Chapter 4

2333 Kata
KOREA SELATAN, 2023 Orang-orang bergantian turun dari kereta. Bergumam kesal. Berbisik. Menyayangkan kejadian beberapa jam yang lalu. Membuat perjalanan mereka terhenti. Memikirkan kegagalan rencana mereka masing-masing. Atau bahkan banyak yang terlambat pulang ke rumah. Kereta berhenti tidak pada destinasinya. Perkelahian juga menghilangnya beberapa orang dari dalam kereta menjadi topik hangat di sore ini. Para saksi mata saling meyakinkan diri dengan apa yang telah disaksikannya. Tidak dapat dicerna sempurna oleh akal mereka. Dalam sekejap adegan menghilangnya mereka yang terekam dalam kamera pengintai tersebar di Negara ini. Bahkan wartawan asing turut meliput. Beberapa penumpang menjadi terkenal, karena telah menjadi saksi mata. Gabungan petugas keamanan menelisir setiap gerbong. Akan beruntung jika mereka menemukan jejak. Park Joon nampak memimpin investigasi. Tak hanya mendapat perhatian dari awak media, kejadian ini turut melibatkan pakar ilmuwan yang sering meneliti tentang adanya lorong waktu. Hal ini tentu dikaitkan dengan sesuatu yang ilmiah, namun nampak sulit dipercaya. Kini beberapa ilmuwan tengah berada di ruang pengawas stasiun. Berkumpul. Melihat kejadian tersebut melalui rekaman kamera pengawas. Menatap serius layar besar yang agaknya seperti sebuah televisi datar. Park Joon yang juga berada di ruangan turut menjelaskan. Desisan tak percaya terus terdengar bersautan. Terlebih ketika melihat adegan dimana Joe melumpuhkan Park Joon dan rekannya. Apa ini masuk akal? Apa mereka bukan manusia? Itu yang sejak tadi mereka ucapkan. "Apa masih ada lelucon hantu di era modern ini?" Suara barito sedikit serak terdengar dari arah belakang mereka. Dengan nada sarkastik. Kompak menengok. Beberapa ilmuwan yang sebelumnya duduk, kini berdiri. Melihat pria bersuara barito tadi. Memberi hormat. Membungkukkan badan. "Lalu.. Menurut Anda, fenomena apa ini?" salah satu ilmuwan bertanya. Jaebaek, nama Pria paruh baya yang dikenal sebagai profesor tersebut, tersenyum miring. Melangkah pelan. Sedikit informasi, jika ia adalah orang yang berambisi untuk menemukan bukti jika penjelajah waktu memang ada. Mereka bergeser. Memberi jalan. Jaebaek melihat monitor. Seksama. "Apa masuk akal? Seoarang anak kecil yang mungkin usianya sama dengan cucuku, dapat mengangkat tubuh seorang pria dewasa yang beratnya berkali-kali lipat darinya?" tanya Jaebaek. "Itu yang sejak tadi menjadi pertanyaan kami. Siapa mereka? Dan berasal darimanakah mereka?" ilmuwan berkacamata melayangkan pertanyaan. "Apa mungkin.. Mereka alien?" Park Joon menyela. Kembali terlihat senyum miring yang lebih terlihat dingin dari Jaebaek. "Tidak. Mereka sama seperti kita. Manusia." "Lalu, siapa mereka?" Ilmuwan yang lain lagi menambah pertanyaan. "Sesuatu yang telah lama aku teliti sejak dulu," katanya tersenyum dingin. KANADA, 2014 Seorang gadis dengan surai hitam yang tergerai indah di bawah bahu, sedang berjalan menyusuri padang bunga. Suara gemerisik ketika ia melangkah melewati ilalang lembut terdengar. Terus mengedarkan pandangan. Putih. Merah. Biru. Merah muda. Warna bunga-bunga yang tertanam di tempat ini. Meski indah, namun nampak menyakitkan bagi gadis tersebut. Dua gunung yang membentang luas di seberang sana, tak menarik perhatiannya. Desahan panjang sesekali terdengar. Matanya yang lebar seolah menyimpan kepedihan. Muram. Setidaknya itu kata yang tepat, untuk menggambarkan ekspresi wajahnya. Kerinduan yang menyakitkan. Sepertinya itu yang dirasakannya. Heebi.. Setiap suara pemuda yang memanggilnya dengan lembut, menggema di telinganya, nafasnya pun terasa sesak. Memejam erat, setiap kali itu terjadi. Sunyi. Tempat ini terasa sunyi baginya. Desiran angin satu-satunya musik penghibur. Setidaknya, sebelum ia mendengar suara khas dari sesuatu yang menghantam keras tanah. Menembus ilalang. Kelopak matanya melebar. Keningnya berkerut. Manik matanya berputar. Berpikir. Siapa yang datang ke tempat yang belum pernah terjamah oleh orang-orang. Kaki jenjangnya melangkah cepat. Menyibak ilalang. Keningnya kembali berkerut, ketika ia melihat seseorang terbaring di tanah. Lebih spesifik-nya adalah melihat kepala seseorang itu. Berniat membantu, ia kembali melangkah. Satu langkah. Dua langkah. Langkah keenam ia berhenti. Suara terkesiap terdengar darinya. "Ken.." katanya. Lirih. HeeBi, nama gadis itu kembali melangkah, disaat yang sama Ken membuka matanya. Membuat langkahnya kembali terhenti. "Aaah, pendaratan yang tidak sempurna. Apa karena aku terburu-buru tadi?" kata Ken, seraya meraung. Sakit. Ken mengangkat kepalanya. Melihat Gin sedang tak sadarkan diri diatas tubuhnya. Segaris kernyitan nampak di keningnya. Hendak membangunkan Gin. Tapi ia urungkan. Perasaan iba muncul tiba-tiba, ketika melihat wajah polos Gin yang tak sadarkan diri. Yang tersembunyi di balik rambut ikal coklatnya. Ia kembali meletakkan kepalanya di tanah. Mendesah singkat. "Aku pasti sudah gila," gumamnya. HeeBi yang melihatnya, mendengus. Satu air matanya berlari lurus di pipi. Bukan karena hatinya sakit, melainkan tak percaya, Ken akan melakukan hal manis seperti itu. Mengenal Ken selama beberapa tahun membuatnya sedikit congkak, perihal sikap dan sifat Ken yang ia ketahui. Dia sangat yakin untuk mengingat, Jika Ken akan bersikap manis dengan seseorang yang menurutnya istimewa dalam hidupnya. Lebih tepatnya, sikapnya akan menjadi dingin pada gadis yang tak mampu mencuri perhatiannya. Jadi, ia segera menyimpulkan dengan penuh keyakinan, jika Gin sangat istimewa di matanya. Sementara HeeBi sedang menciptakan beberapa spekulasi dalam otaknya, Gin membuka mata. Perlahan. Tersadar. Setelah beberapa menit pingsan. Mengangkat kepalanya. Segaris kernyitan nampak. Melihat dirinya tertelungkup diatas tubuh Ken. Sedangkan sang penumpu masih terpejam. Tak sadarkan diri. Berpura-pura tentunya. "Ken! Bangun! Buka matamu!" teriaknya dalam takut. Menepuk pipi Ken. Berulang. Menyadarkannya. Tetapi, Ken tetap terdiam. Membuat Gin gemetar. Cemas. Bagaimana jika ia mati? Pikirnya. Pukulan yang agaknya keras, terus menerus mendarat pada d**a Ken. Satu airmatanya menetes begitu saja. "Hentikan. Sakit," kata Ken, menahan tangan Gin. Suaranya terdengar serak. Membuat tangis Gin terhenti seketika. Bergeser. Duduk di sebelah Ken. Merangkul kedua kakinya. Menundukkan kepala. Terisak. Alis Ken berkerut. "Kau menangis?" tanya Ken. "Kenapa? Kau takut?" "Aku.. Mengkhawatirkanmu," kata Gin dengan lirih. "Aku.. Hanya tak ingin seseorang terluka karena aku." Desahan panjang terdengar Ken. Terpaku sejenak. Itu adalah kali pertama, Ken mendengar hal melankolis tersebut. Setidaknya setelah ia berpisah dengan kekasihnya. "Aku baik-baik saja. Berhenti menangis. Memalukan," kata Ken, seraya berdiri. Gin menyeka airmata dengan jarinya. Berdiri setelah itu. Sama halnya dengan Ken, mengedarkan pandangan. Melihat hamparan bunga. Tersebar. Sejauh mata memandang. Langit cerah berwarna biru mendominasi. Dua gunung yang menjulang tinggi, tampak dari kejauhan. Siapapun yang melihatnya akan berdecak kagum. Tapi tidak dengan Ken. Desahan panjang kembali terdengar. "Dimana kita?" Tanya Gin. "Pada akhirnya.. kau membawa gadis itu kemari." Kehadiran HeeBi berhasil membuat Ken tercengang. Terbelalak. Otot halus berwarna merah nampak dimatanya. Seolah haru melihat gadis itu. Mendesah gugup. Sesak di d**a. "HeeBi.." Bibir sexy-nya bergetar. Mengucap nama gadis tersebut. Gin yang mendengar nama Heebi disebut cukup terkejut. "Jadi.. Gadis ini adalah.." ucap Gin dalam hati. "Bagaimana kabarmu, Ken?" Tanya HeeBi. "HeeBi.. kau tahu, selama ini aku mencarimu." Ken melangkah pelan. Mendekati HeeBi, ketika mengatakan itu. Namun HeeBi menghentikan langkah pemuda itu. Mengarahkan telapak tangan pada Ken. "Jangan mendekat! Hubungan kita sudah berakhir!" "Kenapa? Kenapa kau bersikap seperti ini?" "Kenapa kau tidak bertanya pada gadis yang bersamamu!" tukas HeeBi, menatap sinis pada Gin. Menunjuknya. "Aku? Kenapa?" katanya dalam hati. Kening berkerut. Menunjuk dirinya sendiri. "HeeBi.. Itu hanya salah paham. Aku tidak mengenalnya!" Kata-kata Ken terdengar menyakitkan di telinga Gin. Meski memang mereka tidak saling mengenal. "Tidak. Itu bukan salah paham!" bentak HeeBi. "Apa yang kau bicarakan?" "Aku melihatnya, Ken! Aku melihat kau bersama dia!" katanya. "Kau akan menikah dengan dia! Bahkan kau akan menderita karena dia!" Ken mendengus. Tak percaya. Menyunggingkan senyum. Kernyitan di dahinya tak kunjung hilang. "Itu tidak mungkin!" teriak Ken. HeeBi mendengus kesal. Manik matanya berputar. Cepat. "Aku.. pergi ke tahun 2026. Sehari, sebelum kita menikah. Aku hanya merasa penasaran, bagaimana kehidupan kita setelah pernikahan," jelasnya. "Tapi! Aku harus menyaksikan kau menikah dengan gadis itu! Di tempat ini!" Kesal. Sedih. Kecewa. Marah. HeeBi harus merasakan semua perasaan itu sekarang. Airmatanya tak berhenti mengalir. "Oh, tunggu sebentar, Nona. Kenapa aku harus menikah dengan dia? Aku tak mengenalnya," kata Gin. Melangkahkan kaki. Lebih mendekat pada HeeBi. Meskipun jarak mereka masih cukup jauh. Terpisahkan oleh ilalang. "Kau tidak mengenalnya? Lalu, siapa yang kau panggil, Ken? Dan untuk apa kau menangis karena dia?!" bentak HeeBi. "Kau benar-benar gadis b******k!" Jeritan kata-kata serta tetesan airmata, cukup menggambarkan kondisi hati dari gadis berkulit bersih itu. "Jaga bicaramu, nona! Siapa yang kau panggil b******k?! Bahkan, kita tak saling kenal." "Ginny Mayer! Gadis kelahiran tahun 1992! Golongan darah O! Anak sulung dari tiga bersaudara. Lace adik perempuanmu! Dan Lu adik laki-lakimu, sekarang tinggal bersama bibimu!" "Baik, aku cukup terkejut untuk itu," tutur Gin, seraya mendesah tidak percaya. Ken yang mendengar nama Mayer tersebut sedikit tergelak kaget. Kelopak matanya kompak melebar. Melihat tidak tentu arah. Mendesah singkat. "Sekarang, kau pilih dia atau aku? Jika kau tetap bersama gadis b******k itu, kau akan mati." "Nona! Jaga bicaramu! Kau ingin mati sebelum dia?!" Nada tinggi dari Gin, menunjukkan jika ia tak dapat menahan luapan emosi atas panggilan yang tidak menyenangkan tersebut. Otot kecil di pelipisnya nampak. Mengatupkan gigi. "DIAM KAU!!" Jeritan kembali terdengar dari Heebi. Mengarahkan telapak tangan kearah Gin. Seketika, Gin terhempas beberapa meter ke belakang. Bersama desiran angin yang cukup kencang. Punggungnya bertemu dengan tanah. Terkulai lemas. Meremas dadanya. "Gin!" Ken yang menyaksikan adegan yang tak terduga itu, segera berlari kearah Gin. Berlutut. Membantunya berdiri. Menahan punggung Gin dengan satu tangannya. "Kau baik-baik saja?" "Aku rasa tidak," jawab Gin. Suaranya terdengar parau. Seseorang yang tak memiliki kemampuan apapun, harus merasakan kekuatan luar biasa seperti HeeBi, sama halnya dengan dihantam oleh besi tebal yang beratnya hampir tidak diketahui. "Aku rasa juga seperti itu. Lebih baik kita pergi dari sini," ajak Ken. Anggukan Gin menjawabnya. Berdiri tertatih setelah itu. Ken melingkarkan satu tangan pada bahu Gin. Sementara tangan yang lain menggenggam erat jemari Gin. Adegan yang— Cukup membuat HeeBi terbakar hatinya. "Lepaskan dia, Ken!" HeeBi kembali mengangkat telapak tangan. Mengarahkannya pada mereka. Seolah bersiap akan menyerang kembali Gin. "Hentikan! Dia bukan orang seperti kita." Dengusan kesal terdengar darinya. Menarik sudut bibir kanan keatas. Diam. Melihat keduanya. "Kau, masih sanggup untuk berjalan?" tanya Ken. Menengok sejenak pada Gin. "Akan aku coba." "Baik. Kita harus berjalan untuk masuk ke dalam portal," jelas Ken, seraya memutar bezel jam dan menekan layarnya. Dan kembali melingkarkan tangan pada bahu Gin. "Kau siap, Gin?" Gin mengangguk berulang. Meyakinkan. Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Langkah yang kesekian mereka segera menghilang. Meninggalkan HeeBi dan rasa sakitnya. Di detik selanjutnya, mereka tiba. Sedikit berlari. Bersamaan dengan kilatan cahaya biru. Di jembatan raya besar. Tempat Gin mengejar Dong Joo terakhir kali. Tepat di tahun 2017. Segera portal menyusut, begitu mereka menjejakkan kali pada trotoar. Kondisi Gin tak dapat dijelaskan lagi. Ia cukup—memprihatinkan. Rambut yang lusuh. Nafas tersengal. Bibir sepucat debu. Keringat dingin menyelimuti permukaan kulitnya. Siapapun yang melihat itu, dapat menerka jika rasa sakit yang dirasakannya sungguh luar biasa hebatnya. "Beri tahu alamatmu. Aku akan mengantarmu pulang." "Tidak perlu. Lebih baik.. Kau.. Segera kembali. Temui kekasihmu." Gin terus tersengal. Bahkan ia tak mampu berdiri tegak. "Tapi-" "Kau sudah lama mencarinya, bukan? Cepat kembali. Sebelum ia menghilang lagi." "Kau yakin akan baik-baik saja?" "Jangan cemas. Aku bukan gadis manja seperti kekasihmu." Tawa kecil diantara sakitnya terdengar. "Aku-" "Pergi!" Ken berdiri diatas kebimbangan. Sepersekian detik pemikirannya terbentuk menjadi dua. Pergi atau tinggal? Tapi, jika mengingat tentang kehadiran HeeBi yang tak terduga, ia ingin segera kembali ke tempat tersebut. Bentakan Gin untuk yang kedua kalinya, akhirnya membuat pemuda yang dua tahun lebih tua darinya mendesah cukup panjang. Memejam penuh arti. "Maafkan aku," bisik Ken. Ia segera melepaskan genggaman. Mundur satu langkah. Membalik badan. Menundukkan kepala sejenak. Lalu berlari. Kembali memutar bezel jam dan menekan layarnya. Sebuah dinding air menyambut langkahnya. Adegan dramatis pun terjadi, ketika satu kaki Ken telah berada di dalam portal. Ia menengok untuk melihat Gin sekali lagi. Segera melebarkan mata, ketika melihat Gin tersungkur di trotoar. "Gin.." Ingin hati memutar haluan. Tapi apadaya, portal hampir menyusut. Tubuhnya terhisap masuk. Menyisakan penyesalan, ketika ia tiba kembali di padang bunga. Dengan gerakan sedikit melompat. Lehernya berputar ke segala arah. Mengedarkan pandangan. Melangkahkan kaki. Menyibak ilalang. Mencari keberadaan HeeBi. Berlari kesana-kemari. Sosok gadis yang dirindukannya pun tak nampak. Langkahnya melemah. Perlahan. Lalu berhenti. Mendesah cukup panjang. Tertunduk. Sulit untuk menggambarkan perasaan Ken saat ini. Kedua lututnya pun bertemu dengan tanah. Cukup lama ia menatap dasar yang berwarna coklat. Membiarkan dering ponsel bernyanyi sepanjang menit. Merasakan betapa buruk dirinya beberapa waktu yang lalu. Meninggalkan Gin yang tengah dalam kondisi tidak baik, untuk kembali mencari yang percuma. "Aku sungguh b******k," katanya. Ken menarik keluar ponsel dari saku celana jeans-nya. Gambar diri Joe terpampang di layar ponsel air tersebut. "Ken! Kau baik-baik saja?" Tanya Joe. Begitu wajahnya nampak pada ponsel Ken. "Jangan khawatir. Bagaimana dengan kalian?" "Kami terpaksa membuka portal di keramaian. Maaf, Ken." "Itu lebih baik. Daripada kalian tertangkap." "Lalu-" "Ken! Syukurlah kau baik-baik saja! Kami semua mengkhawatirkanmu!" Kim menyela kata-kata Joe. Dengan badan setengah membungkuk, di depan Joe. Menerobos masuk, melewati siku Joe. "Dimana Gin?" "Aku sudah mengantarnya kembali." "Maksudmu, kembali ke tahunnya?" Anggukan Ken menjawabnya. Alih-alih memandang layar, Ken menatap udara kosong disamping ponsel sejak tadi. Berwajah masam. "Syukurlah kalau begitu. Lalu, dimana kau sekarang? Tampak seperti taman bunga?" Pandangan Kim kini berpusat pada pemandangan di belakang Ken. "Aku sedang berada di padang bunga, Kanada." "Eh? Ada tempat seindah itu di Kanada? Dan kau tak pernah mengajak kami?" "Aku tidak suka tempat ini." "Lalu, kenapa kau disana?" "Aku sendiri juga tidak tahu. Saat melarikan diri bersama Gin tadi, tiba-tiba saja tempat ini muncul di kepalaku." "Ken, kau baik-baik saja? Wajahmu terlihat pucat." Tanya Joe, menggeser sedikit kepala bibi Kim kesamping. "Kau, terluka Ken?!" tambah Kim. "Tidak." "Lalu, ada apa denganmu?" "Aku—Bertemu dengan HeeBi." "Apa?!" Satu kata yang diucapkan bersamaan oleh mereka, terdengar seirama. Terkejut. "Bagaimana bisa? Dimana dia sekarang?" tanya Joe. "Ken.. Tahan dulu ceritamu. Lebih baik kau segera bertemu dengan kami. Sekarang!" kata Kim. INDONESIA, 2017 Hampir delapan jam, Gin tak sadarkan diri. Terbaring di ranjang salah satu rumah sakit kota ini. Tiang IV berdiri tegak disamping ranjang. Jarum kecil menembus mulus kulit punggung tangannya. Bisa dikatakan, ia sangat beruntung telah ditolong oleh beberapa pejalan kaki yang kebetulan melintas di jembatan itu. Karena seperksekian menit saja ia tetap berada di tempat itu, maka nyawanya takkan tertolong. Itu yang dikatakan oleh dokter. Sementara seorang pria tengah duduk di sebelah ranjang, mengenggam jemari pucat Gin. Pria yang mengenakan kaos putih yang tersembunyi di balik jaket kulit hitamnya itu, terus menatap Gin dengan perasaan seolah takut kehilangannya. Raut kecemasan tak pelak mampir di wajah segarnya. Mendesah panjang. Sesekali. Berharap Gin akan segera sadar. Rangkaian pertanyaan telah ia persiapkan untuk gadis di depannya. Terlebih.. tentang luka memar di dadanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN