Part 3

2292 Kata
Seumur hidup Magi tak pernah bertemu seseorang yang lebih menyebalkan dan ingin sekali dicekiknya melebihi Rama. Laki-laki jangkung b******k yang selalu bikin baper setiap kali ia berdiri di samping Magi yang jauh lebih pendek darinya itu memang duduk dengan tenang di samping Magi, tapi itupun sudah membuat Magi kesal. Kekesalannya makin menjadi setelah tahu seluruh isi sekolah bersekongkol membela si b******k itu. Magi protes pada Kepala Yayasan karena disuruh membimbing Rama saja tidak diindahkan oleh Kepala Yayasan, padahal selama ini Kepala Yayasan selalu menurutinya, mentang-mentang orang tuanya Rama itu pemilik sekolah. "Magi kan?" Mendengar ada yang menyebut namanya, Magi yang baru saja keluar dari koridor sekolah menoleh, dan menatap seorang murid laki-laki yang berlari-lari kecil ke arahnya dengan rambut potongan undercut. "To the point aja," ucap Magi malas menambah beban ke kepalanya. Laki-laki itu tertawa dan meletakkan tangannya di bahu Magi yang langsung ditepis oleh Magi, tapi alih-alih tersinggung, laki-laki itu tampak tak keberatan dan tetap tersenyum. "Abang gue manggil lo, dia nunggu di Vintage Caffe, tahu Vintage Caffe kan?" kata laki-laki itu dengan suaranya yang super ramah dan bersahabat. Magi menghela napas, tadi ia pikir laki-laki ini salah satu penggemarnya dulu saat masih menjabat sebagai Ketua Osis, tapi ternyata hanya manusia bodoh yang salah orang. "Pertama, gue gak kenal Abang lo-" "Abang gue-" "Kedua, demi Neneknya Tapasya, siapa lo nyuruh-nyuruh gue?!" Magi otomatis membentak kasar, tidak cukupkah rasa kesal yang diberikan Rama padanya hari ini? Belum genap 24 jam dia mengenal Rama, dan laki-laki itu sudah membuatnya kesal hanya dengan mengingat namanya. Magi jadi tak bisa membayangkan hari-harinya ke depannya, ia akan diganggu oleh Rama setiap harinya sampai kelulusan, Magi makin kesal. Laki-laki itu tertawa lagi, "pertama, lo kenal Abang gue, namanya Terama Adhiyaksa-" "Ah monyet-" "Kedua, gue bukan nyuruh, gue cuma nyampein pesan Kakak cantik, tapi cebol sih.” "Jaga ya alat bicara lo." Awalnya memang memuji, tapi ujung-ujungnya tetap saja menyinggung tinggi badan Magi. Padahal Magi tidak sependek itu kok, seratus lima puluh empat sentimeter itu tidak pendek menurut Magi, walau laki-laki yang mengaku saudaranya Rama lebih tinggi. Laki-laki itu kemudian menepuk-nepuk kepala Magi, lalu mengulurkan tangannya pada Magi sambil tersenyum tipis. "Nama gue Tandru Adhiyaksa, lo boleh manggil gue apa aja," kata Andru membiarkan tangannya mengambang di udara. Sayangnya Magi tak menyambut uluran tangan dari Andru, ia menepisnya begitu saja, lalu menatap lurus-lurus mata laki-laki itu. "Lo udah tahu nama gue. Setan jangkung itu kenapa mau nemuin gue, Sap?" tanya Magi terdengar lelah dan bosan. Sap? Sapi? "Kok Sap? Maksudnya Sapi?" "Lo bilang panggil sesuka gue aja, gue salah?" "Iya juga." Andru terkekeh konyol, menyadari sudah kelewat bodoh membiarkan Magi membuat nama panggilan untuknya seenaknya, sekarang Andru tidak punya pilihan selain membiarkan Magi memanggilnya begitu. Magi sendiri mendengus bosan, lalu melirik jam tangannya dengan tidak sabar, seharusnya ia sudah dalam perjalanan pulang ke apartemen kalau anak sinting ini tidak menganggunya. "Jadi kenapa dia mau nemuin gue?" tanya Magi sewot karena Andru tak kunjung bicara. "Oh iya, katanya kelas tambahannya dimulai hari ini." "Bilangin, gue sibuk." Setelah mengatakannya, Magi berbalik meninggalkan Andru yang menggaruk-garuk kepalanya, mengingat-ngingat apa yang dikatakan Rama tadi kalau Magi menolak. "Hm, tadi sih kayaknya Abang gue ada ngasih tahu sesuatu sama gue, soal kalo lo nolak." Magi berhenti melangkah dan menoleh menatap Andru yang masih berusaha mengingat, Andru yang kebingungan begitu manis juga ya? Hah?! "Sesuatu?" tanya Magi. "Iya, kayak semacam... Spiral? Sapi? Apa gitu?" Magi mendengus lagi, tanpa mendengar kelanjutannya pun Magi sudah tahu apa yang akan di katakan Andru meski Laki-laki itu masih belum ingat, sudah jelas si b******k itu akan menggunakan informasi yang didapatkannya untuk membuat Magi menuruti perintahnya. "Okay." "Hah? Okay?" Lagi-lagi Magi mendengus, ternyata Andru tidak sepintar abangnya, saking pintarnya Rama, Magi rasanya ingin mencungkil otaknya. Sejak kapan Magi jadi sekejam itu? Lihat, belum 24 jam mengenalnya saja, Magi sudah berubah sejauh ini. Entah akan jadi bagaimana lagi kalau Magi mengenal laki-laki itu lebih lama. "Okay, gue bakal nyusul k*****t itu," ucap Magi dengan sabar. "Tadi setan jangkung, sekarang kampret." "Bacot banget lo, enyah sana." Menyingkirkan Andru dari jalannya, Magi tak lagi menoleh ke belakang hanya untuk melihat bocah sinting itu. Pantas saja Rama sinting, saudaranya saja begitu. Magi jadi ngeri membayangkan bagaimana Ayah dan Ibu Rama mendidik mereka. *** Menemukan seorang siswa berprestasi yang selalu menempati peringkat satu paralel, dan pemilik nilai ujian tertinggi saat SMP tiba-tiba memilih masuk kelas IPS, Rama merasa tidak bisa mengabaikannya. Terlebih lagi Rama merasa Magi bukan orang sembarangan, perempuan itu pasti punya koneksi yang kuat ke Kepala Yayasan selain sebagai anak donator sekolah, lalu Rama mulai mencari tahu alasan di balik semua itu, tentang kejadian 6 bulan yang lalu. Suara lonceng angin di atas pintu Caffe membuat Rama mendongak, ia menemukan perempuan berambut hitam sepunggung dengan Converse hitam pink berdiri di bawah pintu. Si perempuan mengedarkan pandangan ke penghuni Caffe sebelum menjatuhkan tatapannya pada Rama. ZMagi berjalan mendekat dengan ekspresi tak enak dilihat, lalu meletakkan tasnya ke kursi di sampingnya seraya melepas earphone dari telinganya. Ia menatap lurus-lurus Rama yang duduk tepat di hadapannya, sementara Rama hanya menatapnya datar. "Lo telat," ucap Rama kelewat datar sampai Magi kesal sendiri mendengar suaranya. "Gue gak mau ada kegiatan habis sekolah di hari senin." "Gue gak nanya?" Magi mengatupkan mulut dengan tangan terkepal di bawah meja, ia menatap tajam Rama yang sama sekali tak tampak merasa bersalah. Gue cekik juga nih, pikir Magi kesal. Menghela napas untuk menenangkan dirinya, akhirnya Magi memilih mengabaikan saja. "Gini, gue kasih tahu peraturan-" "Gue yang kasih tahu lo peraturannya," potong Rama, balas menatap Magi. "Dengar ya, di sini gue yang dirugiin, jadi gue yang berhak buat peraturannya," jelas Magi dengan tingkat kekesalan yang makin menjadi. "Gue Bos-nya." "Cih." Magi tak bisa menahan bibirnya untuk tak berdecih sinis, sejak awal Magi sudah menduga akan seperti ini. Kegiatan yang katanya kelas tambahan ini sengaja direncanakan Rama untuk menutupi niat sesungguhnya laki-laki itu, tujuan sebenarnya adalah Rama ingin menunjukkan pada Magi kalau saat ini ialah yang berkuasa, dan saat itu juga Rama makin minus di mata Magi. "Peraturan gue cuma satu," kata Rama tanpa merubah posisi duduknya yang sejak tadi bersandar sambil bersedekap, khas tukang perintah. Magi menaikkan sebelah alisnya, menunggu Rama melanjutkan kata-katanya tanpa merasa perlu memberi respon lebih. Setidaknya Magi bisa tidak memberikan respon yang diinginkan Rama darinya, tapi Rama hanya tersenyum kecil melihat respon Magi. "Gue aturannya," sambung Rama membuat kening Magi berkerut. "Maksud?" "Gue gak perlu aturan gak boleh hari senin atau gak boleh begini begitu." "Jadi?" "Semua ucapan gue, itu aturannya, gue aturannya, paham kan?" Gue aturannya. Kalimat itu masuk ke telinga Magi dan mengendap begitu saja, seolah Rama baru saja bercanda dengan tidak lucunya. Magi memiringkan kepalanya dengan masih menatap Rama. "Singkatnya, lo mau gue nurutin semua kata-kata lo, gitu kan?" terang Magi dengan intonasi menuduh. Rama mengedikkan bahu dengan senyum tipis dan tatapan tertarik yang ditutup-tutupi, "gue gak ngomong gitu." "Tapi secara gak langsung, lo bilang gue harus nurutin semua kata-kata lo, jadi lo pengen gue jadi babu lo kan?" Rama mengendikkan bahu lagi, apapun yang dikatakannya, Magi tetap saja akan memandang negative semua hal tentang Rama dan meski tahu Magi akan memandangnya jelek, Rama tidak berniat membetulkan kesalahpahaman itu. Padahal sebenarnya Rama hanya ingin bisa menjamin kapan ia bisa bertemu Magi lagi nanti tanpa takut Magi menolaknya. Ketertarikan Rama pada Magi bukan main-main, perempuan pendek itu bukan seseorang yang bisa dilewatkan begitu saja. "Makan apa belajar?" tanya Rama. "Gak usah, gue bisa beli sendiri," ketus Magi. Alis Rama naik sebelah dengan ekspresi bertanya, "gue gak nawarin?" Magi langsung membalik tubuhnya ke arah tasnya tanpa menanggapi ucapan Rama, takut ia akan langsung mengamuk jika membuka mulutnya. Dibukanya benda persegi itu dengan kepala berasap, baru beberapa menit di dekat Rama saja ia sudah menguras habis kesabarannya, bayangkan jika ia menghabiskan berhari-hari bersama Rama, bisa-bisa ia cepat tua. Isi tas Magi hanya beberapa, dua buah buku paket Ekonomi dan 4 buku tulis serta tempat pensil Batman. Rama mengangkat tempat pensil itu ke depan wajahnya dengan kening berkerut. "Batman?" gumamnya membuat Magi mengangkat wajah, menatap Rama dan tempat pensilnya. "Emang kenapa? Cuma cowok aja yang bisa punya tempat pensil Batman? Lo dan para cowok di luar sana pikir superhero cuma bisa disukai sama cowok kan? Padahal kalian gak punya hak ciptanya dan cewek berhak mau suka karakter apapun, jangan overproud karena Gender lo cowok deh." Ucapan bernada ketus dan penuh sarkas itu membuat Rama bingung. Padahal ia hanya bergumam soal Batman karena selera Magi yang tidak biasa, dan Magi langsung mengoceh panjang seolah Rama melarangnya suka pada Batman. Sudah pendek, cerewet pula. "Udah ngocehnya?" "f**k you." "Bisa mulai sekarang?" "Gue cekik lo sekarang bisa gak sih? Tangan gue gatal banget anjir." Sudah sejak pagi tadi Magi menahan tangannya untuk tak mengcekik Rama, atau setidaknya menjambak rambutnya saat itu juga. Kalau putra Adhiyaksa itu terluka atau parahnya sampai mati, maka tamatlah sudah cerita hidup Magi. Tidak akan lucu sama sekali untuk perempuan secantik dan selucu dirinya masuk penjara. Menghela napas untuk menambah stok kesabarannya, Magi membuka buku paket Ekonomi-nya, kemudian teringat untuk bertanya pada Rama. "Lo kenapa deh butuh bimbingan?" "Kepo." "Sopan banget ya lo setan, kelindes truk gue mampusin lo." Rama tersenyum tipis menanggapi kejengkelan Magi, ia bertopang dagu menatap lurus-lurus Magi yang sibuk membolak-balik halaman buku paketnya sambil menggerutu tidak jelas. Si cebol ini kalau dilihat-lihat cantik juga ya. "Gue Home Schooling sebelumnya," ucap Rama tiba-tiba. Mendengar penjelasan tiba-tiba itu, Magi menatap Rama dengan sebelah alis terangkat, loh? Buat apa seseorang seperti Rama Home Schooling? Jelas-jelas ia tidak terlihat seperti anak pesakitan atau korban bully yang tidak mau masuk sekolah. "Kenapa? Lo korban bully? Takut cewek? Kayak banci aja," ejek Magi saat merasa ini kesempatan paling tepat untuk membalas kekesalannya. "Takut ketemu cewek kayak lo sih." "Oalah a*u lo! Lo jawab singkat padat tapi menusuk sanubari ya, heran gue kok ada yang tahan serumah sama lo." "Bawel, cebol, barbar, rusuh, kasar. Ada yang tahan serumah sama lo?" Magi menggebrak meja, menatap tajam Rama yang masih asyik bertopang dagu. Laki-laki itu menatap Magi datar tanpa memperdulikan pengunjung Caffe yang sekarang menatap mereka penasaran. Seumur-umur Magi tidak pernah dimaki sekejam itu oleh siapapun, mungkin pernah dulu, tapi tetap saja Rama haram memakinya seperti itu tanpa memujinya. Magi diam-diam mendoktrin otaknya bahwa ia tidak akan pernah mau lagi diajak bimbingan bersama Rama. "Gue mau pulang, lo mau cari ke gorong-gorong juga gak akan ada yang mau ngajarin cowok kasar kaya lo, mentang-mentang lo lebih tinggi sedikit dari gue lo jadi ngehina gue cebol. Ini karena gue masih masa pertumbuhan ya, dihina Bang Aska aja gue gak suka, apalagi sama lo." "Curhat?" Magi makin gondok mendengar jawaban Rama yang menjengkelkan itu, ia buru-buru membereskan bukunya masih dengan Rama yang menatapnya datar. Rasanya Magi ingin mengurus surat pindah sekolah, surat pindah dunia sekalian, agar tidak perlu bertemu Rama lagi selamanya. "Mau kemana?" tanya Rama dengan sebelah alisnya yang terangkat heran. "Pulanglah b**o," sewot Magi seraya berdiri dari kursinya. "Duduk, gue belum selesai." "Bodoamat." "Ancaman gue masih berlaku, Magi." Saphira. Magi menggertakkan giginya kesal, ia menatap Rama yang lagi-lagi hanya menatapnya datar. Laki-laki itu tahu cara memanfaatkan uangnya dan informasi yang ada di tangannya, Magi yakin sekali jika Rama terjun ke dunia bisnis atau politik, ia akan sangat sukses. Apalagi caranya mengintimidasi lawannya sangat patut dipuji, sayangnya saat ini Magi tidak ingin memujinya, melainkan ingin mencopot kedua bola mata hitam itu dari kepala Rama. Sambil berusaha memupuk kesabarannya yang sangat sedikit itu, Magi duduk kembali di kursinya dan mengeluarkan buka paket Ekonomi-nya, kemudian meletakkannya di depan Rama. "Lo coba baca materi yang itu dulu," kata Magi mencoba bersabar. "Akuntansi dan sistem informasi?" "Iya, itu Bab awal di semester dua." "Oh." "Yaudah, baca! Jangan bikin kesel mulu!" "Bacain." Magi baru saja akan membuka mulutnya untuk memprotes perintah Rama, tapi ia ingat bahwa memprotes Rama hanya akan membuang-buang tenaga dan waktunya. Sambil menghela napas, Magi menarik buku itu ke hadapannya, ia menatap buku itu sejenak untuk menenangkan kepalanya yang sedang menyusun rencana pembunuhan untuk Rama. Sabar Magi, Tuhan selalu adil. "Proses Akuntansi dan Kualitas Informasi Akutansi. Menurut American Accounting Association, Akuntansi adalah suatu proses mengidentifikasikan pengukuran dan pelaporan..." Magi yang tampak sangat serius membacakan materi Ekonomi untuk Rama terlihat cukup mempesona, sampai membuat Rama yang masih bertopang dagu bukannya mendengarkan penjelasan Magi, tapi malah menatap lekat-lekat wajah mungil itu. Bibirnya bergerak-gerak membuka menutup, terkadang alisnya ikut mengerut seolah apa yang dibacanya aneh, dan ekspresi seriusnya. Perempuan itu jadi dua kali lipat lebih cantik saat serius. Sadar sedari tadi Rama hanya diam, Magi mengangkat wajahnya dari buku dan menatap Rama yang juga menatapnya. Ia tahu jelas Rama tidak sedang mendengarkannya, mata laki-laki itu memang menatap wajahnya, tapi jelas pikirannya tidak sedang bersamanya. "Lo denger gak sih?!" ketus Magi akhirnya, muak melihat kelakuan Rama. Rama mengerjap dan baru pada saat itu ia benar-benar menatap Magi, ia kemudian sadar Magi sudah tidak membaca bukunya lagi. Ia berdehem singkat untuk menyamarkan tingkahnya, lalu menaikkan sebelah alis. "Kenapa berhenti?" "Baru sadar lo? sindir Magi sinis, ia menutup bukunya kasar, "gue capek ya sumpah, kalau lo gak niat belajar jangan ngerepotin orang lain, dunia bukan cuma soal lo doang, mood gue gak baik-baik aja buat ngeladenin kegabutan lo. Gue belum makan siang karena kehabisan mie ayam di kantin dan lo ngajak ketemuan tanpa ngasih gue makan, gue lapar anjir, paham gak lo gue lapar?" Rama menggeleng-geleng takjub mendengar Magi yang mengoceh panjang dalam satu tarikan napas, yang tidak ada hubungannya dengan Rama yang tidak mendengarkan pun diungkit olehnya. Magi yang selesai menumpahkan kekesalannya itu, lalu dengan cepat melarikan diri sebelum Rama sempat bicara lagi, tapi kali ini Rama membiarkannya. Ia tidak akan menahan perempuan itu lebih lama lagi atau alih-alih makan nasi, Magi mungkin akan memakannya. Lagi pula Rama masih bisa menemuinya besok, besoknya lagi, dan besok-besoknya lagi, Magi akan selalu datang menemuinya. Hanya dengan memikirkan itu mampu membuat Rama tersenyum. **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN