Chapter 3

1467 Kata
Mereka yang duduk di kursi masing-masing, berada dalam satu garis, mendengar pesan Lan melalui earpiece. Kelopak matanya pun melebar kompak. Tentu kecuali Ken. Dia hanya mendesah singkat. Memejam setelah itu. Melipat tangan di d**a. Kim yang duduk bersama Joe, segera mengeluarkan ponsel. Mengirim pesan pada grup, dimana anggotanya adalah kedelapan dari mereka. Memberitahu agar tetap tenang. Dan memikirkan strategi. Sedangkan Lan terus berjalan. Berhenti tepat di samping kursi Gin. Membungkukkan setengah badan. Menatap Gin yang tengah ketakutan. Gugup. "Jangan cemas. Kami akan memikirkan jalan keluarnya. Kau tetap disini bersama Galip," bisiknya. Anggukan cemas Gin menjawabnya. Kembali bersandar. Mendesah gugup. Berulang. Lan kembali duduk di kursinya. Mengeluarkan ponsel dari celana denim-nya. Dentingan ponsel terus terdengar. Lan menyebarkan idenya. Mengupayakan agar Gin lolos dari petugas keamanan. Dimana ia bertujuan untuk mengulur waktu dua petugas keamanan tersebut. Desahan panjang keluar dari bibir tebal Lan. Melirik ke arah belakang. Dua petugas keamanan tersebut telah berada di gerbong mereka. Lan segera berdiri dari kursinya. Begitupun Dong Joo. Berjalan saling berlawanan arah. Lan sengaja menabrakkan diri pada Dong Joo. Keras. Membuat Dong Joo jatuh terduduk. "Maafkan aku," kata Lan, berpura-pura tak mengenalnya. Alih-alih menerima permintaan maaf tersebut, Dong Joo segera berdiri. Mendorong tubuh Lan. Berpura-pura marah. Siasat yang bagus tentunya. Adegan pertengkaran buatan itu pun menyita perhatian dua petugas keamanan tersebut. Juga penumpang yang lain. Mereka berusaha melerai. Sekarang giliran Galip. Ia berdiri dari kursinya. Menatap kearah Lan. Tepatnya pada tangan Lan. Membaca kode tangan Lan, dimana memberi arti jika sekarang waktunya ia membawa Gin pergi. Gin berdiri. Bergeser. Menoleh sejenak ke belakang, dimana keramaian terjadi. Melangkah pergi. Satu langkah. "Tuan! Nona! Tunggu sebentar," petugas yang memiliki badan ramping berteriak. Langkah petugas keamanan menggema di telinga Gin. Mengerikan. Keduanya memutar badan. Perlahan. "Kenapa kalian berdiri? Kereta masih melaju. Bahaya." Gin ataupun Galip tak mampu menjawab dengan spontan. Keduanya gugup. Memutar bola mata dengan cepat. Menghindari kontak mata dengan petugas. "A-aku ingin pergi ke kamar kecil," kata Gin. Gugup. Berbicara dengan bahasa Korea. "Berdua?" "I-iya," sahut Galip. Lan yang kini menatap ke arah Gin, mendesis kesal. Mengernyitkan kening. "Kalau begitu, bisa saya melihat kartu identitas Anda sebentar?" Galip bergegas menarik keluar dompet dari saku belakangnya. Mengeluarkan kartu identitas. Puas melihat, petugas tersebut menyerahkan kembali kartu milik Galip. "Lalu, Anda nona?" Tubuh Gin gemetar. Tak mampu menyembunyikan rasa takutnya. Cemas. Gugup. "D-dompetnya tertinggal di rumah," dalih Galip. "Ah, benarkah? Kalau begitu bisa Anda sebutkan nomor seri kartu Anda?" Mendengar rentetan pertanyaan petugas keamanan, sudah terlihat jelas. Dia mengendus hal ganjil pada Gin. Yang memang sangat terlihat mencurigakan. Sikap Gin yang terlalu kentara gugup, membuat petugas memburunya. "Nona? Anda tidak ingat nomornya?" "I-itu.." "Kalau begitu, bisa Anda ikut kami sebentar?" Park Joon, nama petugas tersebut. Terbaca dari nama yang terjahit di bajunya. Diatas saku. Tangannya mengayun, hendak memegang pergelangan tangan Gin. Adegan slowmotion terjadi, ketika itu. Degup jantung mereka yang terlibat seolah terdengar keras. Satu. Dua. Tiga. Empat. Seseorang menepuk bahunya. Membuat gerakannya terhenti. Lehernya berputar ke arah samping kanan. Ken segera melayangkan pukulannya. Tepat di pipi Park Joon. Keras. Pemuda berhidung ramping nan mancung itu menarik tangan Gin. Berlari. Berdua. Menghiraukan teriakan dari petugas keamanan yang bertubuh bongsor, yang mengejar mereka seraya memanggil bantuan melalui earipece. Keduanya terus berlari. Tak sedikit para penumpang yang berdiri atau sekadar melongokkan kepala, ingin melihat keributan apa yang terjadi. Gin menengok ke belakang. Sesekali. Terus berlari. Bergandengan. Satu. Dua. Tiga gerbong telah terlewati. Ken menarik tangan Gin kearah kiri. Membawanya masuk ke dalam kamar mandi. Menguncinya. Ketukan pintu terdengar. Berulang. Tanpa henti. Bahkan semakin buas. Keduanya mengatur nafas. Tersengal. Ruang kamar kecil sangat sempit. Membuat mereka tak banyak bergerak. Berhimpitan. "Ken! Dimana kau?" Suara Kim terdengar melalui earpiece masing-masing. "Aku di dalam kamar kecil," jawabnya. Masih tersengal. "Bibi, aku ada ide. Tapi, aku butuh bantuan kalian." "Baik. Kau ada di gerbong berapa?" Ken berpikir sejenak. Memutar manik mata. Cepat. Segaris kernyitan nampak padanya, setelah itu. Memejam erat. Berusaha mengingat. "Ah, aku tidak tahu," gumamnya. "Tiga gerbong," kata Gin. "Kita melewati tiga gerbong tadi." Keduanya menukar pandang. Sejenak. Manik mata Ken membeku. Melihat satu titik. Tidak jelas. "Jika kita tadi masuk di gerbong empat, lalu kita berlari melewati tiga gerbong.. Maka, kita ada di.." katanya dalam hati. "Bibi, aku berada di gerbong tujuh," kata Ken. "Baik, tunggu kami." "HEI! Cepat buka pintunya! Jika tidak kami akan mendobraknya!" teriak Park Joon dari luar. Terus mengetuk buas pada pintu. Gin mendesah gugup, saat Ken menatapnya. "Dengar, kita akan segera keluar dari sini. Yang aku perlukan hanyalah konsentrasimu. Jangan pernah lepaskan tanganku. Dan dengarkan aba-aba dariku. Mengerti?" Anggukan Gin menjawab. Sementara Joe datang. Melangkah pelan. Menatap dua petugas yang berdiri beberapa meter di depannya. Memandang jam tangan hitam yang melingkar pada pergelangan tangan kirinya. Memutar bezel jam. Searah jarum jam. Segaris kernyitan nampak. Kedua tangan memegang di bagian perut. Meringkuk. Berteriak. Keras. "Aaaaargh! Perutku sakit," katanya dengan kencang. "Tolong aku." Perhatian Park Joon dan rekannya pun teralihkan pada Joe. Melangkah cepat. Mendekati Joe. Tak ada yang menaruh curiga padanya. Tak ada satupun yang tahu, jika itu hanyalah sebuah akting. Bagian dari rencana Ken. "Kau baik-baik saja?" Rekan park Joon bertanya. Membungkukkan setengah badan. Tatapan Joe berubah. Tajam. Meremas kerah baju petugas tersebut. Mengangkat tubuhnya. Melemparnya ke belakang. Terpelanting. Tak sadarkan diri. Sorakan terkejut dari saksi mata terdengar. Kelopak mata Park Joon melebar. Melangkah cepat kearah Joe. Membuka kantong pistol yang melilit pinggangnya. Sialnya, belum sempat ia mengeluarkan pistol, Joe telah berlari kearahnya. "Ken! Sekarang!" teriaknya. Park Joon yang mendengar, menengok kearah belakang. Hendak memutar haluan. Namun sayang gerakan Joe sedikit lebih cepat darinya. Mendorong tubuh Park Joon. Kencang. Tubuhnya melayang di udara beberapa detik. Terlempar pada gerbong seberang. Sementara Ken keluar dari kamar mandi bersama Gin. Berlari ke arah kiri. Masuk ke dalam gerbong. Dimana Park Joon terbaring lemah. Menahan sakit. "Gin, sekarang!" Teriak Ken. Segera Gin menutup mata. Ken memutar bezel jam dan menekan layarnya. Menggenggam tangan Gin, setelah itu. Terus berlari. Hingga sebuah pintu air terbentuk beberapa meter di depan mereka. Keduanya menembus pintu air, dan menghilang. Tak berbekas. Sorakan terkejut kembali terdengar. Para penumpang menjadi riuh. Heboh. Saling bertanya. "Mereka menghilang?" Joe berlari, menghampiri Kim dan yang lain yang tengah berdiri dengan kecemasan. "Mereka sudah pergi," kata Joe. Tersengal. "Kalau begitu, kita juga harus pergi," gagas Kim. "Aku yakin mereka akan menghentikan kereta, begitu dua petugas tersebut sadar." "Lalu, kita pergi kemana?" tanya Mari. "Inggris. Tetap di tahun ini," jawab Kim. Anggukan kompak dari mereka menjawabnya. "Lalu, bagaimana dengan Gin?" tanya Lan. "Kita akan menghubungi mereka nanti." *** Gin membuka mata. Perlahan. Tersadar. Setelah beberapa menit pingsan. Mengangkat kepalanya. Segaris kernyitan nampak. Melihat dirinya tertelungkup diatas tubuh Ken. Sementara sang penumpu masih terpejam. Tak sadarkan diri. Seketika Gin terkesiap. "Ken! Bangun! Buka matamu!" teriaknya dalam takut. Menepuk pipi Ken. Berulang. Menyadarkannya. Tetapi, Ken tetap terdiam. Membuat Gin gemetar. Cemas. Bagaimana jika ia mati? Pikirnya. Pukulan yang agaknya keras, terus menerus mendarat pada d**a Ken. Satu airmatanya menetes begitu saja. "Hentikan. Sakit," kata Ken, menahan tangan Gin. Suaranya terdengar serak. Membuat tangis Gin terhenti seketika. Bergeser. Duduk di sebelah Ken. Merangkul kedua kakinya. Menundukkan kepala. Terisak. Alis Ken berkerut. "Kau menangis?" tanya Ken. "Kenapa? Kau takut?" "Aku.. Mengkhawatirkanmu," kata Gin dengan lirih. "Aku.. Hanya tak ingin seseorang terluka karena aku." Desahan panjang terdengar Ken. Terpaku sejenak. Itu adalah kali pertama, Ken mendengar hal melankolis tersebut. Setidaknya setelah ia berpisah dengan kekasihnya. "Aku baik-baik saja. Berhenti menangis. Memalukan," kata Ken, seraya berdiri. Gin menyeka air mata dengan jarinya. Berdiri setelah itu. Sama halnya dengan Ken, mengedarkan pandangan. Melihat hamparan bunga. Tersebar. Sejauh mata memandang. Langit cerah berwarna biru mendominasi. Dua gunung yang menjulang tinggi, tampak dari kejauhan. Siapapun yang melihatnya akan berdecak kagum. Tapi tidak dengan Ken. Desahan panjang kembali terdengar. "Dimana kita?" Tanya Gin. "Pada akhirnya.. kau membawa gadis itu kemari." Sebuah suara lembut milik seorang gadis, terdengar dari belakang mereka. Kompak memutar badan. Kehadiran gadis itu berhasil membuat Ken tercengang. Terbelalak. Otot halus berwarna merah nampak dimatanya. Seolah haru melihat gadis itu. Mendesah gugup. Sesak di d**a. "HeeBi.." Bibirnya bergetar. Mengucap nama gadis tersebut. Gin yang mendengar nama Heebi disebut cukup terkejut. "Jadi.. gadis ini adalah.." ucap Gin dalam hati. "Bagaimana kabarmu, Ken?" Tanya HeeBi. "HeeBi.. kau tahu, selama ini aku mencarimu." Ken melangkah pelan. Mendekati HeeBi, ketika mengatakan itu. Namun HeeBi menghentikan langkah pemuda itu. Mengarahkan telapak tangan pada Ken. "Jangan mendekat! Hubungan kita sudah berakhir!" "Kenapa? Kenapa kau bersikap seperti ini?" "Kenapa tidak kau tanyakan pada gadis yang bersamamu!" tukas HeeBi, menatap sinis pada Gin. Menunjuknya. "Aku? Kenapa?" katanya dalam hati. Kening berkerut. Menunjuk dirinya sendiri. "HeeBi.. Itu hanya salah paham. Aku tidak mengenalnya!" Kata-kata Ken terdengar menyakitkan di telinga Gin. Meski memang mereka tidak saling mengenal. "Tidak. Itu bukan salah paham!" bentak HeeBi. "Apa yang kau bicarakan?" "Aku melihatnya, Ken! Aku melihat kau bersama dia!" katanya. "Kau akan menikah dengan dia! Bahkan kau akan menderita karena dia!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN