7 : Peraturan

1500 Kata
Seruni sedang meletakkan barang-barangnya di kamar miliknya, ruangan berbentuk persegi dengan ukuran tiga kali tiga meter ini akan ia huni bersama Amel untuk sekitar enam sampai tujuh minggu ke depan. Dua kamar lainnya diisi oleh Venska dan Siska, lalu satunya lagi dipilih oleh Putri dan Samirah. Amel membongkar isi koper yang tak ada habisnya. “Seharusnya jangan bawa barang banyak-banyak, kita bukan camping di sini.” Seruni berujar, ia mengusap peluh yang menetes. Meski di luar hawanya adem dan cukup berangin, tapi di rumah ini tetap lah panas, tidak ada kipas, hanya ada ventilasi kecil dan celah-celah bangunan. Amel menyengir kuda, ia paling malas kalau disuruh mencuci pakaian. Maka dari itu ia memilih tuk membawa banyak stel baju, ketika pulang nanti biar asisten rumah tangganya yang mencuci semuanya. Seruni mengadahkan kepala melihat langit-langit kamarnya, terbuat dari genteng lusuh serta banyak sarang laba-laba di atas sana. Rumah ini bersih, hanya saja terlihat kuno dan bangunannya juga lawas. Ia jadi teringat dengan kakek-kakek di bawah pohon tadi. “Mel.” Seruni memanggil Amel. “Hmm?” “Kalau misalnya desa ini berhantu gimana?” Sontak saja Amel menghentikan kegiatan beberesnya, ia menatap Seruni dan mendelik. “Emangnya kamu udah ngeliat hantunya?” tanya Amel. Seruni mengendikkan bahu. “Aku tidak bisa memastikan apakah yang ku lihat beneran hantu atau bukan.” “Di mana?” Seruni mencondongkan badannya, ia menatap Amel yang sedang duduk di lantai sana. “Tadi saat aku tanya sama kamu, apa kamu ngeliat orang di bawah pohon.” Jelasnya. Amel mengingat-ingat lagi. “Ohh ya, aku ingat. Memang tidak ada apapun di bawah pohon itu, apa jangan-jangan itu beneran hantu? Kan kamu bisa liat mereka, sedangkan aku tidak.” Amel mulai meremang, ia waspada. “Aku juga belum bisa memastikan. Kakinya menapak tanah kok, tapi anehnya Dayu bisa ngeliat orang itu.” Amel kembali melanjutkan kegiatan memindahkan pakaian ke lemari tua, telinganya awas mendengar ucapan sahabatnya. “Dayu? Bagaimana bisa.” “Aku sempat bertatapan mata sama dia, dari matanya aku bisa ngeliat kalau dia ini tidak jauh berbeda denganku.” Amel semakin bingung dengan ucapan sahabatnya. “Maksudmu, dia memiliki kelebihan sepertimu?” “Tidak serta merta disebut kelebihan sih, aku menganggap kemampuan ini sebagai kekurangan.” Tukas Seruni. Ia memang tidak mengharapkan memiliki indra keenam ini, ia lebih suka hidup normal tanpa diperlihatkan sosok-sosok arwah. “Ketika akan menyelami tatapan mata Dayu, aku seperti melihat diriku sendiri ketika bercermin.” Seruni bergumam sembari matanya menerawang ke depan. “Mungkin saja, makanya dia lebih suka menyendiri ha ha ha.” Amel agak bergurau di kalimat akhirnya. Namun, Seruni justru menganggapnya sebagai sebuah informasi penting. Dayu memang dikenal sebagai mahasiswa yang tertutup dan misterius, ia juga lebih suka menjauhkan diri dari sosial. Apa mungkin hal ini berkaitan dengan ‘kemampuannya’ karena biasanya orang yang terlalu frustasi dengan dunia gaib, maka ia lebih suka menyendiri dan tak mau bergaul. Ia juga penasaran kenapa Dayu menyentak tangannya saat Seruni ingin melihat sosok kakek-kakek di bawah pohon, Dayu seakan-akan melarangnya. Seruni fokus dengan pikirannya sendiri, tak menyadari jika pintu kamarnya diketuk oleh seseorang. Amel yang lebih dulu membuka pintu, ia tahu jika sahabatnya sedang memikirkan hal-hal ganjal. Ternyata di luar pintu adalah Roni, memberitahukan bahwa mereka semua harus berkumpul di ruang tamu karena Pak Dayat dan Bu Asmidah ingin mengatakan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama berada di desa Rogokepaten ini. “Baiklah, kita akan menyusul segera.” Jawab Amel sambil mengangguk kecil pada Roni. Roni pun pergi, Amel menutup pintu kembali dan mendekati sahabatnya. “Run.” “Ahh ya, ada apa?” Seruni masih berpikir keras tentang semuanya, ia tersentak kaget. Amel mendengus kecil. “Masih mikirin penampakan kakek-kakek itu atau mikirin Dayu?” “Dua-duanya.” Jawab Seruni. “Tadi Roni ngasih tahu kalau kita disuruh ke ruang tamu, Pak Dayat sama Bu Asmidah mau ngasih pengumuman penting.” Seruni mengangguk, ia meraup wajahnya dengan kasar lalu beranjak berdiri dari ranjang reot. “Kamu udah selesai beberesnya?” Amel menggeleng. “Belum sih, tapi bisa dilanjut ntar aja, yuk lah ke sana.” Seruni dan Amel bergegas keluar dari kamar, mereka akan pergi ke ruang tamu bersama. Ternyata di sana sudah ada mahasiswa dan mahasiswi lengkap, tinggal menunggu kedatangan Seruni dan Amel saja. Ruang tamu tidak memiliki kursi atau meja, hanya ada karpet hijau kusam yang dibuat untuk duduk. Pak Dayat dan Bu Asmidah duduk didekat pintu, lalu sebelahnya ada Sahel dan Handi, mereka semua sudah duduk melingkar. Seruni dan Amel mendapat tempat paling sudut dengan tembok, mereka mendudukkan diri di sana. “Baik karena anak-anak sudah berkumpul semua maka saya akan mengatakan tujuan kami mengumpulkan kalian.” Pak Dayat membuka percakapan. “Silahkan, Pak.” Sahut Handi. “Kalian pasti sudah mendengar tentang desas-desus desa ini, sebenarnya saya dan Pak Sulaiman sudah mewanti-wanti agar tidak ada orang luar yang masuk ke wilayah ini. Namun, entah kenapa tiba-tiba saya mendapat kabar bahwa akan ada sekelompok mahasiswa yang akan menjalani KKN di Rogokepaten.” Jelasnya, ada sorot kecemasan di dalamnya. Bu Asmidah mengangguki ucapan sang suami, ia juga pernah dengan lantang menolak persetujuan KKN para mahasiswa ini. Namun, suaranya kalah, lebih banyak warga yang menyetujui progam berjalan di desa Rogokepaten. “Kenapa Pak Dayat berpikir demikian? Memangnya ada apa dengan desa ini sehingga kami tidak disarankan melakukan kegiatan di sini.” Kini Yudi bertanya. Untuk sejenak Pak Dayat terdiam, ia dan istrinya saling menatap cukup lama lalu terdengar helaan napas. “Ini desa yang masih terpencil dan terbelakang, kami hidup di tengah-tengah hutan belantara. Tentu saja bagi kalian yang merupakan anak kota tidak akan nyaman berada di sini, belum lagi rumor-rumor diluaran sana.” Jelas pria paruh baya itu. Amel memberanikan diri untuk bertanya. “Tidak ada hantunya kan, Pak?” Sahel berdecak pelan, kenapa lagi-lagi membahas tentang hantu? Ia ingin membantah ucapan Amel, tapi merasa tak enak hati karena mereka hanya akan berdebat saja di depan Dayat dan Asmidah. Pak Dayat tersenyum sangat tipis. “Hantu tentu saja ada, ini wilayah hutan yang identik dengan tempat tinggal ‘mereka’ namun ada yang lebih berbahaya dari sekedar hantu.” Roni menjawil punggung Sahel dari belakang saat Dayat membahas tentang hantu, tapi si empunya hanya memutar bola mata jengah. “Apa itu, Pak?” “Orang jahat bermuka dua, menggunakan sifat baiknya untuk menutupi keburukan.” Jelas Pak Dayat dengan ekspresi datar dan penuh penekanan disetiap kata yang keluar. Seketika mereka terdiam, Pak Dayat terlihat emosi ketika mengatakannya. Asmidah pun mengelus punggung tangan suaminya, menyadarkan pria itu bahwa mereka saat ini sedang berada di depan anak-anak. “Maaf, saya jadi kebablasan.” Dayat kembali ke mode ramahnya. Sahel tersenyum kaku, pun dengan mahasiswa lainnya. Berbeda dengan Handi dan Seruni yang tidak merubah raut apapun, Dayu juga terlihat datar-datar saja sejak tadi. “Langsung saja ya, seperti peraturan desa-desa pada umunya yakni perihal tata karma dan sopan santun, kalian harus berperilaku dengan baik. Jangan merendahkan warga desa, jangan keluar rumah malam hari terlebih sehabis isya. Lakukan aktivitas di siang hari, ketika malam datang kalian harus sudah ada di rumah ini. Berhati-hati pada setiap orang yang kalian temui, bersikap baik tapi tetap waspada.” Penjelasan Dayat mampu dipahami oleh semuanya. “Oh ya, jangan mendekat ke arah pemukiman paling ujung sana. Kegiatan kalian hanya sebatas kantor kepala desa saja, anak-anak kecil serta para orangtua akan berkumpul di sana sehari-hari.” Lanjutnya. Sahel mendengar pesan orang itu dengan baik. “Keperluan sehari-hari kalian bisa membelinya di warung Bu Endang, di sana menyediakan kebutuhan kecil-kecilan tapi tetap langka. Karena Bu Endang hanya sesekali keluar hutan untuk pergi ke tengkulak, dan sering habis ketika sudah diborong oleh warga sini.” Bu Asmidah memberitahu. Venska sudah berniat untuk membeli obat anti nyamuk, karena sedari tadi telinganya terus mendengar suara nyamuk berterbangan yang mengganggu telinga. Pun dengan Roni, ia ingin membeli kopi hitam tuk mengganjal mata malasnya. “Sudah cukup peraturan dari saya, semoga kalian betah selama tinggal di sini dan sukses menjalankan kegiatannya. Jangan sungkan-sungkan untuk meminta bantuan, rumah kami ada di sana.” Pak Dayat menunjuk satu rumah yang berjarak sekitar sepuluh meter, dan hanya satu-satunya yang ada di sepanjang mata memandang. Sahel mengantar sepasang suami istri itu, sedangkan mahasiswa lainnya saling mengorbol sendiri. “Kalian ngerasa aneh sama perkataan Pak Dayat? Seharusnya kita tidak ada memiliki kegiatan di sini.” Samirah, gadis termuda di kelompok itu berujar. “KKN kita sudah diatur sama pihak kampus, tidak ada jalan lain untuk memilih. Toh kita kelompok paling buntut, kena sisa-sisa.” Sahut Yudi Isnaeni. “Yang terpenting ikuti saja aturannya, jangan melanggar.” Tanpa aba-aba, Dayu kini berujar. Sontak saja semua mata mengarah padanya, tumben lelaki itu mau ikut nimbrung dalam obrolan. Seruni tak luput memperhatikan Dayu, benar ada yang aneh dengan lelaki itu. “Woah, ku kira kamu bisu, ternyata bisa bicara.” Siska menyindir sambil tersenyum miring. "Yap bener, si cupu bisa bicara juga ternyata." Venska menimpali ucapan Siska. Dayu kembali diam, ini yang tidak ia sukai dari bersosialisasi, ia selalu mendapat perundungan. Diam salah, sekalinya berbicara juga salah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN