
Putri bergidik sambil melotot. “Mau ku pukul?”
Seketika itu Yudi berlari menjauh dari gadis itu untuk menyusul Sahel. Amel waspada, ia bergelayut di lengan Seruni.
“Ada apa?” Tanya Sahel ketika sampai di tempat kejadian.
Benar saja, itu berasal dari Siska dan Venska.
Vensa menunjuk-nunjuk bawah ranjang, mereka pun memperhatikan satu obyek di sana.
“Itu bangkai tikus, ambilin dong.” Venska menahan mual ketika menunjuk bangkai itu.
Mereka semua yang ada di sana langsung menghela napas kasar, mereka pikir terjadi apa-apa dengan dua gadis itu.
“Dasar, anak manja!” Sindir Yudi, entah kenapa jika melihat Venska dan Siska bawaannya ia ingin terus menghujat.
Venska mendelik pada lelaki itu, ia memang benci dengan hewan pengerat, apalagi sudah mati dan menjadi bangkai, baunya sungguh menghunus hidung.
“Hel, ambil.” Venska berujar lagi pada Sahel selaku ketua kelompok, sehingga apa-apa dibebankan oleh lelaki itu.
“Ya udah kalian tunggu di luar dulu, Roni sama Yudi di sini aja.” Perintahnya.
Mereka semua keluar dari ruang kamar, menyisakan Roni dan Yudi.
Roni yang segera ingin tidur pun mendesah malas.
“Tuh Yud, mana ada hantu." Sahel kembali membuka pembahasan tentang hantu.
“Iya deh terserah situ aja, kalau udah diliatin jangan sampai pingsan.” Ujar Yudi, susah bicara sama orang pintar sains, perkataannya akan selalu didebat oleh ilmu pengetahuan.
Mereka pun membersihkan bangkai tikus itu dan membuangnya jauh-jauh melalui jendela.
Biasanya bangkai tikus identik dengan yang buruk-buruk, semoga saja tidak ada apapun yang menimpa mereka. Kelompok KKN itu hanya ingin melaksanakan kegiatan dengan lancar dan dapat kembali dengan aman.