KOREA SELATAN, 2023
Di dunia yang telah memasuki era robotic ini, banyak hal yang terjadi diluar nalar. Para ilmuwan selalu mencari bahan penelitian. Dimana suatu penelitian yang dianggap tak masuk akal oleh beberapa kalangan masyarakat di bumi. Seperti pada tahun 1994. Dr. Alexander Wolszczan menemukan bukti tak terbantahkan tentang system eksoplanet yang membuat para ilmuwan mulai mencari planet alien. Hampir seluruh lapisan masyarakat hingga detik ini masih percaya dengan adanya mahluk bernama alien. Meskipun belum ada bukti yang otentik untuk membuat mata dan otak kita percaya, jika ada kehidupan lain, di planet selain bumi. Pun banyak beberapa tokoh yang terkenal karena memiliki suatu kelebihan. Seperti Michel de Nostradame atau lebih terkenal dengan nama Nostradamus. Pria berkebangsaan Perancis ini adalah seorang astrolog juga penulis. Dalam bukunya yang berjudul Les Propheties, Nostradamus dianggap menulis sebuah prediksi tentang sejumlah kejadian besar yang terjadi di dunia.
Namun sedikit orang-orang di dunia tahu tentang orang yang dapat menjelajah waktu. Seseorang pernah mengklaim dirinya pernah melintasi waktu dan menceritakan kejadian di masa lampau ataupun di masa depan. Namun sebagian masyarakat yang mendengarnya, menganggap orang itu hanya berimajinasi atau bahkan menganggap orang itu sudah kehilangan akal. Maka dari itu Time Traveller atau Penjelajah Waktu pun dianggap hanya dongeng semata.
"Kami—adalah penjelajah waktu."
"Omong kosong," kata Gin. "Kau hanya bercanda, kan?"
"Apa wajahku terlihat seperti sedang bercanda?"
"Tidak," katanya. "Jadi, yang kau katakan adalah.. jika kau dan keluargamu, maksudku mereka adalah seseorang yang dapat melintasi waktu?"
Kim meyakinkan dengan anggukan. Menatap gadis yang memiliki tinggi 160 senti itu. Penuh keyakinan.
"Sungguh tidak masuk akal."
"Apa lebih masuk akal, kau hanya melewati jembatan dan tiba-tiba berada di Korea Selatan? Di tahun 2023?"
Segaris kernyitan pada dahi Gin, sejak tadi tak kunjung hilang. Justru semakin mengerut. Desahan panjang tak pelak, terus keluar darinya. Menatap tak tentu arah. Berpikir. Tentu bagi Gin ini semua sungguh tak masuk akal. Gila. Selama dua puluh empat tahun hidupnya, tak pernah mengalami hal konyol seperti ini.
"Kau masih tidak percaya, nona?"
"Se-sebentar.. biarkan aku berpikir."
Gin berdiri dengan jemari yang saling bertautan. Bergumam. Berulang. Berjalan kesana-kemari. Kalian tahu? Seperti orang tengah kerasukan hantu gila. Ini mimpi. Dua kata itu yang sejak tadi ia gumamkan. Sementara Kim hanya duduk dengan berpangku tangan. Memperhatikan Gin. Sangat paham dengan situasi yang tengah dihadapi Gin. Karena ia pernah berada di posisi Gin. Saat ia pertama kali melakukan pelintasan waktu yang terjadi secara tiba-tiba. Bukan seperti Gin yang tak sengaja terseret. Mungkin bisa dikatakan, Tuhan telah memberikan kesempatan kedua untuk hidupnya. Keajaiban. Saat seluruh keluarganya telah terlahap oleh kemarahan api yang membakar habis rumahnya, lima tahun yang lalu. Yang akhirnya membuat bibi Kim menjadi tuna wisma. Tak ada satupun yang mau membantunya. Berbeda ketika ia masih kaya. Saudara juga para tetangga dan temannya selalu datang ke rumah. Kim selalu menyambutnya dengan hangat. Sebaliknya, saat ia dalam kondisi terpuruk, saudaranya pun tak sudi menampung Kim. Seperti itulah manusia. Memiliki akal tapi kadang tak bermoral. Memiliki perasaaan tapi membutakan diri.
Kim tak lagi memiliki semangat hidup, setelah kejadian itu. Satu-satunya harta yang tersisa adalah sepasang pakaian yang melekat pada tubuhnya. Pikirannya menjadi gelap. Kelam. Berjalan dengan langkah tanpa harapan. Ditemani dengan semilir angin malam yang menyelinap pada pori-pori kulit. Dingin. Kim berhenti di jembatan yang tepat dibawahnya adalah sungai Han. Air matanya mengalir begitu saja. Perlahan kaki pucat lusuhnya memanjat pagar pembatas. Membentangkan kedua tangan. Menjatuhkan diri pada sungai yang bermuara di laut kuning, China tersebut. Siapapun yang menceburkan diri di sungai Han, dipastikan takkan selamat. Akan beruntung jika mayat mereka ditemukan.
Berpendar cahaya putih terang dari dalam sungai. Sejenak lokasi yang sebelumnya gelap, menjadi terang dalam beberapa detik. Kim sempat merasakan dirinya terapung dalam sungai dengan mata tertutup. Tetapi, saat ia membuka mata, ia telah berada di daratan dengan nafas tersengal. Tersungkur di tanah. Mengedarkan pandangan. Mengernyitkan dahi. Melihat seorang pria berdiri. Berlawanan arah dengannya. Apa aku sudah berada di surga? Dan dia adalah malaikat mautku? Itulah yang ada di pikirannya.
"Kita berada di surga?"
"Surga takkan menerima seseorang yang berputus asa pada kehidupan."
Pria berkemeja putih itu, memutar badan. Berlutut di depan bibi Kim.
"Kau masih berada di Korea Selatan, bibi."
"Apa? Tak mungkin. Bangunan-bangunan tua itu tidak seperti di Korea Selatan."
"Di tahun 1988."
Itu adalah kali pertama Kim bertemu dengan Ken. Secara kebetulan tentunya. Dia menjadi depresi juga bingung, setelah kejadian itu. Otaknya tak dapat mencerna sempurna, kejadian yang menimpanya. Sama dengan Gin. Namun selama satu minggu. Cukup membuat Ken bergidik heran ketika itu.
"Baik," kata Gin, seraya kembali duduk di samping bibi Kim. "Katakan aku telah melintasi waktu. Tapi, bisakah aku kembali? Di Indonesia? Tahun 2017?"
"Itu hal yang mudah, nona."
Mendengar itu Gin pun mendesah lega.
"Tapi.."
"Tapi?"
"Kami memang penjelajah waktu. Tapi, kami memiliki satu kondisi," bisiknya.
"K-kondisi? Seperti apa?" Gin ikut berbisik.
"Jika kami pernah mengunjungi Negara tersebut sekali saja, maka kami tidak dapat kembali ke tempat itu pada tahun yang sama. Kami harus menunggu satu tahun kemudian, untuk kembali mengunjungi tempat yang sama," katanya. "Dan sayangnya.. beberapa jam yang lalu aku telah mengunjungi negaramu."
Gin memejam kesal. Mendesis. Menahan nafas sesaat. "Lalu.. bagaimana dengan yang lain?"
Kim hanya tersenyum menyesal.
"Jangan katakan mereka juga telah mengunjungi Indonesia di tahun 2017?"
"Kami.. Pergi bersama-sama tadi," katanya. Senyum kikuk menyambut.
"K-kenapa seperti itu? Apa alasannya?"
"Hanya Ken yang tahu. Dan pertanyaan itu tak pernah dijawab olehnya."
Gin kembali berpikir. Mengetukkan kuku jari telunjuk pada meja. Berulang. Mencari cara agar dapat kembali pada tahunnya. Mengolah logika. Sedikit menutup kelopak mata. Sepersekian detik kemudian, dia melebarkan mata.
"Kalian hanya tak dapat kembali pada tanggal saat kalian melintasi waktu, bukan?"
"Itu benar. Tapi, lebih tepatnya satu tahun. Dan kami dapat pergi ke tempat yang sama."
"Saat aku masih berada di Indonesia beberapa saat yang lalu adalah tahun 2017. Bagaimana jika kau mengembalikanku pada tahun 2016?"
"Itu mudah saja."
"Benarkah?"
"Iya. Tapi.. itu telah melawan hukum alam."
"Maksud bibi?"
"Coba kau pikir. Kau melintas waktu pada tahun 2017, benar? Tepatnya pada tanggal tiga belas."
Anggukan Gin menjawab.
"Bisa dikatakan kau menghilang pada tahun dan tanggal itu. Lalu pada tahun 2016 kau masih berada disana, nona. Jika kau kembali pada hari itu, maka kau akan menjadi dua orang. Dan itu akan membuat kacau hidupmu."
"Ah.. kau benar. Lalu apa yang harus aku lakukan?"
Pukulan berulang dari tangannya, mendarat pada kepalanya sendiri. Frustasi.
"Ah, benar!" Jentikan jari terdengar dari Kim. Menyadari suatu hal. "Ada satu orang yang tidak ikut dalam perjalanan kami tadi."
"Benarkah? Siapa?"
Merasa secercah harapan datang, matanya berbinar. Alih-alih menjawab pertanyaan Gin, Kim hanya menghentakkan kepalanya kearah Ken. Hanya kerutan dan desahan kesal yang terlihat dari Gin. Mata yang berbinar pun pudar. Sayu. Karena sebelum bertanya pada Ken pun, ia telah mengetahui apa jawabannya.
"Kau yakin dia akan membantuku?"
"Kita tidak akan tahu hasilnya.. jika belum mencoba," katanya, meyakinkan. "Disamping itu, Ken sebenarnya adalah pria yang baik. Periang. Setidaknya, Sebelum kejadian itu."
Semua berawal dari satu tahun yang lalu. Saat Ken sedang menjalin sebuah hubungan dengan seorang gadis cantik, yang juga penjelajah waktu. Sebut saja ia HeeBi. Lima tahun mereka melintas waktu bersama. Saling mencintai. Hingga memutuskan untuk melangkah ke tahap pernikahan. Sayangnya, tepat di hari pernikahan mereka, HeeBi tidak pernah muncul. Dia hanya meninggalkan sebuah rekaman video yang disimpan dalam sebuah Flashdisk dan diberikan kepada Joe. Dimana video tersebut berisi permintaan maaf dari HeeBi.
Membuat Ken dalam kesedihan serta keterkejutan yang tak dapat terelakkan. Ken pun mulai mencarinya dengan melintasi waktu untuk pergi ke tempat yang pernah dikunjungi oleh mereka berdua. Ingin sekali menanyakan apakah alasan HeeBi pergi meninggalkan dia. Namun hingga hari berganti bulan. Bulan berganti tahun. Ken tak pernah menemukan dimana HeeBi berada. Hingga akhirnya dia menjadi arogan serta pendiam. Setiap mengingat kejadian itu, Ken selalu menutup matanya erat-erat disertai desahan panjang yang berulang. Seperti yang ia lakukan, saat ini. Otaknya ingin berusaha melupakan HeeBi, tapi hatinya selalu memberontak agar menyimpan kenangan manis yang pernah terjadi. Bahkan suara lembut dari HeeBi, masih menggema di pikirannya.
"Astaga! Apa yang kau lakukan?!"
Ken terkejut, saat membuka matanya. Mendapati Gin berdiri setengah membungkuk dengan melebarkan mata, memperhatikannya.
"Bantu aku."
"Apa?"
"Aku ingin pulang. Bantu aku."
Ken tersenyum simpul seraya melipat tangan. "Jelaskan.. kenapa aku harus membantumu?"
"Sesuatu yang manusiawi?" bola mata Gin berputar saat mengatakan itu. Bahunya terangkat.
Kening Ken mengkerut, mendengar jawaban Gin.
"Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan."
"Maksudku.. bukankah itu sesuatu yang manusiawi? Kita makhluk sosial dan seharusnya kita saling membantu. Suatu saat kau pasti akan membutuhkan bantuanku. Tapi, untuk sekarang aku yang membutuhkan bantuanmu."
Ken mendengus. Berdiri. Menyembunyikan jemarinya pada saku celana.
"Aku takkan pernah meminta bantuanmu, nona!" katanya. "Bahkan aku tak mengenalmu. Dan aku bukanlah orang yang akan membantu seseorang yang tak pernah aku kenal sebelumnya."
Nada sarkastik dari Ken, cukup membuat Gin kesal. Namun ia menahannya.
"Aku Gin. Dan kau Ken Choi, kan? Bibi Kim yang memberitahuku."
Gin meraih paksa tangan Ken. Berjabat tangan.
"Sekarang, bisa kau membantuku?"
Sekali lagi Ken mendengus. "Gadis gila," katanya dalam bahasa Korea. Menghempaskan tangan Gin. Berjalan melewatinya. Bukan Gin jika harus menyerah begitu saja. Ia pun mulai mengekor pada Ken. Sementara Joe dan Kim memperhatikan dari tempat duduknya.
Bicara tentang Joe, ia adalah anggota termuda. Melintasi waktu semenjak berumur tujuh tahun. Joe adalah korban perdagangan manusia terbesar di dunia. Dimana ia harus rela dijual oleh kedua orang tuanya karena tak sanggup memenuhi kebutuhan Joe. Dalam kelompok penjelajah waktu yang didirikan oleh Ken, ia adalah satu-satunya yang tak berasal dari Asia.
Afrika. Ya, itulah Negara Joe. Awalnya, Joe bukanlah seorang penjelajah waktu. Saat itu, ia telah dibawa ke Negara China untuk dipekerjakan menjadi buruh kasar. Namun keberuntungan berpihak kepadanya, saat Joe mencoba untuk melarikan diri tempat itu, dia bertemu dengan Ken di suatu jalan, kota Taipei. Penampilan Joe dulu tidak seperti sekarang. Wajahnya kotor dan bau dengan baju yang sudah tak layak pakai. Berat badannya pun teramat sangat kurang. Ken yang melihat kondisi Joe menaruh simpati padanya. Ingin ikut denganku? Ke dunia yang baru? Itulah yang diucapkan pada Joe. Dan selama beberapa bulan pun ia melatih Joe agar dapat mengedari seluruh dunia hanya dalam satu kedipan. Joe memang tak pernah bersekolah, namun ia cukup pintar dan dengan cepat mempelajari hal-hal baru. Pemikirannya pun sangat dewasa untuk ukuran anak usia sepuluh tahun.
"Menurutmu, Ken akan membantunya?" Tanya Kim, seraya melirik Joe.
Joe menggidikkan bahu sebelum menjawab pertanyaan bibi Kim. "Mungkin saja. Ken berhati lemah. Aku rasa dia tidak akan tega dengan gadis itu."
"Ingin taruhan?"
"Kau tidak takut kalah denganku lagi? Ingin bertaruh apa kali ini?"
Desisan terdengar dari Kim. Berpikir.
"Bagaimana jika Ipad yang berisi game virtual dari tahun 2031? Kau sangat menginginkannya, bukan?"
"Kau yakin?" Tanya Joe, menunjukkan ketertarikannya.
Anggukan wanita lima puluh satu tahun itu menjawabnya.
"Baik! Jangan merengek jika kau kalah!"
"Well, kita lihat saja."
Sementara mereka berdua merasa khawatir, Gin sedang berupaya untuk merayu Ken agar menolongnya. Berjalan kesana-kemari mengikuti Ken yang tengah menghindarinya. Layaknya seekor anjing yang mengejar ekornya sendiri. Ketegangan Kim serta Joe meningkat, saat Ken membalik badan dan menatap Gin dalam-dalam. Satu. Dua. Tiga.
"PERGI!"
Lengkingan suara Ken yang panjang menjawab taruhan mereka. Senyum kemenangan mengembang pada wajah Kim. Menatap Joe.
"Cepat pergi ke tahun 2031 dan kembali membawa Ipad itu."
"Ah, s**t!" umpat Joe, seraya berjalan pergi.
Berbeda dengan Kim yang sedang bahagia, Gin kembali duduk disampingnya dengan wajah lesu.
"Tenang saja. Nanti dia juga akan membantumu," kata bibi Kim, membelai punggung Gin.
Yang akhirnya membuat Gin mendesah panjang.
"Aku harus segera pulang. Lace dan Lu pasti sudah menungguku," tuturnya, dengan nada pasrah.
"Siapa mereka? Sahabatmu? Atau—Anakmu?"
"Tidak. Mereka adik kembarku. Sekarang dirawat oleh bibiku."
"Kemana orangtuamu?"
"Mereka menghilang sembilan tahun yang lalu."
"Menghilang?"
"Iya. Terakhir aku berbicara pada ibuku melalui telepon. Dia mengatakan sedang dalam perjalanan bisnis. Tapi, hingga satu bulan mereka tak pernah kembali. Bahkan setelah kepergian mereka, para debt collector datang dan menyita seluruh harta kami," jelas Gin. "Aku sudah mencari ke semua kota dan juga bertanya pada semua temannya. Tapi, tak ada satupun petunjuk untuk dapat menemukan mereka. Sejak saat itu, aku yang mencari uang untuk mereka."
"Oh, kehidupanmu lebih menyedihkan, nona. Maafkan aku, tak dapat membantumu untuk kembali. Sepertinya kau harus lebih lama tinggal dengan kami," katanya, seraya berdiri.
"Kau mau kemana?"
"Ikuti aku. Akan kuperkenalkan pada yang lain," katanya. "Hei, kalian! Berkumpul sebentar."
Lima dari mereka yang sebelumnya duduk, bersantai, segera mendekati Kim. Berdiri. Berdampingan. Membuat setengah lingkaran.
"Ini adalah Lan.. dia berasal dari Thailand," tunjuk Kim, pada laki-laki berponi, bertubuh kurus namun berotot. Kacamata menghiasi wajahnya.
"Hei, aku Lan. Kau?" Lan mengulurkan tangan. Berbicara dalam bahasanya.
Tentu saja Gin hanya tertegun dengan alis berkerut.
"Dia menanyakan namamu," bisik Kim.
"A-ah.. aku Ginny. Kau bisa memanggilku Gin," ujar Gin, menyambut uluran tangan Lan.
"Aku Galip. Aku dari Negara Afghanistan. Berapa umurmu? Sepertinya kau lebih tua dariku? Apa aku boleh memanggilmu kakak?" kata seorang laki-laki yang memiliki tinggi 158 senti. Sedikit gemuk. Memiliki bulu-bulu halus disekitar dagu dan atas mulutnya. Berdiri di samping Lan.
"Aku Gin," jawabnya, seraya tersenyum.
Aku Mari! Dan ini Ryu. Kami berdua berasal dari Jepang. Aku sangat senang kau bergabung dengan kami. Akhirnya aku memiliki teman yang seumuran denganku. Kau suka Takoyaki?" tutur gadis bermata sipit. Lebih sipit dari Gin. Rambutnya panjang. Dibawah bahu. Lurus. Disampingnya, berdiri pemuda yang juga bermata sipit. Tatanan rambut Mohawk.
"Gin."
Gin terus menjawab dengan menyebutkan namanya. Hanya menerka apa yang dikatakan oleh mereka. Jika itu sebuah perkenalan, bukankah sudah pasti mereka menanyakan nama? Setidaknya itu yang dipikirkan olehnya. Bukan karena Gin bodoh, tapi dia tak mengerti dengan ucapan mereka. Jelas saja, mereka menggunakan bahasa masing-masing. Tak pelak hal itu membuat bibi Kim serta yang lain merasa geli dan menahan tawa sejak tadi.
"Aku-"
"Aku tak ingin berkenalan denganmu, pencuri!"
Gin menolak untuk berkenalan dengan laki-laki yang memiliki alis tebal dan mata tajam seperti elang. Selalu menutupi kepala serta wajahnya dengan tudung dari jaketnya. Sikapnya hampir seperti Ken. Arogan. Meski mereka berasal dari Negara yang berbeda, tetapi ketika berkomunikasi mereka lebih sering menggunakan bahasa Korea.
"Tapi.. ada satu hal yang sejak tadi membuatku sangat penasaran," kata Gin.
"Apa itu?" Kim bertanya.
"Bagaimana kalian bisa saling berkomunikasi dan dapat mengerti bahasa masing-masing?"
Senyuman yang disambut dengan dengusan lirih, kompak terdengar dari mereka.
"Kau lihat ini?" tunjuk Kim, pada benda kecil berwarna hitam yang menempel di daun telinga.
"Earpiece?"
"Bukan sekedar Earpiece biasa. Dengan alat ini kau dapat berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda bahasa denganmu. Bahkan kau dapat berbicara dengan bahasa mereka."
Gin menggeleng takjub. Kagum. Tak menyangka benda di Korea Selatan sudah secanggih itu.
"Eh.. tapi, kenapa kalian tidak bicara dalam bahasaku saja tadi?"
"Kami hanya menggodamu," jawab Kim dengan terkekeh.
Gin mendengus singkat serta tersenyum.
"Tapi.. aku sungguh kagum dengan kemajuan Negara ini. Menciptakan earpiece secanggih itu."
"Ken yang menciptakan benda ini. Tidak ada yang memiliki benda ini selain kami," kata Kim.
"Benarkah? Dia cukup cerdas."
"Bukan hanya benda ini. Dia juga menciptakan beberapa benda yang lain."
"Wow. Dia seperti ilmuwan," pujinya. "Jam tangan itu juga, hanya kalian yang memilikinya?"
Kim menurunkan pandangan. Mengangkat tangannya. menatap jam tangan hitam yang ada melingkar di tangan kirinya.
"Oh, ini? Ya.. hanya kami yang memilikinya. Ini adalah benda wajib yang harus kami miliki.," jelasnya. "Sebentar.. sepertinya aku menyimpan satu earpiece yang lain," kata Kim, merogoh tas kecil yang melingkar di pinggangnya. "Ah! Ini dia. Pakailah. Dulu ini milik HeeBi."
"Apa aku boleh memakainya?"
Jemarinya menerima Earpiece tersebut. Memasangnya pada daun telinga. Sepersekian detik berpendar cahaya biru dari benda tersebut begitu melekat pada telinga.
"Coba kau bicara dengan Mari," kata Kim.
"Hei, Mari.. aku Gin. Senang berkenalan denganmu."
Mengulurkan tangannya ketika mengatakan itu. Disambut oleh Mari.
"Aku tahu," jawab Mari tersenyum simpul.
Gin melebarkan kelopak matanya. Lebar-lebar. Mulutnya ternganga. Takjub. Kagum. Mengerti apa yang diucapkan oleh Mari.
"Ini keren. Sangat! Aku seperti sedang beradegan dalam film Hollywood!"
""Hei, Gin! Tadi aku bertanya padamu. Kau suka Takoyaki? Atau makanan lain dari Jepang?"
"Takoyaki? Apa itu?"
"Kau tak tahu?"
Gelengan kepala Gin menjawabnya.
"Takoyaki itu.."
Perbincangan mereka semakin panjang. Saling memperkenalkan ciri khas Negara masing-masing. Obrolan yang ringan. Tetapi mampu mengakrabkan mereka.
"Bibi, Aku ingin pergi ke kampung halamanku," kata Ken, tiba-tiba menghampiri Kim yang tengah mendengarkan obrolan mereka.
"Oh, baik. Kau ingin membukanya sekarang?"
"Tidak dengan itu. Tapi, kereta api."
"Kau ingin pergi kesana di tahun sekarang?"
"Ya. Mungkin saja aku menemukan petunjuk tentang keberadaan HeeBi," katanya. "Kalian semua harus ikut. Aku tidak ingin ada masalah seperti tadi. Mengerti?"
Anggukan Kim menjawabnya. Meyakinkan.
"Dimana Joe?" tanya Ken.
"Eh? Joe... Dia..."
"Kau taruhan lagi dengannya?"
Anggukan ragu dari bibi yang memiliki bibir agak tebal di bagian bawah itu, kembali menjawabnya. Takut. Tersenyum kikuk. Menunjukkan sederet gigi rapinya. Membentuk huruf V dengan jarinya.
"Tsk! Cepat hubungi dia!"
Sedikit kesal, Ken berjalan terlebih dahulu. Meninggalkan mereka.
"Aku juga ikut?" Tanya Gin, sesaat setelah Kim menjelaskan.
"Lalu.. Kau ingin tinggal disini sendirian?"
"Aku rasa itu ide yang buruk."
Tawa canggung terdengar darinya. Menggaruk rambut yang sedang tidak gatal. Sementara Kim menarik resleting tas pinggangnya ke samping. Mengeluarkan sebuah benda agaknya seperti ponsel, namun transparan layaknya air yang dibekukan. Tipis. Sangat.
"Wow.. Itu ponsel?"
"Bingo!"
Dalam layar ponsel terpampang gambar diri dari Joe. Jari telunjuk bibi Kim menekannya. Sebuah hologram segera muncul. Simbol M nampak pada hologram tersebut. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Detik keempat muncul hologram dari wajah serta tubuh Joe. Membuat Gin tergelak kagum. Melebarkan mata.
"Ada apa?" kata Joe.
"Cepat kembali. Kita akan pergi ke kampung halaman Ken."
"Oh, ayolah. Aku baru saja ingin berjalan-jalan disini."
"Titah dari Ken, anak muda. Cepat kembali."
Hologram segera menghilang, begitu Joe memutus telepon. Kesal.
"Apa dia bisa kembali?" tanya Gin.
"Siapa?"
"Joe."
"Tentu saja. Kau lupa jika kami seorang penjelajah waktu?"
"Bukan seperti itu," kata Gin. "Bukankah kau katakan, jika kalian tidak akan bisa kembali pada Negara yang sama dalam tempo waktu yang dekat?"
"Ah, itu! Aku belum memberitahumu?"
Gelengan kepala Gin menjawabnya. Heran.
"Ada pengecualian untuk itu."
"Pengecualian?"
"Ya. Kami dapat mengunjungi Korea Selatan sebanyak dua kali, tanpa harus menunggu satu tahun," kata Kim. "Hanya Negara ini. Dan hanya dua kali."
"Ah, seperti itu."
Nada bicara Gin terdengar lemas. Kecewa.
"Kenapa? Kau merasa itu tidak adil, bukan?"
"Bisa dikatakan seperti itu," kata Gin. "Tapi, kenapa? Kenapa hanya negara ini saja?"
"Ken yang membuat peraturan. Kami hanya mengikutinya saja."
Wajahnya berubah masam. Mengerutkan bibir. Menendang udara kosong. Agaknya dia kecewa. Kenapa harus membuat peraturan yang konyol, pikirnya. Jika mereka dapat mengulang perjalanan ke Korea Selatan dalam tempo yang dekat, kenapa tidak diberlakukan untuk negara yang lain. Dan kenapa harus Gin yang terlibat dalam perjalanan tidak masuk akal ini? Berharap ini mimpi. Tetapi tamparan yang ia lakukan pada diri sendiri terasa sakit. Cukup membuktikan jika ini bukan mimpi. Ini kenyataan yang teramat gila. Setidaknya itu semua yang Gin pikirkan.
"Pria arogan itu juga yang menciptakan ponselnya?"
"Tidak."
"Lalu? Siapa?"
"Seseorang yang juga penjelajah waktu. Bisa dikatakan dia adalah senior kami. Tapi, hanya Ken yang mengetahuinya."
"Lalu-"
"Kau terlalu banyak pertanyaan, nona," kata Kim. "Cepat kita susul mereka."
"Eh? Bagaimana dengan Joe?"
"Dia akan tiba. Secepat kau melangkahkan kaki."
Tentu hal itu tak hanya sekadar kata pemanis atau terlalu mendramatisir. Baru saja kaki kanan Gin melangkah, Joe telah berada di belakangnya. Secepat hembusan angin. Ketiganya segera berjalan menyusul yang lain. Pergi ke stasiun kereta. Dimana letaknya tepat berada di seberang taman bermain. Tak perlu repot menunggu lampu menyala hijau untuk menyeberang. Ekskalator panjang menghubungkan dua ujung jalan tersebut. Membentuk sebuah jembatan kecil. Setengah melingkar. Pemandangan mobil terbang menyambut. Papan reklame kecil melayang, melintas tepat diatas kepala Gin, ketika ia berada di ekskalator. Menyuarakan iklannya.
Segalanya bekerja sendiri. Tanpa ada satupun yang mengontrol. Seperti sihir. Sepersekian menit kemudian, ketiganya tiba di seberang. Mari dan yang lain tengah menunggu. Masuk ke dalam gedung stasiun, yang—Sepi. Kosong. Agaknya seperti aula. Sekitarnya pun terlihat gelap. Kursi maupun meja tak tersedia di tempat itu. Cukup membuat Gin merasa heran. Bahkan sangat. Gin sempat tercengang. Mematung. Mengedarkan pandangan, saat yang lain berbelok ke kiri. Sebelum akhirnya, Kim menarik tangannya.
Mereka berdiri di depan tembok yang terganti oleh kaca hitam. Berbaris. Gin yang berada di urutan terakhir mulai merasa bingung. Mencoba mengikuti alur. Ken yang berada di baris paling depan, mendekat pada tembok kaca. Segera tembok tersebut terbuka dari dua sisi. Bergeser cepat ke samping. Seperti pintu pada pusat perbelanjaan. Gumaman takjub akan semua yang terjadi ditempat ini terus terdengar dari Gin.
Semakin bertambah ketika ia masuk pada ruang di balik tembok. Beberapa tabung raksasa berdiri di setiap titik. Tak lagi terlihat gelap. Terang seperti berada di luar ruangan. Dalam masing-masing tabung, terdapat sebuah ekskalator spiral. Melingkar hingga keatas. Jalan untuk masuk ke dalam peron. Sekitar beberapa menit, Gin dan yang lain berputar dalam ekskalator. Lalu tiba di sebuah peron. Sangat besar. Megah. Lagi. Pintu tabung tersebut bergeser ke samping. Dua sisi. Kembali, desahan kagum keluar dari mulut Gin.
Menengadahkan kepala. Memutar lehernya. Melihat langit-langit peron yang tinggi. Sangat. Berbentuk kubah. Luas dari peron tersebut sendiri, dua kali luas lapangan bola. Semua tembok diganti oleh kaca. Sehingga dapat melihat langsung pemandangan dari luar. Orang-orang berjalan semburat. Memenuhi jalan peron. Tak ada loket di tempat ini. Hanya terlihat sebuah layar LED. Berukuran sebesar Ipad. Dengan penyangga besi tiga kaki. Di sayap kiri peron. Saling berjajar, di satu garis lurus. Orang-orang nampak berbaris di depannya. Begitu pula bibi Kim dan yang lain. Mungkin alat itu untuk pembelian tiket, pikir Gin. Dugaannya pun tepat. Gin memperhatikan seorang pemuda yang berdiri di baris depan. Menarik maju lehernya. Mendekatkan mata kanannya pada kamera kecil dalam layar tersebut. Cahaya hijau berpendar. Bergerak dari atas ke bawah. Agaknya seperti alat sensor. Sepersekian detik kemudian, terpampang data serta gambar diri pemuda tersebut.
Tiket kereta api di tahun ini bukan berupa kertas atau kartu pada umumnya. Saat kau telah melakukan sensor mata, seperti yang dilakukan pemuda tersebut, maka yang kau perlukan hanya menekan beberapa opsi. Menempelkan punggung tangan pada layar. Maka dengan hitungan detik, tiket nomor kereta tercetak di punggung tangan. Berpendar cahaya biru sejenak. Lalu menghilang begitu saja. Gin mengangguk dengan sendirinya. Berulang. Paham. Ia segera mengambil barisan. Menunggu giliran. Satu orang. Dua orang. Tiga orang. Kini gilirannya. Mendesah singkat. Menarik maju lehernya, disaat yang bersamaan Ken meremas pergelangan tangannya. Menarik ke samping kiri. Keluar dari barisan. Gin cukup terkejut akan aksi Ken.
"Apa yang kau lakukan?!" tanya Gin, menghempaskan tangannya. Kesal.
"Lalu, kau?Apa yang kau lakukan?!"
"Tentu saja membeli tiket."
Jawaban polos dari Gin, nampaknya membuat Ken sedikit emosi. Memutar bola mata dengan cepat. Mendesah kesal. Melangkahkan kaki, setelah itu. Mendekat pada Gin. Menutup jarak diantara mereka.
"Hei, nona! Bagaimana kau dapat membeli tiket?" bisiknya.
"Itu mudah. Aku-"
" Kau tidak punya identitas!" bisiknya kembali. Geram. "Kau hampir saja membuat kita dalam masalah besar!"
"Tapi-"
"Bibi Kim!" teriak Ken.
Segera bibi Kim yang berdiri tak jauh dari tempat Ken, berlari. Menghampiri. Terengah.
"Ada apa? Apa yang terjadi?"
"Jaga dia baik-baik! Jika perlu ikat dia!"
"Hei! Kau pikir aku hewan!"
Teriakan kesal dari Gin terabaikan. Ken telah berjalan pergi. Menjauh.
"Ada apa sebenarnya?" tanya Kim. Resah.
"Aku hanya ingin membeli tiket. Tapi dia marah-marah."
"Oh, nona! Tentu saja dia marah padamu! Tindakanmu bodoh!" kata Kim. "Kau tidak punya kartu identitas! Alias kau tidak terdaftar di Negara ini. Jika sensor tersebut gagal mendeteksimu, maka kau akan menjadi incaran seluruh petugas keamanan disini!"
"Ah, benarkah?"
Kelopak matanya melebar. Mengerutkan bibir. Sesal. Menyadari kesalahan yang hampir dibuatnya.
"Setiap orang yang datang kemari, harus memiliki kartu identitas."
"Seperti kartu tanda pengenal?"
"Benar. Bisa dikatakan kau datang secara ilegal kemari."
"Lalu.. bagaimana dengan kalian?" katanya. "Bukankah cara kalian datang kemari sama denganku?"
"Memang. Tapi Ken sudah mengatur semua itu. Dia membuatkan kami kartu identitas. Di setiap Negara. Dan di setiap tahun," katanya. "Kau tidak perlu membeli tiket. Ikuti saja kami. Jangan bertindak gegabah!"
Anggukan bersalah Gin menjawabnya, disaat yang sama kereta datang. Melayang beberapa inchi diatas rel. Pintu terbuka ke samping. Dua sisi. Tangga datar keluar otomatis dari bawah pintu. Lebarnya sama dengan lebar pintu. Orang-orang berbaris. Bukan mereka yang melangkah, yakni lantai kereta yang bergerak. Membawa mereka masuk. Keuntungan tiket kereta di tahun ini cukup menyenangkan seluruh penumpang. Takkan ada lagi yang berdesakan. Ataupun tak mendapat tempat duduk. Karena kereta api tersebut bekerja layaknya robot. Dengan tiket yang tenggelam di punggung tangan, kereta tersebut mampu mendeteksi, di kursi berapakah mereka akan duduk. Begitu lantai bergerak, yang mereka perlukan hanyalah diam. Lantai kereta akan berhenti dengan sendirinya, jika penumpang telah sampai di kursi yang telah dipesannya. Satu persatu dari mereka telah masuk. Gin yang merasa bimbang, melangkah dengan ragu. Mendesah gugup. Ia mengedarkan pandangan begitu lantai membawanya masuk. Tangannya saling bertautan. Khawatir.
"Jika lantai ini tak berhenti bergerak, apa yang harus aku lakukan?" katanya dalam hati.
Jantungnya berdetak kencang. Bola mata terus berputar. Melihat sekitar. Setidaknya, sampai Galip menarik tangannya ke arah kiri. Terduduk di kursi. Sedikit terkejut, Gin melebarkan mata pada Galip.
"Ah, ternyata kau," desahan lega terdengar dari Gin. Memegang d**a.
"Kau duduk bersamaku. Aku membeli dua tiket untuk kursi ini."
Anggukan Gin menjawabnya. Sepersekian detik kemudian, pintu kereta menutup. Perlahan kereta bergerak. Gin bersandar pada punggung kursi. Sekali lagi mendesah lega. Mencoba meyakinkan diri semua akan aman terkendali. Kereta melaju semakin cepat. Pepohonan, pemandangan yang lain pun mulai terlihat abstrak. Kecepatan kereta api di tahun ini memang luar biasa. Motor atau mobil dengan tenaga roket sekalipun akan kalah. Sedikit mengasikkan memang berada di tahun ini. Tetapi, Gin tetap tak ingin berlama-lama di tempat ini. Masih memikirkan, bagaimana caranya agar pemuda yang seumuran dengannya itu membantu. Sementara digerbong lain, dua petugas keamanan tengah memeriksa identitas para penumpang. Sirene tanda bahaya menyalak buas di ruang kontrol. Akibat Gin tidak memiliki tiket sebelumnya. Ketika Galip menariknya keluar dari lantai, sirene tersebut berbunyi. Lan yang baru saja keluar dari kamar kecil, dimana lokasinya berada beberapa meter dari gerbong para petugas keamanan tersebut, membelalakkan mata.
"Oh, s**t!" umpat pemuda berparas cantik itu.
Lan melangkah cepat. Memegang daun telinga. Lebih tepatnya menekan earpiece.
"Petugas keamanan sedang beroperasi. Gin dalam bahaya!"