Aku masih tercengung mendengar perkataannya, terlihat ada amarah yang coba ia tahan. Terus terang aku takut untuk mengorek lebih dalam walau rasa penasaran tambah mengusai hatiku.
"Randu, apa kamu bisa menbaca dan menulis?" pertanyaan ringan kuucapkan berharap bisa mengurangi ketegangan.
"Bisa, walaupun sejak kecil aku lebih sering menghafalkan mantra, tapi Ki Selo tetap mengajarkanku membaca dan menulis." Jawabnya datar.
"Apa kamu tidak ingin kekota?" tanyaku dengan senyum tulus.
"Tidak. Untuk apa aku ke sana, semua orang akan takut melihatku." Jawabnya, bernada kesal tapi juga sedih menjadi satu.
Aduh ... sepertinya aku salah pertanyaan, kini suasana menjadi kembali terasa kaku.
Kami masih bergeming dalam hening, angin sepoi menggoyangkan ujung rambutnya yang ikal tergerai.
Tiba-tiba ada pertanyaan yang terasa menggelitik hatiku.
"Randu, setelah sekian lama aku menjadi suamimu. Apakah kamu mencintaiku?"
"Yang aku butuhkan bukan cintamu tapi pengabdianmu, tidak ada perasaan seperti itu dalam hatiku." Jawabnya tegas lalu meninggalkanku dalam kebisuan.
Dia benar, hubungan kami bukan hubungan suami istri sebenarnya. Hanya ikatan perjanjian di alam maya.
***
Hanya indah pemandangan kaki gunung ini yang bisa aku nikmati di sini, hingga senja menjelang Randu tidak juga menemuiku.
Aku benar-benar menghabiskan waktu sendiri, lelah dari rutunitas pekerjaan membuatku ingin menghabiskan waktu di sini. Tapi jika benar-benar sendiri begini rasanya tidak menyenangkan juga, apalagi tidak memiliki teman bicara sama sekali.
Sementara ponsel pintarku juga sudah tidak bisa digunakan karena batreinya telah habis.
"Randu ... Randu." Kucoba memanggil namanya di sela pintu yang kuketuk.
"Ada apa?" Jawabnya setelah pintu terbuka.
"Aku mau tidur saja." Ujarku seraya mengusap tengkuk yang terasa kaku, ingin rasanya merebahkan tubuh di atas kasur.
"Tidur saja di balai depan. Ini bukan waktumu untuk bersamaku." Jawabnya seraya kembali menutup pintu.
Dan aku? Hanya bisa terbengong. Meratapi nasib sialku.
"Hahahaha." Jantungku terasa hampir melompat dari tempatnya mendengar tawa Ki Selo yang tiba-tiba sudah berada di belakangku.
"Ma--maaf ... Ki," gagapku.
"Sudahku bilang kamu hanya bisa mengunjunginya di malam Jum'at pahing." Ujarnya datar. Lalu berjalan menuju balai di ruang tamu.
Lunglai aku mengikuti langkahnya, tidak ada pilihan lain. Kembali ke Genilangit sekarang juga jelas bukan ide bagus.
Belum juga aku mendudukkan tubuhku di balai bambu. Aku sudah mendengar suara ketukan pintu, mungkin itu salah satu pengabdi Ki Selo seperti yang Randu ceritakan tadi siang. Rupanya ada juga manusia sesat selain aku.
Ki Selo memerintahkan aku untuk sembunyi di ruang belakang, lagi-lagi aku hanya bisa pasrah menurutinya walau kuat sekali rasa takut dalam hatiku.
Aku mulai mengintip di balik tirai, saat seseorang memasuki ruangan tempat Ki Selo berada. Beruntung ruangan tempatku berada lebih gelap hingga keberadaanku tidak terlihat oleh mereka.
Tiga orang lelaki dewasa, dari pembicaraan yang kudengar mereka meminta bantuan Ki Selo untuk melancarkan mereka dalam memenangkan tender besar.
Hampir semalaman aku duduk di kursi reot yang berada di ruang tengah, tanpa penerangan dan membiarkan darahku menjadi santapan nyamuk yang beterbangan.
Tubuh terasa pegal-pegal kala terbangun dari tidurku, rupanya aku terlelap di atas kursi kayu setelah lama menunggu tamu Ki Selo yang tak kunjung pulang. Tidurku juga cukup lelap hingga tidak mendengar saat mereka pulang dan Ki Selo masuk ke kamarnya.
Aku menuju dapur, melihat tungku api sudah menyala di sana. Aku tertegun melihat Randu duduk di atas dingklik --bangku kecil terbuat dari kayu-- yang berada di depan tungku. Hanya sehelai kain jarik yang menutupi tubuhnya sebagai kemben tanpa kebaya lusuh yang biasa ia kenakan. Air dalam panci yang menghitam karena asap pembakaran mulai mengepul tanda mulai mendidih.
Aku mendekati tungku, mencari sedikit kehangatan yang jelas bisa aku dapatkan di sana sedikit mengalihkan rasa dingin yang terasa menusuk tulang.
"Kapan kamu akan pulang?" Tanyanya dingin saat melihatku mendekat, sedingin udara di kaki gunung ini.
"Saat matahari sudah terbit, sebentar lagi." Jawabku sambil mengedarkan pandangan melalui celah dinding bambu. Dia bergeming.
"Kau mau aku bawakan sesuatu saat aku kembali nanti?" Tanyaku berharap ada sesuatu barang yang ia inginkan.
"Aku tidak memerlukan apapun." Jawabnya tanpa memandangku. Aku mengangguk.
***
Tidak terasa pernikahanku semakin dekat, hanya tinggal menghitung hari saja.
Entah kenapa aku merasa lebih tenang sekarang, ular gaib peliharaan Randu pun sudah jarang sekali terlihat.
Mungkin karena belakangan sering diadakan pengajian di rumah ini, kata ibu untuk mempersiapkan pernikahanku. Semua harus dimulai dengan perbuatan baik, aku hanya bisa mengiyakan memasrahkan semuanya pada ibu. Ia pasti tahu yang terbaik untuk kami, walaupun perasaanku selalu terasa tidak tenang jika sedang diadakan pengajian di rumah, seperti ada kegelisahan yang menguasai sanubari, itulah sebabnya aku lebih senang menyibukkan diri di kantor saat di rumah sedang ada pengajian.
Walaupun para stafku menyarankan padaku untuk mengambil cuti karena lusa adalah hari pernikahanku.
***
Pagi ini aku sudah siap dengan pakaian yang tidak pernah aku berencana memakainya dalam hidupku, sebuah pernikahan juga rasanya tidak pernah aku impikan sebelumnya.
Setelan beskap dengan kain jarik dan sebuah blankon berwarna senada, sebuah kalung dari rangkaian melati melingkar di leherku. Aromanya kuat menusuk indera penciuman membuat dadaku tiba-tiba berdesir teringat Randu, aroma melati yang selalu tercium dari rambut panjangnya. Sial! Kenapa saat bergumul dengannya malah menari-nari diingatanku saat seperti ini.
"Rangga, kamu sudah siap?" Suara Pakde Handoko yang masuk kamarku tanpa mengetuk pintu membuyarkan lamunanku.
"Yah ... siap enggak siap Pakde." Jawabku malas.
"Eh ... mau nikah kok loyo!" ledeknya, aku hanya mencebik mendengarnya.
"Ayo cepat, rombongan sudah siap. Jangan biarkan pengantin wanitamu menunggu." Ajaknya tanpa menungguku, tetapi tiba-tiba langkahnya terhenti seperti teringat sesuatu.
"Rangga, sembunyikan mustika Randu baik-baik. Jangan sampai istrimu nanti melihatnya!" Ujarnya setengah berbisik.
"Tenang, Pakde, aman." Jawabku seraya mengikuti langkahnya.
***
Pernikahan dilaksanakan di kediaman calon istriku, kini dia sudah duduk tepat berdampimgan denganku.
Wajahnya cantik, dengan makeup sederhana. Bibir tipisnya dipulas warna merah jambu berbanding terbalik dengan bibir Randu yang berisi dan merah alami.
Ia tersipu malu saat tanpa sengaja pandangan kami bersiborok, sangat berbeda dengan Randu yang akan menatap tajam kedua mataku dan membuat nyaliku menciut.
Kenapa lagi-lagi aku harus teringat padanya.
"Bisa kita mulai sekarang, Pak Lurah?" Tanya Pak Penghulu padaku. Aku hanya mengangguk seraya terseny lebar menutupi kegugupanku.
Saat itu pula seseorang melantunkan ayat suci dengan merdunya, hatiku mulai gelisah tidak karuan. Mungkin aku cemas dan gugup karena sebentar lagi akan melangsungkan prosesi sakral sekali seumur hidup. Aku menganggapnya seperti itu, karena prosesi pernikahanku dengan Randu jelas jauh berbeda.
Bulu kudukku meremang saat terasa ada udara hangat yang berhembus, seperti ada seseorang yang meniup tengkukku. Kuedarkan pandangan ke sekeliling, semua orang mendengarkan dengan khidmat lantunan ayat suci tersebut. Hatiku bertambah gelisah, kini udara panas itu terasa menjalar di sekujur tubuhku.
Pakde Handoko mendekat, sepertinya hanya ia yang bisa membaca kegelisahanku.
"Kamu kenapa, Lhe?" Tanyanya, sebuah tepukan ia berikan di pundakku.
"Enggak tau, Pakde. Rasanya enggak karuan." Jawabku, berbisik di telinganya.
"Pamit dulu sama Randu." Ujarnya, juga dengan berbisik di telingaku. Aku mengangguk faham, ia kembali ke tempat duduknya.
"Randu ... aku sudah berpamitan padamu untuk menikah, dan kau pun sudah setuju. Jadi aku mohon ... jangan ganggu aku." Bisikku dalam hati, berharap Randu bisa mendengarku.
Tapi bukannya mereda, rasa gelisah makin menguasai hatiku. Aku tidak bisa menahan diri, lalu bangkit dari dudukku dan meninggalkan meja yang akan menjadi tempatku menjabat tangan penghulu.
Sontak tindakanku menarik perhatian semua orang, mereka menatapku penuh kebingungan. Memandangku bahkan sampai tubuhku memasuki rumah calon mertuaku, yang kucari adalah kamar mandi. Mencari air untuk membasuh muka dan tengkukku yang terasa panas, rasa gelisah ini membuatku ingin sekali berteriak. Namun, syukur aku masih bisa mengendalikan akal sehatku hingga urung kulakukan.
"Rangga? Kamu kenapa, Lhe?" Suara Ibu terdengar, dibarengi ketukan pada daun pintu.
"Rangga ... jawab Ibu, Nak." Lagi.
Aku membuka pintu, melihat wajahku yang basah Ibu lalu membuka tasnya dan mengambil sapu tangan, memberikan padaku untuk mengeringkan wajah dan leherku.
"Kamu kenapa? Cerita sama Ibu," tanyanya halus.
Aku menghela nafas dalam, lalu berusaha mengaturnya pelan, "Aku gelisah, Buk. Perasaanku enggak enak."
"Ealah ... kamu gugup," sahutnya sambil menahan senyum, "ayo sekarang tarik nafas ... buang ... tarik nafas ... buang," titahnya. Aku menuruti.
"Jangan lupa, baca do'a. biar enggak gugup. Ayo sekarang ikut ibu, acaranya udah mau mulai." Ibu menarik tanganku, menuntunku kembali ke depan pelaminan yang terletak di halaman rumah Salwa, calon istriku.
Pembacaan ayat suci telah selesai, mereka hanya menungguku untuk melakukan acara inti. Acara ijab qobul.
Penghulu dan para saksi menahan senyum saat melihat aku kambali.
"Rupanya seorang lurah juga bisa gugup saat akan menikah, ya?" Ledek sekertaris desa yang akan menjadi saksi pernikahanku.
Aku hanya tersenyum tanpa rasa saat mendengarnya, tepatnya nyengir.
Rasa gelisah dan gugupku seketika hilang, hingga dengan sekali tarikan nafas saja kini seorang gadis yang duduk di sebelahku telah menjadi istriku. Tangannya terasa lembut saat memakaikan cincin di jemariku, lalu mencium punggung tanganku. Rasanya kikuk saat untuk pertamakali aku mencium keningnya.