Part 4

1294 Kata
Revani berlari-lari kecil sambil tersenyum riang menghampiri sosok pria paruh baya yang merentangkan tangan menyambutnya, lalu menariknya ke dalam pelukan hangat. Ia mengecup lembut rambut Revani dan membuat perempuan itu tertawa. "Kok Papa ada di sini?" tanya Revani mendongak menatap Papanya. "Loh? Emang Papa gak boleh jemput anak Papa yang cantik ini?" "Ih, bukan gitu Pa, kata Mami Papa keluar negeri, tapi kok baru 3 hari udah balik aja?" "Papa kangen sama Princess Papa ini, makanya Papa cepat pulang." "Ih Papa." Revani tertawa saat pria yang dipanggilnya Papa itu mencubit pipinya, kemudian menuntunnya menuju mobil yang sudah terparkir di depan gerbang "Habis ini kamu ada les?" tanya Papa kemudian. "Gak ada, hari ini Free buat Papa." "Bisa aja kamu, Vani lapar gak? Mau singgah makan dulu?" "Makan sama Mami aja deh." "Yasudah, naik sayang." Revani membuka pintu mobil, tapi sebelum dia berhasil masuk ke dalamnya, tak sengaja matanya menangkap sesosok cewek yang begitu dikenalinya, menatap ke arahnya dengan tatapan tajam penuh benci. Jantungnya langsung berdetak resah menyadari apa maksud tatapan itu, ia menunduk untuk menghindari tatapan yang seolah ingin menelannya hidup-hidup itu, kemudian ia masuk ke dalam mobil dan tak mengatakan sepatah katapun saat memasang sabuk pengaman. Rasa bersalah langsung memenuhi hati dan pikirannya, ia melirik ke arah Papanya. "Pa?" panggil Revani pelan. "Ya, Sayang?" Untuk sesaat Revani ragu mengatakannya, ia sudah sangat sering menanyakan ini pada pria di sampingnya, dan ia tidak yakin keputusan Papa akan berubah, hanya saja Revani merasa harus tetap menanyakannya. "Papa gak mau bawa Kakak pulang?" tanya Revani pelan. Papa tak menjawab, rahang pria itu tampak mengeras dan ia terlihat marah. Revani menunduk dan meremas tangannya, takut malah dirinya yang mendapat masalah untuk menyelamatkan Kakaknya. "Seharusnya kamu senang dia pergi, gak ada lagi yang ganggu kamu sama Mami, lagi pula gara-gara anak itu Oma gak suka sama kamu." "Pa, bukan salah Kakak kalau Oma gak suka Revani." "Sudah Revani, Papa gak mau bahas ini, anak itu yang pergi meninggalkan rumah dengan sendirinya, tidak ada yang mengusirnya, biarkan saja." Revani menunduk makin dalam, seperti dugaannya, jawaban Papa tetap saja sama, Papa tetap tidak ingin membawa Kakaknya kembali ke rumah atau setidaknya mencoba menghubunginya. Revani semakin digelayuti rasa bersalah. Revani tahu dirinya-lah yang membuat Kakaknya pergi meninggalkan rumah, dan Revani tidak tahu harus berbuat apa untuk membawa kembali sang Kakak yang terlanjur membencinya sekarang. Sampai di rumah Revani langsung menemui Maminya yang saat itu sedang duduk di kursi taman dan membaca buku seperti kebiasaannya. Semua orang sudah jelas tahu kenapa Revani begitu sopan, lembut dan baik hati, ia dilimpahi kasih sayang dan edukasi yang baik. "Mi?" Revani memanggil saat sampai di samping Maminya dan langsung mendudukkan dirinya di samping Mami. Wanita berumur diakhir 40-an itu menghentikan bacaannya dan menoleh melihat anaknya yang lesuh. "Kenapa Sayang? Ada masalah di sekolah?" tanya Mami. Mendapat pertanyaan seperti itu, Revani langsung teringat pada bagaimana orang-orang di sekolah memperlakukannya. Apalagi bagaimana Magi selalu berbuat jahat di sekolah padanya, semua itu jelas adalah masalah, tapi meski Magi melakukannya tiap hari Revani tak akan menceritakannya pada Mami, ia tahu walau menceritakannya ia tetaplah pihak yang bersalah. "Kok diam? Ada masalah apa?" Adelia menatap anaknya itu dengan seksama, ia masih menemukan sisa keresahan dan rasa bersalah di raut wajah anak perempuan belasan tahun itu, dan Adelia jelas tahu anaknya tak baik-baik saja. "Mi, kenapa Papa gak mau bawa Kakak pulang?" tanya Revani miris Tentu saja masalah sebenarnya dari rasa bersalah Revani adalah karena Kakaknya, perempuan itu menganggap dirinya-lah yang bersalah atas hengkangnya sang Kakak dari rumah. Mami menghela napas dan mengusap rambut Revani perlahan. "Kamu tahu sendiri sifat Papa kamu gimana, Nak." "Tapi kenapa Mi? Kakak kan juga anak Papa, karena Kakak pergi, hidup aku gak pernah baik-baik aja, semuanya salahin aku, semuanya benci aku." Mami diam sebentar dan menatap anaknya yang semakin lesuh nyaris menangis. Ia sudah sering mendengar Revani mengeluh padanya, bilang sekarang ia sering di bully dan dihina, juga tidak ada yang menyukainya, dan Adelia jelas tahu siapa yang menyebabkan semua ini terjadi. "Mereka masih sering ganggu kamu?" tanya Adelia pelan, tak ingin sampai suaminya mendengar. "Tambah parah Mi, sekarang mereka suka ngatain aku sampah, gembel, gak berguna, tukang jilat." "Kamu yang sabar ya, Sayang. Ada masanya nanti semua orang bakal tahu kalau kamu gak pantas diperlakukan seperti itu." "Vani tahu kok, Revani juga gak marah. Sekarang Revani cuma sedih kenapa Kakak gak pernah coba buat bicara baik-baik atau seenggaknya dengerin Revani ngomong." "Kakak kamu masih sakit, Sayang. dia gak bisa percaya sama orang lain setelah apa yang kita perbuat sama Kakak kamu, Kakak kamu pasti takut sakit lagi." Ucapan Mami itu membuat Revani menarik napas panjang, merasa sesak lagi. "Tapi aku cuma pengen balikin Kakak lagi, aku salah ya? Tiap hari kalau lihat Kakak aku selalu merasa bersalah." "Yang sabar lagi, Sayang. Kuncinya sabar." Revani menarik napas panjang lagi, lalu memeluk Mami dan menangis di pelukannya. Setiap harinya dia harus berseteru dengan rasa bersalah yang menggerogotinya dan menahan semua kebencian yang ditujukan ke arahnya. Ia hanya ingin semuanya kembali seperti semula, tentang Kakak, tentang kehidupannya, dan semua kebencian itu, tapi kenapa rasanya sulit sekali? ❄❄❄ Kemejanya basah, rambutnya lepek, bau anyir tercium dari tubuhnya. Revani terisak pelan, ia menunduk dan tak bisa mengatakan apa-apa saat telur-telur busuk itu dilemparkan kepadanya bersamaan dengan suara tawa dan hinaan. "Sampah aja banyak gaya." "Belagu." "Sampah!" Revani hanya mendengarkan dan memendamnya dalam hati, ia tak bisa membalas, meski bisa sekalipun ia tak ingin, semua ini pantas diterimanya setelah apa yang dilakukannya. Semua orang membencinya, karena kesalahannyalah Magi keluar dari Osis, kesalahan paling fatal karena membuat Magi yang mereka sayangi jadi mengabaikan semua orang, lalu karena tak bisa melakukan apapun pada Magi mereka kemudian berbalik memberikan kebencian pada Revani. "Kalian ngapain?" Suara tanya yang terdengar dingin itu membuat cecaran dan hinaan kepadanya terhenti, mereka menatap satu titik di mana seorang laki-laki berseragam SMA Bhintara yang Revani tahu adalah si pemilik sekolah, Terama Adhiyaksa sedang berjalan ke arahnya. "Siapa yang kasi izin kalian bullying di sekolah gue?" tanya Rama tajam. Semua siswa itu terdiam, yang tadinya melempar cercaan pun tak menjawab sama sekali. Revani tak mengerti kenapa Rama membelanya saat semua orang membencinya. "Jawab!" "Dia pantas dapatin itu kok-" "Enggak ada orang yang pantas dapat perundungan." "Lo kan gak tahu!" bentak seorang perempuan yang sepertinya adalah ketuanya, di sampingnya berdiri dua orang siswa perempuan lagi. "Lo semua sakit ya?" Suara Rama dingin dan menusuk, membuat 3 orang siswa perempuan itu menegang sekaligus mengepal tangan. Siswa-siswa yang berkerumun itu sebagian mencibir dalam hati, sebagian mempertanyakan kenapa Rama mau membela sampah itu. Menurut mereka, Revani sangat pantas menerima hinaan seperti itu. "Mulai hari ini, kalau ada yang berani bullying lagi di sekolah ini, siap-siap di D.O dari sekolah," titah Rama sambil menatap satu persatu siswa yang berdiri tak jauh darinya itu, kemudian memberi perintah mutlak, bubar. Para siswa itu kemudian buru-buru melarikan diri meninggalkan Rama, laki-laki itu lalu berbalik dan menatap Revani yang menatapnya tak mengerti. Makin tak mengerti saat Rama membuka jaketnya dan mengusapkannya ke wajah Revani untuk membersihkan sisa telur juga air comberan. Revani menahan napas saat cowok itu melakukannya. "Jangan diam dibully, lo harus lawan," kata Rama dengan kemarahan di suaranya. Seolah laki-laki itu sangat marah karena Revani di perlakukan seperti ini, pemikiran itu seketika membuat Revani merasakan sesuatu yang lain. Untuk pertama kalinya ada yang mau berdiri di pihaknya, dan ini kali kedua Rama membelanya. "Ke toilet sana," katanya lagi lebih ketus. "Ya?" "Ke toilet, lo bisa sendiri kan?" "Kenapa ke toilet?" "Lo mau masuk kelas kayak gitu?" Revani menatap seragamnya dan baru sadar ia tampak berantakan sekali, "oh iya, lupa." "Sana." Rama mengusirnya dengan mengibaskan tangan, kemudian melangkah pergi meninggalkan Revani yang menatapnya dengan tersenyum, apakah sekarang ia punya pangeran yang akan melindunginya? Revani berharap semoga saja Rama benar-benar pangeran yang dikirim untuknya. ❄❄❄
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN