Bab 7

1656 Kata
Lebih cepet jantung Rangga berdetak dari biasanya, saat melihat seorang gadis cantik bertubuh mungil sekilas melirik padanya saat menaruh cangkir teh di meja.  Malam ini Rangga dan kedua orang tuanya bertandang ke kediaman keluarga Soebandono, teman lama Banu sejak masih di bangku kuliah dulu. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan untuk memperkenalkan putra dan putri mereka. Dialah Salwa Tsamara Soebandono, gadis cantik yang selama ini mengabdikan waktunya untuk mengajar di sebuah pesantren tempat dia menuntut ilmu dulu. Baru beberapa minggu dia di rumah menuruti kemauan kedua orang tuanya, di usia yang telah lanjut tentu orang tuanya ingin hidup di dampingi putri semata wayangnya tersebut. Sama seperti Rangga, orang tua Salwa juga telah menuntutnya berumah tangga, sebagai gadis cantik dan pintar bukan tidak ada yang menginginkannya sebagai pendamping. Telah ada beberapa pemuda yang berniat meminangnya termasuk putra dari sang kiyai di pondok tempatnya mengajar. Namun sebagai putri yang berbakti tentu Salwa lebih mengutamakan keinginan orang tuanya untuk berbesan dengan sabahat lamanya. "Kamu sudah melihat calon istrimu tho, Le? Bagaimana? Salwa itu nyaris enggak ada cacatnya lho!" ujar, Lestari pada putranya yang hanya mengangguk salah tingkah. "Ah, Mbakyu ini terlalu memuji. Nak Rangga juga enggak kalah ... udah bagus, masih muda sudah jadi pengusaha sukses. Sekarang jadi lurah, lagi!" puji Sumarnilaras yang biasa dipanggil Laras, istri Soebandono atau wanita yang telah melahirkan Salwa. "Bagaimana dengan Gendhuk Salwa, Kangmas? Apa dia sudah setuju dengan perjodohan ini?" tanya Banu pada sahabatnya yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri. "Salwa itu anak yang penurut, dia pasrahkan semua masalah ini pada kami. Karena dia percaya kami tidak akan salah pilih, iya tho, Le?" ujar Soebandono sambil menatap wajah tampan Rangga seolah memastikan bahwa Rangga memang pilihan terbaiknya. "Eh hm ... iya, Pakdhe ... Saya merasa tersanjung sekali kalu Pakdhe dan Budhe merasa saya adalah pilihan terbaik." Rangga menganggukkan kepala penuh penghormatan. "Ya. ya. ya," Soebandono mengangguk-nganggukkan kepalanya, "Kalau begitu segera saja kita laksanakan pernikahan ini." Permintaannya memantik senyuman di wajah semuanya, termasuk Salwa yang sedari tadi bersembunyi di balik dinding penyekat ruang tamu dan ruang tengah. "Iya, benar itu. Ada baiknya rencana baik jangan ditunda-tunda," sahut Banu, dengan tawa sempringah. "Bagaimana, Bu'e?" Soebandono meminta pendapat istrinya. "Kalau Bu'e, nurut keputusan Bapak saja." jawab Laras, jelas terlihat ia adalah istri yang sangat penurut dan berbakti pada suaminya. "Kalau begitu kapan kira-kira waktu yang tepat, Nu?" tanya Soebandono pada calon besannya tersebut. "Hhmm ...." Banu tampak sedikit berfikir, semua orang memandang penuh penantian padanya, termasuk seorang gadis bergamis dan berjilbab panjang yang tengah meremas baki yang ia pegang, mencuri dengar dengan harap-harap cemas. "Kapat sasur dino¹, sejak hari ini. Hari Selasa kliwon, atau anggoro kasih. Hari baik itu," ujar Banu mencetuskan ide. Mereka tampak tersenyum bahagia, "Iya, kami setuju. Lebih cepat lebih baik, iya tho, Jeng?" Kata Laras sambil menggenggam tangan Lestari yang duduk di sebelahnya. "Iya, Jeng. Aku ni lho udah enggak sabar pingin nimang cucu!" jawab Laras lalu keduanya tertawa kecil. "Ah, yo, sama." Timpal Laras. Pembicaraan kedua wanita jawa nan anggun itu membuat d**a Rangga bergemuruh, hingga pipinya memerah. "Ibuk, nih. Ngomongin apa, tho?" sahut Rangga lalu menyeripit tehnya, sekedar untuk menutupi malu. Sedangkan seorang gadis di balik tembok menengadahkan tangan kehadirat Illahi, mengucap syukur dan berdo'a agar diberi kemudahan dan kelancaran hingga prosesi sakral itu bisa terwujud. Serta memohon agar rumah tangganya kelak bisa bahagia, penuh keberkahan.  * Dita Andriyani * Rangga mematung sepanjang perjalanan pulang, ia sama sekali tidak ikut masuk dalam pembicaraan kedua orang tuanya yang duduk di kursi belakang. Ia larut dalam fikirannya sendiri, sedangkan Didi sang sopir pribadi pun tanpa suara berkonsentrasi pada kemudi. "Beruntung hari yang Bapak pilih bukan hari Jum'at paing, di mana aku harus menemui Randu. Masih ada jarak delapan belas hari antara Jum'at paing dan Selasa kliwon, jadi aku bisa menemui Randu sebelum aku menikahi Salwa." Rangga berbicara pada fikirannya sendiri. Hingga ... Ccciiittt ... Suara ban mobil yang mereka tumpangi saat Didi mengerem mendadak, tubuh mereka semua terhuyung ke depan. Semua terkejut, lalu menyatukan perhatian pada Didi yang tampak gemetar. "Ada apa, Dik?" Lestari spontan terpekik. Lalu melihat ke arah belakang, hanya pepohonan yang terlihat. "I--i--itu ... Buk. U--ular ... Ular besar sekali!" Didi terbata sambil menunjuk ke arah belakang, sontak mereka bertiga menoleh untuk melihatnya. Namun tidak ada apapun mereka lihat, hanya pohon-pohon rindang yang menaungi jalan yang lumayan sepi itu. "Mana? Enggak ada apa-apa, kok!" ujar Banu, setelah memastikan dengan mengedarkan pandangan kesekitar. "Yah, mungkin udah pergi. Namanya juga ular 'kan mahluk hidup," ujar Rangga menenangkan mereka. Walaupun ia merasakan debaran yang tak kalah kencangnya dalam d**a. "Ya udah, biar Rangga aja yang nyetir. Bahaya tuh, tangan kamu masih gemeteran begitu." Perintah Lestari, melihat Didi yang masih sangat ketakutan. Entah apa yang ia lihat. Lalu mereka turun guna berpindah posisi, terlihat jika Didi masih tidak bernyali, entah raib ke mana nyali pemuda berusia dua puluh satu tahun tersebut. Terbukti dengan ia yang celingukan sebelum menuruni mobil memastikan apa yang dia lihat tadi benar-benar tidak ada, sesekali ia menggidikkan bahunya lalu berjalan cepat menuju pintu mobil yang akan ia masuki. Sedangkan Rangga mencoba berjalan santai, menyapu pandangan ke sekeliling tapi ia pun nyaris melompat dan berteriak melihat ular besar di belakang mobilnya, menegakkan kepala sama persis seperti saat pertama kali ia melihatnya di hutan tempo hari. Buru-buru Rangga memasuki mobil dan memacunya, lekas sampai di rumah. Itulah harapannya, tapi ia sedikit berfikir, ular sebegitu besarnya mustahil jikalau ibu dan bapaknya tidak melihat. "Dik, memang ular seperti apa yang kamu lihat?" Rangga berusaha mengatur nada bicaranya agar terdengar biasa saja. Padahal ia merasakan hal yang sama, bahkan lebih. "Gede banget, Pak. Ggeeddee baanggettt ... Seperti tiang listrik!" Didi bercerita sambil merasakan bulu kuduknya yang kembali meremang. "Ah ... Ngawur kamu, buktinya tadi bapak sama ibu enggak ngeliat apa-apa! Rangga juga, iya tho, lhe?" Lestari bertanya pada Rangga agar memastikan pada Didi bahwa mereka tidak melihatnya. "Hem ... Iya, Buk." Rangga meraup wajahnya dengan telapak tangan kanan lalu menaruh sikunya di jendela mobil sedang jemarinya memegang dagu, tangan kirinya tetap pada kemudi. Ia berfikir keras, "Randu bilang, ular itu ada karena kebodohanku, mengingatkanku akan perjanjianku dengannya. Itu artinya ular itu akan ada saat aku melakukan kesalahan. Bapak dan ibu tidak bisa melihatnya, Didi pun hanya sekilas melihatnya. Sepertinya ular itu hanya memperingatkan tanpa berniat menyakiti." Rangga tanpak menganggukkan kepalanya, tanda sependapat dengan perasaannya. Mobil sudah berhenti di pelataran rumah mereka, semuanya turun memasuki rumah. Begitu pun dengan Didi yang masuk lewat pintu garasi. *** Handoko tampak sedang membaca koran saat Rangga dan kedua orang tuanya pulang. "Bagaimana, Lhe?" tanya Handoko pada keponakannya yang langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa tak jauh dari tempatnya duduk. "Ponakanmu itu akan segera menikah, Mas!" serobot Lestari, sebelum memasuki kamarnya diikuti sang suami. Setelah memastikan adik dan adik iparnya benar-benar masuk kamar dan tidak keluar lagi, Handoko menggeser duduknya pada Rangga yang tampak tidak bersemangat. "Mau nikah kok loyo!" ledek Handoko pada Rangga yang hanya berdecih. "Eh, bagaimana dengan Randu?" bisik Handoko begitu memosisikan duduknya tak berjarak dengan Rangga. "Itu dia masalahnya, Pakde. Baru berencana menikah saja, tadi mobil kami hampir dibuat kecelakaan oleh ular besar yang mengikutiku waktu itu." Rangga tampak bingung dan putus asa menceritakan hal itu pada Handoko. "Lho bagaimana ceritanya? Yang nyetir 'kan Didi tho?" tanya Handoko heran. "Ya itu, tadi sekilas Didi lihat ular itu, hampir celakalah kita!" jawab Rangga. "Sudahlah, biar nanti aku jujur saja pada Randu." imbuhnya. Handoko hanya diam, mungkin dia juga merasa takut jika terjadi apa-apa pada keponakan tersayangnya itu. "Ya, semoga itu lebih baik." jawab Handoko menepuk pundak Rangga. "Aku tidur dulu, Pakdhe. Besok ada rapat di Kecamatan." pamit Rangga pada pamannya yang masih pada posisinya. Rangga melangkah menuju kamarnya, membuka daun pintu lalu lagi-lagi nyaris berteriak, rasanya jika seperti ini terus jantungnya bisa tidak sehat. "Pakde! Pakde sini!" Rangga berbisik agar orang tuanya tidak mendengar. Handoko yang mengetahui ini adalah sebuah rahasia, mendekat tanpa berbicara. "Pakde lihat itu?" tanya Rangga sambil menggedikkan dagu ke arah ranjang meminta agar Handoko melihatnya. "Ada apa Rangga?" Dengan polos Handoko bertanya setelah mengedarkan pandangan ke dalam kamar Rangga. "Pekde benar-benar enggak liat?" Rangga terheran akan jawaban Handoko. Handoko melongok sekali lagi, "Enggak ada apa-apa, Lhe!" tegasnya. "Pakde, ular itu ada di atas kasur. Ngeliatin kita!" beber Rangga, mata Handoko membulat seketika sekujur tubuhnya terasa merinding meskipun ia tidak melihat apa yang Rangga katakan. "Rangga, biar bagaimana pun ular itu adalah salah satu peliharaan Randu. Sama seperti mustika itu, cobalah kamu bicara baik-baik padanya." Handoko menasihati keponakannya tersebu, Rangga terlihat ragu tapi akhirnya hatinya setuju dengan sang paman. Bagaimanapun ini semua karena pilihannya membuat perjanjian dengan Randu. Maka apapun yang terjadi, ia harus bisa menghadapinya. Perlahan Rangga melangkah masuk meninggalkan Handoko yang lalu menutup pintu kamar Rangga dari luar, takut ada yang melihat keponakannnya itu berbicara sendiri. Lalu kembali duduk di sofa seperti semula. Dengan memejamkan mata, Rangga mendekati ranjangnya lala sedikit demi sedikit membuka kedua kelopak matanya dan berdiri sekitar satu meter dari ranjang di mana seekor ular bersisik hitam kemerahan melingkar. Ular itu terlihat sangar dengan mahkota berpermata hitam bertengger di kepalanya. Namun, jika dilihat-lihat ukurannya lebih kecil dari ukuran semula di saat Rangga melihatnya. "Hmm ... hai ular," tubuh Rangga bergidik ngeri ketika ular itu menatap tajam padanya, bisa ia pastikan ular itu tahu apa yang Rangga katakan, "apapun dan siapapun kamu, saya mohon jangan ganggu keluarga saya lagi, apalagi membuat mereka semua celaka. Masalah Randu ... aku tahu dia junjunganmu, aku tidak akan melupakannya. Aku akan segera menemuinya begitu saatnya tiba," ujar Rangga dengan hati tak karuan. Tidak lama kemudian ular itu terlihat melata, turun dari ranjangnya dari sisi berlawanan dari tempat Rangga berdiri. Rangga masih merasa takut tapi penasaran kemana ular itu pergi, hingga ia melongok ke sisi ranjangnya hingga mengintip ke kolong ranjang. Tapi tidak dia dapati ular itu di sana, Rangga menghela nafas lega sepertinya ular itu benar-benar pergi. "Aku mau tidur, Pakde," pekik Rangga memastikan Handoko mendengar dan tahu dia baik-baik saja. ¹Perhitungan menurut primbon jawa, untuk menyebutkan hari dan rangkap sesuai dengan hari ini. lamanya adalah 35 hari. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN