Bab 1. Pertengkaran
"Huaa ...!"
Terdengar suara tangisan kencang dari luar kamar membuat Lina buru-buru keluar. Ia yakin itu suara Dion, anaknya. Tergopoh-gopoh ia datang dan melihat bocah yang berusia lima tahun, tengah duduk di lantai menangis dikelilingi mainannya. Ada Reka juga berdiri di sana.
"Dion, kamu kenapa?" tanya Lina membungkuk dengan wajah tampak khawatir.
"Mama, Tante Reka jahat. Mainan Dion, Maa ...." Dion kembali menangis.
"Anak itu sembarangan taruh mainannya di mana-mana. Hampir saja aku terjatuh. Untung tersenggol sedikit. Dikasih tau, eh malah nangis. Dasar anak cengeng, mmh!" Reka gemas dan mendengus kesal. Ia melengos ke samping dengan angkuhnya.
"Bohong, Ma. Dia tendanng mainan Dionn, huu ...." Pipi bocah itu sudah basah dengan air mata. Matanya pun mulai memerah.
"Eh, enak saja kamu bicara! Emangnya Tante tukang bohong, iya!?" Mata Reka melotot menatap si kecil.
Walaupun wanita itu cukup cantik, tapi tetap saja, Dion ketakutan diplototi wanita itu. Bocah itu sampai berdiri dan berlindung di belakang ibunya sambil memeluk kaki sang ibu erat-erat. "Mama, huaa ...!"
"Dion 'kan mainnya gak ganggu, Mbak. Mainnya juga di situ-situ aja. Kenapa jadi masalah sih?" Lina mendongak menatap wajah wanita itu. Ia kini tahu apa yang terjadi.
Sejak Reka pindah ke rumah itu sebagai istri kedua, ada saja sesuatu yang membuatnya jadi masalah, sehingga Lina menjadi serba salah. Yang biasanya Dion main di lantai sendirian, malah sering diributkan Reka. Bahkan Dion yang berlari-lari di dalam rumah pun juga salah. Seakan keberadaan anak itu mengusik ketenangan wanita itu di dalam rumah ini.
"Ya, kalo punya anak diurus dong! Jangan dibiarkan berkeliaran di dalam rumah. Orang jadi tidak nyaman mau ke mana-mana. Apa kamu tidak bisa mengurus anakmu sendiri!?" Reka yang melipat tangan di dadda kembali protes. "Hormati ketenangan orang lain. Apa kamu gak tau kalo anakmu itu berisik sekali, hah?!"
"Astaghfirullah alazim, Mbak. Mbak 'kan sebelum menikah dengan Mas Agam juga tau kalau Mas Agam punya anak kecil. Kenapa sekarang jadi masalah!? Lagipula anak Saya juga gak teriak-teriak kalo lagi main, Mbak. Dia biasanya tenang main sendiri, gak nyusahin orang lain." Lina berusaha menurunkan nada bicaranya, walaupun ia cukup gemas bicara dengan wanita ini.
"Jadi menurutmu, aku sengaja mencari gara-gara, begitu!?" Reka menaikkan alisnya sambil mengibas rambut panjangnya yang bergelombang ke belakang.
"Emang begitu. Orang gilla saja yang berpikir tidak!" Namun Lina tak berani protes. Padahal sudah banyak keikhlasan yang telah ia lakukan. Membiarkan suaminya menikah lagi dan membiarkan madunya tinggal serumah.
Wanita yang membantu usaha suami Lina yang hampir bangkrut ini, ingin menikah dengan Agam sebagai syarat bantuan. Ya, Reka anak orang kaya dan terpikat dengan Agam yang sedang kesusahan. Padahal wajah Agam tergolong biasa saja untuk standar pria, tapi masalahnya, Agam menerima permintaan Reka karena tergoda akan kecantikannya.
"Mbak, kalau dirasa tinggal di rumah ini tidak nyaman, Mbak bisa mencari rumah lain biar kita tidak saling ganggu."
Bola mata Reka melebar dan menatap tajam Lina. "Apa katamu!? Kamu berani mengusirku!?"
"Tidak ada yang boleh mengusir menantu kesayanganku dari sini!!" Tiba-tiba seorang wanita paruh baya dengan rambut sedikit memutih di kening dan diikat ke belakang, datang dengan bergegas. Ia menatap Lina dengan dahi berkerut. "Enak saja kamu ngusir menantuku! Sudah hebat kamu, sampai berani mengusir Reka dari sini, he!?" Ratmi bertelak pinggang.
"Tapi masalahnya dia ganggu Dion, Bu. Padahal Dion main sendiri gak ganggu orang lain, kok." Terang Lina sedikit mengiba. Ia heran. Sejak kepindahan Reka ke rumah ini, semua orang memuji-muji keberadaannya. Memang, wanita itu kaya dan cantik, tapi sehari-hari Linalah yang mengurus suaminya dan ia juga yang telah melahirkan seorang penerus untuk keluarga ini. Lalu kenapa orang baru yang cuma menang cantik dan modal harta orang tuanya, lebih dipuja? Padahal sehari-hari Reka lebih suka shopping atau pergi ke salon dibanding mengurus urusan rumah tangga.
"Reka belum terbiasa dengan suasana rumah kita, kenapa kamu usir!?"
Lina menggendong Dion sambil menepikan kerudung segitiganya ke belakang. "Aku tidak mengusirnya, Bu. Hanya saja, mungkin di rumah ini kurang nyaman. Apa tidak sebaiknya beli rumah baru lagi dan tinggal sana?"
"Perusahaan sedang kesulitan, kamu menyuruh Agam punya rumah baru!? Kamu benar-benar keterlaluan, Lina! Harusnya kamu yang keluar dari rumah ini, bukan malah membuat pengantin baru tidak betah tinggal di sini!!" Ratmi semakin geram.
Lina melongo. "Lho, kenapa Saya?" "Bukankah kesulitan mereka sendiri yang buat?"
"Karena keberadaanmu sudah mengganggu ketenangannya!"
Reka tersenyum puas. Ia merasa satu langkah sudah maju melewati istri pertama Agam. Tinggal menghasut ibu mertuanya saja agar bisa mengusir wanita itu dari rumah ini. "Iya, benar, Bu. Kenapa aku yang harus keluar? Aku membantu usaha Mas Agam kok, agar tidak bangkrut. Padahal aku sedang membujuk Papa lho, untuk ngasih beberapa tender baru lagi selain bantuan modal yang sudah lebih dulu masuk ke perusahaan Mas Agam." Ia tampak sedikit merajuk tapi Lina tahu, wanita itu punya niat buruk terhadap dirinya. Hanya saja, tidak ada yang percaya pada ucapan Lina sejak Agam terpikat pada Reka.
"Ibu sudah lihat, 'kan? Aku berniat baik tinggal di rumah ini tapi ternyata selalu dia yang cari gara-gara." Reka kembali dengan fitnahnya.
"Itu tidak benar, Bu," sahut Lina lagi. Bagaimana lagi ia harus menerangkan pada mertuanya kalau Reka sudah menutup mata mertuanya ini hingga lebih percaya Reka dibanding dirinya yang sudah enam tahun lebih mengabdi. Atau ... memang beginilah wajah asli mertuanya yang tidak Lina tahu?
Padahal dulu saat orang tuanya masih hidup, ayahnya sering membantu usaha Agam sebagai kontraktor, tapi sepertinya Agam memang kurang bisa mengelola perusahaan sehingga seringkali meminta dana dari orang tua Lina.
Ketika kedua orang tua Lina meninggal akibat kecelakaan, Agam tidak lagi semesra dulu dengan dirinya. Bahkan mertuanya pelan-pelan juga menyindir keberadaannya yang hanyalah ibu rumah tangga. Orang tua Lina kebetulan adalah pegawai swasta dan Lina sendiri belum pernah bekerja karena karena orang tuanya berkecukupan. Jadi, mana mungkin ia bisa tiba-tiba bekerja? Itu mustahil, walaupun ia mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi.
"Sudah, begini saja." Ratmi mengeluarkan selembar kertas yang sudah diketik rapi. "Daripada kalian bertengkar dan mengganggu kedamaian orang-orang di sini, lebih baik kamu mengalah saja. Tanda tangani surat cerai ini, biar orang rumah ini bisa hidup tenang." Ia menyodorkan kertas itu pada Lina beserta sebuah pulpen.
"Apa?" Lina antara tak percaya dan syok. Ia ditawari surat cerai? Yang benar saja!
Reka tersenyum miring. Matanya bercahaya melihat surat itu disodorkan pada Lina. Akhirnya cita-citanya untuk mengusir istri pertama Agam kesampaian.
"Aku tidak bisa melakukannya. Ini tidak sesuai kesepakatan. Agam tidak pernah bicara tentang ini padaku, Bu." Sambil mengatur napas karena kaget, Lina bicara pelan-pelan pada ibu mertuanya.
"Cepat atau lambat dia akan melakukannya juga. Jadi, tanda tangani saja surat ini agar semua cepat selesai." Ratmi tetap menyodorkan kertas itu dengan raut wajah tegas.
"Ibu, aku tidak akan tanda tangan sebelum mendengar langsung dari Mas Agam, Bu."
"Ada apa ini?" Seorang pria berkemeja warna biru tua dengan wajah sedikit gelap akibat sering terpapar sinar matahari, datang ke ruang tengah tempat mereka tengah berkumpul. Pria itu adalah Agam, orang yang sedari tadi jadi pembicaraan para wanita penghuni rumah itu. "Ada apa, Bu?"
Bersambung ....