LVY part 3

943 Kata
Keluarga Risjad termasuk pengusaha paling berhasil di jaman orde baru, pada waktu itu Muno Risjad, mertua Mahya, bekerja sama dengan putri tertua penguasa pada saat itu. Muno menjadi kontraktor terpilih yang membangun jalan bebas hambatan pertama di Indonesia. Yaitu, tol Jagorawi.  Saat itu, usia Fiko baru delapan tahun. Bekerjasama dengan cukong yang memiliki modal besar pada jamannya, membuat Muno yang saat itu bukan siapa-siapa menjadi orang yang dicari-cari untuk dimintai bantuan jasa. Tidak butuh lama untuk Fiko membangun bisnisnya. Dari pengusaha kelas sandal jepit, tiba-tiba dia menjadi pengusaha besar yang membuat perumahan untuk pegawai negeri. Tentunya dengan pemilik modal yang sama. Setelah satu perumahan selesai. Bisnis Risjad semakin menggurita, tidak hanya di bidang pembangunan, tapi merambah ke perkebunan dan pengolahan kayu.   Berkat kelihaiannya, Muno mendapat hak mengelola hutan adat di pulau Kalimantan. Mengelola disini, dalam artian perusahaannya menebang kayu yang sudah puluhan tahun tumbuh di sana, mengolah nya menjadi kayu gelondongan.  Hebatnya lagi, perusahaannya hanya menebang, tapi tidak menanamnya lagi. Tidak ada yang berani memgutak-atik pekerjaannya, karena bekingannya keluarga kayu wangi. Seiring dengan runtuhnya kejayaan penguasa. Bisnis Muno perlahan mulai mundur.  Fiko Risjad baru berusia dua puluh tujuh tahun, ketika perusahaan keluarganya kolaps di era reformasi. Aset keluarga mereka banyak yang dijual atau disita oleh bank untuk membayar pinjaman. Belum lagi yang mereka dituntut mengembalikan alih fungsi hutan, dan membayar ganti rugi ke pemerintah.  Berkat tangan midasnya, tanah milik mereka yang tidak banyak tersisa, dia bangun perumahan, dimulai dari perumahan biasa, lalu meningkat ke perumahan mewah sekaligus Mall dan tempat wisata.  Kurang dari lima belas tahun, Fiko Risjad menjadi pengembang perumahan terkemuka yang meraih lima penghargaan BCI Asia top 10 Awards. Hampir menyaingi Summarecorn grup. Sebagai seorang janda yang memiliki kehidupan biasa dan tidak memiliki latar belakang kuat, bisa menikahi orang seperti Fiko, Mahya sangatlah beruntung. Dia menikmati hidupnya dengan glamour. Jalan-jalan ke luar negeri, pakaian, tas, sepatu yang ia pakai semuanya bermerek. Berkat serum anti aging, perawatan kulit rutin, kulitnya masih kenyal dan mulus meskipun usianya kepala empat. Semua meyenangkan, hidupnya penuh dengan sanjungan dan pujian. Sampai datang masalah ini.  Pada saat ini mereka semua, minus Jerome, duduk bersama di ruang keluarga. Tak ada yang berani mengangkat suara. Semua diam, hanya pemberitahuan dari ponsel Arintha yang sesekali terdengar.  Ibu dan anak perempuannya yang baru bertemu selama dua hari, duduk berjauhan tanpa saling bertukar pandangan mata. Di sisi lain, Fiko Risjad duduk dengan sebatang rokok terjepit di tangan. Dia tidak berkata apa-apa, hanya mengembuskan asap rokok dengan tenang. Suasananya berkarat dan canggung. Bahkan, bik Roh yang biasa bolak balik ke depan, sekarang anteng dalam kamarnya. "Ibumu tidak pernah bilang sebelumnya, kalau dia punya seorang anak perempuan yang sudah sebesar ini, "Fiko meremas sebatang rokok di tangannya, kemudian membuang sampahnya ke dalam asbak.   Dia awalnya berpikir Mahya hanya sebatang kara, menikah dengan wanita berlatar belakang seperti itu tidak akan terlalu merepotkan, lagipula, dia sayang dengan anak-anaknya, jadi Fiko tidak banyak bertanya tentang latar belakang hidup wanita itu di masa lalu. Tiba-tiba mendapat kabar seperti ini, Fiko merasa hanya dimanfaatkan, "Mahya, apakah kamu menikah denganku hanya untuk status nyonya kaya?  Buat apa kamu menyembunyikan keberadaan anakmu sendiri? Apakah kamu tidak menganggapku selama ini?"  Mahya tidak bisa menjawab rentetan pertanyaan suamimya, dia memang bersalah. Wajahnya sedikit kaku, Mahya tidak pernah merasa sangat malu setelah datang ke keluarga Risjad selama bertahun-tahun. Hari ini, dosanya seperti diiris tipis-tipis.  Ini memang kesalahannya yang paling fatal. Bagaimanapun, ia sudah membawa seorang anak perempuan dari laki-laki lain pulang ke rumah, tanpa berdiskusi dulu dengan suaminya.   Awalnya, dia akan mengakui Chendana sebagai keponakan. Tetapi dia terlambat, anak ini rupanya haus akan pengakuan, tanpa seijinnya dia memberitahu bik Roh kalau dirinya adalah anak kandung Mahya. Dan, dengan bodohnya, bik Roh memberitahu Jerome. Sudah telanjur, akhirnya Mahya membuka mulutnya dengan terbata-bata, "Mami, mami tak pernah berpikir untuk menyembunyikan apapun dari papi. Tentang Chendana, awalnya mami kira kami, kami tidak akan pernah saling berkaitan satu sama lain. Anak ini... dia hanya bagian dari masa lalu yang sudah mami lupakan. Karena, karena masa depan mami bersama kalian."  Dalam sekejap, Chendana merasakan sedikit kepahitan di dalam hatinya, kuku-kukunya yang kecil tanpa sadar menusuk telapak tangannya.  Untuk apa ibunya membawanya ke rumah ini kalau tidak menginginkannya?   Wajah berwibawa Fiko sedikit terpelintir, hitam di matanya terlihat seperti pusaran. Fiko mengeluarkan suara dingin saat dia bertanya kepada istrinya, "Keluargaku dan kolegaku di luar sana, tahunya aku menikah dengan seorang gadis, bukan janda. Karena anak itu sudah telanjur masuk ke rumah ini. Pikirkan apa yang harus kamu lakukan terhadapnya, jangan sampai masalah ini keluar karena akan merusak nama besar Risjad."  Pada titik ini, Mahya kehilangan arah. Dia sudah melupakan masalah yang paling krusial. Statusnya di mata orang luar. Tidak ada yang bisa dia lakukan, selain membawa Chendana kembali ke kampung. Tetapi, bagaimana janjinya kepada kedua orangtua itu? Pada titik ini, satu suara terdengar seperti suara malaikat yang menyelamatkan hidupnya.  "Papi, jangan marah ke Mami," Arintha, yang sejak tadi bermain ponsel, akhirnya membuka mulut, "Punya anak perempuan satu lagi juga baik, aku jadi punya teman, apalagi kami seumuran."  Kalimat ini membuat Mahya benar-benar senang, ini adalah putri yang ia besarkan dengan sebaik-baiknya. Rasanya tidak percuma dia meninggalkan anak kandungnya, demi putri sebaik ini.  "Arintha, kamu menginginkan saudara?" Ketika bertanya kepada putrinya, nada dan senyum Fiko sangat hangat.  "Siapa juga yang tidak mau?" Dia melihat Chendana dengan ekspresi tersenyum, "Kita bisa jalan bareng, main bareng, bisa tukaran baju, make-up, kayak di drama-drama itu lho, Pi."  Tawa Fiko pecah seperti lonceng yang dipukul dengan kencang. Putrinya ini terlalu polos, dia belum memahami nilai kehidupan, dan menganggap hidup itu seindah dan semudah di drama yang setiap hari dia tonton.  Kenyataannya, memang tidak ada kesulitan dalam hidup Arintha. Dia dibesarkan sebagai nona muda yang memiliki segalanya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN