Chapter 1

3160 Kata
INDONESIA, 2017 Siang hari yang sibuk. Awan berarak menemani segala aktivitas yang terjadi di Ibukota ini. Beberapa karyawan dari berbagai instansi memadati trotoar. Tidak untuk pulang ke rumah, tentu saja. Melainkan untuk mengistirahatkan otak mereka sejenak dari seabrek pekerjaan yang diberikan oleh atasan mereka. Memanjakan cacing-cacing dalam perut mereka yang telah menggeram sejak amunisi pagi telah kosong. Yang perlu mereka pikirkan kali ini adalah menu apa yang akan dipilih. Restoran? Atau di warung kaki lima, kaki mereka akan melangkah? Bagi mereka, harga tak menjadi masalah. Di era ini, para pemilik perusahaan harus rela merogoh kocek yang sangat dalam untuk memberi upah para karyawan. Segala kebutuhan primer ataupun sekunder, selalu meningkat setiap tahunnya. Entah Negara yang bermasalah ataukah dari pemerintah? Tentu mereka tidak akan peduli dengan itu semua. Hidup mereka akan terjamin, selama mereka memiliki pekerjaan di gedung bertingkat. Tidak perlu merasa takut, jika sewa rumah akan meningkat. Tidak perlu berpikir untuk menjalani kehidupan esok hari. Hidup mereka tak akan seperti batu keras yang terkikis oleh air. Sayangnya, tidak semua orang yang tinggal di kota ini, memiliki hidup yang layak seperti itu. Hampir tujuh puluh persen penduduk, harus berjuang hanya untuk sesuap nasi. Seperti Gin. Gadis yang tengah terlibat dalam suatu perkelahian dengan beberapa pemuda. Surai ikal coklatnya yang lusuh tergerai di udara, saat ia melakukan pukulan memutar pada salah satu pemuda. Beberapa luka serta lebam pun menghiasi wajahnya. Selama sepersekian menit, ia berusaha melumpuhkan kelompok pemuda tersebut. Hal mustahil tentu saja, ia dapat memenangkan perkelahian. Hingga! Salah satu pemuda memukul tengkuknya dengan sebalok kayu, yang membuat dia tersentak sebelum akhirnya tersungkur di tanah. Derap langkah salah satu pemuda menggema. Terdengar mengerikan. Mendekati Gin yang tak berdaya. Mempererat jemarinya pada kayu. Dan! "Cut!" Suara barito yang menggema, mengakhiri aksi mereka. Gin bergegas berdiri. Melemparkan senyum pada kelompok pemuda yang berkelahi dengannya tadi. "Gin.. kau baik-baik saja? Pukulanku terlalu keras?" Tanya pemuda yang beradu akting dengannya. "Aku baik-baik saja," jawabnya dengan tawa renyah. "Hai, kalian! Cepat keluar dari lokasi," teriak pria yang memiliki suara barito sebelumnya. Seorang gadis yang berpakaian sama dan dandanan yang juga persis dengan Gin pun segera memasuki lokasi syuting, ditemani beberapa asisten. Sejenak ia berhenti. Menatap Ginny. "Kerja yang bagus," ucapnya, diselingi dengan senyum ramah. "Terima kasih!" jawab Ginny, juga tersenyum ramah. Beberapa puluh menit berlalu. Ginny berjalan keluar dari ruang ganti. Lebam yang sebelumnya menghias wajah mulusnya pun telah tertutup plester coklat. Bekas membiru tersebut bukanlah sebuah karya seni dari penata rias. Ia sering mendapatkan luka-luka seperti itu. Terkadang, memberikan adegan yang hebat, diperlukan pengorbanan yang cukup besar. Moto-Nya. Sebagai seorang pemeran pengganti di film laga, dia telah terbiasa dengan luka-luka kecil seperti itu. Bahkan tahun lalu, ia sempat menjalani operasi kaki kanannya yang patah akibat adegan jatuh dari tangga. Tak pernah ada penyesalan darinya karena telah memilih pekerjaan tersebut. Meski ia harus memutar waktu, harus memilih pekerjaan apa yang akan dilakoninya, ia akan tetap memilih profesi itu. Tetapi, Adakala, saat hatinya mengirim sinyal lelah pada tubuh, ia pun sempat berpikir akan mencari pekerjaan lain. Yang lebih menjanjikan soal upah tentunya. Namun saat otaknya bekerja, ia pun berpikir akan realita. Akan teramat sulit mencari pekerjaan di kota yang populasi penduduknya semakin membludak tiap tahun. Dan.. bagaimana dengan hidup bibi serta dua adiknya yang bergantung padanya? Bertahan dan berjuang! Dua kata yang terpatri pada jiwanya. "Gin!" pemuda yang melakukan adegan dengannya, menghampiri. Gin menghentikan langkah dan memutar haluan. "Rey? Ada apa?" "Kau tak ingat ini hari apa?" Segaris kernyitan muncul di dahinya, sementara dua bola matanya berputar searah jarum jam. "Ah! Hari ini kita menerima upah bukan?" Jentikan jari putihnya terdengar. "Tsk," Rey mendecakkan lidah. "Ini milikmu." "Terima kasih," cetusnya, menerima amplop berwarna putih. "Masih pukul tiga sore. Pekerjaan kita sudah selesai. Kau.. akan pergi ke mana setelah ini? Bagaimana jika kita makan bersama?" pinta pemuda berwajah oriental tersebut. "Rey, maaf. Aku-" "Kau harus segera pulang untuk membelikan adik-adikmu makanan kesukaan mereka, kan?" Gin hanya menjawab dengan anggukan. Tersenyum menyesal. Ponselnya berdering, beberapa detik kemudian. Segera ia mengambilnya dari dalam saku. "Maafkan aku Rey, nanti aku akan menghubungimu. Aku pergi dulu!" ucapnya tergesa-gesa. Bahkan, Rey tak sempat mengucapkan selamat tinggal. Kata-katanya pun menggantung di udara, diselingi dengan desahan panjang. Rey cukup tampan untuk menjadi seorang pemeran pengganti. Tak sedikit produser yang telah menawarkannya untuk menjadi aktor. Akan tetapi, Rey selalu menolak begitu saja. Alasannya, karena ia tidak ingin disibukkan dengan hingar bingar kehidupan artis. Meski alasan yang sebenarnya adalah agar ia selalu dekat dengan Gin. "Dia menolak lagi?" cetus seorang pemuda yang datang dari arah belakang, berdiri tepat di sampingnya. "Jika aku hitung ini sudah yang.. ke-tiga puluh lima kalinya! Wah, Gin sangat keterlaluan. Rey.. apa yang kau cari dari gadis biasa, seperti dia? Memang.. dia cukup cantik. Tapi.." "Bagiku, ia adalah seorang gadis yang hebat. Aku suka kepribadiannya. Pemberani. Tangguh. Tidak manja seperti gadis kebanyakan." "Memang.. dia cukup hebat. Bahkan, sangat hebat untuk membuat kau gila seperti ini! Kau menolak Sharen dan artis cantik yang lain demi dia!" Rey tersenyum miring mendengar ucapan teman seprofesinya tersebut. "Rey! Ini milik Gin, kan?" seorang gadis menghampirinya, dengan membawa dompet berwarna putih, bermotif bunga. Saat senyumnya telah setengah pudar. "Ah, gadis itu ceroboh sekali," gerutunya seraya mendecakkan lidah. Rey segera berlari setelah mengatakan itu. Menghiraukan teriakan panggilan dari temannya. Sementara Gin tengah asyik mengobrol di telepon. "Kakak akan membelikan makanan kesukaan kalian. Kembar! Tunggu kakak." Gin memutus telepon. Meletakkan ponsel dalam tas selempang. Mendesah singkat. Mendongakkan kepala seraya berjalan. "Mungkin ini saatnya aku harus membeli payung." Sneaker putihnya terus berjalan dengan riang, setelah itu. Senyum mengembang di wajahnya. Sesekali menunjukkan sederet gigi rapinya. Menggenggam erat amplop. Berisi jerih payahnya selama satu bulan. Dengan uang itu, ia sebenarnya mampu membeli mobil bekas, agar tak lagi basah karena kehujanan. Tak lagi berdesakkan di dalam bus umum. Tetapi, pemikirannya tak sepicik itu. Hasil kerja kerasnya pun akan diberikan pada Maria, nama bibinya, untuk membayar sewa rumah dan kebutuhan adik kembarnya. Sebagian lagi, akan ia sisihkan untuk ditabungkan. Semenjak dulu, impiannya hanya satu. Membahagiakan mereka tentu saja. Prioritas utamanya adalah keluarga. Baginya, keluarga adalah separuh jiwanya. Langkahnya berhenti seketika. Memutar kedua bola matanya. Tersenyum simpul. Menatap amplop di genggaman, seraya menggerakkan biji mata ke kanan serta ke kiri. "Wah, lebih banyak dari biasanya," katanya, sembari menghitung uang dalam amplop. Namun kesenangan itu, tak ia nikmati sendiri sepertinya. Sejak keluar dari gedung, seseorang tengah membuntutinya. Sesekali bersembunyi di balik pepohonan, yang berdiri di pinggir jalan. Seperti harimau yang tengah mengintai mangsanya. Dalam sepersekian detik, ia terus menatap detak jam tangan serta Gin secara bergantian. Hingga akhirnya laki-laki yang mengenakan jaket hoodie berwarna hitam itu merampas amplop milik Gin dan berlari kencang. Membuat gadis berkulit putih s**u itu tersentak kaget. Melebarkan mata. Sebelum akhirnya ia berlari mengejar perampok tersebut. "b******k! BERHENTI KAU!" Kata-kata tersebut terus terdengar sepanjang ia berlari. Sangat kencang. Meski, beberapa pejalan kaki memperhatikannya, namun tak satu pun dari mereka memiliki niat untuk membantunya. Pun Gin tak berteriak, untuk meminta tolong. Percuma. Hingga petir menggelegar. Awan mendung cumulus siap memuntahkan cairannya, mereka tetap saling berkejaran. Nafas tersengal terdengar dari Gin. Begitu juga perampok yang berada beberapa meter di depannya. Ia menengok ke belakang. Mendengus singkat. Mengejek Gin. Tak mungkin gadis ramping itu bisa menangkapnya, pikirnya. Pemikiran yang salah, tentunya. Gin adalah gadis yang pantang menyerah. Keras kepala. Bertekad kuat. Sangat. Segera ia berlutut dengan satu kaki, mengeratkan tali sepatu. Mendesah singkat. Sejurus picingan tajam ia tujukan pada perampok tersebut. Kernyitan heran pada dahi perampok menyambut. "Gadis gila!" umpatnya. Derap langkah keduanya terdengar. Lagi. Adegan semakin dramatis. Ketika butir-butir air dari langit tumpah seketika. Mengiringi langkah kaki mereka yang mulai lelah. Kencang. Semakin kencang. Tak peduli dengan hujan yang semakin menderas. Jalanan menjadi sunyi. Menyisakan keduanya. Para pejalan kaki, mencari tempat berlindung. Hanya ada beberapa mobil yang berlalu lalang. Sebuah jembatan raya besar pun menyambut mereka. Genangan air di trotoar jembatan, membuat sepatu sang perampok kotor dengan pasir yang menggumpal. Cukup kesal dengan itu. Dan semakin bertambah ketika menoleh kembali ke belakang. "s**l! Dia terus mengejarku!" Kesalnya. Bimbang dengan keadaan. "Waktuku hampir habis! Aku harus pergi!" Lagi. Sang perampok kembali berlari, seraya memutar bezel jam tangan hitamnya. Dan menekan layar jam tangan setelah itu. Tetap, Gin dengan gigih terus mengejarnya. Mendapatkan uangnya kembali. Tujuan utamanya. Mengingat soal uang, ayunan kakinya semakin ia kencangkan. Berlari. Mengabaikan sekitar. Hingga dia tersesat dalam kerumunan orang. Berdesakan. Menabrak anak kecil. Balon merah milik anak tersebut pun, lepas dari genggaman. Terbang. Tak pelak, anak kecil itu menangis. Duduk di tanah. Pria berkumis di sebelah anak kecil tampak tengah memarahi Gin. Dengan bahasa yang tak dapat dimengerti olehnya. Tetapi, Gin mengerti. Pria itu marah. Karenanya, sang anak terjatuh. Setidaknya, jari telunjuk yang agresif, tengah bergerak menunjuk sang anak serta Gin bergantian. Cukup memberitahu arti kalimat yang diucapkan pria bermata sipit tersebut. "Maaf. Aku sungguh menyesal." Yang diucapkan Gin dengan raut wajah menyesal. Pria itu mengabaikan. Menggendong sang anak. Berjalan pergi. Orang-orang yang semula berhenti, menyaksikan itu, kini kembali berjalan. Semburat ke berbagai arah. Begitu pula dengan Gin. Kembali berlari. Bersikeras untuk mengejar sang perampok. Namun ia kehilangan jejaknya. Mendesah kesal. Hanya tertinggal sesal. "s**l! Aku kehilangan si b******k itu!" Setelah gerutuan singkatnya, ia mendongakkan kepala. Segera kedua matanya mengerut. Silau karena cahaya matahari yang berpendar sempurna. Gin membuka tas selempang dan merogohnya. Tak butuh waktu lama untuk membuat keningnya berkerut. "Dompetku.. tidak ada?" Kembali ia mengingat beberapa saat yang lalu. Ketika di ruang ganti. Ia mengeluarkan dompet. Untuk mengambil salep luka. Meletakkan diatas meja. Pejaman sesal atas sifat pelupanya pun mampir di mata sipitnya. Disambut segaris kernyitan. Untuk beberapa menit, ia mengutuk diri sendiri. Mengedarkan pandangan setelah itu. Mencoba memantapkan pandangan pada sekitar. Sedikit membuatnya pening. Memperhatikan betapa ramainya tempat ini. Bahkan tempat duduk kayu, yang tersedia di beberapa titik pun, tak ada yang kosong. Berjalan perlahan, hingga ia menemukan sebuah papan tanda yang bertulis kamar mandi dalam bahasa inggris. Berbentuk arah panah. Mengambang begitu saja di udara. Seulas senyum tampak padanya. Segera berlari dan masuk ke dalam kamar mandi. Berhenti di depan wastafel. Memutar keran. Menyesap airnya. Kekeringan tak hanya melanda bagian tenggorokannya, ia membasuh muka dan menatap dirinya pada cermin. Membiarkan sisa air mengalir melewati dagunya. Kembali mendesah singkat. Untuk sesaat tatapannya kosong, hingga dahinya berkerut menjadi satu. Melihat rambut panjangnya basah. Gin berdiri sedikit menjauh dari cermin serta menundukkan kepala, melihat jumpsuit jogger jeans birunya serta kaos putih yang ia kenakan juga basah. Dua manik mata coklat tegasnya, memancarkan rasa takut. Tiba-tiba, ia berlari keluar. Lalu berhenti begitu saja. Gin mengedarkan pandangan. Menyadari suatu keanehan. "Kenapa aku berada di taman bermain?" katanya. "Terakhir aku mengejar perampok itu.. di jembatan besar! Iya! Tapi kenapa tiba-tiba aku di tempat ini? Dan.. aku rasa tadi hujan turun sangat deras. Tapi, sekarang.." Tanpa berpikir lebih panjang lagi, dia bergegas menghampiri setiap orang yang melintas. Bertanya, di manakah ini? Tempat apakah ini? Alih-alih menjawab pertanyaannya, justru mereka melihat Gin dengan tatapan aneh. Tak kehabisan akal, ia segera mengambil ponsel. Bertujuan untuk menghubungi Rey atau siapa pun. Sayangnya, sinyal pada ponsel dalam keadaan kritis. Atau bisa dikatakan tidak menangkap sambungan apa pun. Wireless pun tak ada. Sangat mustahil, di lokasi wisata tidak ada alat pemancar sinyal atau Wireless, pikirnya. Kesabarannya pun sudah diambang batas. Merutuk tempat itu dan juga perampok b******k yang telah membuat harinya menyebalkan. Hingga suara gemuruh lirih terdengar dari perutnya. Mengingat, ia belum makan apa pun sejak keluar lokasi tadi. Menundukkan kepala seraya mengusap perutnya. "Lapar." Dalam beberapa menit, ia terus berdiri dengan tampang menyedihkan. Kepada siapa harus meminta tolong. Menggerakkan leher ke kiri dan kanan. Berharap, seseorang mengasihani dirinya. Strategi wajah melas itu pun berhasil. Seorang anak laki-laki yang melihatnya dari kejauhan, merasa iba. Memandang Gin dalam sepersekian menit. Menyentuh telinga kanannya setelah itu, yang terpasang sebuah alat kecil. Dan menghampiri Gin. "Kau tersesat?" katanya, berbicara dalam bahasa inggris. Segera Gin mengangkat kepala dan melebarkan matanya. "Kau berbicara denganku?" tanya Gin. Bahasa inggrisnya sangat payah. Tak dapat menjawab dengan bahasa anak tersebut. "Lalu? Aku bicara dengan angin?" Seketika, gaya bicara anak tersebut berubah. Kini, ia berbicara dengan bahasa Gin, Indonesia. "Kau dapat berbicara dalam bahasaku?" keterkejutan tak dapat terelakkan dari Gin. "Kau, orang Indonesia?" "Bukan." "Tapi, kau bisa bicara dalam bahasaku." "Bisa dikatakan seperti itu." "Lalu.. Kau tahu, tempat apa ini?" "Taman bermain, tentu saja. Pertanyaanmu sungguh aneh." "Aku tahu. Tapi, Kenapa aku tiba-tiba berada di tempat ini?" Tatapan anak kecil itu berubah heran. Alis tebalnya mengerut. "Boleh aku tahu, bagaimana kau bisa datang kemari?" " Awalnya, aku mengejar seorang laki-laki yang merampokku. Tapi, saat aku berlari-tiba-tiba aku berada di tempat ini," katanya. "Dan kau tahu? Sebelumnya hujan turun sangat deras! Lihat bajuku yang basah. Tapi, disini cuaca sangat cerah. Sungguh aneh, bukan?" "Apa kau salah satu dari kami?" "Maksudmu?" "Ikuti aku." Tak memiliki pilihan lain, Gin mengikuti anak laki-laki berkulit coklat nyaris hitam itu. Bahkan tanpa tahu namanya. Berharap, segera mengetahui apa yang terjadi. Sehingga ia dapat kembali ke rumah. Sepasang kaki milik mereka, saling berjalan beriringan. Berpapasan dengan banyak orang. Gin terus mengedarkan pandangan. Tak ada keanehan pada tempat itu. Hanya taman bermain pada umumnya. Tetapi, beberapa permainan sedikit berbeda dari taman bermain kebanyakan. Bianglala pada umumnya dilengkapi dengan sebuah besi panjang penyangga agar dapat menggantung di udara dengan sempurna. Tapi tidak dengan bianglala disini, yang hanya dilengkapi velg untuk kabin tempat duduk para penumpang dan melayang begitu saja dengan ketinggian 541 kaki di atas tanah. Seperti melawan gaya tarik bumi. Dan saat wahana itu berputar, berpendar cahaya warna-warni yang indah. Juga! Tulisan penunjuk arah ataupun tulisan di setiap area bermain yang berkedip seakan tergantung di udara dengan warna-warna cerah. Tanpa ada tiang atau listrik yang membuat mereka menyala. Sangat aneh namun menakjubkan, baginya. Sorot matanya tak dapat berbohong. Keduanya berbinar saat melihat itu. Penuh kekaguman. "Joe! Dari mana saja kau?" Seorang laki-laki berteriak pada anak kecil yang bersama Gin, saat mereka tiba di kafetaria. Keduanya menghampiri sebuah meja yang terdapat beberapa orang. Duduk di kursi coklat memanjang. Terlihat mereka sedang melakukan ritual makan siang. Membuat gemuruh pada perut Gin semakin terdengar kencang. Alih-alih Joe, nama anak tersebut, menjawab pertanyaan itu, ia mendekat pada seorang wanita. "Bibi Kim.. Kau periksa dia, mungkin dia salah satu dari kita," seraya menghentakkan kepala pada Gin yang berada di samping kirinya. Wanita paruh baya dengan rambut pendek lurusnya segera mendekati Gin, setelah saling berbisik dengan Joe. Melemparkan senyum ramah pada Gin yang terlihat sedang kebingungan. "Bisa kau ceritakan, bagaimana kau datang kemari?" "Kau orang Indonesia?" "Tidak. Jika kau ingin berkenalan, lakukan itu nanti," katanya. "Ceritakan.. Bagaimana kau bisa datang kemari.” Gin menceritakan apa yang dialaminya, beberapa saat yang lalu. Cerita yang akhirnya membuat bibi Kim mendesah singkat. Bola matanya berputar cepat. "Shin Dong Joo! Kemari!" Bentakan itu, tak hanya membuat Gin berjengit, pria berjaket Hoodie hitam yang sembunyi di balik pilar besi perak itu mendekat. Ragu. "Kau? Perampok itu, kan?" kata Gin. "b******k! Kembalikan uangku!" Penuh kesal serta geram, Gin melayangkan pukulan pada pria yang bernama Dong Joo itu. Cukup membuatnya meringkuk kesakitan. Tanpa melawan. "Sakit!" Meski teriakan memohon dari Dong Joo terus terdengar, namun itu tak menghentikan tindakan Gin. Bahkan semakin geram. Terus memukul Dong Joo. "Ada apa ini?!" Seorang pria yang memiliki suara berat, membuat semua yang berada di sekitar tercengang. Tak terkecuali Gin. Menahan tangan di udara yang hendak memukul punggung Dong Joo. Setengah membungkuk. Memutar lehernya ke arah suara tersebut. Pria tampan dengan gaya rambut chic. Kaos putih. Berjalan kearah dirinya. Gin seketika berdiri tegak. Berhadapan. Menutup jarak diantara mereka. Mata sipit pria tersebut menatap tajam Gin. Arogan. "Ken.. Dong Joo mencuri uangnya," jelas Kim. "Benarkah?" Pria yang dipanggil Ken tersebut hanya melirik Kim. Dan kembali menatap Gin. Anggukan gugup dari Gin, menjawab pertanyaannya. "Dong Joo! Cepat berdiri!" Desahan kesal terdengar dari Dong Joo. Berdiri perlahan. Gugup. "K-ken, itu.." "Sudah aku katakan padamu, bukan? Kita bukan pencuri! Cepat kembalikan uangnya!" Dong Joo tak mampu menjawab. Hanya berdecak kesal, sebelum akhirnya menyerahkan kembali amplop milik Gin. Segera diraih sang pemilik. "Selesai?" Tanya Ken. "Iya. Terima-" Ken berjalan pergi begitu saja. Membuat kata-kata Gin tersekat di tenggorokan. "Abaikan sikapnya," kata Kim. "Dia sedang ada masalah. Sebenarnya, dia laki-laki yang baik." Senyum kikuk Gin menyambut kata-kata wanita bertubuh ramping tersebut. "Terima kasih, telah membantuku." "Justru aku harus minta maaf, padamu. Karena Dong Joo, kau harus terseret ke tempat ini." "Ter..seret?" "Mmm, kau pasti lapar? Makanlah dulu. Setelah itu, akan aku jelaskan." Menolak ajakan yang terdengar indah di telinga? Oh, tentu tidak. Bersikap malu-malu? Hanya membuang waktu. Dalam saat seperti ini, yang harus dilakukan adalah dua hal. Bertahan hidup. Tetap waspada. Mengingat gemuruh di perutnya tak juga mereda, Ia tak perlu merasa malu harus makan dengan lahap. Semeja dengan orang-orang yang tidak dikenal nya. Lima orang yang duduk saling berdampingan serta berhadapan dengan nya pun, menatap Gin dengan mulut ternganga. Sesekali, menelan ludah. Hanya satu orang yang tidak menarik perhatian nya. Tentu saja laki-laki arogan, Ken. Sejak tadi ia hanya diam di sudut bangku dengan melipat kedua tangan di d**a. "Bibi.. Sekarang bisa kau jelaskan padaku," kata Gin, sesaat setelah meletakkan sendok. "Kau sudah siap untuk mendengarnya?" Ginny meyakinkan dengan sekali anggukan. "Kita berada di Korea Selatan." Pernyataan Kim tentu saja membuat Ginny melebarkan matanya. "Apa? Bibi.. jangan bercanda denganku. Bagaimana mungkin aku berada di-" Tiba-tiba Gin terdiam. Menyadari beberapa hal yang membuatnya masuk akal. Pertama, adalah orang-orang tidak terlihat seperti orang Indonesia. Juga tak mengerti apa yang diucapkan Ginny. Kedua, tulisan serta papan pengumuman yang tertulis dengan aksara Korea. Dan yang ketiga adalah nama dari perampok tersebut. Shin Dong Joo. Sudah terdengar jelas, itu adalah nama warga Korea. "Tak mungkin. Apa Korea Selatan sudah secanggih ini? Maksudku.. aku melihat beberapa wahana yang sangat canggih." Gin terkesiap, setelah mengatakan itu. "Apa.. ini dunia sihir dalam Korea Selatan?" Tawa Kim yang khas menggema. "Kau sudah dewasa, kenapa masih percaya cerita kekanak-kanakan seperti itu?" "Kau benar juga," katanya seraya tersenyum malu. "Apa itu sebabnya ponselku tak berfungsi? Tapi.. bagaimana bisa aku berada di Korea Selatan hanya dengan melewati jembatan itu?" "Karena kau mengikuti Dong Joo. Dan tak sengaja terseret kemari,” katanya. "Ponselmu takkan berfungsi dii tahun ini, nona." "Di tahun ini? Apa maksudnya?" "Ini adalah Korea Selatan di tahun 2023!" "Apa?!" Gin tak dapat menyembunyikan keterkejutan yang luar biasa saat mendengar itu. Bahkan beberapa orang yang melintas sempat menghentikan langkah dan menoleh padanya, akibat lengkingan suaranya yang menggema. "Bibi.." "Aku sedang tidak bercanda, nona." Untuk memastikan, jika hal tersebut bukan hanya bualan atau sekadar lelucon di siang hari, ia merogoh tas selempang. Mengambil ponsel. Melihat layarnya. Tertulis tahun 2023. Segera, ia menangkup mulut dengan telapak tangan. Terkejut. Tak percaya. "Tidak. Aku pasti bermimpi." "Well, nyatanya tidak." "Lalu.. bagaimana kau dan keluargamu bisa berada di tempat ini?" "Keluarga? Kami bukan keluarga, nona. Kami hanya orang-orang yang dipertemukan oleh takdir. Karena kami memiliki kondisi dan dunia yang sama, akhirnya kami memutuskan untuk membentuk kelompok. Dan Ken adalah ketuanya. Karena ia yang menyatukan kami." "Dunia—yang sama? Yang kau maksud dunia ku, kan? Dunia manusia benar?" kata-kata Ginny menjadi kikuk. "Tak mungkin. Kalian hantu?" Gin berbisik. Sekali lagi tawa Kim menggema. Sebelum akhirnya lebih mendekat pada Gin dan berbisik. "Kami—adalah penjelajah waktu." 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN