1. Ketahuan

1075 Kata
“Nggak jadi lagi?’ aku mengembuskan nafasku. “Iya, aku harus ke luar kota malam ini,” jawab suara di seberang sana. “Katanya kamu lagi cuti, kok bisa ke luar kota?" “Nggak tahu juga, tiba-tiba ditugasin sama Bos.” “Terus kapan jadinya.” Rasanya kesal sekali, aku sudah bersiap-siap dari sore. Pulang dari kantor juga buru-buru hanya biar tidak telat. Aku tidak mau memberi kesan buruk pada keluarga Dion. Sudah dari beberapa minggu yang lalu, dia berjanji akan mempertemukan aku dengan keluarganya. Minggu sebelumnya batal karena Dion sakit, terus minggu lalunya lagi juga batal gara-gara Papanya Dion ada acara di kantornya. Dan hari ini juga bisa dipastikan batal lagi. “Secepatnya, May. Papa sama Mama juga sudah nggak sabar mau ketemu sama kamu,” kata Dion. “Kamu suka janji, tapi nggak pernah ditepatin." Aku bersungut-sungut. “Kamu juga tahu sendiri, bukan aku yang mau. Keadaan nggak memungkinkan.” “Terus kamu kapan pulangnya?” “Minggu depan,” jawabnya. “Kok lama? Sibuk banget ya. Selalu aja aku ditinggalin sendiri.” Dion tertawa mendengar ucapanku. “Nggak ditinggalin kok, Sayang. Kamu kan selalu di hatiku,” kata Dion sambil terbahak. “Nggak lucu!” “Ya sudah, aku mau beres-beres nih. Sebentar lagi mau dijemput," Kata Dion akhirnya. “Iya, hati-hati. Kabarin kalau sudah sampai,” kataku sambil menutup pembicaraan. Jadi selanjutnya dengan dandananku yang sudah seperti ini, apa yang sebaiknya aku lakukan? Aku menatap bayanganku di cermin. Sayang sekali jika setelah ini yang aku lakukan hanya tidur. Sepertinya aku ada ide. “Kami barusan sampai,” kata Vey di telepon. Akhirnya aku menghubungi teman kantorku, Vey. Tadi sore teman-teman kantorku mengajak ke peresmian Cafe milik sepupunya Vey, tapi kutolak karena sudah ada janji dengan Dion. Karena janjiku dengan Dion sudah batal, tidak ada salahnya aku bergabung dengan mereka. “Aku nyusul ya sekarang,” pintaku. “Katanya ada janji sama Dion,” balas Vey. “Batal,” jawabku singkat. “Ya sudah kalau gitu, buruan kesini.” Suara di sekeliling Vey terdengar sangat ramai. “Tungguin ya,kalian jangan pulang dulu!” Aku mengambil tas kecilku dan bergegas keluar rumah. Semoga saja Didi, adikku yang masih SMA itu sedang tidak ada jadwal pacaran. Lagipula ini bukan malam minggu. Hanya dia harapanku untuk mengantarku pergi. “Jauh banget, Mbak.” Itu pertama kali yang diucapkannya. Aku memasang tampang memelas. “Sekali ini saja, besok Mbak tambahin uang jajanmu deh,” pintaku. “Besok-besok pasti ada dua kalinya,” ledek Didi sambil beranjak dari duduknya. Syukurlah kali ini dia lebih memilih mengantarku daripada melanjutkan bermain play station-nya. “Ngapain sih pacaran aja mesti cari tempat yang jauh." Didi bersungut-sungut ketika di dalam mobil. Aku tersenyum masam. “Bukan pacaran, anak kecil. Kalau benaran mau pacaran juga, Mbak nggak perlu repot-repot minta antar kamu,” balasku. Didi nyengir. “Seharusnya tadi Mbak numpang Mas Graha aja, “ kata Didi. “Mas Graha? Memangnya dia ada di rumah tadi?” tanyaku. “Mbak telat beberapa menit. Tadi Mas Graha main PS sama aku, terus dia pulang nggak lama sebelum Mbak ke kamarku,” jelas Didi. Mas Graha itu temannya Mas Beri, kakak iparku. Dia sudah seperti kakakku, karena hampir tiap hari datang ke rumah. “Mbak kan paling hobi numpang Mas Graha." Kalimat yang diucapkan Didi seperti ledekan buatku. “Itu bukan hobi. Lagipula Mas Graha senang-senang aja tuh aku tumpangin,” kataku tidak mau kalah. “Dia naksir Mbak kali,” ledek Didi lagi. “Kayaknya sih,” jawabku sambil tertawa. Didi langsung mencemberutkan wajahnya. “Kasihan banget Mas Graha kalau benaran naksir sama Mbak." Didi seperti berbicara sendiri. Kontan kucubit lengannya dan Didi hanya bisa mengaduh kesakitan. “Apa aku harus nunggu sampai Mbak pulang juga?” tanya Didi. “Nggak perlu, kamu, kan mesti jemput Mama di toko. Mbak bisa pulang sama teman kantor. Atau kalau nggak minta jemput Mas Graha,” jawabku. “Mas Graha lagi.” “Terus mau siapa lagi, masa Mas Beri.” “Kenapa nggak minta jemput Mas Dion aja?” “Orangnya lagi sibuk, mau keluar kota.” “Perasaan, Mas Dion sibuk terus. Akhir-akhir ini makin jarang ke rumah.” Didi membelokkan mobilnya ke parkiran Cafe. Parkiran nampak penuh. “Aduh lupa, ngapain masuk ke parkiran ya." Didi mengaruk-garuk kepalanya. “Kamu sih masih muda sudah pelupa." Aku terkikik. “Sudah, turunin Mbak disini aja. Nanti kamu susah keluar loh. Banyak mobil di belakang kita tuh,” kataku. Masih dengan bersungut-sungut, Didi menepikan mobilnya. “Hati-hati pulangnya,” kataku sambil menutup pintu mobil. Hingar bingar suara musik sampai terdengar ke parkiran. Aku merogoh tas dan mengambil handphone. Cafe-nya terletak tepat di sebelah parkiran, tidak terlalu jauh tapi lumayan membuat kaki pegal dengan heels seperti ini. Dua orang yang berjalan di depanku menghalangi jalan. Mereka berjalan dengan sangat lambat. Pasti lagi pacaran, tebakku dalam hati. “Kalian dimana? Aku sudah di parkiran." Aku menghubungi Vey. “Masuk aja, kami nggak jauh dari pintu masuk kok,” jawab Vey. Aku mematikan telepon dan dengan tidak sabar menunggu pasangan yang berada di depanku ini memberikan jalan. Bukannya memberikan jalan, mereka berjalan semakin pelan. Apa dikiranya dunia cuma milik mereka berdua? Sesekali si pria mengelus kepala wanitanya dan si wanita dengan manjanya mengeratkan pelukan pada lengannya. Dan...God, mereka seperti mau berciuman! Nggak ada tempat lain apa? “Ehem! Aku berdehem dengan keras agar mereka membatalkan niatnya. Mereka pasti tidak menyadari kalau ada seseorang di belakang mereka. Kontan pasangan itu menoleh ke belakang. Nafasku tertahan dan badanku mendadak menegang saat melihat dengan jelas sosok si pria. Dion! Suasana hening selama beberapa saat. Pandangan kami masih saling bertemu. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Aku terlalu kaget sampai tidak bisa berbicara. Sedetik, dua detik, aku mematung. Aku kehilangan akal sehat secara mendadak. Ini menyakitkan! Benar-benar menyakitkan! “Kamu b******k Dion!” Ketika kesadaran itu sudah terkumpul, aku memukul Dion dengan tas kecilku. Kecewa, marah dan sakit hati membuat aku seperti orang gila. Dengan bertubi-tubi kupukul badannya. “May...! Sebentar! Dengarin dulu!” Dia menahan pukulanku dengan tangannya. Nafasku naik-turun, air mata sudah membanjiri wajahku. Jadi ini maksud keluar kota yang dikatakannya tadi? Sialan! “Kita putus!” Kupukul sekali lagi dia, kali ini tepat mengenai wajahnya dan dengan sekuat tenaga aku berlari meninggalkan Dion. Untung saja aku masih memiliki kekuatan untuk menghajarnya. Aku menekan-nekan ponselku dengan panik. Siapa yang harus kuhubungi? Didi! Tidak diangkatnya. Vey! Juga sama. Mas Graha! “Ya ada apa, May?” Jawab suara di seberang sana. (*)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN