POV Salwa.
Aku sangat terkejut saat tiba-tiba ia berdiri dan langsung meninggalkan tempat akan berlangsungnya ijab qabul, bahkan tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Tatapan mata kami semua sama sekali tidak bisa menghentikannya, bahkan panggilan dari ibunya pun seolah tidak ia dengar. Aku meremas jemari, karena kecemasan akan kelangsungan acara pernikahanku ini.
Sebenarnya apa yang terjadi padanya, sejak pertama kali kami bertemu sebulan yang lalu memang belum sekalipun kami berbicara dari hati ke hati. Kami terlanjur mempercayakan semua yang terbaik pada orang tua, selama itu pula tidak ada tanda-tanda dia menolak perjodohan ini. Tapi kini saat pernikahan hanya tinggal menunggu beberapa menit saja, tampak begitu besarnya keraguan dalam hatinya.
Waktu terasa sangat lama berputar, padahal baru beberapa menit berlalu saat calon ibu mertuaku menyusul putra semata wayangnya ke belakang. Ibu duduk di sampingku, mengelus pundakku. Dari tatapan matanya seolah berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Senyum ibu mengembang sempurna saat melihat calon suamiku berjalan mendekat, sang ibu mengapit lengan kekarnya.
"Maaf, ya, Pak Penghulu. Anak saya cuma gugup. Maklumlah pernikahan ini kan sekali seumur hidupnya," ujar calon mertuaku pada penghulu yang telah siap melakukan tugasnya.
"Rupanya seorang lurah juga bisa gugup saat akan menikah, ya?" Ledek sekertaris desa yang akan menjadi saksi pernikahan kami.
Mas Rangga malah mendelik dan mencebikkan bibir saat mendengarnya, memantik senyum geli kami semua, termasuk aku.
Tapi akhirnya sebuah rasa lega dan syukur yang tak terhingga tumbuh dalam hatiku, kerena Mas Rangga dapat dengan lancar mengucapkan ijab, menghalalkan diriku sebagai istrinya.
Tangannya terasa dingin saat untuk pertamakalinya kusentuh, lalu kucium penuh penghormatan.
Walau terlihat kikuk dan malu-malu, sama sepertiku saat ia mendaratkan bibirnya di keningku. Ada rasa bahagia yang berbalut bangga karena kini aku telah menjadi istrinya, istri seorang Ranggani Putra Manunggal.
***
Pov Rangga.
Sebenarnya aku enggan berada dalam keramaian seperti ini, tapi posisiku yang seorang kepala desa mengharuskanku untuk menyelenggarakan pesta besar-besaran. Setelah dua hari berpesta di rumah keluarga Salwa, hari ini kembali acara resepsi kembali digelar di rumahku.
Bahkan hingga dua hari lamanya, karena hari pertama akan di laksanakan ramah tamah bersama warga desa Genilangit dan sekitarnya, sedangkan hari kedua diperuntukkan kerabat kerja dari berbagai kelurahan lain, juga untuk para rekan bisnisku dari Jogja.
Orang tuaku bilang ini penting, untuk mendeklarasikan bahwa seorang Ranggani Putra Manunggal sudah tidak sendiri lagi.
Pandanganku tertuju pada seorang tamu yang berjalan pongah ke arah pelaminan, semua orang yang berada di sekitarnya menyalami penuh penghormatan menandakan ia adalah orang yang sangat disegani di sini. Tidak lain dan tidak bukan, dia adalah rival abadiku. Panji Kertayudha, rival yang sudah berhasil aku kalahkan berkat Randu.
Dia tersenyum penuh kepalsuan saat berdiri di hadapanku, di belakangnya berdiri seorang wanita cantik yang juga tersenyum ramah, Winda istrinya. Ia menggandeng seorang anak lelaki, mungkin sekitar tujuh tahun usianya.
"Hei ... selamat, ya, Pak Lurah! Akhirnya berhasil dapet jodoh juga," ucapnya sambil merangkul dan menepuk pundakku.
"Pasti dong! Dalam segala hal, aku pasti bisa lebih baik dari kamu," jawabku.
Kulirik Salwa yang tengah berbincang basa-basi dengan Winda. Pandu mengikuti pandanganku, aku tersenyum bangga melihat Salwa yang lebih cantik dari istrinya.
"Eits ... nanti dulu! Kamu masih tertinggal satu hal dari aku!" Panji mengacak rambut anaknya yang tersenyum manis padaku. Aku mengerti maksudnya.
"Eah ... tenang aja, Bro! Aku pasti lebih tokcer dalam hal itu!" Jawabku.
Lalu "Au ...." aku meringis saat sebuah cubitan mendatar di pinggangku, Salwa tampak tersipu malu.
Memantik tawa kecil keluarga bahagia di hadapanku ini. Tidak lama mereka berpamitan, tidak lupa senyuman khas Panji nampak di mataku. Senyuman penuh makna merendahkan bagiku.
Tiba-tiba ada sesuatu yang menganggu fikiranku, lalu sebuah kalimat terucap dihatiku. "Aku sudah lama bersama Randu, tapi kenapa dia belum hamil juga, ya?"
POV Salwa.
Pipiku terasa memanas jika teringat perkataan Mas Rangga saat di pelaminan waktu itu, saat Mas Panji dan keluarganya menyalami kami. Saat itu, dari obrolan mereka dapat kuketahui kalau Mas Rangga ingin segera punya momongan.
Ini sudah beberapa hari aku tinggal di rumah suamiku, rumah masih terasa ramai kadang masih ada saja satu atau dua tamu yang datang. Selama di sini juga aku masih tinggal di kamar tamu bersama seorang sepupuku yang sengaja menginap di sini untuk menemani dan membantu mengurus keperluanku, kerena resepsi pernikahan kami yang memang di gelar berhari-hari. Baru tadi pagi sepupuku itu berpamitan pulang, karena acara sudah selesai.
Aku tengah membantu beberapa rewang membereskan toples berisi makanan ringan sisa hajatan saat ibu mertuaku memanggil.
"Salwa." Suaranya terasa begitu lembut.
"Iya, Ibu." Aku menghampirinya yang berdiri tidak jauh dari karpet tempat kami duduk.
"Kamu, enggak usah bantuin para rewang. Lebih baik kamu beresin barang-barang kamu, terus pindahin ke kamar suamimu." Perintah Ibu.
"I--iya ..., Bu," jawabku, ia malah tersenyum, atau tepatnya menahan tawa.
"Baru di suruh pindahin barang, malah malu-malu gitu!" Sindirnya.
"Maklum, ndoro. Masih pengantin baru! Yo malu-mau meong," celetuk Mbok Irah.
"Malu-malu meong ... Miiaaoo ... Mmiiaaoo ...." Timpal Mbak Sri yang duduk di sebelahnya, sontak membuat tawa mereka pecah.
Tidak tahu apa aku setengah mati menahan malu.
"Apa tho, kalian ini!" Gerutuku sambil menahan panas di pipi lalu meninggalkan mereka yang tertawa cekikikan entah apalagi yang mereka bicarakan.
Aku mengambil tas pakaian yang memang masih rapi lalu membawanya keluar dari kamar tamu, rasanya ragu saat melangkah menuju kamar suamiku yang hanya terletak beberapa meter dari sini.
"Wes, Nduk. Langsung masuk aja!" pekik Ibu saat melihatku ragu untuk mengetuk pintu.
Daripada semakin malu karena jadi pusat perhatian mereka, akhirnya aku masuk kedalam kamar yang memang tidak terkunci ini.
Aku mengedarkan pandangan, kamar ini lebih besar dari kamar tamu yang sebelumnya aku tempati. Aroma maskulin menguar di indera penciumanku, mendengar pintu yang tiba-tiba terbuka lalu tertutup lagi membuat sang penghuni kamar menoleh.
Entah apa yang sedang ia pandang dari jendela kamarnya, yang sepertinya menghadap ke kaki gunung Lawu ini.
"M--mas ... Maaf ... tadi Ibu nyuruh aku pindahin barang-barangku ke sini." Kataku, ia meninggalkan tempatnya. Mendekat padaku dan mengambil alih tas besar yang masih kujinjing.
"Ya, karena memang di sini tempatmu, kamu kan istriku, masa mau tidur di kamar tamu!" Jawabnya, ia letakkan tasku di deoan lemari.
"Kamu bisa simpan pakaian kamu di sini." Katanya, lalu terlihat dahinya mengerut saat melihatku bergeming di tempatku.
"Ngapain masih di situ? Sini!" ia ulurkan tangan kanannya.
Ragu aku mendekat, kuraih tangannya hingga kini jemariku berada digenggamannya.
Aku menuruti saat kutahu ia menginginkanku duduk di sebelahnya walau irama jantungku sudah tak menentu.
"Salwa." Ini pertama kalinya suamiku memanggil namaku.
"Iya, Mas." Aku mencoba menyembunyikan kegugupanku.
"Apa yang membuat kamu mau menikah denganku?" Pertanyaannya terdengar sangat serius.
"Karena kamu pilihan orang tuaku, dan pilihan mereka selalu benar." jawabku, walaupun tidak seratus persen benar.
"Apa benar-benar tidak ada alasan lain? Kenapa kamu tidak menolakku?" Aku menjadi bingung, sebenarnya kemana arah pembicaraan ini.
"Kenapa aku harus menolakmu? Tidak ada alasan bagiku untuk menolakmu, kamu lelaki yang baik. Orang tuaku pasti tidak akan salah memilih untukku." Jawabku yakin. Dia tersenyum tipis.
"Bagaimana kalau sebenarnya, aku tidak sebaik yang kalian semua kira?" Lagi, sebuah pertanyaan serius ia berikan. Setidaknya itu yang aku tangkap dari nada bicaranya.
"Kita sudah menjadi suami istri sekarang. Baik dan buruknya kita, kita harus saling menasihati. Lebih dan kurangnya kita, kita harus saling melengkapi." Ia tersenyum lalu mengusap kepalaku membuat kerudung instan yang kupakai sedikit berantakan, aku segera merapikannya. Ia tersenyum melihatku, membuat jantungku seakan meleleh.
***
POV Rangga.
"Sekarang aku yang bertanya padamu, kenapa kamu mau menikahiku?" Aku tersenyum tipis mendengarnya membalikkan pertanyaanku.
"Kurang lebih sama denganmu, karena kamu pilihan terbaik orang tuaku." Jawabku.
"Apa yang membuatmu menerima perjodohan ini?" Wajahnya terlihat dibayangi rasa penasaran.
"Yah ... karena orang tuaku benar, aku sudah cukup dewasa, cukup mapan sudah waktunya aku menikah. Juga karena satu hal." Aku sengaja menggantung kalimatku, dan sukses membuat wajahnya semakin penasaran.
"Apa, Mas?" Salwa terlihat bersemangat saat menanyakannya, wajahnya terlihat lucu membuatku tak tahan untuk tertawa.
"Kamu cantik, dan pasti memiliki kepribadian yang cantik juga." Jawabku asal, tapi malah membuat wajahnya semakin memerah.
Aku menatap kosong ke arah jendela yang berada tepat di hadapanku, hutan nanti rimbun tampak di kejauhan. Sesaat tidak kupedulikan Salwa yang tengah bergelut dengan fikirannya, entah apa itu yang membuat pipinya semakin merona.
Setidaknya dia bisa membuatku nyaman, menatap wajahnya tidak membuat jantungku di rongrong ketakutan seperti saat bersama Randu.
"Astagfirullah ...." Salwa terpekik.
Akupun tidak kalah terkejutnya saat tiba-tiba kaca jendela kamarku pecah.