Bab 8

1125 Kata
 "Hm ... Randu ... ada yang mau aku bicarakan ...." Ucapku terbata, ia berdiri membelakangiku tangannya tengah sibuk membuka kancing kebaya yang ia kenakan. Setelah sekian lama kami menjalani hubungan ini, aku sudah mulai terbiasa dengan keberadaannya sebagai istriku. Aku sudah terbiasa dengan aroma tubuhnya, aku sudah mulai terbiasa dengan wajahnya yang buruk rupa. Kuncinya adalah tidak membuatnya marah, karena wajah itu akan tampak lebih menyeramkan jika ia marah. "Apa yang kau inginkan? Keuntungan lebih besar untuk semua bisnismu?" Tebaknya ia memutar tubuhnya menghadap padaku, aku menelan saliva karenanya. ini bukan pertamakalinya tapi berhadapan dengannya selalu membuat jantungku berdegup kencang. "Bukan ... bukan itu, tapi ...." Aku ragu mengutarakannya. Aku takut dia akan marah mengetahui rencana pernikahanku. "Tapi apa?" Tanyanya lagi seraya duduk di pangkuanku. "Orang tuaku memintaku segera menikah." Aku mengucapkannya dengan sekali tarikan nafas. Menghimpun kekuatan bersiap menerima segala kemarahannya. "Lalu?" Tanyanya datar. Tangannya mulai menggerilya membuka kancing kemejaku. "Aku harus menurutinya," jawabku dengan suara sedikit bergetar. "Kau ingat perjanjian kita?" Tanyanya. "Iya, aku ingat." "Apa?" "Akan datang ke sini setiap malam Jum'at Paing untuk memenuhi kewajibanku." Jawabku, kini ia menuntun tanganku untuk melingkar di pinggangnya. "Tidak masalah kau menikahi wanita lain. Asal tidak akan pernah kamu melanggar perjanjian kita!" Tagasnya. Aku menghela nafas lega mendengar perkataannya. "Menikahlah jika itu adalah keinginan orang tuamu, tapi satu hal yang harus kamu ingat, hanya aku satu-satunya wanita yang harus kamu cintai. Kamu tidak boleh mencintai istrimu!" Ujarnya penuh penekanan, sudah ada kilatan amarah dalam matanya. Aku terdiam, rasanya menelan air liur saja terasa sulit. Tenggorokanku mengering, tidak bisa kupungkiri perlahan tapi pasti keberadaan Randu sudah mulai mengisi hatiku. Tapi apa mungkin seiring berjalannya waktu rasa yang sama tidak akan tumbuh juga untuk Salwa jika dia sudah menjadi istriku. "Kenapa kamu diam Rangga? Kamu keberatan?" selidiknya. "Tidak ... bukan begitu, Randu. Jika yang kamu inginkan adalah hatiku, bukankah bukan hal yang sulit bagimu untuk menawannya?" Jawabku. Ia tersenyum penuh kemenangan. Lalu kami habiskan malam ini dengan keindahan yang melelahkan. *** Aku masih betah meringkuk di atas ranjang, tubuhku selalu terasa remuk redam setiap bangun tidur di tempat ini. Aku menarik selimut sebatas leher merasakan dinginnya udara di pagi kemarau ini. "Bangun Rangga ini sudah hampir siang!" Suara Randu yang sepertinya duduk di tepi ranjang terdengar. Ini pertamakalinya ia membangunkanku, karena biasanya aku selalu lebih dulu terbangun kerena rasa takutku. Tidak ada suara lembut selayaknya seorang istri membangunkan suaminya, suaranya tetap saja tegas dan culas. "Randu ... boleh aku menginap semalam lagi di sini?" gumamku. Tidak ada jawaban terdengar, hanya deritan pintu kamar yang memecah keheningan. Dia tidak mengusirku, itu artinya aku mendapat izin untuk kembali menginap. Aku memang sengaja ingin menghabiskan waktu di sini, meninggalkan sejenak kepenatan dan padatnya jadwal pekerjaan. Toh aku juga sudah merasa terbiasa berada di tempat ini. Aku kembali terlelap, entah berapa lama sampai aroma singkong rebus menguar di indra penciumanku. Mengusik perutku yang sedari kemarin belum terisi. "Randu ... Randu ...." Panggilanku tak kunjung mendapat jawaban. Kulangkahkan kaki menuju dapur, darimana sumber aroma itu berasal. Bulu kudukku meremang melewati sebuah kamar yang pintunya tertutup rapat, sepertinya itu kamar Ki Selo.  Ia memang tidak pernah keluar kamar saat siang hari. "Randu." Ia menghentikan kegiatannya mengeluarkan singkong rebus dari dalam panci saat mendengar panggilanku. "Aku lapar," ujarku. Ia menoleh lalu membetulkan letak kerudung panjang yang ia kenakan untuk menutupi separuh wajahnya. "Ayo makan." Ujarnya seraya melangkah meninggalkan dapur, membawa sepiring singkong rebus di tangannya. Aku mengikuti langkahnya menuju sebuah balai bambu yang berada tidak jauh di belakang rumahnya. Kami menyantap makanan sederhana ini tanpa saling bicara, aku menyadari satu hal. Dia tetaplah anak manusia, kedua orang tuanya manusia biasa hanya saja menganut ilmu sesat untuk mendapatkan kesaktiannya, dan bodohnya sekarang aku juga tersesat mengikuti jalan mereka. "Randu, boleh aku bertanya sesuatu?" Nyaliku sedikit menciut melihat kedua matanya membola. "Apa?" "Ka--kamu ... pernah ke kota?" "Tidak! Ki Selo bilang, kekuatanku akan berkurang jika aku bertemu dengan banyak orang." Jawabnya. "Lalu ... darimana kamu mendapatkan barang-barang di rumahmu? Panci, piring, gelas, dan kain jarik yang kamu pakai." Aku memberanikan diri bertanya. "Itu semua pemberian, pengabdi Ki Selo. Mereka yang memberikannya." Jawab Randu, nada bicaranya sudah tidak sekaku biasanya. "Jadi ... sering ada orang lain ke sini?" Tanyaku lagi, walau sedikit ragu apakah dia akan menjawabnya. "Iya, mereka datang sebulan sekali sepertimu. Bahkan ada yang beberapa bulan sekali, atau setahun sekali." Mendengar jawabannya aku merasa tidak enak hati, entah kenapa ada rasa tidak rela yang menelusupi hatiku. "Jadi ... kamu memiliki suamu lain selain aku?" Spontan pertanyaan itu lolos dari mulutku. Randu tertawa lebar karenanya, sedangkan aku malah tak bernyali mendengar tawanya. Apa arti tawa itu? Jantungku berdegub menunggu jawabannya. "Mereka itu pengabdi Ki Selo, Ki Selo selalu melarangku keluar jika mereka datang." Jawabnya setelah berhenti tertawa. "Itu artinya ... tidak ada yang pernah menyen-- eh ... melihatmu selain aku?" tanyaku gugup. Ia mengangguk, aku merasa lega karenanya. Sebenarnya kenapa aku ini? Apa aku cemburu jika ada orang lain yang menyentuh Randu, apa aku mulai mencintainya. Ah! Kalaupun iya pasti ini bukan cinta sesungguhnya, bukankah aku sendiri yang bilang bukan hal yang sulit baginya untuk menawan hatiku. "Sejak aku masih kecil Ki Selo selalu memberitahu aku, suatu saat akan ada orang besar yang menjadi jodoh mustika ajijumantoro. Yang juga akan menjadi jodohku." Aku mendengarkan dengan seksama saat dia mulai bercerita. "Aku selalu menunggu saat itu, sampai akhirnya kamu datang mengharapkan tuah dari mustikaku." Aku menganggukkan kepala. "Boleh aku tau tentang masa kecilmu?" tanyaku saat merasa suasana sudah lebih mencair. "Mencari ilmu, hanya itu waktu yang kuhabiskan. Bahkan mungkin sejak aku dilahirkan." Terasa ada mendung yang menggelayuti kedua matanya saat mengucapkan kata itu. "Ibuku meninggal saat melahirkanku," lirihnya, aku tidak menyangka ia bisa bersedih juga. "Sudahlah Randu, tidak perlu kau fikirkan. Ibumu sudah tenang di alam sana," ujarku selembut mungkin berusaha menghiburnya. "Kau tidak tau apa-apa Rangga!" kini matanya nyalang menatapku, membuat tubuhku lunglai kehilangan semua keberanian. "Ibuku menjadi tumbal, dari semua ilmu yang Ki Selo dapatkan. Jiwanya tertahan, menderita, tersiksa! Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa!" Ujarnya, geram yang tertahan membuat kedua tangannya mengepal. Wajahnya menjadi lebih menyeramkan dari sebelumnya. Aku hanya bisa diam menunduk agar tidak melihat kemurkaannya. Keheningan membersamai kami, hanya angin yang sudah mulai menghangat karena mentari yang mulai meninggi. "Kalau kamu tau jiwa ibumu tersiksa, kenapa kamu juga mengikuti jejak Ki Selo, Randu?" Aku sedikit berbisik, takut jika ucapanku memantik amarahnya lagi. "Kamu pikir aku punya pilihan lain? Ini adalah hidupku! Untuk inilah aku dilahirkan. Aku harus menjadi orang yang sakti untuk membalaskan dendam ibuku!" ujarnya penuh penekanan. "Membalas dendam? Pada siapa?" Senyum culas tersungging di wajahnya, mungkin pertanyaanku terdengar konyol di telinganya. Satu-satunya orang yang ia kenal selain aku dan pakde Handoko adalah Ki Selo, apakah Randu ingin membalas dendam pada Ki Selo. Bukankah Ki Selo adalah ayah sekaligus gurunya sendiri?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN