Part 4 :

2010 Kata
Breaking News! 'Janu Reivansyah Massry mengalami kecelakaan tunggal, belum ada konfirmasi bagaimana kondisinya sampai saat ini.' Seluruh tubuh Arintha menegang. Tangannya yang menggulir layar ponsel berhenti bergerak. Dia tidak yakin dengan berita yang barusan dibacanya. Ini kecelakaan yang belum lama ia lewati sepulangnya dari Mall tadi. Dan ternyata korbannya, Janu? Apa ini kebetulan? Arintha tahu siapa Janu. Dalam lingkaran pergaulan mereka, tidak ada yang tidak mengenal Janu Reivansyah Massry dan Jerome Allan Risjad. Keduanya berteman cukup baik. Selain itu, dia juga pernah mendengar, papinya sudah lama  menjalin hubungan bisnis tambang batubara dengan keluarga Massry. Arintha mulai sering bertemu dengan Janu ketika ia duduk di tahun ketiga sekolah menengah pertama. Pemuda itu, dan teman-teman Jerome yang lain, mulai sering datang ke rumah Risjad untuk belajar menjelang ujian akhir. Cinta datang karena terbiasa. Begitulah kata pepatah. Begitu pula perasaan lugu Arintha kepada Janu. Secara diam-diam, pemuda itu mulai dia khayalkan dalam setiap lamunannya. Sayangnya, Janu tidak pernah peduli padanya. Pemuda itu sama sekali tidak melihatnya sebagai seseorang. Selain, menganggapnya sebagai adik dari temannya, Jerome. Bahkan, kedua orang tua mereka pernah bergurau untuk menjodohkan anak-anak mereka. Tetapi Janu menolak dengan keras tanpa memberikan alasan yang jelas. Pada saat itu, Arintha merasakan patah hati untuk yang pertama kali. Tetapi, seiring dengan kesibukannya. Juga frekuensi kedatangan Janu yang semakin jarang ke rumahnya, perasaan itu pelan-pelan menghilang.   Seiring dengan perubahan dirinya yang semakin mempesona, Arintha dengan cepat melupakan perasaannya kepada Janu, dan mulai menikmati, bagaimana rasanya menjadi primadona di sekolah. Sayang, belum sempat dia menunjukkan pesonanya. Pemuda itu malah mengalami kecelakaan. Pada saat teringat dengan orang yang tak sengaja ia lihat di tempat kejadian. Tiba-tiba, wajah Arintha gelap seperti badai. Dia bergegas keluar untuk menunggu kedatangan Chendana. *** "Thank's," kata Chendana dengan tulus. Begitu ia memasuki gerbang, dia melihat Arintha yang dengan setia  menunggunya di depan pos security. Nona besar seperti dia tidak pernah keluar dari istananya yang nyaman dan sejuk. Melihatnya panas-panas hanya untuk menunggu kedatangannya, hati Chendana sedikit tersentuh. "Nanti saja bilang terima kasihnya." Arintha menarik pergelangan tangan Chendana, dan bergegas menjauh dari pos, "Sekarang kita masuk dulu sebelum Mami lihat. Habis kamu kalau dia tahu!" Berdua mereka mengendap-endap melewati pintu samping supaya tidak ketahuan. Bik Roh baru keluar dari dapur pada saat itu. Dan, ketika dia memergoki tingkah kedua wanita muda itu yang mencurigakan, dia mendekat untuk memeriksa. "Nana, kenapa kamu?" Bik Roh membuka matanya dengan ngeri dan memandang Chendana yang bergegas masuk kamar mandi. Dia kotor dan acak-acakan. Tetapi, yang paling menakutkan diantara semua adalah, noda darah yang menempel pada pakaiannya.  Arintha buru-buru memelototi bik Roh. Satu tangannya ia letakkan di mulut, "Ssst! Bibik jangan berisik. Kalau mami tahu, dimarahi nanti dia!"  Secara naluriah, wanita paruh baya itu menekan mulutnya rapat-rapat. Dia menunggu sampai Chendana keluar dari kamar mandi sebelum dia bertanya dengan wajahnya yang panik, "Apa yang terjadi?" Tergagap, Chendana menjawab pertanyaannya, "Itu...tabrakan...dengan pohon." Ketika dia melihat bahwa Chendana tidak dapat mencari kata-kata dan merangkai semua kalimat dengan tepat, Bik Roh menjadi lebih cemas, "Kamu ditabrak? Dimana?" dia menyentuh semua tubuh Chendana. "Bukan aku, tapi orang." Chendana mengatakannya dengan bergidik. Membayangkan motor itu bisa saja menabraknya membuatnya takut. "Tapi kamu baik-baik saja, kan?" Bik Roh buru-buru melihatnya dan kembali memeriksa dan melihat  sana sini untuk memeriksa keadaannya. Chendana memandang Bik Roh dengan beberapa emosi, dan tidak tahu bagaimana, wanita ini mengingatkan pada neneknya.  Dia selalu lembut dan penuh perhatian kepadanya. "Aku baik-baik saja, aku baik-baik saja, jangan khawatir, Bi." Arintha juga mendengarnya, dan kemudian berkata: "Jangan lakukan hal berbahaya lagi di masa depan!" "Aku hanya menolong orang!" Arintha menatapnya dengan curiga, apakah gadis ini cukup berani untuk menyelamatkan orang? Ujung bibir gadis itu akhirnya menekuk ketika memberitahu Bik Roh, "Bik, rahasiakan ini, jangan sampai mami tahu."  Bik Roh menganggukkan kepala dengan patuh. Arintha juga mengambil pakaian kotor Chendana, memasukkan ke dalam kantong plastik hitam dan membuangnya begitu saja. "Kenapa dibuang? Ini masih bagus lho." Chendana mengambilnya kembali pakaiannya yang teronggok di tempat sampah. Pakaian itu adalah pakaian paling bagus yang pernah dibelikan oleh kakek untuknya. Tidak mahal memang, tapi untuk membeli itu kakek harus mengumpulkan sedikit keuntungannya dari berjualan. Arintha menahan tangannya dan menggeleng, "Jangan! Nanti ketahuan mami. Ini darah korban kecelakaan itu bukan? Kalau iya, lebih baik dibuang sebelum polisi mencarimu untuk dijadikan saksi." Melihat Chendana tertegun, mata bundar Arintha berkelip. Senyum lembut di wajahnya tiba-tiba menghilang, dan dia mengulurkan tangannya dan menjabat tangan kecil dingin itu, "Ini demi keselamatanmu." Melihat penampilan serius di depannya, Chendana juga menjadi gugup. Dia ke sini supaya bisa melanjutkan sekolah, kalau berurusan dengan polisi, pasti ibunya akan mengusirnya dan dia akan membuat kakek, neneknya kecewa. Dengan wajah tidak rela, Chendana melihat pakaian itu berakhir di tempat sampah. Arintha membawanya ke atas, "Jangan khawatir, aku akan memberikanmu lebih banyak pakaian." *** Di bangsal rumah sakit, Janu yang baru saja melewati kondisi kritis terbaring di tempat tidurnya. Wajahnya seputih kertas. Langkah kaki dengan tergesa-gesa menyusuri koridor rumah sakit, dan pintu ke kamarnya terbang terbuka. Seorang wanita masuk, diikuti oleh beberapa orang di belakangnya. "Janu! Cepat bangun, jangan menakuti mama."  Wina dan Raulan, suaminya, sedang transit di Dubai dalam perjalanan bisnis ke Eropa, ketika mendapat kabar bahwa Janu, anak mereka mendapat kecelakaan. Wina sangat cemas, dan air matanya terus turun. Janu bergerak, dan pria di sebelahnya bergegas membantunya duduk. "Apa kata dokter?" Dia bertanya. Pria yang menunggu Janu tampaknya mengerti segalanya, dan segera berkata, "Gegar otak ringan, dislokasi pada bagian bahu dan tangan kiri, serta beberapa luka." Janu mengangguk, wajahnya hampir tanpa ekspresi, dan kemudian menatap ayahnya, "Bukankah kalian seharusnya berada di Eropa?" "Tidak ... kami memutuskan untuk kembali ..." Raulan sedikit tidak nyaman untuk diawasi oleh putra muda yang terlalu mendominasi ini. "Mintalah seseorang untuk menyelidiki kecelakaan ini." Raulan menghela napas dengan lembut, tatapannya agak rumit, " Jangan berpikir terlalu jauh. Ini hanyalah kecelakaan tunggal. Tidak ada orang lain yang terlibat." Janu tidak menanggapi, hampir tidak bergerak, dan hanya sedikit membuka mulutnya, "Rem tiba-tiba blong dan tali gas mendadak putus saat dalam kecepatan tinggi. Apa menurutmu itu kebetulan?" Dia berbicara dengan tenang, tetapi wajahnya berat, ini adalah pertama kalinya dia pulang, dan dia hampir kehilangan nyawa.  Suami istri Massry membelalakkan matanya, "Bagaimana...bagaimana mungkin? Motor masih baru ketika kamu tinggal, dan selalu dalam perawatan yang baik." Janu tampaknya tidak terlalu peduli, dan suaranya masih tenang, "Aku tidak mati kali ini. Tapi akan selalu ada kesempatan lain kalau kita diam saja. Kirim seseorang untuk menyelidiki, dan jangan biarkan siapapun tahu." Raulan tidak bisa berpikir ucapan Janu tidak masuk akal. Semakin sukses bisnis, semakin banyak pula musuh di sekitar mereka. Apalagi mereka baru saja mengambil alih secara paksa, tambang batubara milik salah satu penguasa daerah di jaman orde baru. "Perhatikan juga para pemegang saham." Janu mengingatkan. Wina membuka mulutnya dan akhirnya bersuara dengan lembut, "Nak, pemegang 70% saham adalah papamu. Sisanya adalah pamanmu, tidak mungkin mereka berani membuat masalah." Janu menarik napas sedikit, "Orang-orang ini berani membuat masalah karena papa terlalu percaya dengan mereka. Menyingkirkanku sebagai ahli waris akan menguntungkan mereka." Wina cemas, dan dia melangkah maju untuk menariknya selimut, dan kemudian berkata, "Kamu masih muda, belajar saja dengan rajin. Biarkan orangtua yang melindungimu." "Ma, aku baik-baik saja. Jangan khawatir." Janu tersenyum untuk menghiburnya. "Kali ini hanya kecelakaan, aku akan lebih berhati-hati ke depannya." Cahaya di mata Wina redup saat memikirkan anaknya mengalami titik paling berbahaya dalam hidupnya. "Siapa orang yang menyelamatkanmu kemarin?" Berbicara tentang orang yang menyelamatkannya, pikirannya berkelebat dengan ingatan yang rusak. "Jangan takut...aku akan menyelamatkanmu...semua akan baik-baik saja." "Apakah cukup... ambil saja lagi kalau darahnya kurang." Gadis itu mengapa tidak menunjukkan dirinya? Bagaimana keadannya sekarang? Raulan melihat bahwa anaknya diam dan bertanya, "Apa? Kamu merasa sakit?" "Tidak, tidak. Aku baik, baik saja. Hanya sedang berpikir." Janu memberinya senyum meyakinkan. Mereka merasa lega. "Haruskah kita mengirim sesuatu untuk orang yang sudah menyelamatkanmu?" Wina kembali bertanya. Janu menggeleng, "Selain buku yang sudah rusak dan gelang ini, yang lain tidak ada petunjuk." "Kami akan sekalian menyelidikinya." Setelah keheningan singkat, Janu berkata, "Tak perlu. Aku akan melalukannya sendiri." Wajah tampan itu sedikit memucat. Jari-jarinya menggosok gelang wanita, dan matanya menatap takjub. *** Ada kurang sehari sebelum masuk sekolah. Arintha sudah mulai sibuk. Dia meminta Chendana mengosongkan isi lemari miliknya dan mengganti sebagian barangnya dengan yang baru. Sesuai janjinya, dia memberikan semua pakaian bekasnya kepada Chendana.  Sudah dua minggu sejak dia tinggal di rumah keluarga Risjad sebagai anak angkat. Selama itu, dia bahkan tidak punya pakaian miliknya sendiri, sedangkan pakaiannya yang ia bawa dari kampung, sudah dibuang bik Roh atas perintah Mahya. Dan yang terakhir dan yang paling bagus sudah dibuang oleh Arintha Jadi, baju-baju milik Arintha lah yang selama ini ia pakai, termasuk seragam sekolah. Arintha dibesarkan seperti seorang putri dengan asupan gizi seimbang. Sehingga di usianya yang baru mau masuk delapan belas, tingginya semampai dan tubuhnya sudah berbentuk di tempat-tempat tertentu. Dengan tingginya yang tidak sampai 165 cm dan pertumbuhan lambat. Pakaian Arintha benar-benar tidak cocok untuknya. Meskipun Fiko tidak terlalu menganggap kehadiran anak tirinya, Chendana masih darah daging istrinya. Jadi dia bersikap cukup baik dan tidak pelit, terutama kalau berhubungan dengan pendidikan. Apalagi, berita tentang keluarga Risjad yang menjadikan keponakan pembantu sebagai anak angkat, sudah tersebar keluar. Citranya di depan publik, sebagai pengusaha yang dermawan semakin terkenal. Karena itulah, dia tidak ragu mendaftarkan Chendana untuk les ini-itu. Tentunya bareng dengan Arintha. Fiko juga menyuruh Mahya untuk membelikan pakaian baru dan semua keperluan Chendana, di rumah maupun sekolah. Tetapi Mahya hanya membelikannya sekali, lalu berkata seperti ini. "Chendana, kamu harus tahu statusmu. Bisa ditinggal di sini, makan dan sekolah gratis harusnya sudah cukup. Kamu harus belajar hemat." Meskipun begitu, Mahya tidak kenal dengan kata hemat kalau membeli barang untuk Arintha atau untuk dirinya sendiri. Baru kemarin Chendana merapikan kantong belanjaan mereka. Ketika tanpa sengaja melihat kuitansi pembayaran matanya membelalak. Harga satu tas sekolah Arintha, dan sepasang sandal ibunya, lebih dari cukup untuk biaya makan lima keluarga di desa selama dua bulan. Pantaslah dia wanita itu tidak mau kehilangan gaya hidupnya yang seperti ratu. Chendana mencoba seragam baru di dalam kamar. Ngomong-ngomong, meskipun Mahya bilang akan merapikan kamar tamu untuknya. Tetapi, sampai sekarang, Chendana masih berbagi kamar belakang dengan bik Roh. Ketika dia menanggalkan pakaiannya, Chendana menyentuh pergelangan tangannya dan sedikit mengernyit, "Aneh, kemana gelangku?" Dia mencarinya disekitar kamar dan tak menemukannya. Pada saat dia mau pergi ke kamar Arintha. Dia berpapasan dengan Mahya yang secara khusus datang ke kamarnya. Chendana terkejut, "Ibu Mahya, kenapa ke sini?" Senyum Chendana mencapai matanya. Ada sesuatu yang aneh dalam diri Mahya ketika bibir mungil itu memanggilnya, 'Ibu Mahya'. Tetapi langsung ia tepis. Mahya memandang Chendana yang berdiri dekat tempat tidur. Ada jepit rambut di kepalanya, dan dia nampak imut seperti gadis kecil yang belum berdosa. Gaun merah yang ia pakai dua nomor lebih besar dari ukuran Chendana, dan lebih panjang dari tinggi badannya. Hal itu membuatnya nampak seperti tenggelam dalam tumpukan kain berwarna merah. Mahya mengingat, itu adalah gaun yang dibeli olehnya untuk Arintha, sewaktu mereka tour ke Eropa tiga tahun yang lalu. Gaun itu hanya dipakai dua kali oleh Arintha dan tidak memakainya lagi. Karena berat badannya turun banyak setelah diet ketat. Mahya tidak berharap, gaun itu akan berakhir dengan gadis dari desa yang juga anaknya. Dan yang paling membuatnya tak percaya, meski seperti tumpukan kain di tubuhnya yang mungil, gaun itu malah membuat gadis itu tampak semakin menarik. Mahya tersenyum cepat lalu berkata, "Aku membawakan seragam baru untukmu." Chendana memandang kantong-kantong kertas di atas meja. Mereka semua masih bersegel, pastinya masih baru. Dia mengulurkan tangannya, tersentuh, "Terima kasih ibu Mahya. Aku sudah punya baju dari Arintha, ibu tak perlu repot-repot membelikan yang baru." Mahya masih berdiri. Ada sedikit simpati di matanya. Namun, itu dengan cepat menghilang ketika tampilan angkuh menggantikannya. "Ini tidak repot, karena kamu harus pakai baju yang ku kasih!" Tatapan Chendana bersinar, tapi ketika melihat ukuran pakaian itu dia memandang Mahya sambil ragu-ragu, "Ukurannya kebesaran, ibu yakin ini buatku. Semua ini juga harus kupakai?" Mahya mengangguk tanpa menunjukkan simpati pada anaknya, "Pakai semuanya! Ingat Chendana, kamu tidak bisa tinggal di sini kalau Arintha tidak menginginkanmu. Jadi jangan pernah mengambil perhatian darinya, kamu tidak boleh lebih cantik dari Arintha karena kamu hanya saudara angkatnya." Ekspresi suram melintas di mata Chendana, dan wajahnya sangat tertekan. Dia memaksa seulas senyum dan berkata, "Baiklah, kalau memang harus begitu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN